EKSISTENSI YURIDIS SANKSI ADAT KASEPEKANG
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
54
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
ini menegaskan bahwa dalam hal hakim memutus suatu perkara hendaknya seorang hakim memperhatikan dan wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat living law.
Mochtar Kusumaatmadja
16
sebagaimana dikutip Otje Salman Soemadiningrat melihat bahwa hukum tidak semata-mata merupakan gejala normatif yaitu keseluruhan asas-asas dan
kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Lebih dari itu, hukum juga merupakan gejala sosial yang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Jika dikaji lebih mendalam bahwa landasan yuridis yang dapat dijadikan dasar bagi eksistensi hukum adat adalah Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-
tindakan Sementara Untuk Penyelenggara Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan, khususnya Pasal 5 ayat 3b yang menyatakan sebagai berikut:
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum pidana materiil sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dulu
diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:
bahwa untuk suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Sipil, maka dengan dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara danatau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum;
bahwa, bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut fi kiran Hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan
jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
Dari rumusan Pasal 5 ayat 3b Undang-undang darurat Nomor 1 Tahun 1951 dapat disarikan sebagai berikut :
1. perbuatan yang menurut hukum adat dipandang sebagai perbuatan atau delik adat tetapi tidak diatur dalam peraturan prundang-undangan adalah tetap diakui keberadaanya sebagai
perbuatan pidana meskipun tidak dirumuskan dalam Undnag-undang hukum tertulis. 2.
delik adat yang telah dijatuhi sanksi adat oleh masyarakat hukum adat dan tidak ditaati oleh yang terkena sanksi adat maka dapat diancam dengan pidanatidak lebih dari 3 bulan penjara
atau denda Rp. 500,- sebagai hukuman pengganti.
3. sanksi adat yang dijatuhkan kepada pelaku yang menurut pikiran hakim melampaui hukuman kurungan dan dendadiatas, karena kesalahannya kepada pelaku dapat dikenakan
16 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni Bandung, hal 22.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
55
hukuan pengganti sepuluh tahun penjara. 4.
hukum adat yang tidak selaras dengan perkembangan jaman hendaknya diganti. Rumusan Pasal 5 ayaut 3 b Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 secara eksplisit
tidak mengatur mengenai eksistensi sanksi adat khusunya sanksi adat kasepekang. Namun dalam rumusan yang berbunyi ”...hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang
terhukum....”. Dari ketentuan itu dapat ditafsirkan bahwa Undnag-undang mengakui keberadaan sanksi adat dan penjatuhan sanksi adat oleh prajuru adat sepanjang ditaati oleh masyarakat dan
pelaku, danapabila tidak ditaati dapat diganti dengan sanksi pidana.
Eksistensi sanksi adat kasepekang juga mendapat pengakuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang telah diubah dengan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2003. Walaupun secara eksplisit istilah ”sanksi adat kasepekang” tidak disebutkan di dalam Peraturan Daerah tersebut, namun dalam Pasal 8
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa prajuru desa pakraman bertugas melaksanakan awig-awig desa pakraman dan mewakili desa pakraman dalam
bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman desa. Rumusan Pasal 8 Peraturan Daerah tersebut dapat ditafsirkan bahwa
desa pakraman dalam hal ini prajuru desa pakraman bertugas melaksanakan awig-awig termasuk penerapan sanksi adat yang telah diatur dalam awig-awig. Prajuru desa pakraman juga diberikan
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman desa. Pernyataan ini menunjukan adanya kewenangan dari prajuru desa
pakraman dalam penerapan sanksi adat. Pengakuan terhadap sanksi adat ini penting sebab dengan ini eksistensi sanksi adat khususnya sanksi adat kasepakang mempunyai landasan yuridis
yang kuat dalam hukum tertulis.
Dalam awig-awig Desa Pakraman, eksistensi sanksi adat kasepekang mendapat pengakuan yang sangat jelas. Sebagai contoh awig-awig Desa Pakraman Kerobokan, Baturiti, Tabanan dalam
Pawos 67 tentang Pamidanda menentukan sebagai berikut :
Bacakan pamidanda luire : a. Panukun
kasisipin b. Danda
arta c. Rerampagan
d. Kasepekang e. Penyangaskara
f.
