PEMILIKANPENGUASAAN TANAH MELAMPAUI BATAS

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM • 67 Pemilikan danatau penguasaan tanah melampaui batas maksimum diatur dalam Pasal 7 dan 17 UUPA. Pasal 7 UUPA menetapkan: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17 UUPA menetapkan: 1 Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum danatau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum. 2 Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat. 3 Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA, ditetapkanlah UU No.56 Prp1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini mengatur tentang: 1 penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; 2 penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; dan 3 penebusan tanah pertanian yang digadaikan. Dengan demikian maka UU tersebut khusus mengatur mengenai soal tanah pertanian saja sedangkan untuk tanah non pertanian akan diatur sendiri dengan PP Pasal 12 UU No.56 Prp1960. Sampai saat ini PP termaksud belum diterbitkan, yang ada hanya berupa Instruksi Mendagri No. 211973 dan No. 271973 yang mendeteksi adanya penguasaan tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesunguhnya dan menegaskan kembali pengawasan sebagaimana diatur oleh Pasal 19 dan 44 PP No.101961. Disinyalir oleh Abdurrahman, bahwa pada saat ini telah terjadi meluasnya wabah lapar tanah untuk perumahan oleh karena itulah ketentuan Pasal 12 UU No.56 Prp1960 perlu segera direalisir. 3 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 12 UU No.56 Prp1960, Maria S.W. Sumardjono, 2008: 13-14 menyatakan, apabila dicermati ketentuan Pasal 12 UU No.56.Prp1960 maka ukuran maksimum tanah bangunan didasarkan pada luas dan jumlah tanah. Hal ini berarti bahwa bila sudah ditentukan maksimum untuk daerah tertentu seyogyanya dibedakan antara daerah yang dinilai mempunyai arti strategis bagi pembangunan dan daerah yang kegiatan pembangunannya belum berlaku secara intensif, maka kriterianya dapat dipilih antara: 1 menentukan batas luas tertentu baik untuk tanah yang sudah ada bangunannya maupun yang belum ada, misalnya 5.000 M2 bagi daerah strategis dan 10.000 M2 bagi daerah lain dengan penentuan bidang tanah sekitar lima atau sepuluh bidang, atau 2 hanya menentukan batas luas tertentu tanpa menentukan bidang tanahnya. Selanjutnya dikatakan bahwa alternatif kedua tampaknya lebih fl eksibel mengingat adanya kemungkinan penetapan luas kapling tanah yang diatur oleh 3 Abdurrahman, 1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni, Bandung, hal 89-90. Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform Batas Maksimum, Minimum dan Absentee dalam Rangka Penyempurnaan UUPAPembaruan Agraria I Gusti Nyoman Agung KERTHA PATRIKA • VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010 68 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk berbagai penggunaan. Pada dasarnya Pasal 7 UUPA menegaskan dilarangnya suatu asas groot grondbezit untuk mencegah tertumpuknya tanah di tangan golongan tertentu saja. Pemilikan dan atau penguasaan tanah yang melapui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya, hal ini menyebabkan menjadi sempitnya kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri 4 . Yang dilarang oleh Pasal 7 UUPA bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi penguasaan tanah. Dalam pengertian penguasaan tidak terbatas pada penguasaan dengan hak milik saja tetapi juga dengan hak-hak lainnya seperti hak gadai, sewa dan sebagainya. Penentuan batas maksimum memakai dasar keluarga, walaupun yang berhak atas tanahnya mungkin orang seorang. Menurut Penjelasan Pasal 17 UUPA yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar tujuh orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga. Selanjutnya ditegaskan melalui Instruksi Bersama Mendagri dan Otonimi Daerah dengan Menteri Agraria dalam suratnya No. 912 tgl. 511961 yang pada butir 5a-nya menyatakan: keluarga adalah sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur pertalian darah atau perkawinan. Namun demikian dalam prakteknya masih terjadi kesulitan sebagaimana diungkap oleh Boedi Harsono, 2007: 374, yang mempermasalahkan: apakah seseorang yang beristri lebih dari satu dianggap berkeluarga satu atau lebih? Dalam peraturan tersebut hal ini tidak diberi penjelasan. Sehubungan dengan itu ia berpendapat, kiranya yang menentukan adalah kenyataan dalam penghidupannya dan bagaimana pendapat umum di daerah ybs. Kalau masing-masing istri serta suami bersama itu pada kenyataannya merupakan kelompok sendiri dalam kehidupannya misalnya tinggal di tempat yang berlainan, mempunyai sumber nafkah sendiri-sendiri -- kiranya masing-masing itu dapat dianggap sebagai satu