KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
104
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
2. Urgensi Politik.
Secara normatif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah menggeser pola hubungan pusat dan daerah dari dominasi pusat
ke diskresi daerah. Perubahan format hubungan ini kemudian menimbulkan berbagai ekses dalam implementasinya yang menimbulkan ketidakserasian hubungan antara pusat dan daerah.
Pusat beranggapan bahwa pergeseran format itu telah menimbulkan egosentris daerah yang cenderung mengancam hubungan antar pemerintahan, sedangkan daerah beranggapan bahwa
pemerintah pusat masih tidak berubah dan cenderung sentralistik. Penataan hubungan antara pusat dan daerah urgen dilakukan agar hubungan yang proporsional dan serasi dapat dipelihara.
Meskipun hubungan daerah terhadap pusat tetap berada dalam subordinasi, tetapi pengaturan interaksi antara pusat dan daerah yang saling mempercayai secara timbal balik reciprocal trust perlu
dibangun.
4
Penataan hubungan pemerintah dengan gubernur sebagai wakil pemerintah, selain dapat menghindari terjadinya salah pengertian yang menimbulkan konfl ik antara pemerintah
pusat dan pemerintah provinsi yang cenderung terjadi saat ini, juga akan menjamin efektivitas pelaksanaan tugas pemerintah pusat di daerah yang selama ini cenderung terbengkalai.
Dalam hubungan antar daerah, pengaturan kedudukan gubemur sebagai wakil pemerintah pusat akan memberi kejelasan hubungan antara provinsi dan kabupatenkota yang cenderung
tidak harmonis. Kabupatenkota beranggapan bahwa pemerintah provinsi memasuki area urusan otonomi kabupatenkota, sementara pemerintah provinsi beranggapan bahwa pemerintah
kabupatenkota lepas kendali. Hal ini disebabkan kevakuman aturan pelaksanaan yang cukup lama di dalam penyelenggaraan azas dekonsentrasi yang menghubungkan provinsi dengan
kabupatenkota.
Sebagai daerah otonom, provinsi dan kabupatenkota adalah setara. Konsekunsi kedudukan yang setara adalah pengakuan bahwa masing-masing daerah otonom merupakan organisasi
yang otonom. Masing-masing daerah otonom memiliki kedudukan yang mandiri zelf-standing. Hubungan antara provinsi dengan kabupatenkota tidak bersifat hierarchische gebondenheid dan
pejabat-pejabat yang ada di kabupatenkota tidak dapat dianggap berada pada posisi arnbtelijk ondergeschikt kepada pejabat-pejabat provinsi. Dianutnya azas desentralisasi dan dekonsentrasi
di provinsi menempatkan gubernur pada posisi dua peran dual role yaitu sebagai kepala daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
terbentuk hubungan subordinasi antara gubernur dengan bupatiwalikota.
5
Hubungan yang terbentuk berdasarkan azas dekonsentrasi yang diletakkan pada provinsi menghubungkan provinsi dengan kabupatenkota yang bersifat fungsional. Kewenangan yang
melekat pada gubernur sebagai wakil pemerintah tidak identik dengan campur tangan gubernur terhadap urusan otonomi kabupatenkota, tetapi hubungan yang terbentuk bersifat hirarkhis,
subordinasi karena gubernur menjalankan fungsi pemerintah pusat terhadap kabupatenkota.
3. Urgensi administrasi
4 Kavanagh, 1985. British Politics Continuities and Change, Oxford University Press, h.116.
5 Peter Blau, M., Richard A.S.1971.The Structure of Organization, New York: Basic Books, Inc,h. 115.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
105
Dari perspektif administrasi pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat akan memberi kejelasan ruang lingkup tugas dan wewenang, pengorganisasian dan
pembiayaan. Ketidakjelasan ruang lingkup tugas dan wewenang akan dapat menimbulkan ketidakpastian tindakan yang dapat berakibat gubernur memasuki ranah urusan otonomi
kabupatenkota atau tugas yang seharusnya dijalankan dalam posisi sebagai wakil pemerintah pusat tidak terlaksana dengan baik.
Tugas dan wewenang hanya akan terlaksana dengan efektif jika diikuti dengan pengorganisasian yang relevan. Fungsi-fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi
menjadi dasar pengorganisasian ke dalam satu unit kerja yang fungsional, dan secara spesifi k melaksanakan tugas-tugas yang dielaborasi dari fungsi-fungsi yang ada. Urgensi administrasi
terletak pada pengaturan fungsi-fungsi ke dalam satuan kerja yang melaksanakan tugas-tugas yang didekonsentrasikan kepada gubernur, bukan ke dalam unit kerja yang melaksanakan urusan-
urusan daerah. Selain menghindari terjadinya duplikasi, pengorganisasian ke dalam satuan kerja yang berbeda dengan SKPD, juga akan lebih menjamin efektivitas kinerja pembinaan,
pengawasan dan koordinasi. Pada aspek pembiayaan, urgensi pengaturan terletak pada jaminan pelaksanaan tugas-tugas secara berkelanjutan dengan dukungan anggaran yang pasti dan
sepadan.
III. LANDASAN NORMATIF PENGATURAN
Pembagian wilayah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 didasarkan pada ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. Penjelasan pasal
18 menunjukkan bahwa daerah-daerah yang dibentuk bersifat otonom streek dan locale rechtsgemeenschappen atau bersifat administrasi belaka. Daerah yang dibentuk berdasarkan
azas desentralisasi disebut daerah terdiri dan daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan wilayah yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi disebut wilayah yang tersusun secara
vertikal merupakan lingkungan kerja pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi dual role, yaitu fungsi sebagai kepala
daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah, dan fungsi kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan
urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.
Kedudukan gubernur sebagai kepala wilayah yang menyelenggaran tugas-tugas pemerintahan umum, tetap relevan dan menjamin konstruksi pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil
pemerintah. Tugas dan wewenang yang dilakukan gubernur sebagai wakil pemerintah terbentuk karena urusan dekonsentrasi yang diletakkan pada provinsi, tugas dan wewenang dimaksud
adalah tugas dan wewenang yang termasuk dalam ruang lingkup pemerintahan umum. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara jelas mengatur tugas pemerintahan umum
sebagai dekonsentrasi tetapi pengaturan tentang kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah harus diletakkan dalam konteks pemerintahan umum.
Pasal 37 dan 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengaturan dekonsentrasi karena tidak ada perintah dalam kedua pasal tersebut
yang mengharuskan pengaturan dekonsentrasi. Kedua pasal dimaksud lebih tepat menjadi kaidah pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dan mestinya pengaturan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus dipahami sebagai dekonsentrasi.
Implementasi Yuridis Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Cokorda Istri Anom Pemayun