Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori

(1)

SKRIPSI

FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI

Oleh: ANWAR SANUSI

F24101067

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANWAR SANUSI (F24101067). Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori. Dibawah bimbingan Nuri Andarwulan. 2006.

RINGKASAN

Sagu merupakan salah satu komoditi pangan lokal Indonesia yang tersebar luas terutama di bagian timur Indonesia seperti Maluku dan Irian Jaya. Sagu memiliki jumlah kalori yang cukup tinggi, sehingga pada awalnya sebagian masyarakat Indonesia menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Namun pemanfaatan sagu dewasa ini sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat lebih memilih beras dari pada sagu, padahal bila dilihat dari kandungan kalorinya, sagu memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda dengan beras. Sagu memiliki kandungan kalori sebesar 353 kkal per 100 g bahan, sedangkan beras mempunyai kandungan kalori sebesar 364 kkal per 100 g bahan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1990).

Selama ini produk-produk pangan yang dibuat dari sagu merupakan produk-produk pangan olahan tradisional. Sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan dan peningkatan kembali konsumsi sagu sebagai pangan nasional, maka perlu dikembangkan suatu produk makanan berbasis sagu yang diolah dengan teknologi lebih modern. Salah satu produk yang mungkin dibuat adalah produk sagu instan tinggi kalori. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula sagu instan yang memiliki kandungan kalori yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Formula dibuat dengan menambahkan beberapa bahan lain sehingga diperoleh bentuk pangan instan dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat sebagai pangan tinggi kalori.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : (1) Tahap persiapan, yang meliputi pencucian, pengayakan, dan penyangraian pati sagu, pembuatan tepung kedelai, dan analisis proksimat bahan baku; (2) Formulasi dan pembuatan produk; (3) Uji organoleptik; (4) Analisis sifat fisik, kimia, dan daya cerna; dan (4) Penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi berdasarkan kandungan gizi produk hasil analisis kimia dan daya cerna.

Formulasi sagu instan dibuat dengan menggunakan pati sagu sebagai bahan baku utama, dengan bahan-bahan penyusun lain yaitu : tepung kedelai, skim, gula, dan minyak nabati. Penentuan formula didasarkan pada jumlah kandungan kalori yang harus memenuhi minimal 300 kkal per 100 gram bahan sebagai syarat makanan tinggi kalori. Formula dibuat dengan menggunakan perbandingan komposisi pati sagu dan tepung kedelai.. Pada penelitian ini formulasi dilakukan dalam dua tahap. Formulasi tahap pertama merupakan formulasi awal yang bertujuan membuat formula makanan tinggi kalori yang diharapkan bisa diterima oleh konsumen. Pada tahap ini dibuat lima formula sagu instan dengan komposisi pati sagu : tepung kedelai yaitu, 60 : 0, 55 : 5, 50 : 10, 45 : 15, dan 40 : 20, sisanya merupakan bahan penyusun lain. Setelah formulasi, selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Formulasi tahap kedua merupakan tindak lanjut dari hasil uji organoleptik pertama. Pada formulasi tahap kedua dilakukan sedikit perubahan komposisi bahan penyusun yang dilakukan terhadap ketiga formula terpilih hasi uji organoleptik pertama. Perubahan komposisi dilakukan


(3)

dengan tujuan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk. Komposisi pati sagu : tepung kedelai pada ketiga formula sagu instan tahap kedua adalah 50 :5, 45 : 10, dan 40 : 15, sisanya adalah bahan penyususn lain.

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap produk (uji hedonik) serta untuk menentukan formula terbaik (uji rangking hedonik). Parameter mutu sensori yang diuji pada uji organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan tingkat kesukaan netral/biasa hingga suka, sedangkan hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan menunjukkan tingkat kesukaan netral/biasa hingga agak suka. Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa produk cukup diterima oleh konsumen. Hasil uji organoleptik dengan rangking hedonik menunjukkan bahwa formula dengan komposisi 45% pati sagu, 10% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati merupakan formula terbaik.

Analisis proksimat dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua yang merupakan formula terpilih hasil uji organoleptik. Hasil analisis menunjukkan bahwa formula sagu instan mempunyai kadar air berkisar antara 2.76 – 3.36% (bb), kadar abu 2.96 – 3.11% (bk), protein 8.07 – 12.38% (bk), lemak 5.60 – 7.84% (bk), karbohidrat 76.68 – 83.37% (bk), dan serat makanan 5.54 – 9.48% (bk). Dari data tersebut diperoleh nilai kalori produk sebesar 389 – 395 kkal per 100 g bahan (% bk). Nilai kalori tersebut memenuhi standar pangan berkalori menurut BPOM (2004), yaitu minimal harus mempunyai 300 kkal per 100 g bahan.

Analisis daya serap air dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan produk dalam menyerap air, sehingga dapat berguna dalam proses rekonstitusi produk. Hasil pengukuran daya serap air formula sagu instan menunjukkan nilai 3.72 – 4.15 g/g. Dari data terlihat adanya penurunan daya serap air dengan peningkatan penambahan tepung kedelai dalam produk. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan kandungan protein dan lemak dapat menyebabkan penghambatab laju penyerapan air pada produk. Selain daya serap air, dilakukan juga penentuan rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rasio rehidrasi optimum antara bahan dan air adalah 1 : 4 dengan waktu optimum 2.9 – 3.6 menit.

Penentuan daya cerna protein dilakukan dengan metode in vitro menggunakan teknik multi enzim. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya cerna protein formula sagu instan berkisar antara 81.07 – 82.16%. Formula dengan komposisi 40% pati sagu, 15% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati memiliki nilai daya cerna protein paling tinggi yaitu 82.16%. Hal ini terjadi karena formula tersebut mempunyai kandungan protein paling tinggi.

Penentuan daya cerna pati dilakukan secara enzimatis menggunakan enzim α-amilase. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya cerna pati formula sagu instan berkisar antara 31.42 – 56.44%. Formula dengan komposisi 50% pati sagu, 5% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati memiliki nilai daya cerna pati paling tinggi yaitu 56.44%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai daya cerna pati ketiga formula tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah pati dan serat yang terkandung dalam produk. Dari data terlihat adanya penurunan daya cerna pati sesuai dengan penurunan komposisi pati sagu dan peningkatan kadar serat makanan.


(4)

Penentuan takaran saji dan Angka Kecukupan Gizi dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua. Penentuan takaran saji didasarkan pada kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per hari. Pada penelitian ini jumlah takaran saji yang dianjurkan adalah 37 g. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang akan dipenuhi meliputi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat. Sebelum dilakukan perhitungan AKG terlebih dahulu dilakukan perhitungan kandungan gizi per takaran saji. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa AKG kalori formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 7.20 – 7.30 %, AKG protein berkisar antara 5.98 – 8.33 %, AKG karbohidrat berkisar antara 8.73 – 9.49 %., AKG lemak formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 3.76 – 5.27 %. AKG protein dan karbohidrat dapat memenuhi minimal 20% dari AKG yang dianjurkan sebagai syarat klaim tinggi apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari.

Kandungan kalori formula sagu instan per takaran saji (37 g) berkisar antara 144 – 146 kkal. Apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari maka dapat memenuhi kalori sebesar 432 – 438 kkal per hari. Nilai ini memenuhi persyaratan klaim sebagai pangan berkalori menurut BPOM (2004) yaitu minimal dapat memberikan kalori sebesar 300 kkal per hari.


(5)

FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: ANWAR SANUSI

F24101067

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: ANWAR SANUSI

F24101067

Dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1983 Di Garut

Tanggal lulus: Maret 2006

Menyetujui, Bogor, Maret 2006

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing

Mengetahui


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 15 Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, yang lahir dari pasangan Bapak Uyoh Saefuloh dan Ibu Kokoy Rukoyah.

Pendidikan penulis dimulai di SDN Sindangreret Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur pada tahun 1989. Pada tahun 1994 penulis pindah sekolah ke SDN Cirapuhan I Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut sampai tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Selaawi Kabupaten Garut kemudian pindah sekolah ke SLTPN 2 Sukaluyu sampai tahun 1998. Selanjutnya penulis memasuki jenjang pendidikan menengah di SMUN 1 Ciranjang Kabupaten Cianjur sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di beberapa organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA). Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan dari beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh Departemen Teknologi Pangan dan Gizi maupun Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 2004, penulis melakukan Praktek Lapangan (PL) di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung dengan tema: “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Mie Instan di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung”.

Penulis menyelesaikan tugas akhir penelitian sebagai salah satu syarat memperoleh gelah sarjana dengan skripsi berjudul “Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori” dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul “Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Padat Kalori” ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor.

Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, adikku tersayang Sulton Arif, serta seluruh keluargaku atas do’a dan dukungannya.

2. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. sebagai dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

3. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi. atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukan-masukannya untuk perbaikan skripsi.

4. Irma Pratiwi atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, perhatian, dan dorongan moralnya kepada penulis sehingga menjadi kekuatan bagi penulis untuk tetap semangat dalam melakukan penelitian. Kau terlahir hanya untukku.

5. Teman-temanku Jalu, Este, Intan, dan Nandang. Jangan lupakan saat-saat terindah sewaktu kita bersama.

6. Teman-temanku di kelompok C1 (Fajri, Kidik, dan Pahrudin) atas kebersamaan dan kekompakannya selama praktikum.

7. Teman-teman satu bimbingan (Daniel, Martantri, dan Pahrudin) yang selalu memberi masukan berarti kepada penulis

8. Teman-temanku Bro, Udin, Manong, Rahmat, Bangun, dan Pitoy. Kapan tanding lagi

9. Teman-teman TPG 38, 39, dan 40 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 10.Keluarga besar Tiger Camp terutama Pa’de (Fatkurrahman), terima kasih


(9)

11.Semua teknisi dan laboran. Pak wahid, Pak Gatot, Pak sobirin, Pak Koko, Pak Sidik, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Nur, Pak Iyas, Teh Ida, Bu Rubiyah.Terima kasih atas bantuannya.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi.

Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Maret 2006

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU ... 3

1. Botani Tanaman Sagu ... 3

2. Pati Sagu ... 4

3. Pemanfaatan Sagu ... 8

B. KEDELAI ... 9

1. Komposisi Kimia Kedelai ... 10

2. Tepung Kedelai ... 10

3. Protein Kedelai ... 12

4. Lesitin Kedelai ... 13

C. MAKANAN TINGGI KALORI ... 14

D. PANGAN INSTAN ... 15

E. PENGERINGAN ... 16

1. Teori Pengeringan ... 16

2. Alat Pengering Drum ... 17

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT ... 19

B. METODE PENELITIAN ... 19

1. Tahap Persiapan ... 20

2. Formulasi dan Pembuatan Produk ... 22


(11)

Halaman

C. PENGAMATAN ... 24

1. Kadar Air ... 24

2. Kadar Abu ... 25

3. Kadar Protein ... 25

4. Kadar Lemak ... 26

5. Kadar Karbohidrat ... 26

6. Kadar Serat Makanan ... 27

7. Penentuan Kalori Makanan ... 28

8. Daya serap air ... 28

9. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi ... 29

10. Daya Cerna Protein ... 29

11. Daya Cerna Pati ... 30

12. Uji Organoleptik ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TAHAP PERSIAPAN ... 32

1. Pencucian dan Pengayakan Pati ... 32

2. Penyangraian Pati ... 32

3. Pembuatan Tepung Kedelai ... 33

B. FORMULASI DAN PEMBUATAN PRODUK ... 34

1. Penyusunan Formula ... 34

2. Pembuatan Produk Sagu Instan ... 36

C. UJI ORGANOLEPTIK ... 39

1. Nilai Warna ... 40

2. Nilai Aroma ... 41

3. Nilai Tekstur ... 42

4. Nilai Rasa ... 43

5. Nilai Kerenyahan ... 45

6. Penerimaan umum ... 46

D. MUTU KIMIA SAGU INSTAN ... 47

1. Kadar Air ... 48


(12)

Halaman

3. Kadar Protein ... 50

4. Kadar Lemak ... 51

5. Kadar Karbohidrat ... 52

6. Kadar Serat Makanan (Dietary Fiber) ... 52

7. Kandungan Kalori ... 54

E. MUTU FISIK SAGU INSTAN ... 55

1. Daya Serap Air ... 55

2. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi ... 56

F. DAYA CERNA SAGU INSTAN ... 57

1. Daya Cerna Protein ... 57

2. Daya Cerna Pati ... 59

3. Penentuan Kalori Berdasarkan Daya Cerna ... 61

G. PENENTUAN TAKARAN SAJI DAN ANGKA KECUKUPAN GIZI ... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 69

B. SARAN ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain ... 5

Tabel 2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan ... 6

Tabel 3. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3792-1995 ... 6

Tabel 4. Komposisi kimia kedelai per 100 g bahan ... 11

Tabel 5. Formula sagu instan (dalam 100 g bahan) ... 23

Tabel 6. Komposisi kimia bahan penyusun sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk) ... 35

Tabel 7. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap pertama per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis ... 35

Tabel 8. Formula sagu instan tahap kedua (dalam 100 g bahan) ... 39

Tabel 9. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap kedua per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis ... 39

Tabel 10. Komposisi kimia formula sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk) ... 48

Tabel 11. Kandungan gizi formula sagu instan berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ... 62

Tabel 12. Kandungan gizi formula flakes triple mixed ubi jalar-kecambah kedelai-wheat germ berdasarkan daya cerna protein per 100 g bahan (% bk) ... 62

Tabel 13. Kandungan gizi formula pangan semi basah (PSB) dan kue satu dari buah sukun berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ... 63

Tabel 14. Kandungan gizi formula bubur bayi dari tepung kecambah kacang tunggak berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ... 63

Tabel 15. Kandungan gizi brownies buah kering dan plain cake buah kering berdasarkan daya cerna protein per 100 g bahan (% bk) ... 64

Tabel 16. Angka Kecukupan Gizi untuk acuan pelabelan pangan umum .... 65

Tabel 17. Informasi nilai gizi (nutrition fact) dan Angka Kecukupan Gizi formula sagu instan per takaran saji (37 g) ... 65


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan alir pencucian dan pengayakan pati sagu ... 20

Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati sangrai ... 21

Gambar 3. Bagan alir pembuatan tepung kedelai metode Illinois ... 22

Gambar 4. Bagan alir proses pembuatan formula sagu instan ... 24

Gambar 5. Formula sagu instan ... 38

Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan warna formula sagu instan... 40

Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan aroma formula sagu instan ... 42

Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur formula sagu instan ... 43

Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan rasa formula sagu instan ... 44

Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan formula sagu instan ... 45

Gambar 11. Histogram uji hedonik rangking formula sagu instan ... 46

Gambar 12. Daya serap air formula sagu instan ... 55

Gambar 13. Histogram pengaruh formulasi terhadap daya cerna protein formula sagu instan ... 58

Gambar 14. Histogram pengaruh formulasi terhadap daya cerna pati formula sagu instan ... 60


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data hasil analisis proksimat bahan baku sagu instan ... 78

Lampiran 2. Data hasil analisis proksimat formula sagu instan ... 80

Lampiran 3. Formulir uji hedonik dan rangking hedonik ... 82

Lampiran 4. Rekapitulasi data uji hedonik pertama ... 84

Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik kedua ... 87

Lampiran 6. Rekapitulasi data uji rangking hedonik. ... 89

Lampiran 7. Analisis ragam uji hedonik warna formula pertama ... 90

Lampiran 8. Analisis ragam uji hedonik aroma formula pertama ... 90

Lampiran 9. Analisis ragam uji hedonik tekstur formula pertama ... 91

Lampiran 10. Analisis ragam uji hedonik rasa formula pertama ... 92

Lampiran 11. Analisis ragam uji hedonik kerenyahan formula pertama ... 92

Lampiran 12. Analisis ragam uji hedonik warna formula kedua ... 93

Lampiran 13. Analisis ragam uji hedonik aroma formula kedua ... 94

Lampiran 14. Analisis ragam uji hedonik tekstur formula kedua ... 94

Lampiran 15. Analisis ragam uji hedonik rasa formula kedua ... 95

Lampiran 16. Analisis ragam uji hedonik kerenyahan formula kedua ... 96

Lampiran 17. Analisis ragam uji rangking hedonik formula kedua... 96

Lampiran 18. Rekapitulasi data daya cerna protein sagu instan ... 97

Lampiran 19. Rekapitulasi data daya cerna pati sagu instan ... 98

Lampiran 20. Rekapitulasi data daya serap air formula sagu instan ... 100

Lampiran 21. Rekapitulasi data rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi formula sagu instan ... 100


(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat seringkali menimbulkan permasalahan dalam hal ketahanan pangan. Hal ini terjadi bila pertambahan penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan yang mencukupi. Pola konsumsi yang hanya bertumpu pada satu jenis bahan pangan pokok menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah tersebut. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah ketersediaan pangan adalah upaya diversifikasi pangan. Upaya diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman bahan pangan agar tidak terjadi ketergantungan terhadap salah satu jenis bahan pangan. Penyedianan bahan pangan alternatif merupakan aspek penting dalam upaya diversifikasi pangan.

Sagu adalah salah satu bahan pangan lokal Indonesia yang mempunyai potensi cukup tinggi untuk dijadikan bahan pangan alternatif makanan tinggi kalori selain beras atau gandum. Sagu tersebar luas terutama di bagian timur Indonesia seperti Maluku dan Irian Jaya.. Sagu memiliki jumlah kalori yang cukup tinggi, sehingga sebagian masyarakat Indonesia menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Kandungan kalori sagu adalah sebesar 353 kkal per 100 g bahan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1990). Angka ini tidak jauh berbeda dengan jumlah kalori beras yaitu 364 kkal per 100 g bahan yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.

Sebagai makanan dengan jumlah kalori tinggi, sagu berpotensi untuk dijadikan makanan tinggi kalori seperti makanan darurat atau makanan pendamping ASI. Makanan tinggi kalori adalah makanan yang mengandung kalori diatas normal untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dan meningkatkan berat badan. Penambahan kalori dapat berkisar antara 30% sampai 100% diatas kebutuhan pada umumnya (Lagua dan Cloudio, 1996).

Pemanfaatan sagu dewasa ini sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat Indonesia lebih memilih beras sebagai makanan pokok. Selain sebagai makanan pokok, sagu juga diolah menjadi berbagai produk pangan olahan seperti produk-produk kue basah, kue kering, sirup fruktosa/glukosa,


(17)

produk ekstrusi dan bubur sagu. Salah satu upaya pemanfaatan potensi sagu adalah dengan membuat produk pangan instan berbasis sagu. Pangan instan adalah produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan produk pangan yang sering dihadapi misalnya penyimpanan, transportasi, dan tempat (Hartomo dan Widiatmoko, 1992). Produk pangan berbahan dasar sagu yang bisa dibuat menjadi pangan instan adalah sagu instan. Pengembangan produk sagu instan akan memberikan nilai tambah dalam hal kemudahan dan kepraktisan penyajian disamping bisa digunakan sebagai makanan darurat karena kandungan kalorinya yang cukup tinggi.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula sagu instan yang memiliki kandungan kalori yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Formula dibuat dengan menambahkan beberapa bahan lain sehingga diperoleh bentuk pangan instan dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat sebagai pangan tinggi kalori.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SAGU

1. Botani Tanaman Sagu

Tanaman sagu merupakan salah satu tanaman yang pertama kali digunakan oleh penduduk asia tenggara dan oseania sebagai bahan pangan. Tanaman ini tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia seperti Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan Barat, Riau dan sebagian kecil Jawa. Diperkirakan sekitar 2 juta hektar lahan sagu yang tumbuh secara alami dan dapat menghasilkan sekitar 2.5 – 5 ton tepung sagu kering dari setiap hektarnya (Flach, 1983).

Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari divisio Spermatophyta, klas Angiospermae, Subklas Monocotyledae, Ordo Spadiciflorae, Famili Palmae, Subfamili Lepidocaryoideae dan Genus Metroxylon. Nama genus Metroxylon berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “metra” yang berarti isi batang (empulur) dan “xylon” yang berarti xylem (Flach, 1983).

Habitat sagu umumnya adalah daerah rawa air tawar, di sekitar sumber air, dan di sekitar aliran sungai dataran rendah yang lembab. Daerah berlumpur basah dan bereaksi agak asam adalah lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman sagu (Flach, 1983). Menurut Cecil et al. (1982), potensi pengembangan sagu cukup besar mengingat sagu dapat tumbuh di tempat dimana tanaman lainnya tidak dapat tumbuh, tidak memerlukan pupuk dan sedikit sekali memerlukan perawatan.

Pohon sagu merupakan tumbuhan yang berkembang biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Pohon ini termasuk jenis pohon yang berbunga sekali dan berdaun banyak dengan ketinggian bisa mencapai lebih dari 10 meter dan berdiameter 40 cm (Sumadiwangsa, 1995). Menurut McClatchey et. al. (2004), pohon sagu dapat tumbuh dengan cepat, dalam setahun tingginya bertambah lebih dari 1,5 meter pada kondisi yang optimal.

Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu karena merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat


(19)

menghasilkan pati sagu. Ukuran batang sagu serta kandungan pati yang terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15 - 20% (Rumalatu, 1981 yang dikutip oleh Haryanto dan Pangloli, 1992).

2. Pati Sagu

a. Produksi Pati Sagu

Pati merupakan komponen kimia terbesar yang terdapat pada batang sagu. Pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang (empulur) tanaman sagu. Menurut Flach (1983), empulur batang sagu mengandung 20.2 – 29% pati, 50 – 66% air dan 13.8 – 21.3% bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 – 60% pati dan 40 – 46% ampas. Untuk membebaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dibutuhkan perombakan dinding sel dengan pemarutan atau penggilingan dengan menggunakan air sebagai pelarut.

Kandungan pati dalam batang mencapai maksimal pada saat sebelum pembungaan. Pada fase pembungaan atau pembuahan, kandungan pati akan cepat menurun, penurunan tersebut terjadi dikarenakan pati yang terdapat pada batang sagu akan diubah menjadi gula (Haska, 1982 dikutip oleh Muwarni, 1989). Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu mati. Keadaan tersebut dapat mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal.

b. Karakteristik dan Komposisi Kimia Pati Sagu

Menurut Flach (1983) pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Wirakartakusumah et al. (1984) mengemukakan bahwa pati sagu mengandung 27.4% amilosa dan 72.6% amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan


(20)

dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis).

Cecil et al. (1982) menyatakan bahwa granula pati sagu berbentuk oval dengan ukuran yang cukup besar yaitu 20 – 60 mikron. Pati sagu juga mempunyai suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69 oC. Sedangkan menurut Knight (1989), pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20 – 60 mikron dan suhu gelatinisasinya berkisar antara 60 – 72 oC. Karakteristik pati sagu dibandingkan dengan beberapa jenis pati lain dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain

Jenis pati Bentuk granula

Ukuran granula (μm)

Kandungan Kisaran suhu gelatinisasi

(0C) Amilosa Amilopektin

Sagu Ellips 20-60 27 73 60-72

Beras Poligonal 3-8 17 89 61-78 Jagung Poligonal 5-25 26 74 62-74 Kentang Bulat 15-100 24 76 56-69

Tapioka Oval 5-35 17 83 52-64

Gandum Ellips 2-35 25 75 52-64 Ubi jalar Poligonal 16-25 18 82 58-74 Sumber : Knight (1989)

Sebagaimana bahan pangan lain, pati sagu mempuyai kandungan kimia yang tidak jauh berbeda yaitu terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Komposisi kimia pati sagi selengkapnya dapt dilihat pada Tabel 2.


(21)

Tabel 2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan

Komponen Jumlah

Kalori (kkal) 353

Protein (g) 0.7

Lemak (g) 0.2

Karbohidrat (g) 84.7

Air (g) 14.0

Fosfor (mg) 13

Kalsium (mg) 11

Besi (mg) 1.5

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)

Mutu pati sagu sangat ditentukan oleh banyak faktor seperti ukuran, bentuk, warna, aroma, rasa, serta faktor lainnya. Penentuan standar mutu pati sagu diperlukan agar dalam penggunaannya sebagai bahan makanan dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan Standarisasi Nasional telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu pati sagu seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3792-1995

Karakteristik Kriteria Kadar air % (b/b)

Kadar abu % (b/b) Kadar serat kasar % (b/b)

Derajat asam (ml NaOH 1 N/100 g) Kadar SO2 (mg/kg)

Jenis pati lain selain pati sagu

Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % (b/b) Total Plate Count (koloni/g)

Maksimum 13 Maksimum 0.5 Maksimum 0.1 Maksimum 4 Maksimum 30 Tidak boleh ada

Minimum 95 Maksimum 106 Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)

c. Fenomena Gelatinisasi Pati

Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengalami pengembangan volume jika suspensi air-pati dipanaskan. Pada mulanya


(22)

pengembangan granula pati bersifat reversible tetapi jika pemanasan telah mencapai suhu tertentu penembangan granula pati menjadi irreversible dan terjadi perubahan struktur granula. Proses ini disebut gelatinisasi dan suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi (Winarno, 1984).

Wirakartakusumah (1981) menyatakan bahwa gelatinisasi sangat tergantung kepada jumlah air dan panas. Penetrasi air dan panas secara bersamaan ke dalam granula pati menyebabkan pengembangan volume dari granula. Pengembangan volume granula ini dimulai dari bagian amorphus. Energi yang cukup akan memutuskan ikatan hidrogen intermolekul pada bagian ini menyebabkan granula mengembang tetapi belum cukup untuk merusak susunan kristal pada bagian lain dari granula. Menurut Grenwood (1970), pada kisaran suhu gelatinisasi, granula pati akan kehilangan pola birefringence dan komponen pati akan berdifusi ke dalam air .

Badenhuizen (1955) menyatakan jika pemanasan terus berlangsung maka pengembangan granula selanjutnya akan menyebabkan hilangnya orientasi radial dari misella di dalam granula dan menyebabkan hilangnya pola birefringence dari granula. Selanjutnya pemanasan akan lebih meregangkan misella, sehingga air akan lebih banyak terperangkap dalam granula mengakibatkan granula makin membesar sampai pada suatu keadaan dimana pati kehilangan struktur kristalnya sama sekali. Pemanasan campuran granula pati dan air hingga diatas suhu kritis akan melemahkan ikatan hidrogen struktur pati pada granulanya sehingga melemahkan integritas strukturnya, dan air menjadi masuk sehingga terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin (Wuzburg, 1989).

Kulp (1975) menyatakan bahwa selama proses gelatinisasi, suspensi pati berubah menjadi pasta yang semakin kental dengan semakin meningkatnya suhu. Granula pati dalam keadaan utuh tahan terhadap reaksi dengan bahan kimia dan enzim, serta hanya sedikit mengandug air. Tetapi setelah mengembang, granula menjadi rentan terhadap bahan kimia, tenaga mekanis dan kerja enzim, serta mampu menyerap air lebih


(23)

banyak dari beratnya sendiri. Perubahan ini terjadi pada selang suhu yang sangat kecil yang disebut selang suhu gelatinisasi.

Proses pemasakan pada bahan yang mengandung pati menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati. Pati yang mengalami pemasakan merupakan salah satu bentuk dari pati termodifikasi. Dengan pemasakan didapatkan produk yang memiliki sifat lebih mudah menyerap dan mengembang dalam air dingin (Vieira, 1997).

3. Pemanfaatan Sagu

Sagu telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok dan penyerta ataupun nyamikan dengan beragam kue di kepulauan Maluku sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai bahan pangan, sagu mempunyai keunggulan komparatif terhadap bahan pangan lain, antara lain yaitu dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim serta resiko terkena penyakit tanaman kecil (Djoefrie, 1999).

Beberapa penelitian tentang diversifikasi pangan sagu oleh beberapa instansi telah dilakukan, hasilnya mempunyai prospek untuk dikembangkan lebih lanjut. Pembuatan empek-empek, bakso, mie, so’un dan makanan kecil seperti kue kukus, kue bolu, kue lapis, onde-onde, dodol dan cendol dari sagu telah dapat diterima masyarakat (Djoefrie, 1999).

Hasil penelitian Sidik (1990), menunjukkan bahwa peningkatan jumlah tepung sagu yang ditambahkan pada selang 5-15% dapat menurunkan kadar air, kadar urea serta kadar protein bakso ikan cucut sebelum digoreng. Namun demikian, daya cerna protein dan derajat reaksi pencoklatan enzimatis dari bakso goreng tidak dipengaruhi oleh peningkatan jumlah tepung sagu yang digunakan.

Pembuatan roti tawar dan mie basah dengan mensubstitusi terigu dengan sagu sebesar 10-50% dan 0-40% dilakukan oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Hasilnya substitusi pati sagu sampai 30% masih disukai panelis uji organoleptik (Pangloli dan Royaningsih, 1992 dikutip oleh Djoefrie, 1999). Pangloli dan Royaningsih sebelumnya telah mencoba mensubstitusi terigu dengan sagu untuk pembuatan biskuit dan cracker. Substitusi sampai 30% untuk pembuatan biskuit dan 20% untuk


(24)

pembuatan cracker ternyata masih disukai panelis terutama mengenai warna, rasa, dan kerenyahannya. Sebelumnya Clark et al. (1977) dikutip oleh Djoefrie (1999) menyatakan bahwa substitusi tepung gandum dengan tepung terigu sebanyak 10% tidak mempengaruhi mutu roti terutama tekstur dan rasanya.