Kasuwudang mebanjarmadesa adat Selain itu awig-awig desa pakraman Padonan Kuta Utara Badung juga menggunakan istilah
kasepekang sebagai salah satu bentuk dari pamidanda, seperti terdapat dalam Pawos 82 kaping 4 yang menyebutkan penggolongan sanksi adat pamidanda antara lain :
1. Danda arta miwah panikel-panikelnia
2. PengampuraNyewaka 3. Upakara
Panyangaskara 4. Kasepekang
makrama.
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
56
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Eksistensi sanksi adat kasepekang juga terdapat dalam Pedomanteknis penysunan awig- awig Propinsi Bali, khususnya Pawos 61 kaping 3 yang menyebutkan:
Bacakan pamidanda luire ; ha. Ayahan panukun kasisipan;
na. Danda arta dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel-nikel urunan; ca. Rarampagan;
ra. Kesepekang; ka. Kewusang mekrama kewaliang pipilnyane;
da. Penyangaskara
17
. IV. PENGATURAN SANKSI ADAT KASEPEKANG DALAM AWIG-AWIG
Dalam awig-awig desa pakraman khususnya bab wicara lan pamidanda masalah dan sanksi umumnya diatur mengenai sanksi adat. Penjatuhan sanksi adat kepada krama dimaksudkan
apabila krama melakukan pelangaran adat, seperti yang dinyatakan Hilman Hadikusuma
18
yaitu apabila perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan maka akan dikenakan
suatu sanksi adat. Sanksi adat dalam terminologi adat Bali disebut pamidanda danda. Sanksi adat secara umum dapat diklasifi kasikan menjadi 3 tiga kelompok yaitu Sangaskara danda, artha
danda dan jiwa danda. Sanksi adat pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan yang berkaitan dengan parhyangan hubungan manusia
dengan Tuhan, pawongan hubungan manusia dengan manusia lainnya dan palemahan hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Namun dilihat dari pengaturan sanksi adat pamidanda
dalam awig-awig , ketiga istilah pamidanda tersebut tidak dimuat dan diatur dalam awig-awig. Pengaturan sanksi adat pamidanda dalam awig-awig desa pakraman sangat bervariasi. Untuk
lebih jelasnya akan dibuat dalam tabel mengenai pengaturan sanksi adat pamidanda dalam awig- awig desa pakraman. Awig-awig yang akan diteliti adalah beberapa awig-awig desa pakraman
yang ada di Kabupaten Gianyar.
17 Biro Hukum Setda Propinsi Bali, 2001, PedomanTeknis Penyusunan Awig-Awig Dan Keputusan Desa Adat, Denpasar, hal 44. 18
Hilman Hadikusuma, Op.cit. hal.20, lihat juga R. Soepomo , Op.cit., hal 112.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
57 Tabel 1.7
Pamidanda dalam awig-awig desa pakraman
Awig-awig desa pakraman Pengaturan PamidandaSanksi adat
Awig-awig desa pakraman Jero Kuta Batubulan
Pawos 83 menyatakan : 1 Desa utawi banjar wenang niwakang pamidanda ring
warga desa utawi banjar sane sisip 2 Paniwak inucap kemargiang olih Bendesa utawi Klian
banjar 3 Bacakan pamidanda luire :
Ha. Ayahan panukun sisip Na. Danda arta desa, danda panikel-nikelnya miwah
panikel-nikel urunan Ca. Rerampagan
Ra. Kenorayang Ka. Kawusang mekrama kewaliang pipilnyaane
Da. Penyangaskara.
4 Pamidanda katiwakang patut masor singgih manut ring kesisipane utamanya ngemanggehang kasudamalan
desa. 5 Jinah utawi raja brana pamidanda, ngeranjing dados
druwe desa utawi banjar. Awig-awig desa pakraman
Jasan Tegalalang Pawos 75 menyatakan :
1 DesaBanjar wenag niwakang pamidanda ring warga Desa sane sisip.
2 Tetiwak inucap kelaksanayang olih bendesa utawi klian banjar
3 Bacakan pamidanda luire : 1. Ayahan panukun sisip
2. Danda arta dosa, kagenda miwah panikel 3. Rerampasan
4. Kedaut karang ayahan 5. Penyangaskara
4
Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih manut ring kasisipane.
5 Jinah utawi arta brana pamidanda punika, ngeranjing dados druwen desa.
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
58
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Awig-awig desa pakraman Payangan Desa, Payangan
Pawos 68 menyatakan : 1 DesaBanjar wenang niwakang pamidanda ring warga
Desa sane sisip 2
Paniwak inucap kelaksanayang olih BendesaKlian Banjar.
