Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2005.

KERTHA PATRIKA • VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010 22 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM target Pendapat Asli Daerah PAD, sehingga menimbulkan ketidakefektifan dalam pemanfaatan tataruang dan mengakibatkan pula terjadinya ketidakserasian dan ketidakseimbangan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian tataruang wilayah. Penegakan hukum dalam persoalan konfl ik kepentingan yang dirasakan saat ini perlu pengkajian secara cermat. Dalam konteks ini, terhadap semua tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah atau norma yang berlaku harus dilakukan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Berbagai pelanggaran di dalam pemanfaatan tataruang selama ini tidak mendapat tindakan secara proporsional sehingga terus berlangsung dan cenderung meningkat. Berdasarkan kenyataan sebagaimana dimuat dalam media surat kabar dengan judul: ”Pelemahan Bali Nan Terkoyak”, antara lain ditulis bahwa bangunan vila tidak hanya menyerbu kawasan suci sekitar Pura Uluwatu di Desa Pecatu Kabupaten Badung, di daerah persawahan di Desa Canggu dan Desa Kerobokan, juga di kawasan hulu seperti lereng, danau di Kabupaten Tabanan mulai dirambah pembangunan vila. Ironisnya pembangunan vila-vila tersebut tidak lagi mengindahkan pemanfaatan ruang sebagaimana tertuang dalam peraturan daerah yang berlaku saat ini. Kawasan hulu yang diharapkan mampu menyediakan air untuk kawasan hilir, secara perlahan mulai digerogoti dengan adanya alih fungsi lahan. 30 Secara spesifi k penegakan hukum di wilayah kabupaten Badung belum berjalan secara optimal. Masih banyak pelanggaran tataruang dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas. Penegakan aturan tataruang pemerintah kabupaten Badung dinilai ”ompong”. 31 Penegakan aturan itu tidak berdaya karena tidak adanya pengenaan sanksi. Sesungguhnya penjatuhan sanksi pidana dapat dikenakan bagi pelanggar tataruang sebagaimana di atur dalam Pasal 42 Perda RTRWP Bali, yang selengkapnya berbunyi: Ayat 1 : setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 7 Perda ini yakni wajib memelihara kualitas ruang dan wajib menaati rencana tataruang yang telah ditetapkan, diancam pidana kurungan paling lama 6enam bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah. Ayat 2 : tindak pidana yang dimaksud adalah pelanggaran. Ayat 3 : selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seyogyanya pemerintah kabupaten Badung lebih serius memperhatikan penegakan hukum tersebut untuk mewujudkan keserasian dan keseimbangan hubungan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Pemerintah kabupaten Badung harus meningkatkan pengawasan terhadap pengaturan, penataan, pemanfaatan dan pengendalian tataruang. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, lebih menekankan pentingnya penjagaan lingkungan termasuk pengenaan sanksinya. Berdasarkan undang-undang tersebut, para pelanggar aturan dapat dikenakan sanksi denda Rp.500.000.000,-lima ratus juta rupiah dan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun. 32 Sanksi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 jauh lebih berat dibandingkan sanksi yang di atur dalam Peraturan Daerah tersebut. Dengan payung hukum yang lebih tegas sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, tentunya pemerintah kabupaten Badung tidak ragu-ragu lagi dalam penegakan hukum. 30 Harian Umum Bali Post, Jumat 25 April 2008, h. 2 31 Harian Umum Bali Post, Kemis 21 April 2008, h. 2 32 Pasal 69 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM • 23 Dari persoalan lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus sebagaimana dipaparkan di atas, perlu ada komitmen dari semua pihak khususnya dari aparat penegak hukum untuk lebih tegas dan konsisten menjadikan hukum sebagai panglima dalam pembangunan terutama penegakan aturan sebagaimana di atur dalam undang-undang dan peraturan daerah yang berlaku yang dilandasi oleh prinsip Tri Hita Karana.

