PEMBAHASAN 1. Studi Perbandingan Tentang CSR Dalam Dunia Korporasi Di Negara Maju
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
5
wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan dengan berbagai defi nisi tentang CSR yang dapat dijumpai dari berbagai literatur. Seperti misalnya
menurut World Bank, CSR didefi nisikan sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large
to improve quality of life, in ways that are both and good for business development.”
6
Senada dengan World Bank, Danette Wineberg and Philip H Rudolph mengemukakan defi nisi CSR adalah
“the contribution that a company make in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy.”
7
Mencermati adanya konsep Corporate Philanthropy CP, yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi
kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat tempat perusahaan beroperasional, sekali lagi menjadi sangat wajar jika praktek penerapan CSR di
negara-negara maju diterapkan secara sukarela atau voluntary.
Keberadaan CSR di Indonesia sekarang ini, selain kontroversial yaitu perdebatan seputar voluntary based v. mandatory based, juga persoalan lain yang juga dipertanyakan adalah mengapa
perusahaan atau korporasi yang harus melakukan tanggung jawab sosial ? mengapa bukan pihak lainnya ? mengapa tanggung jawab sosial harus dibebankan kepada perusahaan ?. Jawabannya
akan menjadi sangat sederhana jika mengacu pada legal term “CSR” adalah kepanjangan dari Corporate Social Responsibility, tentu saja dari istilah dan konsep tersebut menentukan perusahaan
atau korporasi yang mempunyai tanggung jawab sosial. Sehubungan dengan mengapa korporasi atau perusahaan harus bertanggungjawab dan seberapa besar tanggungjawab social yang harus
dilakukan oleh perusahaan, dalam ranah keilmuan di kenal empat 4 teori yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dari perusahaan yaitu:
8
• Maximizing Profi ts theory, berdasarkan teori ini, yang lebih dikenal sebagai teori atau pandangan
tradisional tentang tanggung jawab sosial, mengemukakan bahwa sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan, maka perusahaan berkewajiban untuk meningkatkan
dan memaksimalkan keuntungan dari shareholders pemilik saham perusahaan. Menurut Milton Friedman, seorang pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi melalui teorinya
menambahkan bahwa memaksimalkan profi t diartikan sepanjang dilakukan dalam jalur yang tepat rule game dalam skema persaingan bebas tanpa suatu kecurangan. Teori ini
banyak dikecam karena hanya menekankan pada tanggungjaab dan kewajiban meningkatkan keuntungan bagi shareholders.
• Moral Minimum theory, konsep tanggung jawab sosial menurut teori yang ke dua ini adalah
bahwa perusahaan wajib untuk menghasilkan keuntungan dalam operasinya, namun jangan sampai merugikan atau membahayakan pihak lainnya. Sebagai contoh dalam teori ini
jika suatu perusahaan menimbulkan pencemaran lingkungan, maka perusahaan tersebut wajib memberikan kompensasi ganti rugi atas kerugian yang terjadi. Jika kemudian pihak
perusahaan telah memberikan ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut , maka perusahaan tersebut telah melakukan
tanggung jawab sosial yaitu memenuhi moral minimum konsep CSR. Teori ini pun banyak menuai kritik karena tanggung jawab sosial hanya berorientasi pada program pemulihan
keadaan setelah terjadi negatif effects .
6 Johannes Simatupang,
Memeriksa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http:johannessimatupang.wordpress.com20090608, diakses 8 Nopember 2009, hal 1.
7 Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal 2.
8 Henry R. Cheeseman, 2003. Contemporary Business E-Commerce Law, Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey,
page186-192. A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR Corporate Social Responsibility di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
6
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
• Stakeholder Interest Theory, menurut teori ini perusahaan harus mempertimbangkan efek
dari kegiatan operasionalnya terhadap kepentingan stakeholder karyawan, konsumen, kreditor, masyarakat setempat. Kritik terhadap teori ini adalah bahwa tidak mudah
mengharmonisasikan kepentingan stakeholder yang satu dengan stakeholder lainnya, misalnya suatu tindakan mungkin akan mememenuhi kepentingan stakeholder dari kalangan para
kreditor, namun belum tentu memenuhi keinginan dan kepentingan stakeholder pegawai karyawan maupun masyarakat setempat.