Hasil penelitian Tasman (1981), menunjukkan bahwa penggunaan tepung sagu dan tepung kedelai pada pembuatan biskuit berpengaruh terhadap aroma, warna dan kerenyahan biskuit. Semakin banyak penggunaan tepung sagu dan tepung kedelai, aroma dan warna biskuit semakin kurang disukai, sedangkan tekstur biskuit menjadi semakin renyah. Penggunaan tepung sagu dan tepung kedelai dengan perbandingan 7 : 3 menghasilkan biskuit dengan rasa, aroma dan warna yang dapat diterima, serta mempunyai kerenyahan yang lebih baik dari pada biskuit dengan bahan terigu dan susu. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa makin banyak tepung sagu dan tepung kedelai yang ditambahkan menyebabkan kadar air rendah dan penyerapan air tinggi, namun tidak berpengaruh terhadap kadar lemak dan kadar gula biskuit.

Ngadiwijaya dan Amos (1996) dikutip oleh Djoefrie (1999), menyatakan bahwa pemanfaatan pati sagu untuk industri pangan telah dilakukan untuk pembuatan glukosa, alkohol, dekstrin, sirup, kerupuk, makanan ringan dan makanan bayi. Hasil penelitian Santosa (1989) tentang formulasi makanan sapihan menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan pati sagu, maka semakin besar pula kekambaan produk yang dihasilkan (pada berat bahan yang sama volume produk lebih besar), viskositas semakin tinggi, daya serap air juga semakin semakin tingi. Berdasarkan penelitian Harun (1988), formula 75% pati sagu, 20% kedelai, dan 5% jagung memiliki kerenyahan produk ekstrusi dan nilai gizi yang baik, sedangkan aroma, rasa dan warna dapat diperbaiki dengan cara menambahkan zat flavor dan pewarna.

B. KEDELAI

Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai arti penting dalam penyediaan sumber protein nabati murah. Di Indonesia, kedelai telah digunakan secara luas untuk pembuatan makanan seperti tahu, tempe, dan


(25)

kecap. Disamping itu kedelai juga dapat digunakan sebagai bahan penolong dalam pembuatan roti, kue, donat, dan juga sebagai campuran dalam pembuatan makanan bayi (Hubeis, 1984).

Koswara (1992) menyatakan bahwa produk olahan kedelai dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu makanan terfermentasi dan makanan nonfermentasi. Makanan terfermentasi dapat berupa hasil pengolahan tradisional yang terdapat dan berpotensi di pasaran dalam negeri adalah tempe, kecap dan tauco, sedangkan produk nonfermentasi diperoleh dari hasil industri tradisional yaitu tahu dan kembang tahu.

1. Komposisi Kimia Kedelai

Menurut Wolf dan Cowan (1975), bagian utama dari kacang kedelai terdiri dari kulit (8%) dan kotiledon (90%), selain itu terdapat struktur minor yaitu hipokotil dan plumul dengan persentase keduanya 2%. Kedelai bervariasi dalam ukuran, warna, bentuk dan komposisi kimianya. Komposisi kimia kedelai juga bervariasi menurut varietas, keadaan tumbuh, umur pada saat dipanen dan budidaya penanamannya. Komponen utama yang paling penting dari kedelai adalah protein (35%) dan lemak (18%).

Kedelai mengandung sekitar 18 – 20% lemak dan 85% dari jumlah tersebut terdiri dari asam lemak tak jenuh yang bebas kolesterol. Selain itu, di dalam lemak kedelai terdapat beberapa fosfolipida penting yaitu lesitin, sepalin, dan lipositol. Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 35% dan hanya 12 – 14% saja yang dapat digunakan tubuh secara biologis. Secara umum kedelai merupakan sumber vitamin B yang terdiri dari vitamin B1, B2, niasin, piridoksin dan lainnya. Kedelai banyak mengandung kalsium dan fosfor, sedangkan zat besi terdapat dalam jumlah relatif sedikit. Mineral lain terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (kurang dari 9%) yaitu Boron. Magnesium, Berilium dan Seng (Koswara, 1992). Komposisi kimia kedelai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

2. Tepung Kedelai

Tepung kedelai adalah suatu produk yang digiling halus dan berasal dari biji kedelai atau dari deffated flakes yang mengandung 97 % tepung yang dapat melalui ayakan dari US Standard Screen nomor 100 (Smith dan Circle,


(26)

1978). Secara umum, tepung kedelai dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berdasarkan pada kandungan lemaknya, yaitu : tepung kedelai dengan lemak penuh (full fat), tepung kedelai kadar lemak rendah (low fat), dan tepung kedelai tanpa lemak (deffated flour).

Tabel 4. Komposisi kimia kedelai per 100 g bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (kkal) 331.0

Protein (gram) 34.9

Lemak (gram) 18.1

Karbohidrat (gram) 34.8

Kalsium (mg) 227.0

Fosfor (mg) 585.0

Besi (mg) 8.0

Vitamin A (SI) 110.0

Vitamin B1 (mg) 1.07

Air (gram) 7.5

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990).

Tepung kedelai kadar lemak penuh dihasilkan dari biji kedelai utuh, sedangkan tepung kedelai dengan kadar lemak rendah dapt dihasilkan dari proses penepungan soy bean meal (bungkil kedelai) yang dihasilkan dari pengepresan biji kedelai (setelah diambil minyaknya). Bungkil kedelai yang dihasilkan kemudian diberi perlakuan panas, dikeringkan, digiling dan diayak seperti pada pembuatan kadar lemak penuh (Hariyadi, 1997).

Tepung kedelai lemak penuh dibuat dari kedelai tanpa kulit dan mengandung 40% protein. Albrecth et al. (1967) telah mengembangkan suatu cara pembuatan tepung kedelai lemak penuh yang murah dan dapat dilakukan di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Albrecth et al. (1967), ada tiga cara pemasakan kedelai yang mudah yaitu dengan cara penyangraian, pengukusan dan perebusan. Pembuatan tepung kedelai lemak penuh meliputi perendaman, perebusan, pengeringan, pemecahan, pelepasan kulit, penggilingan, dan pengayakan.


(27)

Perendaman dilakukan selama satu malam (± 16 jam) menyebabkan kedelai mengembang hingga mencapai 2 kali lipat dari volume asalnya dan bobotnya 2,5 kali bobot semula (Albrecth et al. 1967). Perendaman bertujuan meningkatkan kadar air awal agar konduktivitas panas biji kedelai makin baik. Sedangkan menurut Mustakas et al. (1967), perendaman bertujuan untuk mencapai pemasakan maksimum yang merata serta untuk melarutkan enzim lipoksigenase. Tetapi menurut Tangenjaya (1976), perendaman yang terlalu lama yaitu melebihi 8 jam akan menyebabkan banyak bahan padat yang terlarut di dalam air perendaman. Perendaman selama 24 jam dan 72 jam akan menurunkan kadar protein menjadi 38.4 dan 34.8%, serta menurunkan kadar lemak dari 23.5% menjadi 18.85% (Sutantyo, 1976)

Albrecth et al. (1967) melakukan proses pengeringan tidak menggunakan panas, melainkan menggunakan kipas angin untuk menggerakkan udara di sekitar kedelai, pengeringan dapat dicapai selama kurang lebih 18 jam. Penjemuran merupakan cara yang paling praktis dan paling mudah untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Akan tetapi jika penjemuran berjalan lambat akan menyebabkan tumbuhnya jamur pada kedelai dan akan timbul lendir dan bau (Tangenjaya, 1976).

3. Protein Kedelai

Protein merupakan komponen terbesar dan utama pada kedelai. Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein cadangan, sisanya terdiri atas enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, urease, amilase), hemaglutinin, inhibitor protein, dan lipoprotein membran (Kinsella, 1979). Menurut Muchtadi (1989) protein kedelai kaya akan asam amino lisin tetap kekurangan asam amino sulfur terutama metionin.

Selain merupakan komponen terbesar, protein juga berperan dalam memberikan sifat-sifat fungsional yang khas pada berbagai produk pangan. Sifat-sifat fungsional protein kedelai meliputi kemampuan protein mengikat air dan menahan air, serta mengemulsi dan mengendalikan. Sifat-sifat ini yang dapat menguntungkan dalam sistem pangan antara lain dalam pembuatan roti (Wolf dan Cowan, 1975).


(28)

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air. Fungsi protein kedelai adalah menstabilkan emulsi bila emulsi ini telah terbentuk. Hal tersebut disebabkan karena protein kedelai mempunyai sifat mengadsorpsi air. Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), sifat mengadsorpsi air disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik sehingga cenderung menyerap air dan menahan dalam suatu sistem pangan.

4. Lesitin Kedelai

Lesitin merupakan senyawa kimia yang mempunyai struktur seperti lemak yang mengandung gliserol, asam lemak, asam fosfat, dan kolin. Lesitin tersebar luas di dalam sel tubuh. Selain itu, senyawa kimia ini juga dikenal sebagai emulsifier yang berikatan antara air dan lemak. Lestin merupakan zat padat elastis hingga cairan berwarna kuning muda hingga coklat, tidak berbau atau berbau khas mirip pala, dan rasanya lemah. Lesitin banyak terdapat pada biji-bijian dan digunakan untuk jenis emulsi o/w (Hartomo dan Widiatmoko, 1992).

Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), lesitin merupakan emulsifier alami yang berasal dari kedelai. Lesitin kedelai mempunyai beberapa kelebihan, yaitu dapat mengikat permukaan dari asam lemak non polar sehingga daya emulsifiernya tinggi, larut dalam asam lemak, memiliki gugus polar dan non polar. Ujung bergugus polar bersifat suka air dan cenderung larut dalam air, sedangkan ujung yang bergugus non polar bersifat suka lemak dan cenderung larut dalam lemak atau minyak. Adapun kelemahan lesitin adalah praktis tidak larut dalam minyak. Lesitin sebagai emulsifier dapat diaplikasikan untuk pembuatan margarin, es krim, coklat, susu, roti, dan lain-lain.

