PENETAPAN BATAS MINIMUM PEMILIKAN TANAH
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
71
menyatakan: ada yang beranggapan bahwa batas tersebut harus diturunkan menjadi satu hektar saja sekalipun sebenarnya dua hektar tersebut sudah sangat minim dan kurang memungkinkan
kelayakan hidup bagi seorang petani, tetapi apa yang hendak dikata tanah mana yang harus diberikan kepada mereka yang jumlahnya selalu bertambah sedangkan jumlah tanah relatif tetap
tidak bertambah.
Terhadap masalah ini penulis berpendapat bahwa diperlukan kajian yang mendalam, penuh hati-hati dan landasan pijakannya tidak terlepas dari tujuan UUPA itu sendiri yaitu kemakmuran
rakyat terutama petani. Sehubungan dengan itu untuk menetapkan batas minimum ini apakah tidak perlu dipikirkan klasifi kasi jenis tanah pertanian sawah atau tanah kering, tingkat kesuburan
tanah di masing-masing daerah, jenis tanaman yang bisa ditanam di atas tanah tersebut disamping kemampuan seorang petani mengerjakan tanah dalam luas tertentu.
Dalam pada itu pernyataan beberapa pejabat dan para akhli ternyata telah memperkuat adanya fragmentasi tanah pertanian yang semakin meluas. Data terbaru mengenai hal ini belum
ditemukan, akan tetapi bercermin dari realita yang diungkap sekitar dua puluh tahun yang lalu dapat ditunjukkan melalui uraian berikut:
Sunandar Priyosudarmo mantan Gubernur Jawa Timur dalam pertemuan pimpinan AMPI se-Jawa Timur menyatakan rata-rata pemilikan tanah pada akhir Tahun 1979 akan
menururn dari 0,3 Ha. Tahun 1974 menjadi 0,1 Ha. Pada Tahun 1979. Demikianlah fragmentasi berlangsung tanpa dapat dikontrol. Seirama dengan gambaran di atas, Soeharto mantan Presiden
RI dalam pidato kenegaraan tgl. 18 Agustus 1982 menyatakan: masalah yang terasa semakin gawat yaitu meningkatnya jumlah petani gurem; 1 selama tujuh tahun 1973-1980 jumlah
petani meningkat dari empat belas juta menjadi tujuh belas juta atau 2,8 pertahun; 2 petani yang amat miskin yang menggarap tanah kurang dari 0,5 hektar yang juga sering disebut petani
gurem jumlahnya naik dari 6,6 juta menjadi sebelas juta orang; 3 jumlah petani penggarap penduduk pedesaan miskin tak bertanah meningkat selama periode yang sama dari 490.000
menjadi dua juta orang.
Dalam pada itu Sayogyo menyatakan; ratio antara petani yang memiliki tanah dua hektar lebih dan mereka yang memiliki kurang dari dua hektar adalah satu berbanding lebih dari
delapan. Demikian juga halnya dengan pernyataan Tampubolon, berdasarkan sensus pertanian Tahun 1983, penguasaan lahan usaha tani rata-rata per keluarga petani adalah 1,05 hektar untuk
seluruh Indonesia, dan + 0,67 hektar untuk Pulau Jawa dan Bali, bahkan mungkin sudah berada dibawah 0,50 hektar. Untuk Pulau Jawa dan Bali rata-rata penguasaan lahan beririgasi berkisar
antara 0,1 – 0,2 hektar per keluarga.
6
Pernyatan-pernyataan di atas sangat memprihatinkan dan olehkarenanya perlu mendapat perhatian khusus. Apabila fragmentasi ini berlangsung terus maka proses kemiskinan dikalangan
petanipun akan terus berlangsung. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya fragmentasi adalah pewarisan tanah. Beberapa pendapat muncul menanggapi masalah ini, ada yang menyarankan
agar diadakan pembatasan mengenai pewarisan tanah yang luasnya kurang dari batas minimum, akan tetapi ada juga yang kurang sependapat karena menyangkut sendi-sendi yang fundamentil
dalam sistem hukum kewarisan dibidang spiritual.