3 Bacakan Pamidanda luwire: a. Ayahan panukun sisip
b. Data Arta dosan sahapanikel-nikelnya miwah panikel urunan
c. Kadaut karang ayahan d. Kanohrayang
e. Panyangaskara
4 Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih
manut ring kasisipane. 5 Jinah utawi raja brana pamidanda ngranjing dados
drewen desabanjar. Awig-awig desa pakraman
Ubud Pawos 76 menyatakan :
1 Prajuru desabanjar lan Bendesa wenang niwakin
pamidanda ring krama desa pakraman sane sisip 2 Agung alit pamidanda manut kasisipanya, tan maren
ngupasi dharma kawelas asihan kariinin antuk pamarisuda
3 Bacakan pamidanda luwire : Ha. Atma danda nunas pangampura ring paruman.
Na. Sangaskara danda melarapang antuk ngemargiang pemarascita.
Ca. Artha danda nawur antuk brana Ra. Panukun ayah nawur kaisisipan antuk ayah
4 Jinah utawi artha brana pamidanda, ngeranjing dados druwe desabanjar.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
59
Awig-awig desa pakraman Sayan Ubud
Pawos 99 menyatakan : 1 Desa utawi banjar wenang niwakin pamidanda ring
warga desa sane sisip. 2
Yanin sampun janten kasisipang kapastika iwang ring klian Banjar, olih sang mawicara kebandingan ke
desa, tur antuk Bendesa kapastika iwang, patut keni pamidanda nikel ring pamidanda sane katiwakin ring
Kelihan Banjar.
3 Peniwak inucap kelaksanayang olih Bendesa utawi Kelihan banjar nnggal-nunggal utawi sinarengan
manut dudonan. 4 Agung alit pamidanda manut sor singgih kesisipan, tan
maren ngupadi dharma keolas arsan pinih ajeng make buatan kasudamalan desa.
5 Bacakan pamidandane sakeluwire : 1. Dange arta muah panikel-panikelnye;
2. Nunas pangampura
3. Upakara pangaskara
4. Kenoroyang mekrama
6 Jinah utawi arta brana pamidanda ngranjing dados druwen desa utawi banjar.
Awig-awig desa pakraman Gitgit, Gianyar
Pawos 70 menyatakan: 1 Desabanjar wenang niwakang pamidanda ring warga
desabanjar sane sisip. 2
Paniwak inucap kelaksanayang olih BendesaKlian Banjar
3 Bacakan Pamidanda luwire : Ha. Ayahan panukun sisip
Na. Danda Artha Ca. Kanorayang
Ra. Panyangaskara
4 Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih
manut ring kasisipane 5
Jinah utawi raja brana pamidanda dados druwen Desabanjar.
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
60
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
Awig-awig desa pakraman Pakudui Tegalalang
Pawos 73 menyatakan: 1 Desabanjar wenang niwakang pamidanda ring warga
desabanjar sane sisip. 2 Paniwak inucap kelaksanayang oleh BendesaKlian
Banjar. 3 Bacakan Pamidanda luire:
Ha. Ayahan panukun sisip Na. Danda artha
Ca. Kanorayang Ra.Panyangaskara
4 Pamidanda sane katiwakang patut masor singgih manut ring kasisipanne
5 Jinah utawi raja brana pamidanda ngaranjing dados druwen desa banjar
Awig-awig desa pakraman Samplangan Gianyar
Pawos 67 menyatakan : 1 Desa utawi banjare wenang niwakang pamidanda
ring wong desane sane sisip. 2 Tetiwak inucap kelaksanayang olib bendesa adat
utawi Kelian Banjar. 3 Bacakan Pamidanda luire :
a. Ayahan panukun kasisipan b. Danda
arta c.
Panikel-panikel urunan utawi panikel dedandan.
d. Upakara panyangaskara
e. Kanorayang makrama
Beberapa model awig-awig desa pakraman yang telah diteliti menunjukan bahwa pengaturan mengenai sanksi adat pamidanda tampaknya sudah mengacu pada pedoman penyuratan awig-
awig yang dikeluarkan Pemerintah Propinsi Bali. Secara tegas pengaturan sanksi adat pamidanda terdapat dalam Pawos 61 Pedoman penyusunan awig-awig, yang menyatakan ;
1 Desa utawi banjar wenang niwakang pamidanda ring warga desa utawi banjar sane sisip. 2 Paniwak inucap kemargiang olih Bendesa utawi Klian Banjar.