Lesitin pada kedelai berfungsi sebagai zat penginstan yang bekerja pada permukaan padatan dan cairan, sebagai pengontrol interaksi hidrofilik-hidrofobiknya. Adanya lesitin sebagai pengemulsi berfungsi untuk memoptimumkan dispersi lemak pada fase cair. Lesitin dapat mengurangi gesekan internal molekul lemak dan karbohidrat sehingga mencegah terjadinya struktur gumpalam padat (Hartomo dan Widiatmoko, 1992).


(29)

Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1993), lesitin diperoleh dari kedelai dengan cara diekstrak, dihilangkan minyaknya, difraksionasi, dan dimodifikasi sesuai keperluan. Proses pengolahan kedelai menjadi lesitin mencakup tiga tahap utama, yaitu : 1) menginaktivasi rasa pahit/getir dan enzimnya, membunuh bakteri, mengurangi kadar air, dan memberi rasa khas kacang-kacang; 2) meningkatkan nilai gizi dan memperbesar daya cerna protein; 3) mengaktivasi kompleks lesitin, meningkatkan sifat antioksidan, memperbesar sifat mengikat serta emulsinya dengan konsistensi baik.

C. MAKANAN TINGGI KALORI

Menurut Lagua dan Cloudio (1996), makanan tinggi kalori adalah makanan yang mengandung kalori diatas normal untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dan meningkatkan berat badan. Penambahan kalori dapat berkisar antara 30% sampai 100% diatas kebutuhan pada umumnya.

Menurut NLEA (Nutrition Labelling Education And Act) dikutip oleh Wijaya (1997), persyaratan klaim tinggi (high) pada label produk pangan adalah lebih besar atau sama dengan 20% angka kecukupan gizi, Sedangkan menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), klaim pangan tinggi kalori (pangan berkalori) digunakan apabila pangan tersebut dapat memberikan minimum 300 kkal per hari.

Menurut Eriyatno dan Tim Fateta (1998) dalam Shalehin (1999), pangan darurat merupakan jenis produk pangan tinggi kalori, diproduksi secara masal dengan biaya murah dan mudah dalam pendistribusiannya. Produk pangan darurat didesain sedemikian rupa sebagai sumber makanan pada situasi darurat tertentu seperti bencana alam, badai topan, dan gempa bumi, yaitu saat asupan makanan sangat kurang.

Beberapa karakteristik penting yang menjadi syarat produk pangan darurat yang baik adalah: 1) aman dikonsumsi; 2) enak (mutu sensori dapat diterima konsumen); 3) mudah diperoleh/disalurkan; 4) mudah digunakan (penyajiannya mudah); 5) nutrisi lengkap (kalori tinggi); 6) umur simpan panjang (awet); 7) stabil terhadap kerusakan mikrobiologi, kimia dan fisik; 8) tidak menyebabkan haus; dan 9) menggunakan bahan baku lokal


(30)

(www.nap.edu). Adapun sifat-sifat pangan darurat dapat berupa pangan kering siap santap, produk pangan kering siap hidang, produk pangan semi basah berkalori tinggi, dan bahan pokok setempat yang awet atau tahan lama.

Salah satu aplikasi produk pangan tinggi kalori adalah pangan militer (military rations). Produk pangan militer biasanya berbentuk pangan siap saji yang dikemas khusus sehingga mudah dibawa dalam tas atau kantong pakaian. Kandungan gizi setiap jenis pangan militer menyediakan kurang lebih 1250 kkal dengan 13% protein, 36% lemak, dan 51% karbohidrat (www.olive-drab.com/od_rations.php).

Beberapa penelitian tentang makanan tinggi kalori (pangan darurat) telah dilakukan, salah satunya adalah formulasi makanan tinggi kalori dari buah sukun dengan produk kue satu dan pangan semi basah (dodol) (Sukmaningrum, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk kue satu memiliki nilai kalori sebesar 372 kkal/100 g, sedangkan produk pangan semi basah (dodol) memiliki nilai kalori sebesar 324 kkal/100 g. Dari hasil uji organoleptik diketahui bahwa formulasi dodol dengan komposisi 100% puree sukun terhadap tepung ketan ternyata paling disukai konsumen, sedangkan pada formulasi kue satu, penggunaan 100% tepung sukun sebagai bahan baku utama cukup bisa diterima konsumen.

Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi makanan tinggi kalori sekaligus sebagai makanan instan dengan bahan baku pati sagu. Formula dibuat dengan penambahan beberapa bahan lain sehingga diperoleh jumlah kalori minimal 300 kkal/100 g sebagai syarat makanan tinggi kalori. Penyusunan formula didasarkan pada perbandingan antara pati sagu sebagai sumber kalori utama dan tepung kedelai sebagai sumber protein utama. Formula-formula yang telah dibuat selanjutnya diuji dengan uji organoleptik untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen.

D. PANGAN INSTAN

Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), pangan instan adalah produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan produk pangan yang sering dihadapi misalnya penyimpanan, transportasi, dan tempat.


(31)

Pada dasarnya pembuatan produk pangan instan dilakukan dengan menghilangkan kadar air sehingga mudah ditangani dan praktis dalam penyediaan. Bentuk pangan instan biasanya mudah ditambah air (dingin/panas) dan mudah larut sehingga mudah disantap.

Pembuatan produk pangan yang memiliki sifat instan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perlakuan permukaan dengan modifikasi sifat kimia bahan dan penambahan zat aditif. Perlakuan permukaan dibuat dengan memberi perlakuan mekanis khusus pada permukaan partikel bahan yaitu dengan panas dan pengadukan. Dengan perlakuan panas dan pengadukan akan membuat partikel bubuk diperbesar menjadi aglomerat berstruktur pori. Penggunaan zat aditif dilakukan dengan menambahkan zat tertentu untuk membuat sifat produk lebih mudah dibasahi, aglomerat tidak terlalu keras, partikel mudah mekar (Hartomo dan Widiatmoko, 1992).

Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), sifat instan produk pangan yang baik ditentukan oleh beberapa kriteria tertentu antara lain: 1) Sifat hidrofilik; 2) Kandungan lapisan gel yang dapat menghambat proses pembasahan; 3). Waktu pembasahan yang tepat, yaitu harus segera turun (tenggelam tanpa menggumpal); dan 4). Mudah terdispersi yaitu tidak membentuk endapan.

E. PENGERINGAN 1. Teori Pengeringan

Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan digunakan untuk menguapkan air yang terdapat didalam bahan. Uap air yang berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono, 1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti agar bahan memiliki masa simpan yang lama (Taib et al. 1988).


(32)

Henderson et al. (1976), mengungkapkan bahwa proses pengeringan memberikan keuntungan: masa simpan produk kering lebih lama, untuk biji-bijian hasil pertanian, viabilitas biji lebih terjamin, dan memperkecil serta meringankan volume produk, sehingga memudahkan penanganan penyimpanan dan transportasi. Namun disisi lain pengeringan memiliki beberapa kerugian, yaitu rusak atau berkurangnya vitamin-vitamin dan zat warna, hilangnya flavor yang mudah menguap dan menimbulkan bau gosong jika kondisi pengeringan tidak terkendali (Desroiser, 1988).

2. Alat Pengering Drum

Pengering drum (drum dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain (Brennan, 1974). Bahan yang akan dikeringkan disebarkan dalam bentuk lapisan tipis pada permukaan drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum berputar. Proses pengeringan dapat dilakukan dalam udara terbuka (tekanan 1 atmosfir) atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengikis pada saat perputaran drum telah mencapai 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan ke dalam pertemuan dua permukaan drum. Produk kering tersebut kemudian digiling menjadi bubuk yang halus (Desrosier, 1988).

Pengering drum sangat fleksibel dalam operasi dan mewakili satu tipe peralatan proses dimana semua variabel dapat diubah secara mandiri. Variabel yang terlibat dalam operasi pengering drum yaitu: 1) tekanan uap atau suhu medium pemanas yang mengatur suhu permukaan drum, 2) kecepatan putar yang menentukan waktu kontak antara film dan permukaan drum yang panas, 3) jarak antara drum yang akan menentukan ketebalan film yang terbentuk, dan 4) kondisi bahan misalnya konsentrasi, karakteristik fisik, dan suhu larutan yang dikeringkan (Moore, 1995).

Secara umum alat pengering drum memiliki dua tipe, yaitu drum tunggal dan drum ganda. Pada drum tunggal, pembentukan film atau lapisan dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan, sedangkan drum ganda didisain dengan dua drum yang puncaknya paralel dan bahan


(33)

yang akan dikeringkan dimasukkan dari bagian atas pada daerah di antara dua drum (APV Crepaco, 1992). Alat pengering drum ganda digunakan untuk mengeringkan bahan pangan, kimia, dan farmasi dengan berbagai variasi bobot jenis dan viskositas. Karakteristik bahan yang dapat dikeringkan dengan alat pengering drum ganda adalah berbentuk cairan atau pasta, sensitif terhadap panas, dan dipasarkan dalam bentuk bubuk yang mudah direhidratasi. Bahan-bahan yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan dengan baik karena kontak dengan permukaan drum bertemperatur tinggi berlangsung hanya dalam beberapa detik (Moore, 1995).

Untuk bahan organik yang berbentuk larutan kental (viscous solution), proses pengeringan dilakukan pada tekanan uap 3-5 bar dan kecepatan putar drum 2 rpm. Konsentrasi bahan (larutan) yang masuk alat pengering sekitar 28% (Walas, 1988).

Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Kelemahan alat pengering ini adalah hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk bubur atau pasta dan bahan yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat (Brennan, 1974).


(34)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan dalam proses pembuatan formula sagu instan ini adalah pati sagu yang diperoleh dari industri rumah tangga pengolahan pati sagu di daerah Kedung Halang Bogor. Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah tepung kedelai, susu bubuk skim, minyak nabati, gula halus, dan air minum dalam kemasan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam analisa produk adalah aquades, K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, larutan NaOH-Na2S2O3, HCL 0.02 N, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, larutan multi enzim (tripsin, kimotripsin, peptidase), larutan buffer Na-fosfat, pereaksi DNS, larutan maltosa standar, larutan enzim α -amilase, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, dan heksan.

Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan formula sagu instan adalah neraca kasar, baskom, tampah bambu, sendok pengaduk, sendok makan, kompor gas, panci ukuran besar, drum dryer, plastik ukuran 5 kg dan 1 kg, silica gel, pengayak 100 dan 80 mesh, mangkok, piring, cup-cup kecil, sendok-sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 ml.

Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah pipet tetes, pipet volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 dan 100 ml, desikator, alat destilasi, labu kjeldahl, erlenmeyer 100 ml dan 300 ml, neraca analitik, magnetic stirer dan hot plate.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap yaitu : (1) Tahap persiapan, yang meliputi pencucian, pengayakan, dan penyangraian pati sagu, pembuatan tepung kedelai, dan analisis proksimat bahan baku; (2) Formulasi dan pembuatan produk; (3) Uji organoleptik; (4) Analisis sifat fisik, kimia, dan daya cerna; dan (4) Penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi berdasarkan kandungan gizi produk hasil analisis.


(35)

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan meliputi pencucian, pengayakan dan penyangraian pati, serta pembuatan tepung kedelai. Berikut akan diuraikan masing-masing tahap:

a. Pencucian dan pengayakan pati

Tahap pencucian dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah air ke dalam pati sampai semua pati terendam. Selanjutnya pati diaduk sehingga semua pati kontak dengan air, lalu didiamkan selama dua jam. Air rendaman kemudian dialirkan keluar wadah sehingga diperoleh endapan pati. Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali lalu endapan pati dijemur dengan sinar matahari kering. Pati selanjutnya diayak dengan ayakan 100 mesh. Bagan pencucian disertai pengayakan pati dapat dilihat pada Gambar 1.

Pati sagu Air

Pengadukan sampai semua pati terendam Pengendapan pati selama dua jam Pembuangan air rendaman keluar wadah

Pengulangan sebanyak tiga kali

Penjemuran di bawah matahari hingga kering Pengayakan dengan ayakan 100 mesh

Pati sagu

Gambar 1. Bagan alir pencucian dan pengayakan pati sagu b. Pembuatan Pati Sangrai

Pembuatan pati sangrai dilakukan dengan cara memanaskan pati sagu sambil diaduk sampai suhu 110°C. Pati dipanaskan terus sampai diperoleh pati sangrai yang tidak berasa mentah dan mudah larut dalam


(36)

mulut (kira-kira lamanya 10 menit). Bagan pembuatan pati sangrai dapat dilihat pada Gambar 2.

Pati sagu

Pemanasan disertai pengadukan sampai suhu 110°C

Pemanasan dilakukan sampai diperoleh pati sangrai yang sudah tidak berasa mentah dan mudah larut dalam mulut

Pati sangrai

Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati sangrai c. Pembuatan Tepung Kedelai

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan tepung kedelai dengan metode Illinois (Samahita, 1980). Proses diawali dengan sortasi biji berjamur, biji rusak, dan kotoran lain. Setelah itu dilakukan perendaman di dalam ember plastik bereisi air kran dengan volume 2 kali volume kedelai. Perendaman dilakukan selama 6 jam hingga mencapai kadar air 40-45%.

Proses selanjutnya adalah perebusan kedelai yang dilakukan di dalam panci alumunium berisi air mendidih selama 30 menit kemudian dilanjutkan dengan penirisan. Setelah cukup dingin, biji kedelai dikupas kemudian dijemur. Penjemuran dilakukan dengan cara meratakan biji kedelai di atas permukaan nampan dan disimpan di tempat terbuka. Ketebalan lapisan biji kedelai permukaan nampan sekitar 1 cm. Penjemuran dilakukan hingga kedelai mencapai kadar air 10-11%. Bagian kulit yang tersisa waktu pengupasan dibersihkan untuk memastikan bahwa semua kulit telah terkupas dari biji kedelai.

Proses terakhir adalah penepungan dengan alat Willey mill dan pengayakan dengan ayakan 60 mesh. Bagan alir proses pembuatan tepung kedelai dapat dilihat pada Gambar 3.


(37)

Kedelai Pemilihan (sortasi) Perendaman selama 6 jam Perebusan selama 30 menit

Pengupasan kulit

Penjemuran di bawah sinar matahari (pengeringan) Penggilingan dengan Willey mill (penepungan)

Pengayakan dengan ayakan 60 mesh Tepung kedelai

Gambar 3. Bagan alir pembuatan tepung kedelai metode Illinois 2. Formulasi dan Pembuatan Produk

a. Penyusunan Formula

Pada tahap ini dilakukan penyusunan formula dan dibuat lima macam formula sagu instan. Penyusunan formula didasarkan pada perhitungan jumlah kalori yang harus melebihi 300 kkal sebagai syarat makanan tinggi kalori. Untuk menyusun formula tersebut diperlukan data kandungan gizi bahan-bahan penyusun yang meliputi jumlah kalori, protein, lemak, serta karbohidrat. Kandungan gizi bahan-bahan penyusun dapat diketahui setelah dilakukan analisis proksimat bahan. Kelima formula dan perkiraan kandungan gizi sagu instan dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Pengamatan yang dilakukan pada tahap formulasi ini adalah uji organoleptik yang meliputi uji hedonik dan uji rangking hedonik. Uji organoleptik dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama bertujuan mengetahui seberapa besar tingkat penerimaan konsumen terhadap


(38)

formula yang dibuat serta memilih tiga formula terbaik. Uji organoleptik tahap kedua dilakukan terhadap tiga formula terpilih yang telah mengalami sedikit perubahan komposisi. Uji organoleptik tahap kedua bertujuan untuk menentukan formula terbaik atau yang paling disukai konsumen. Selanjutnya dilakukan analisis proksimat, daya cerna pati, dan daya cerna protein.

Tabel 5. Formula sagu instan (dalam 100 g bahan)

Formula

Komposisi bahan penyusun Pati sagu

(g)

Tepung kedelai

(g)

Susu skim (g)

Gula halus (g)

Minyak nabati

(g)

A 60 0 25 10 5 B 55 5 25 10 5 C 50 10 25 10 5 D 45 15 25 10 5 E 40 20 25 10 5

b. Pembuatan Produk

Tahap pembuatan produk dimulai dengan penentuan jumlah air untuk perebusan. Penentuan jumlah air penting untuk mendapatkan karakteristik bubur yang baik, yaitu homogen, matang, dan tidak lengket sewaktu pengeringan dengan drum dryer. Perbandingan jumlah air yang digunakan adalah antara pati sagu dan air yang terdiri dari empat perbandingan yang berbeda, yaitu 1:3, 1:5, 1:7, dan 1:9. Penentuan jumlah air hanya dilakukan pada satu formula yang dianggap mewakili, yaitu formula C. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah penentuan produk yang paling baik karakteristiknya. Gambar 4 menunjukkan diagram alir proses pembuatan bubur sagu instan.

Proses selanjutnya adalah pembuatan produk sagu instan yang dilakukan terhadap kelima formula yang telah disusun. Setelah dilakukan perebusan dengan menambahkan sejumlah air yang telah ditentukan, kemudian dilakukan. pengeringan menggunakan alat


(39)

pengering drum dryer. Produk kering yang dihasilkan selanjutnya digiling halus menggunakan Hammer mill.

Pati sagu sangrai

Penambahan tepung kedelai, skim, dan gula halus Penentuan jumlah air untuk perebusan (perbandingan pati dan air 1:3, 1:5, 1:7, dan 1:9) Perebusan disertai pengadukan pada suhu 100 0C

Penambahan minyak nabati Bubur sagu

Pengeringan dengan drum dryer Sagu instan

Gambar 4. Bagan alir proses pembuatan formula sagu instan 3. Penentuan Takaran Saji dan Angka Kecukupan Gizi

Penentuan takaran saji didasarkan pada zat gizi yang terkandung pada produk yang dihasilkan. Penentuan tersebut berdasarkan pada gizi yang dibutuhkan pada diet orang dewasa terutama kalorinya. Setelah ditentukan jumlah takaran saji yang dianjurkan, maka dilakukan perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran saji. Kecukupan gizi yang akan dipenuhi meliputi kalori, protein, karbohidrat, dan lemak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berapa persen produk dapat menyumbang asupan gizi pada diet orang dewasa.

C. PENGAMATAN

1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel


(40)

ditimbang kurang lebih sebanyak 2 gram dalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 1000C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan.

Perhitungan :

Kadar Air (% berat basah) = [W2 - (W3 – W1)] x 100% W3 - W1

Berat cawan (gram) = W1 Berat sampel (gram) = W2

Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram) = W3 2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram di dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600 oC selama 4 – 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kadar abu (%) = Berat abu (g) x 100% Berat sampel kering (g)

3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Sebanyak 1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, dan 3,8 + 0,1 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl. Batu didih ditambahkan pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes


(41)

indikator, kemudian labu diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya + 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Perhitungan jumlah nitrogen dilakukan setelah jumlah volume (ml) blanko diperoleh.

Perhitungan :

Jumlah N (%) = (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14.007 x 100 mg sampel kering

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25) 4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi Soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C - 1100C dan kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi Soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu Soxhlet secukupnya. Refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut yang turun menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang, dan perhitungan kadar lemak dilakukan. Perhitungan :

Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel kering (g) 5. Kadar Karbohidrat (By Difference)

Perhitungan :

Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu + Kadar lemak + kadar protein)


(42)

6. Kadar Serat Makanan secara Enzimatis (Sulaeman et al. 1994)

Sampel basah dihomogenisasi dan diliofilisasi. Semua sampel digiling menggunakan gilingan laboratorium dengan saringan 0.3 mm. Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit (40 ml petroleum eter per gram). Sebanyak 1 g sampel ditimbang dan dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl. Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 100 oC selama 15 menit.