7
6 Maria S.W. Sumardjono, 1990,
Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Cet. pertama, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, h.87
7 Abdurrahman, 1985,
Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung: Alumni,h.149 Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform Batas Maksimum, Minimum dan Absentee
dalam Rangka Penyempurnaan UUPAPembaruan Agraria I Gusti Nyoman Agung
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
72
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Terlepas dari silang pendapat sebagaimana dipaparkan di atas, dengan menunjuk ketentuan Pasal 9 ayat 4 UU No. 56Prp1960 tentang pengaturan lebih lanjut bagian warisan tanah
pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar dalam bentuk PP maka perlu adanya beberapa alternatif pemecahan yang dalam uraian ini dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Maria S.W. Sumardjono mengemukakan: pengaturannya lebih lanjut perlu mengacu pada
ketentuan Pasal 9 ayat 2 UU No. 56 Prp1960 yakni menunjuk salah seorang diantara akhli waris yang akan memiliki tanah itu atau memindahkannya kepada pihak lain dalam
jangka waktu satu tahun setelah diterimanya warisan tersebut. Tidak kalah pentingnya dalam masalah fragmentasi ini adalah upaya non yuridis berupa penyediaan lapangan kerja
yang dapat menyerap tenaga kerja pertanian ini ke sektor lain.
8
2. Dengan menyitir pandangan Sayogyo yang menyatakan, bahwa landreform hanya dikenakan
pada golongan yang paling gurem maka cara pemecahan masalah adalah sebagai berikut: misalnya yang menguasai kurang dari 0,2 hektar, tanah mereka dibeli Pemerintah kemudian
dititipkan sebagai tanah negara yang harus diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani BUBT di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal BUBT baik modal untuk usaha
bersama maupun modal yang dipinjamkan kepada anggota untuk usaha perseorangan. Atas dasar gagasan apa untuk mengkomunalkan tanah yang paling gurem itu ? Secara
tersendiri-sendiri usaha di atas tanah yang sesempit itu mereka tidak mempunyai masa depan yang layak, daripada membiarkan mereka terombang-ambing dalam nasib, lebih
tepat dengan sadar memiliki kebijaksanaan untuk mempersatukan mereka di satuan-satuan badan usaha setiap desa di bawah tokoh-tokoh pilihan mereka yang diberi tempat sebagai
anggota baru pamong desa pelaksana program. Pembinaan BUBT dalam fase permulaan seyogyanya adalah Departemen Dalam Negeri Cq Agraria dan PMD dengan dukungan
Dep. Nakertranskop.
9
3. Alternatif lain diajukan oleh Parlindungan yang memperkenalkan suatu konsep tentang larangan fragmentasi secara tuntas dan land consolidation. Keduanya dapat dituangkan
dalam suatu produk hukum. Larangan fragmentasi harus dengan tegas dilaksanakan dan termasuk masalah mengenai pewarisan. Bebarapa negara seperti Jepang menetapkan
anak tertua yang mewarisi tanah sedangkan bagi anak-anak lainnya sejumlah uang yang menjadi bagiannya dan untuk keperluan itu bank akan memberikan pinjaman. Sedangkan
land consolidation dicapai dengan cara menghimpun semua tanah-tanah, baik tanah yang tersebar maupun tanah-tanah yang kecil-kecil untuk dihimpun dan kemudian dibagi lagi
dengan kavling yang memenuhi syarat untuk menjadi lahan keluarga lahan yang dapat memberikan kehidupan yang layak kepada satu keluarga. Selanjutnya dikatakan, hak akhli
waris tidak diganggu namun hak untuk mendapatkan tanah perlu ditata dan tanah tidak boleh dipecah-pecah lagi dalam lahan-lahan yang tidak lagi sebagai lahan ukuran keluarga yaitu
lebih kurang dua hektar menurut versi UU No. 56 Prp1960 dan sekaligus dilaksanakan land consolidation atas tanah yang terpecah-pecah sehingga tidak lagi ekonomis dan juga
atas tanah-tanah milik seseorang yang tersebar di beberapa lokasi.
10
Ketiga alternatif yang diajukan oleh para akhli di atas dalam rangka usaha mencegah dan
8 Maria S.W. Sumardjono,op.cit.,h.88
9 Abdurrahman,op.cit.,h.66
10 Parlindungan, A.P., 1987, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, Bandung: Alumni,h. 66
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
73
menanggulangi fragmentasi tanah pertanian sangat menarik untuk disimak. Catatan penulis atas pandangan Sayogyo adalah, apakah Pemerintah mempunyai cukup dana untuk membeli tanah
milik petani ? dan bagimana pula mengenai penetapan harganya ?