• Corporate Citizenship theory, menurut teori ini, tanggung jawab sosial berarti perusahaan
berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang baik to do good baik untuk perkembangan perusahaannya sendiri maupun keseluruhan stakeholders termasuk didalamnya lingkungan,
perusahaan bertanggungjawab untuk membantu memecahkan masalah sosial, mensubsidi mendirikan sekolah-sekolah maupun mendidik anak-anak. Teori ini kemudian banyak
diikuti berkaitan dengan penerapan CSR dalam praktek.
Senada dengan Corporate Citizenship theory, berkembang konsep CSR dengan tiga piramida dasarnya berdasarkan konsep triple bottom lines yaitu : profi t, people, dan planet 3P, keberadaan
perusahaan ataupun korporasi tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi sejak awal sudah turut melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, orang-
orang, atau stakholdernya dan lingkungan.
Konsep CSR di Eropa dan AS, jika dikaitkan dengan CSR yang tercantum dalam Undang- Undang Penanaman Modal UU No. 25 Tahun 2007 dan Undang-Undang PT UU No.
40 Tahun 2007 memang terlihat ada perbedaan. Konsep dan teori-teori CSR sebagaimana tersebut diatas, khususnya dari “pemaksaan” pelaksanaannya dan luas cakupan dari CSR itu
sendiri. Sekali lagi di negara-negara maju mekanisme pelaksanaannya CSR adalah voluntary based, sedangkan di Indonesia adalah mandatory atau kewajiban hukum, kewajiban tersebut sangat tegas
dicantumkan melalui ketentuan Pasal 15 dan Pasal 34 UU No. 25 Tahun 2007 yang menentukan bahwa : setiap Penanam Modal perseroan ataupun perusahaan berbadan hukum ataupun bukan
badan hukum berkewajiban untuk: 1.
Menerapkan prinsip dan tata kelola perusahaan yang baik 2.
Melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan 3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal 4.
Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal 5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 5 UU No 25 Tahun
2007
9
Undang-Undang Penanaman Modal mengatur sanksi secara tegas mengenai pelanggaran terhadap kewajiban CSR yaitu:
1. Peringatan tertulis
2. Pembatasan kegiatan usaha
3. Pembekuan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal dan
4. Pencabutan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal.
Sementara itu CSR dalam UU PT yang kemudian lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab
9 Jamin Ginting, 2007,. Hukum Perseroan Terbatas UU No. 40 Tahun 2007, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 98.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
7 Sosial Dan Lingkungan, melalui ketentuan Pasal 74 U.U. No. 40 Tahun 2007 menyebutkan
bahwa: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan
sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah. 5. Penjelasan Pasal 74 UUPT menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud
dengan ”perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya
alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan kemudian membandingkannya konsep CSR di negara-negara maju, saya sependapat dengan tim peneliti dari KHN bahwa bahwa konsep
dasar Tanggung Jawab Sosial Korporasi dalam Undang-Undang tersebut telah mengalami perubahan yaitu dari konsep dasar ’tanggung jawab sosial”
social responsibility menjadi ”kewajiban hukum”
legal obligation. Meskipun konsep CSR kemudian mengalami
perubahan ketika diterapkan di Indonesia, kiranya itu bukan suatu kesalahan. CSR sebagai suatu konsep, sebagai suatu pemahaman seperti halnya perkembangan teori-teori CSR tersebut diatas,
bukanlah sesuatu yang vacuum melainkan senantiasa progress dan berubah. Dengan demikian bukan merupakan sesuatu yang sangat aneh jika dalam penerapannya di Indonesia konsep CSR berubah
dari social responsibility menjadi legal obligation, jika memang perubahan pemahaman atas konsep CSR tersebut lebih tepat untuk mengakomodir tidak hanya kepentingan perusahaan, akan
tetapi juga seluruh stakeholders perusahaan seperti: masyarakat setempat, karyawan, konsumen, investor, dan pemerintah. CSR sebagai salah satu perwujudan best practice dari GCG Good
Corporate Governance, jika memang dalam kontekstualnya di Indonesia lebih tepat diformulasikan melalui bentuk Undang-Undang, mengapa tidak ? Indonesia harus berani berbeda karena
memang situasi dan kondisi indonesia berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa.
Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia harus berani berbeda dengan negara-negara maju dalam penerapkan CSR jika memang itu diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan,
kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, melindungi, melestarikan dan merabilitasi lingkungan hidup manusia serta pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Secara singkat, konsep CSR idealnya tetap dikaitkan dengan konsep Community Development CD. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pengaturan dan pengimplementasian CSR di Indonesia,
adalah suatu progress step dan langkah yang sangat berarti bagi perkembangan Indonesia ke depan dengan berani ”bertegur sapa” dengan pluralism approach, terutama jika memang pendekatan
itu yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia masyarakatnya, lingkungannya, dan juga alamnya. Melalui mekanisme mandatory based, kepastian bahwa keberadaan perusahaan tidak
A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR Corporate Social Responsibility di Indonesia Ni Ketut Supasti Dharmawan
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
8
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
hanya akan memikirkan perkembangan perusahaan itu sendiri akan tetapi sama pentingnya dengan berkontrubusi untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat
setempat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Secara etis moral, perusahaan dinilai memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan masyarakatnya. Untuk memastikan bahwa tanggung
jawab sosial itu terlaksana dengan baik, pendekatan legal obligation atau konsep pertanggungjawaban sosial yang bersifat mandatory kiranya tidak berlebihan diterapkan di Indonesia.
Archie B. Carrol, mengembangkan piramida CSR yaitu sebagai suatu kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lones : profi t, people, dan planet
3P, konsep piramida CSR haruslah difahami sebagai suatu kesatuan. Dalam pemahaman CSR sebagai suatu kesatuan, maka penerapan CSR dipandang sebagai sebuah keharusan. Karenanya
CSR bukan saja sebagai tanggungjawab, tetapi juga sebuah kewajiban.
10
Kontroversi tentang pengaturan CSR dalam Undang-Undang di Indonesia kiranya juga sah-sah saja, sebab baik yang pro maupun yang kontra, mereka mempunyai argumentasi yang
kuat untuk mendukung pendapatnya. Seperti halnya pandangan yang mengkritisi legalisasi CSR ke dalam Undang-Undang yang khusus mengatur tentang korporasi, memandang legalisasi
seperti itu malah akan membebankan pihak pengusaha. Kelaziman praktek CSR juga menjadi argumentasi yang relevan untuk mengkritisi pengaturan CSR ke dalam bentuk Undang-Undang.
Praktek CSR yang berlangsung lewat mekanisme soft laws deregulasi seperti code of conducts telah menjadi ciri tersendiri pelaksanaan CSR di dunia hukum korporasi, karenanya setiap upaya
untuk menstransformasikan CSR dalam hukum perusahaan regulasi akan selalu memunculkan permasalahan dan preseden regulasi. CSR dengan ciri khasnya yang terformulasikan dalam
bentuk soft law sesungguhnya berada di luar wilayah hukum formal.
Tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku transparan dan
etis, konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep CSR dengan demensinya lingkungan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat, organizational
governance, isu konsumen, dan praktek bisnis yang sehat, pelaksanaannya sangat beragam dan sangat bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela yang didasarkan pada dorongan
moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena penerapan CSR dalam prakteknya selalu disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakatnya. Pendekatan regulasi dalam bentuk UU sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness,
seperti mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, yang tidak hanya pelaporan tentang aspek keuangan, akan tetapi juga pelaporan yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan
GCG.
11
Namun demikian keberadaan CSR dalam bentuk Undang-Undang juga akan dapat menjadi dasar hukum bagi sektor bisnis agar mampu menjalankan kegiatan usahanya secara lebih
bertanggung jawab dan bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban para pebisnis atas berbagai malpraktek yang dilakukannya selama ini dan berdampak sangat merugikan tidak hanya
masyarakat setempat, lingkungan, dan bumi Indonesia.
Di negara Eropa, situasi kontroversi sehubungan dengan penerapan CSR juga terjadi seperti yang dialami di Indonesia. Meskipun kelazimannya CSR diterapkan secara sukarela di Eropa,
10 Bing Bedjo Tanudjaja, Perkembangan Corporate Social Responsibility Di Indonesia, http:www.petra.ac.id , diakses 8 November 2009, hal.93.