Setelah sampel didinginkan, sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan diatur pHnya menjadi 1.5 menggunakan HCl. Kemudian dilakukan penambahan 100 mg pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit. Selanjutnya 20 ml air destilata ditambahkan dan diatur pHnya menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Kemudian sampel ditambah dengan 100 mg pankreatin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit. Kemudian sampel diatur pHnya menjadi 4.5 menggunakan HCl lalu disaring menggunakan crucible (porocity 2). Selanjutnya sampel dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu digunakan untuk mengukur kadar serat makanan tidak larut, sedangkan filtratnya digunakan untuk mengukur kadar serat makanan larut.

Untuk mengetahui kadar serat makanan tidak larut, sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton kemudian dikeringkan pada suhu 105 oC sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah didinginkan dalam desikator, sampel ditimbang (DI). Selanjutnya sampel diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator sampel ditimbang kembali (I2).

Pada pengukuran serat makanan larut, volume filtrat diatur menjadi 100 ml kemudian ditmbahkan 400 ml etanol 95% hangat (60 oC) dan dibiarkan mengendap selama 1 jam. Kemudian sampel disaring menggunakan crucible (porocity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 g celite. Selanjutnya sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol


(43)

78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Sampel kemudian dikeringkan pada suhu 105 oC selama semalam. Setelah didinginkan dalam desikator, sampel ditimbang (D2). Selanjutnya sampel diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam kemudian setelah didinginkan dalam desikator ditimbang kembali (I2).

Blanko untuk serat makanan tidak larut dan serat makana larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tersebut di atas tetapi tanpa sampel (B1 dan B2).

% serat makanan tidak larut = D1 – I1 – B1 x 100%

W

% serat makanan larut = D2 – I2 – B2 x 100%

W

Total serat makanan dapat diendapkan langsung dengan cara menambahkan 4 volume alkohol 95% ke dalam hasil digesi setelah tahap pengaturan pH menjadi 4.5 menggunakan HCl. Selanjutnya sampel disaring seperti tahap perlakuan filtrat pada pengukuran serat makanan larut.

7. Penentuan Nilai Kalori Makanan

Perhitungan nilai kalori makanan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi faal makanan tersebut.

Perhitungan :

Nilai Energi = Faktor Atwater x Kandungan Gizi Bahan Pangan Energi = (4 kkal/g x Kand. Karbohidrat) + (9 kkal/g x Kand. Lemak)

+ (4 kkal/g x Kand. Protein) 8. Daya Serap Air (Sathe dan Salunkhe, 1981)

Sebanyak 1 gam sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 ml aquades. Setelah itu, sampel diaduk dengan menggunakan vorteks sampai semua bahan terdispersi kemudian didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.


(44)

Supernatan yang diperoleh dituangkan secara hati-hati kedalam wadah lain dan ditimbang beratnya, kemudian dilakukan perhitungan.

Perhitungan :

Daya Serap Air (g/g) = A – B C A = berat air mula-mula (g) B = berat supernatan (g) C = berat sampel (g)

9. Rasio Rehidrasi dan waktu rehidrasi (Lianawati, 1997)

Pengukuran rasio rehidrasi dilakukan dengan melarutkan bahan dalam air dengan perbandingan 1 : 2, 1 : 4, 1 : 6, dan 1: 8, kemudian larutan tersebut didiamkan selama 30 menit. Lalu diamati terjadinya pemisahan antara air dengan bahan. Pengukuran waktu rehidrasi dilakukan secara subyektif, yaitu dengan melarutkan bahan dan air dengan perbandingan yang telah ditentukan sesuai pengukuran rasio rehidrasi. Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh tekstur bubur yang homogen dan stabil.

10. Daya Cerna Protein (Muchtadi, 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 2 gram kemudian disuspensikan dalam 60 ml air destilata. Sebanyak 50 ml suspensi sampel dimasukkan dalam gelas piala kecil, kemudian diatur pHnya menjadi 8.0 dengan menambahkan HCL atau NaOH 0.1 N. Sampel diinkubasi dalam penangas air bersuhu 37oC dan diaduk menggunakan magnetic stirer selama 5 menit. Larutan multi enzim sebanyak 5 ml ditambahkan pada suspensi sampel (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke-0) sambil tetap diaduk dalam penangas air 37 oC. Kemudian pH suspensi dicatat pada menit ke-10. Daya cerna protein dapat dihitung dengan menggunakan persamaan y = 210.464 – 18.103x, dimana y adalah daya cerna protein dalam persen dan x adalah perubahan pH pada menit ke-10.


(45)

11. Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi, 1989)

Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90 0C, kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml larutan tepung dalam tabung reaksi ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7.0. kemudian diinkubasi dalam penangas air 37 0C selama 15 menit. Larutan enzim alfa-amilase sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan diinkubasi kembali pada suhu 37 0C selama 30 menit. Larutan enzim alfa-amilase dibuat dengan konsentrasi 1 mg/ml larutan buffer Na-fosfat 0.05 M, pH 7.0.

Sebanyak 1 ml campuran reaksi ditempatkan ke dalam tabung reaksi lain. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 100 0C selama 10 menit. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dari 1 g 3,5-dinitrosalisilat, 30 g Na-K-tartarat dan 1.6 g NaOH dalam 100 air destilata. Warna oranye-merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan maltosa standar dengan pereksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut :

Daya cerna = Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim x 100 Kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzim 12. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan rangking hedonik. Uji ini dilakukan terhadap 30 panelis dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang diuji. Parameter yang diuji pada uji hedonik meliputi uji kesukaan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Skala hedonik yang digunakan


(46)

mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1) sampai dengan skala sangat suka (skala numerik = 7). Uji rangking hedonik bertujuan untuk mengetahui produk mana yang paling disukai dari semua formula yang diujikan.


(47)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. TAHAP PERSIAPAN

1. Pencucian dan Pengayakan Pati

Pencucian pati merupakan salah satu proses pembersihan dan pemurnian pati dari berbagai kotoran atau zat non pati. Pencucian dilakukan dengan menambahkan air ke dalam pati kemudian diaduk hingga semua pati terendam lalu diendapkan. Air rendaman kemudian dibuang karena di dalamnya terkandung zat-zat non pati seperti serat dan material-material asing seperti tanah, kerikil, ataupun logam. Selain itu, pencucian ini berperan dalam mengurangi kadar tanin yang diduga banyak terdapat pada pati sagu. Pencucian dilakukan berulang hingga diperoleh pati yang bersih. Pati yang bersih bisa dilihat dari warna yang lebih putih dibandingkan dengan pati sebelum dicuci. Setelah diperoleh pati yang bersih, selanjutnya pati dijemur di bawah sinar matahari hingga kering (kadar air sekitar 14%).

Sisa-sisa kotoran yang tidak hilang saat pencucian dan masih terkandung dalam pati harus dihilangkan. Semua kotoran ini dapat dihilangkan melalui proses pengayakan. Setelah didapatkan pati kering hasil penjemuran, selanjutnya pati diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh. Pengayakan dilakukan hingga diperoleh pati yang bersih, murni, dan bebas dari semua kontaminan.

2. Penyangraian Pati

Penyangraian dilakukan dengan memanaskan pati sampai suhu 110°C sambil diaduk. Penyangraian dilakukan hingga diperoleh pati sangrai yang matang dengan ciri-ciri cepat larut dalam mulut dan tidak berasa mentah. Dari penelitian yang dilakukan, untuk memperoleh pati yang matang diperlukan waktu kurang lebih 10 menit. Pati selanjutnya didinginkan pada suhu ruang untuk kemudian digunakan pada proses pembutan formula sagu instan.

Penyangraian pati mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: dapat menginaktifasi enzim, membunuh mikroba, menghasilkan rasa dan aroma


(48)

khas sangrai, memperbaiki daya cerna, serta tidak mempengaruhi densitas kamba (Sunaryo, 1985). Selain itu, penyangraian dipercaya dapat memperbaiki karakteristik bubur yang dihasilkan. Menurut Abraham et al. (1983), perbaikan tersebut disebabkan oleh terjadinya partial gelatinisasi, dehidrasi, dan konversi dari amorphous amylose menjadi bentuk helik. Bentuk helik ini menjadi bagian yang lemah dari kristal pada pati selama pemasakan.

Hasil penelitian Muharam (1992) menunjukkan bahwa penyangrian pada tepung singkong menyebabkan terjadinya gelatinisasi parsial namun tidak diikuti dengan pembengkakan granula pati. Adanya gelatinisai parsial diketahui dari hilangnya pola birefringence sebagian granula pati setelah dilihat dengan mikroskop terpolarisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penyangraian memberikan pengaruh positif terhadap sifat fisik, kimia, dan fungsional tepung singkong, seperti memperbaiki stabilitas tepung dalam adonan, meningkatkan kekuatan gel, dan meningkatkan viskositas maksimum tepung.

Hasil penelitian Susanty (2000) menunjukkan bahwa penyangraian dapat menurunkan kadar air pati hingga lebih dari 50%. Hal ini terjadi karena kadar air pati mentah mengalami penguapan selama proses pemanasan. Hasil analisis menunjukkan kadar air pati sagu sangrai sebesar 3.82%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dari pada nilai kadar air pati sagu mentah yaitu 14% (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI). Hasil penelitian Susanty (2000) juga menunjukkan bahwa penyangraian bisa meningkatkan kadar karbohidrat dan kadar lemak. Hal ini diduga berhubungan dengan penurunan kadar air, dimana jika kadar air suatu produk turun maka konsentrasi komponen lainnya akan meningkat.