3 Bacakan pamidanda luire :
Ha. Ayahan panukun sisip; Na. Danda arta dosa, danda saha panikel-panikelnya miwah panikel-nikel urunan;
Ca. Rarampagan;
Ra. Kasepekang;
Ka. Kewusang mekrama kewaliang pipilnyane; Da.
Penyangakara; 4 Pamidanda sane katiwakang patut mesor singgih manut ring kesisipane utamanya ngemanggehang
kesudamalan desa. 5 Jinah utawi raja brana pamidanda, ngranjing dados druwe desa utawi banjar.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
61
Berkaitan dengan pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awig-awig desa pakraman, ternyata dari awig-awig yang diteliti tidak ada mengatur tentang sanksi adat kasepekang. Namun
secara implisit dalam awig-awig desa pakraman ubud mengatur mengenai atma danda. Atma danda merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa danda denda
yang dikenakan secara pisik maupun psikis. Salah satu katagori jiwa danda adalah kasepekang. Mendukung penyataan di atas I Made Widnyana menyatakan bahwa sanksi adat jiwa danda sama
dengan atma danda. Namun demikian, atma danda yang ada dalam awig-awig desa pakraman ubud mempunyai makna yang berbeda yaitu meminta maaf pada paruman desa jika membuat suatu
kesalahan nunas pangampura ring paruman.
Beberapa model awig-awig diatas dilihat dari substansi hukum legal substance bahwa mengenai sanksi adat kasepekang tidak diatur secara eksplisit dalam awig-awig, baik istilah, rumusan
atau pengertian kasepekang serta prosedur dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang. Prosedur yang dimaksud adalah mekanisme dan proses pentahapan tahap-tahap sampai suatu perkara
dijatuhkan sanksi adat kasepekang. Ini dapat diartikan bahwa ada kekosongan hukum terhadap pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awig-awig desa pakraman .
V. ANALISA TERHADAP PENJATUHAN SANKSI ADAT KASEPEKANG YANG TIDAK BERDASARKAN AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Dalam kepemerintahan Desa Pakraman di Bali, penjatuhan sanksi adat umumnya selalu berdasarkan pada awig-awig desa pakraman yang ada. Awig-awig yang merupakan patokan-
patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat dalam
hubungan antara krama anggota desa pakraman dengan Tuhan, antar sesama krama Desa Pakraman maupun krama dengan lingkungannya
19
yang secara yuridis dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 dalam Pasal 1 angka 11 yang menyatakan awig-awig
adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan
dharma agama di desa pakraman banjar pakraman masing-masing. Awig-awig tersebut termasuk substansi hukum sebagaimana yang dimaksud oleh Lawrence M. Friedman adalah aturan-
aturan, norma-norma yang berada dalam persekutuan masyarakat hukum termasuk produk hukum yang dihasilkan oleh masyarakat hukum adat setempat termasuk keputusan-keputusan
masyarakat hukum adat.
Untuk mengetahui bahwa dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang berdasarkan awig- awig atau tidak, maka dalam forum ilmiah ini akan diungkapkan beberapa hasil penelitian
penelitian mengenai penjatuhan sanksi adat kasepekang. Hasil penelitian yang diungkapkan adalah penjatuhan sanksi adat kasepekang di desa pakraman Samplangan dan desa pakraman Pakudui.
Hasil penelitian yang di dapat dari dua lokasi di Gianyar yaitu di desa pakraman Samplangan dan desa pakraman Pakudui, bahwa dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang, desa pakraman tersebut
tidak berdasarkan pada awig-awig yang ada. Terhadap penjatuhan sanksi adat kasepekang banyak kalangan baik masyarakat maupun pemerintah menyatakan bahwa sanksi adat kasepekang pada
19 Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas hokum Universitas Udayana, hal 19.
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
62
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
dasarnya tidak bisa dijatuhkan diterapkan karena tidak ada dasar untuk menjatuhkan sanksi adat kasepekang tersebut awig-awig tidak mengatur mengenai sanksi adat kasepekang.