11 Mohamad S. Hidayat, Pandangan Dunia Usaha Terhadap Undang-Undang, http:www.madani-ri.com20071031 , diakses 7 Nopember 2009, hal 3.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
9
namun dewasa ini, seiring dengan banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi, seperti pelanggaran HAM
12
, keinginan untuk menerapkan konsep CSR melalui pendekatan Undang-Undang mulai tumbuh secara progress dan umumnya disuarakan oleh
kalangan akademisi dan Non Government Organization NGO. Kalangan ini berargumen bahwa tanggungjawab korporasi terutama yang berdimensi human rights terlalu riskan dan amat penting
jika hanya dibiarkan dikelola oleh korporasi. Menurut pandangan para akademisi dan NGO ini, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh korporasi sudah sewajarnya diimbangi dengan serangkaian
tanggungjawab berbasis hukum, terutama korporasi-korporasi dari kalangan Foreign Direct Investment FDI yang memiliki serentetan hak-hak yang sangat mendominasi, mengapa harus
takut membebani mereka dengan kewajiban hukum. Namun demikian dalam kenyataannya suara-suara mereka belum cukup kuat jika dibandingkan dengan kekuatan korporasi, sehingga di
Eropa, CSR masih diterapkan sesuai konsep awalnya yaitu dalam bentuk social responsibility yang voluntary based.
13
Di Eropa, starting point tentang perdebatan CSR antara regulatory atau voluntary, khususnya tanggung jawab perusahaan terkait human rights, social and environmental responsibilities, dapat
disebutkan berawal dari the EU’s Corporate Social Responsibility Police: The European Commission’s Green Paper On CSR of 2001. Mengkaji proses perkembangannya, The Green Paper 2001 mendifi nisikan
CSR sebagai sebuah konsep pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap stakeholders nya dengan basis voluntary atau secara sukarela, namun tetap mempertimbangkan peran aktif dari
otoritas publik. Perkembangan selanjutnya tentang CSR adalah pada tahun 2002, melalui the EU Multi-Stakeholder Forum dan the Lisbon Strategy review pada tahun 2005 yang nampaknya masih
didominasi oleh para pebisnis korporasi, karenanya CSR pendekatannya masih pada ranah voluntary. Di sisi lain, pandangan dari the European Parliement agak kontras berbeda dengan
the EU Multi-Stakeholder Forum maupun the Green Paper 2001, dengan mengedepankan konsep a mixed approach, yaitu suatu kombinasi voluntary dan regulatory. Meskipun European Parliement dan
juga NGO yang pada awalnya berkeinginan agar CSR diterapkan dalam format regulatory, namun dalam perkembangannya ternyata suara korporasi yang masih tetap unggul, dan sebagai hasil
akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa CSR tetap dalam format voluntary approach
14
. Proses perdebatan dan kontroversi tentang pendekatan CSR di Eropa, kiranya juga dapat
dijadikan perenungan bahwa meski di negara maju seperti Eropa, konsep CSR tidak begitu saja harus diterapkan dalam format voluntary, akan tetapi ada juga keinginan untuk mengaturnya
dalam format regulatory, atau pendekatan yang lebih memadai dengan mixed framework
A mixed framework atau a hybrid framework adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan antara pelaksanaan CSR secara voluntary dan regulatory. Dalam pendekatan hybrid ini tidak melihat
keduanya terpisah secara ekslusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang saling melengkapi. Dengan adanya suatu usaha legislasi, itu bukan berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai
suatu hal yang tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep CSR ke dalam Undang- undang lebih dimaksudkan sebagai salah satu faktor yang akan dapat lebih mempengaruhi
12 Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi terkait dengan keberadaan Korporasi MNC seperti misalnya dalam kasus Filartiga v. Pena-Irala case, Wiwa v. Royal Dutch Petroleum Co Case, Doe I v Unocol Corp Case, dll . penomena seperti itu telah me-
narik banyak experts untuk melakukan penelitian terkait dengan tanggungjawab perusahaan. Lihat Menno T. Kamminga and Saman Zia-Zarifi , 2000, Liability of Multinational Corporations Under International Law, Kluwer Law International, The
Netherlands, page 3.