kesatuan keluarga. Terlepas dari pandangan Boedi Harsono di atas maka penulis memandang perlu adanya aturan yang memberi ketegasan yang lebih rinci terhadap pengertian keluarga termaksud. Dalam pada itu jumlah anggota keluarga ditetapkan tujuh orang termasuk kepala keluarga yang dapat laki-laki atau wanita. Apabila jumlah satu keluarga lebih dari tujuh orang maka kelebihan anggota keluarga diperhitungkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No.56 Prp1960 yang antara lain menetapkan: 1 Jika jumlah anggota suatu keluarga melebihi 7 orang maka keluarga itu luas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 1 untuk setiap anggota yang selebihnya ditambah dengan 10, dengan ketentuan bahwa jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50, sedang jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah kering. 2 Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut pada ayat 1 pasal ini dengan paling banyak 5 hektar. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 UU No.56 Prp1960, Maria S.W. Sumardjono, 1990: 4 Efendi Peranginangin, 1979, Hukum Agraria I, Sari Kuliah 2, Jurusan Notariat, FH UI, Jakarta,hal.53. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM • 69 87 menyatakan, untuk masa yang akan datang mungkin dapat dipikirkan tentang penyesuaian jumlah anggota keluarga dalam kaitannya dengan batas maksimal yang ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani beserta keluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta perkiraannya dimasa yang akan datang. Menurut Penjelasan Umum butir 7 a UU No. 56 Prp1960 luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap Daerah Tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor sebagai berikut: 1 tersedianya tanah yang masih dapat dibagi; 2 kepadatan penduduk; 3 jenis dan kesuburan tanahnya diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering, diperhatikan apakah ada pengairan yang teratur atau tidak; 4 besarnya usaha tani yang sebaik- baiknya the best farm size menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan beberapa buruh tani; dan 5 tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini. Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor lainnya, maka luas maksimum ditetapkan sebagai berikut: Di daerah-daerah yang Sawah hektar atau Tanah kering hektar 1. Tidak padat 2. Padat a. kurang padat b. cukup padat c. sangat padat 15 10 7,5 5 20 12 9 6 Beberapa faktor yang dipakai sebagai tolok ukur untuk mengklasifi kasikan suatu daerah ke dalam daerah padat dan tidak padat perlu mendapat sorotan, diantaranya: Luas daerah; yang dipakai sebagai perhitungan oleh UU adalah luas keseluruhan tanah yang ada si suatu daerah yang bersangkutan. Apakah perhitungan luas tanah secara keseluruhan ini dapat dianggap memadai? Menurut hemat penulis cara perhitungan ini kurang tepat oleh karena, yang diatur oleh Undang-Undang adalah mengenai tanah pertanian dan oleh karenanya lebih proporsional apabila yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah luas tanah pertanian yang ada di daerah yang bersangkutan. 1. Perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas daerah; apakah tepat kalau yang dibandingkan jumlah penduduk secara keseluruhan tanpa membedakan klasifi kasi pekerjaan dengan luas tanah secara keseluruhan dalam suatu daerah? hal ini juga memerlukan pemikiran. Penulis berpendapat bahwa secara rasional yang kiranya tepat dibandingkan adalah jumlah petani yang ada dalam suatu daerah dengan jumlah luas tanah pertanian sehingga diperoleh perbandingan yang lebih realistis. 2. Selanjutnya pelaksanaan Pasal 1 ayat 2 UU No.56 Prp1960 sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk 978KA1960 tentang penegasan luas maksimum tanah pertanian. Apakah ketentuan ini masih relevan untuk dipertahankan? Dalam perkembangannya seperti sekarang ini tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi perubahan yang sangat mendasar. Peta daerah yang pada mulanya ditetapkan sebagai dalam Rangka Penyempurnaan UUPAPembaruan Agraria I Gusti Nyoman Agung KERTHA PATRIKA • VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010 70 • JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM daerah yang tidak padat bisa berubah menjadi daerah padat, daerah yang kurang padat bisa berubah menjadi daerah yang cukup padat bahkan bisa dikatagorikan sebagai daerah yang sangat padat lebih-lebih di beberapa daerah telah mengalami pemekaran. Dengan demikian apa yang ditetapkan oleh Menteri Agraria setengah abad yang lalu tidak realistis dimasa sekarang ini dan oleh karenanya mutlak perlu ditinjau kembali, meskipun penetapan yang dilakukan kemudian tidak bisa dipertahankan dalam kurun waktu yang panjang.