3. Pembuatan Tepung Kedelai

Pembuatan tepung kedelai dimulai dengan pemilihan kedelai (sortasi). Sortasi dilakukan untuk mendapatkan biji kedelai yang baik (utuh) dari biji kedelai yang cacat, kotoran dan bahan asing. Menurut Wilkens (1967), sortasi bertujuan untuk mengeliminir biji berjamur, biji rusak atau pecah yang ada hubungannya dengan kelanguan. Setelah tahap sortasi, dilakukan perendaman


(49)

biji kedelai selama 6 jam dalam air dengan tujuan meningkatkan kadar air awal agar konduktivitas panas kedelai makin baik (Nelson et al., 1971)

Biji kedelai yang telah direndam kemudian direbus dalam air mendidih selama 30 menit. Perebusan dilakukan dengan beberapa tujuan, antara lain : menginaktivasi enzim lipoksigenase, membunuh mikroba, dan membuat daging buah menjadi lebih mudah diolah karena lebih empuk. Inaktivasi enzim lipoksigenase penting dilakukan karena enzim tersebut dapat mempercepat timbulnya cita rasa langu akibat terjadinya pemecahan atau perusakan jaringan kotiledon (Nelson et al., 1971).

Pengupasan dilakukan setelah perebusan dengan maksud agar proses lebih mudah dilakukan karena jaringan kulit sudah terpisah dari biji bahkan sebagian ada yang sudah terlepas. Setelah proses pengupasan dilakukan proses pengeringan dengan cara menjemur biji kedelai dengan sinar matahari. Menurut Tangenjaya (1976), penjemuran merupakan cara yang paling praktis dan paling mudah untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Akan tetapi, penjemuran yang berjalan lambat akan menyebabkan tumbuhnya jamur pada kedelai dan akan timbul lendir dan bau.

Proses terakhir pembuatan tepung kedelai adalah penggilingan dan pengayakan. Penggilingan dilakukan dengan Willey mill dan dilakukan berulang-ulang. Penggilingan berulang bertujuan memisahkan produk yang sudah halus dan meresirkulasi fraksi yang masih kasar ke penggilingan sampai diperoleh hasil tepung yang diinginkan. Setelah itu tepung hasil penggilingan diayak dengan ayakan 60 mesh.

B. FORMULASI DAN PEMBUATAN PRODUK 1. Penyusunan Formula

Pada penelitian ini disusun lima macam formula sagu instan seperti yang terlihat pada Tabel 5. Perhitungan yang digunakan adalah tiap 100 gram produk kering diperkirakan akan mengandung energi minimal 300 kkal. Hal ini sesuai dengan klaim pangan berkalori menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM, 2004) yaitu minimum mengandung 300 kkal per hari. Untuk menentukan formula yang akan disusun, diperlukan data komposisi


(50)

kimia atau kandungan gizi tiap bahan yang digunakan. Oleh karena itu sebelum dilakukan perhitungan terlebih dahulu dilakukan analisis proksimat terhadap bahan baku penyusun sagu instan. Data komposisi kimia bahan baku penyusun sagu instan dan perhitungan kalori tiap formula dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6. Komposisi kimia bahan penyusun sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)

Komposisi Pati sagu (g)

Tep. kedelai (g)

Skim (g)

Tep. gula

(g) Minyak * (g) Air (g) 3.82 7.14 3.66 0.30 0.00

Abu (g) 0.27 3.12 7.83 4.77 0.00

Protein (g) 0.88 37.26 24.27 0.15 0.00 Lemak (g) 0.19 33.36 0.08 0.09 100.00 Karbohidrat (g) 98.66 26.25 67.82 94.98 0.00 Serat pangan (g) 3.83 6.96 - - 0.00 Kalori (kkal) 385 526 370 381 875 * Minyak goreng sawit

Tabel 7. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap pertama per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis

Komposisi Formula

A B C D E

Air (g) 3.24 3.41 3.57 3.74 3.91

Abu (g) 2.60 2.75 2.89 3.03 3.17

Protein (g) 6.62 8.43 10.26 12.08 13.89 Lemak (g) 5.13 6.80 8.46 10.11 11.77 Karbohidrat (g) 85.66 82.03 78.42 74.81 71.17 Serat makanan (g) 2.30 2.46 2.62 2.76 2.92

Kalori (kkal) 406 413 421 427 434

Formulasi sagu instan dibuat dengan pati sagu sebagai sumber karbohidrat dan kalori utama, tepung kedelai dan susu skim sebagai sumber protein, minyak nabati sebagai sumber lemak, dan gula sebagai penambah


(51)

rasa. Penggunaan tepung kedelai selain sebagai sumber protein juga dipercaya mempunyai kemampuan dalam memperbaiki karakteristik fisik produk. Perpaduan antara pati sagu dan tepung kedelai diharapkan dapat saling mengisi kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga diperoleh produk yang mempunyai nilai gizi serta karakteristik yang baik. Oleh karena itu penentuan formula didasarkan pada perbandingan pati sagu dan kedelai, sementara komposisi bahan-bahan penyusun lainnya tetap sama.

2. Pembuatan Produk Sagu Instan

Sebelum dilakukan pembuatan produk sagu instan terhadap kelima formula yang telah disusun, terlebih dahulu dilakukan penentuan jumlah air yang digunakan dalam perebusan. Pada tahap ini digunakan empat perbandingan antara pati terhadap air yaitu 1 : 3; 1 :5; 1 : 7; dan 1 : 9. Tujuan dari penentuan jumlah air ini adalah mendapatkan produk bubur dengan karakteristik fisik yang baik sehingga dihasilkan produk sagu instan yang baik pula. Ciri-ciri karakteristik bubur yang baik antara lain : tekstur homogen, tidak lengket, aroma khas, rasa manis, dan tidak berasa mentah.

Penentuan jumlah air dilakukan terhadap satu formula saja yaitu formula C yang dianggap mewakili semua formula sagu instan yang dibuat. Hasil percobaan pembuatan bubur sagu dengan menggunakan empat perbandingan pati dan air yang berbeda menunjukkan bahwa perbandingan 1 : 3 dan 1 : 5 menghasilkan bubur yang tidak homogen, lengket, dan beraroma tepung mentah, sedangkan perbandingan 1 : 7 dan 1 : 9 menghasilkan bubur dengan tekstur homogen, tidak terlalu lengket, dan beraroma matang. Bubur yang dihasilkan dengan perbandingan pati dan air 1 :7 dan 1 : 9 kemudian dikeringkan dengan drum dryer untuk dilihat produk yang menghasilkan tepung sagu instan dengan warna dan tekstur yang paling baik. Dari hasil percobaan diketahui bahwa komposisi air dan pati sagu dengan perbandingan 1 : 7 menghasilkan sagu instan dengan karakteristik paling baik.

Pembuatan sagu instan diawali dengan pembuatan bubur sagu terlebih dahulu. Proses dimulai dengan pencampuran semua bahan penyusun dengan pencampuran kering kecuali minyak nabati. Selanjutnya dilakukan proses pemasakan atau perebusan dengan memanaskan bahan pada suhu kurang lebih


(1)

FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: ANWAR SANUSI

F24101067

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: ANWAR SANUSI

F24101067

Dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1983 Di Garut

Tanggal lulus: Maret 2006

Menyetujui, Bogor, Maret 2006

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing

Mengetahui

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 15 Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, yang lahir dari pasangan Bapak Uyoh Saefuloh dan Ibu Kokoy Rukoyah.

Pendidikan penulis dimulai di SDN Sindangreret Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur pada tahun 1989. Pada tahun 1994 penulis pindah sekolah ke SDN Cirapuhan I Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut sampai tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Selaawi Kabupaten Garut kemudian pindah sekolah ke SLTPN 2 Sukaluyu sampai tahun 1998. Selanjutnya penulis memasuki jenjang pendidikan menengah di SMUN 1 Ciranjang Kabupaten Cianjur sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di beberapa organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA). Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan dari beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh Departemen Teknologi Pangan dan Gizi maupun Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 2004, penulis melakukan Praktek Lapangan (PL) di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung dengan tema: “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Mie Instan di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung”.

Penulis menyelesaikan tugas akhir penelitian sebagai salah satu syarat memperoleh gelah sarjana dengan skripsi berjudul “Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori” dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul “Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Padat Kalori” ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor.

Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, adikku tersayang Sulton Arif, serta seluruh keluargaku atas do’a dan dukungannya.

2. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. sebagai dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.

3. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi. atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukan-masukannya untuk perbaikan skripsi.

4. Irma Pratiwi atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, perhatian, dan dorongan moralnya kepada penulis sehingga menjadi kekuatan bagi penulis untuk tetap semangat dalam melakukan penelitian. Kau terlahir hanya untukku.

5. Teman-temanku Jalu, Este, Intan, dan Nandang. Jangan lupakan saat-saat terindah sewaktu kita bersama.

6. Teman-temanku di kelompok C1 (Fajri, Kidik, dan Pahrudin) atas kebersamaan dan kekompakannya selama praktikum.

7. Teman-teman satu bimbingan (Daniel, Martantri, dan Pahrudin) yang selalu memberi masukan berarti kepada penulis

8. Teman-temanku Bro, Udin, Manong, Rahmat, Bangun, dan Pitoy. Kapan tanding lagi

9. Teman-teman TPG 38, 39, dan 40 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 10. Keluarga besar Tiger Camp terutama Pa’de (Fatkurrahman), terima kasih


(5)

11. Semua teknisi dan laboran. Pak wahid, Pak Gatot, Pak sobirin, Pak Koko, Pak Sidik, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Nur, Pak Iyas, Teh Ida, Bu Rubiyah.Terima kasih atas bantuannya.

12. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi.

Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Maret 2006

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU ... 3

1. Botani Tanaman Sagu ... 3

2. Pati Sagu ... 4

3. Pemanfaatan Sagu ... 8

B. KEDELAI ... 9

1. Komposisi Kimia Kedelai ... 10

2. Tepung Kedelai ... 10

3. Protein Kedelai ... 12

4. Lesitin Kedelai ... 13

C. MAKANAN TINGGI KALORI ... 14

D. PANGAN INSTAN ... 15

E. PENGERINGAN ... 16

1. Teori Pengeringan ... 16

2. Alat Pengering Drum ... 17

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT ... 19

B. METODE PENELITIAN ... 19

1. Tahap Persiapan ... 20

2. Formulasi dan Pembuatan Produk ... 22