13 Jan Wouters, Leen Chanet, Corporate Human Rights Responsibility : A European Perspective, http:www.law.nortwestern.edu journalsjihrv6n23 , diakses 8 Mei 2009, hal 3.
14 Ibid, hal 7-12. A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR Corporate Social Responsibility di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
10
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
ketaatan prilaku korporasi dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya. Dalam banyak hal, di luar pendekatan regulatory framework, justru sangat diharapkan korporasi lebih dapat menjalankan
tanggungjawab sosialnya melebihi dari apa yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang. Melalui alternatif hybrid model ini, secara yuridis setiap perusahaan sebagaimana pengertian perusahaan
dalam UUPT dan UUPM wajib menjalankan CSR,
mandatory based, namun dari aspek mekanisme pelaksanaanya yang berkaitan dengan apakah perusahaan secara langsung atau harus
bermitra dengan pemerintah untuk melaksanakannya, begitu juga jenis-jenis kegiatan apa saja yang menjadi cakupan dari CSR, apakah harus dalam bentuk rekrtmen pegawai, pemberian
beasiswa, pola pendampingan usaha, model-model pelestarian lingkungan, partisipasi aktif ke masyarakat, dan lain sebagainya, kiranya pelaksanaannya dilakukan dalam sekema
voluntary based, dengan berorientasi pada local genuine problem. Model hybrid framework inilah yang kiranya
cukup memadai digunakan dalam penerapan CSR di Indonesia ditengah-tengah kontroversi CSR antara voluntary dan regulatory mandatory.
Dalam kaitannya dengan persoalan apakah konsep CSR yang berlaku secara umum di dunia korporasi sama dengan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan di dalam UUPT No. 40
Tahun 2007, dapat dikemukakan bahwa dari segi pendekatan yang digunakan memang berbeda. CSR yang berlaku secara umum di dunia korporasi berbasis social responsibility yang voluntary,
sementara itu dalam UU No. 40 Tahun 2007 tanggung jawab sosial yang berbasis ”kewajiban hukum” atau legal obligation. Namun demikian, sebagaimana dengan model pendekatan a hybrid
framework seperti tersebut diatas, penerapan CSR dalam perundang-undangan hendaknya tidak dilihat sebegai suatu yang berbenturan akan tetapi suatu pendekatan yang saling melengkapi.
Jikapun harus dilihat sebagai suatu yang berbeda, sekali lagi pencantuman konsep CSR dalam format Undang-Undang bukan suatu ”kesalahan” melainkan suatu ”kebutuhan”.
Mencermati mengapa CSR dalam prakteknya kelazimannya di negara-negara maju dilakukan secara voluntary, mungkin jawabannya karena ”kebutuhan” mereka seperti itu. Umumnya
korporasi-korporasi ”MNE”, holding company- nya berasal dari Eropa maupun Amerika. Dalam situasi seperti itu penerapan CSR lebih menguntungkan jika dilakukan dengan pendekatan
voluntary. Jika negara negara maju posisinya ditukar, mereka berposisi seperti negara Indonesia yang lingkungannya dan sumber daya alamnya dimanfaatkan untuk kepentingan operasional
bisnis para korporasi, akankah kebutuhan mereka tetap menginginkan CSR diterapkan dengan pendekatan voluntary ? atau jangan-jangan dengan bargaining position mereka yang lebih kuat,
pihaknya akan memaksakan agar CSR dimasukkan dalam framework regulatory.
Dalam perkembangan globalisasi sekarang ini, negara-negara maju yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat senantiasa sangat concern memperjuangkan framework regulatory jika menyangkut
”kebutuhannya”, seperti halnya dalam pengimplementasian WTO dengan berbagai Annex- nya yang senantiasa menuai kontroversial. Bagi negara maju, globalisasi ekonomi dan international
trade tentunya sangat menguntungkan, namun belum tentu situasinya sama bagi negara-negara berkembang. Oleh karenanya penerapannya mesti dibarengi dengan good governance dan bantuan
secara berkesinambungan dari negara-negara maju, sebab jika tidak kehadiran perangkat regulasi ini lebih akan menjadi kutukan atau nestapa a curse dari pada berkah a blessing to humankind.