III. PENETAPAN BATAS MINIMUM PEMILIKAN TANAH

Selain batas maksimum, UUPA memandang perlu menetapkan batas minimum pemilikan tanah dengan tujuan supaya setiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak, ketentuan ini dimuat dalam Pasal 17 ayat 1 dan 4 UUPA. Menurut Penjelasan Pasal 17 UUPA ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecahbelahan versplintering tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya, transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran di luar Jawa dan industrialisasi supaya batas minimum itu dapat dicapai secara berangsur-angsur. Ketentuan lebih lanjut tentang batas minimum pemilikan tanah diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU No.56 Prp1960. Pasal 8 UU No. 56 Prp1960 menetapkan: Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 ha. Pasal 9 UU No. 56 Prp1960 menetapkan 1 Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau sipenjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus. 2 Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya peraturan ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, di dalam waktu satu tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada pihak lain, dengan mengingat ketentuan ayat 1. 3 Jika mereka yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini tidak melaksanakan kewajiban tersebut di atas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, menunjuk salah seorang dari antara mereka itu, yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya kepada pihak lain. 4 Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat sedangkan luas tanah pertanian semakin menyempit maka pertanyaannya adalah apakah batas minimum ini baik untuk sawah tanah kering masih bisa dipertahankan? Sehubungan dengan masalah ini Abdurrahman 5 5 Abdurahman, op.cit.,h.85. JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM • 71 menyatakan: ada yang beranggapan bahwa batas tersebut harus diturunkan menjadi satu hektar saja sekalipun sebenarnya dua hektar tersebut sudah sangat minim dan kurang memungkinkan kelayakan hidup bagi seorang petani, tetapi apa yang hendak dikata tanah mana yang harus diberikan kepada mereka yang jumlahnya selalu bertambah sedangkan jumlah tanah relatif tetap tidak bertambah. Terhadap masalah ini penulis berpendapat bahwa diperlukan kajian yang mendalam, penuh hati-hati dan landasan pijakannya tidak terlepas dari tujuan UUPA itu sendiri yaitu kemakmuran rakyat terutama petani. Sehubungan dengan itu untuk menetapkan batas minimum ini apakah tidak perlu dipikirkan klasifi kasi jenis tanah pertanian sawah atau tanah kering, tingkat kesuburan tanah di masing-masing daerah, jenis tanaman yang bisa ditanam di atas tanah tersebut disamping kemampuan seorang petani mengerjakan tanah dalam luas tertentu. Dalam pada itu pernyataan beberapa pejabat dan para akhli ternyata telah memperkuat adanya fragmentasi tanah pertanian yang semakin meluas. Data terbaru mengenai hal ini belum ditemukan, akan tetapi bercermin dari realita yang diungkap sekitar dua puluh tahun yang lalu dapat ditunjukkan melalui uraian berikut: Sunandar Priyosudarmo mantan Gubernur Jawa Timur dalam pertemuan pimpinan AMPI se-Jawa Timur menyatakan rata-rata pemilikan tanah pada akhir Tahun 1979 akan menururn dari 0,3 Ha. Tahun 1974 menjadi 0,1 Ha. Pada Tahun 1979. Demikianlah fragmentasi berlangsung tanpa dapat dikontrol. Seirama dengan gambaran di atas, Soeharto mantan Presiden RI dalam pidato kenegaraan tgl. 18 Agustus 1982 menyatakan: masalah yang terasa semakin gawat yaitu meningkatnya jumlah petani gurem; 1 selama tujuh tahun 1973-1980 jumlah petani meningkat dari empat belas juta menjadi tujuh belas juta atau 2,8 pertahun; 2 petani yang amat miskin yang menggarap tanah kurang dari 0,5 hektar yang juga sering disebut petani gurem jumlahnya naik dari 6,6 juta menjadi sebelas juta orang; 3 jumlah petani penggarap penduduk pedesaan miskin tak bertanah meningkat selama periode yang sama dari 490.000 menjadi dua juta orang. Dalam pada itu Sayogyo menyatakan; ratio antara petani yang memiliki tanah dua hektar lebih dan mereka yang memiliki kurang dari dua hektar adalah satu berbanding lebih dari delapan. Demikian juga halnya dengan pernyataan Tampubolon, berdasarkan sensus pertanian Tahun 1983, penguasaan lahan usaha tani rata-rata per keluarga petani adalah 1,05 hektar untuk seluruh Indonesia, dan + 0,67 hektar untuk Pulau Jawa dan Bali, bahkan mungkin sudah berada dibawah 0,50 hektar. Untuk Pulau Jawa dan Bali rata-rata penguasaan lahan beririgasi berkisar antara 0,1 – 0,2 hektar per keluarga. 6 Pernyatan-pernyataan di atas sangat memprihatinkan dan olehkarenanya perlu mendapat perhatian khusus. Apabila fragmentasi ini berlangsung terus maka proses kemiskinan dikalangan petanipun akan terus berlangsung. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya fragmentasi adalah pewarisan tanah. Beberapa pendapat muncul menanggapi masalah ini, ada yang menyarankan agar diadakan pembatasan mengenai pewarisan tanah yang luasnya kurang dari batas minimum, akan tetapi ada juga yang kurang sependapat karena menyangkut sendi-sendi yang fundamentil dalam sistem hukum kewarisan dibidang spiritual. 7 6 Maria S.W. Sumardjono, 1990, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Cet. pertama, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, h.87 7 Abdurrahman, 1985, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung: Alumni,h.149 Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform Batas Maksimum, Minimum dan Absentee dalam Rangka Penyempurnaan UUPAPembaruan Agraria I Gusti Nyoman Agung

Dokumen yang terkait

Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011 -2013

48 518 89

Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerialdan Kepemilikan Institusionalserta Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

1 55 104

Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

4 84 143

Pengaruh Kinerja Keuangan, Good Corporate Governance, dan pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

12 179 88

Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia

3 83 204

Pengaruh Corporate Social Responsibility Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

1 54 90

Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

3 71 72

Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Struktur Kepemilikan Sebagai Variable Moderating: Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 56 121

A hybrid framework suatu alternatif pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia.

0 0 14

A hybrid framework suatu alternatif pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia_peer reviewer.

0 0 4