3.2. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 yang mengatur tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung selanjutnya disingkat Perda No.52005 pada prinsipnya adalah menjamin keselamatan pengguna dan lingkungan serta mengakomodir nilai-nilai luhur budaya masyarakat Bali yang di dalam penyelenggaraannya berdasarkan prinsip Tri Hita Karana. Menjadi persoalan, bagaimanakah penegakan hukum dari peraturan daerah ini dengan tidak adanya kejelasan atau tidak dicantumkannya ketentuan tentang sanksi bagi persyaratan arsitektur bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peraturan daerah tersebut? Patut dicermati bahwa di dalam Pasal 23 Perda No.52005 hanya menentukan: “arsitektur bangunan gedung yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perda ini, harus menyesuaikan dengan persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana di atur dalam Perda ini”. Demikan pula di dalam ”Penjelasan” pasal ini disebutkan ”Cukup jelas”. Oleh karena itu, Perda No.52005 sudah sepatutnya direvisi dan diberdayakan terutama dalam penegakan hukumnya. Sebab, sesuai dengan fungsi penegakan hukum, bahwa Perda ini harus dapat menciptakan kepastian hukum agar pelaksanaan persyaratan arsitektur bangunan gedung menjadi tertib. Selanjutnya dengan terciptanya kepastian hukum, Perda ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat pengguna dan lingkungannya. Demikian pula dengan adanya Perda ini rasa keadilan akan terwujud dengan sanksi yang akan dikenakan bagi setiap pelanggarnya. Merujuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung selanjutnya disingkat UU No.282002 dalam Bab IV, Bagian Ketiga, Paragraf 3 Pasal 14 di atur mengenai Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Dengan adanya aturan tersebut, maka bagi pihak yang tidak memenuhi kewajibannya, akan dikenakan saksi. ”Setiap pemilik atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan, dan penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi pidana”. 33 Pengenaan sanksi tidak membebaskan pemilik dan atau pengguna bangunan gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Undang-undang Nomor 282002 ini patut dijadikan acuan dalam penjatuhan sanksi, karena sanksi yang di atur dalam perda No.52005 tidak tegas. Sanksi administratif yang dimaksud adalah sanksi yang diberikan oleh administrator pemerintah kepada pemilik atau pengguna bangunan gedung tanpa melalui proses peradilan, meliputi beberapa jenis tergantung pada tingkat kesalahannya. Sanksi administratif dapat berupa: peringatan tertulis, pembatasan kegiatan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan pembangunan, pencabutan izin mendirikan bangunan gedung, pembekuan sertifi kat laik fungsi bangunan gedung, atau perintah pembongkaran bangunan gedung. 34 Selain pengenanaan sanksi administratif, dapat juga dikenakan sanksi denda paling banyak 10 0 per seratus dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun. Nilai bangunan yang 33 Pasal 44 UU No.282002 34 Pasal 45 ayat 1 UU No.282002 Implementasi Prinsip Tri Hita Karana dalam Kontrak Konstruksi I Wayan Wiryawan KERTHA PATRIKA • VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010 24 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM dimaksud adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun. Bagi yang sedang dalam proses pelaksanaan konstruksi, dihitung berdasarkan nilai keseluruhan bangunan gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi bangunan gedung yang telah berdiri. Sedangkan sanksi pidananya ditujukan kepada setiap pemilik atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini, di ancam pidana mulai dari tiga tahun hingga lima tahun tergantung dari akibat kerugian yang ditimbulkan. 35 Dari ketentuan di atas, nampak jelas perbedaan ancaman hukuman yang dikenakan, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana pada UU No.282002. Sebaliknya di dalam Perda 52005 tidak di atur atau tidak jelas ancaman hukuman yang dikenakan baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidananya. Walaupun Perda No.52005 tidak menyebutkan sanksi secara jelas, namun dapat ditafsirkan bahwa Perda No.52005 itu merupakan penjabaran dari UU No.282002, karena UU No.282002 mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau peraturan perundang-undangan lainnya termasuk peraturan daerah. 36 Dengan demikian, apabila pengenaan sanksi pada Perda No.52005 tidak mengatur secara jelas, dapat dikenakan sanksi sebagaimana di atur dalam UU No.282002 dengan merujuk pada produk hukum yang lebih tinggi berdasarkan asas perundang-undangan yakni Lex superiori derogat legi inferiori ”peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah”. Guna meningkatkan kepatuhan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku terutama dalam ruang lingkup berlakunya Perda No.52005, masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu perlu dibentuk sebuah Tim Pengendali Arsitektur Tradisional Bali disingkat TPATB sebagaimana dicetuskan oleh Ketua Ikatan Konsultan Indonesia Inkindo Cabang Bali. 37 Tim ini dibentuk dalam kerangka kepedulian terhadap upaya-upaya mewujudkan tataruang Bali yang lestari melalui pengembangan arsitektur tradisional Bali yang kontekstual, namun tetap menghormati nilai-nilai luhur dan konsisten dalam penegakan hukumnya. Dengan upaya ini diharapkan ada komitmen yang sama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya untuk menyelamatkan Bali melalui arsitektur tradional Bali yang disusun oleh para leluhur dan dengan rambu-rambu pengendali sebagaimana di atur dalam Perda No.52005 yang berlandaskan Tri Hita Karana. 35 Periksa: Pasal 46 ayat 1, 2, 3, UU No.282002 36 Bagian Umum Penjelasan Atas UU No.282002 37 IGN Adnyana dalam: Alit Sumerta, 2004. Perlu Tim Pengendali Arsitektur Tradisional Bali Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Pustaka Bali Post, Denpasar, h.179-180.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011 -2013

48 518 89

Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

1 55 104

Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

4 84 143

Pengaruh Kinerja Keuangan, Good Corporate Governance, dan pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

12 179 88

Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia

3 83 204

Pengaruh Corporate Social Responsibility Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

1 54 90

Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

3 71 72

Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Struktur Kepemilikan Sebagai Variable Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 56 121

A hybrid framework suatu alternatif pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia.

0 0 14

A hybrid framework suatu alternatif pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia_peer reviewer.

0 0 4