15
Dalam hal ’kebutuhan” berkorelasi dan menyangkut ”keadilan” masyarakat manusia dan alam lingkungannya, kiranya bertegur sapa dengan pendekatan pluralisme bukanlah sesuatu yang
tabu.
15 Peter Van Den Bossche,2008. The Law And Policy of the World Trade Organization, Cambridge University Press, page 71.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
11 2. Perbandingan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan UU No. 25 Tahun 2007
dan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan UU No. 40 Tahun 2007 Dengan Konsep CSR di Eropa Dan Amerika.
Sehubungan dengan keberadaan Pasal 15 huruf b UUPM serta penjelasannya tentang melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan TJSP dan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 74
Ayat 1 UUPT berkaitan dengan kewajiban perseroan untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan TJSL, kiranya memang konsep yang diakomodirnya tidak sama persis
dengan CSR di Eropa dan AS. CSR baik dalam UUPM maupun UUPT hanya mengedepankan kewajiban perusahaan untuk menciptakan dan memelihara bina lingkungan yaitu berinteraksi
dan menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Konsep CSR seperti yang lazim dipraktekkan di Eropa dan
Amerika cakupannya lebih luas juga mencakup kewajiban perusahaan untuk mematuhi standar internasional di bidang ketenagakerjaan, pemenuhan kepuasan, atau kebutuhan pemangku
kepentingan seperti misalnya konsumen.
16
Secara eksplisit cakupan yang seluas CSR di negara maju memang tidak diatur baik dalam UUPM maupun UUPT. Mengingat CSR merupakan
salah satu bentuk perwujudan dari best practice GCG, kiranya kedepannya akan sangat relevan dalam UUPM maupun UUPT mengatur secara eksplisit prihal kewajiban mematuhi standar
internasional di bidang ketenagakerjaan, seperti halnya yang lazim dalam praktek di Eropa dan Amerika, begitu juga kewajiban tanggungjawab sosial pemenuhan kepuasan dan kebutuhan
pemangku kepentingan seperti konsumen.
Perbedaan konsep CSR dalam UU di Indonesia dengan CSR di negara maju, selain dalam UUPM maupun UUPT tidak mengakomodir secara eksplisit elemen-elemen penting dari
CSR sebagaimana konsep CSR di negara maju, saya sependapat dengan tim peneliti dari KHN bahwa keduanya tidak secara tegas mencantumkan dan menjelaskan apakah konsep CSR dalam
Undang-Undang tersebut mencakup bidang ketenagakerjaan dan hak asasi manusi seperti CSR di negara maju. Dalam UUPT Pasal 1 angka 3 hanya menyebutkan : ”Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat.” Selain
itu, saya juga sependapat dengan pemakalah, bahwa CSR dalam UUPT terkesan diskriminatif, yaitu karena hanya mewajibkan TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Idealnya CSR diterapkan pada perseroan dalam semua lini.
Konfl ik norma tampak jelas mewarnai keberadaan CSR dalam UUPT, terutama pada Pasal 1 angka 3 dengan Pasal 74. pada Pasal 1 ayat 3 UUPTmenyebutkan ”tanggung jawab sosial dan
lingkungan adalah merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat,
baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”, sementara itu pada Pasal 74 UUPT mengemukakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di
bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam konteks ini, dengan mendasarkan pada konstruksi hukum yang dikemukakan oleh Lawerence Friedman, dimana sistem hukum legal system terdiri dari tiga
16 Mardjono Reksodiputro, OpCit, hal 10. A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR Corporate Social Responsibility di Indonesia
Ni Ketut Supasti Dharmawan
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
12
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
unsur yaitu legal substance substansi hukum , legal structure struktur hukum dan legal culture budaya hukum,
17
idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah. Jika dalam tatanan legal
substance substansi hukumnya terjadi konfl ik norma maupun norma kabur, tentu saja dalam proses penegakan hukumnya akan menyulitkan dan akan menjadi sebagai salah satu faktor
penyebab tidak efektifnya hukum dalam ranah penegakannya. Rekomendasi yang dapat diajukan adalah untuk mencermati kembali keberadaan pasal 1 ayat 3 dan relasinya dengan Pasal 74
UUPT .