Penjatuhan sanksi adat kasepekang tersebut juga sangat terkait dengan wujud awig-awig yang ada pada masing-masing desa pakraman. Mengenai wujud awig-awig di desa pakraman
Samplangan dan Pakudui sudah dalam bentuk tercatat tertulis. Pada dasarnya Awig-awig dalam bentuk tertulis akan sangat meringankan tugas dari pengurus prajuru desa pakraman dalam
menerapkan aturan hukum dan bersifat pasti bagi semua kalangan pasti bagi prajuru desa, pasti bagi masyarakat dan pasti bagi pemerintah. Namun yang unik adalah eksistensi awig-awig desa
pakraman Pakudui dimana awig-awig desa pakraman pakudui wujudnya sudah dalam bentuk tercatat namum belum disahkan dan dicatatkan pada kantor Bupati Gianyar. Terhadap hal ini,
masyarakat memandang bahwa awig-awig tersebut belum bisa diterapkan dengan alasan belum disahkan oleh pejabat Pemerintah.
Mengenai tangapan masyarakat terhadap pencatatan dan pengesahan awig-awig dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 dalam ketentuan Pasal 12 Ayat 1 dan 2
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menyatakan : 1 Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman
desa pakraman. 2 Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor bupatiwalikota masing-masing.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat dijelaskan dua 2 poin penting yaitu sahnya awig-awig dan pendaftaran awig-awig secara administrasi di kantor BupatiWalikota. Bahwa
sahnya awig-awig desa pakraman apabila ada suatu kesepakatan krama desa melalui suatu paruman desa. Sehingga awig-awig yang telah disahkan melalui kesepakatan dalam paruman
tersebut baru dapat diberlakukan kepada krama desa pakraman. Mengenai pencatatan awig- awig pada kantor BupatiWalikota berdasarkan pasal 12 ayat 2 diatas, hanya memenuhi unsur
administrasi birokrasi pada kantor BupatiWalikota. Tidak menjadi suatu keharusan untuk mencatatkan awig-awig desa pakraman tersebut mengingat, sekalipun awig-awig desa pakraman
tidak dicatatkan secara administrasi di kantor BupatiWalikota sepanjang sudah disahkan oleh krama desa melalui paruman maka awig-awig desa pakraman bisa berlaku dan mengikat bagi
krama desa pakraman. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencatatan awig-awig desa pakraman di kantor Bupatiwalikota hanya bersifat administrasi saja.
Berdasarkan hasil penelitian awig-awig yang terkait dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang, bahwa tidak diaturnya sanksi adat kasepekang dalam awig-awig, tidak berarti sanksi adat
kasepekang tidak bisa diterapkan dijatuhkan pada krama desa pakraman. Mengingat dalam hukum adat salah satu karakter hukum adat adalah kesepakatan dalam arti pengambilan keputusan dalam
hukum adat adalah dengan kesepakatan bersama melalui paruman desa pakraman. Oleh karena itu dapat diartikan, sanksi adat kasepekang dapat dijatuhkan diterapkan sepanjang keputusan itu
diambil berdasarkan kesepakatan bersama melalu paruman desa pakraman. Analisa yang lain juga sangat mendukung terhadap hal ini diantaranya adalah bahwa hukum adat tidak mengenal
asas legalitas, sehingga sanksi adat kasepekang tidak mutlak ada pengaturannya terlebih dahulu dalam awig-awig dalam kaitannya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang di desa pakraman.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
63 SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, mengenai pengaturan sanksi adat kasepekang dalam awig- awig Desa Pakraman ternyata tidak diatur secara eksplisit. Yang menjadi pokok permasalahan
yaitu ketika sanksi adat kasepekang dijatuhkan dan tidak berdasarkan pada awig-awig sanksi adat kasepekang tidak diatur dalam awig-awig sehingga banyak kalangan yang berpendapat
bahwa sanksi adat kasepekang tidak bisa dijatuhkan, dengan alasan bahwa sanksi adat kasepekang tidak diatur dalam awig-awig desa pakraman. Terhadap hal ini dapat dikemukakan analisa yang
berkaitan dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang tersebut.
Analisa yang dikemukakan terhadap penjatuhan sanksi adat kasepekang yang tidak ada pengaturannya dalam awig-awig desa pakraman adalah bahwa sesuai dengan salah satu karakter
hukum adat yaitu kesepakatan dan tidak mengenal asas legalitas sehingga sanksi adat kasepekang dapat dijatuhkan pada krama desa pakraman walaupun tidak ada pengaturan secara eksplisit
dalam awig-awig desa pakraman. Jadi yang dipakai dasar dalam penjatuhan sanksi adat kasepekang adalah kesepakatan bersama krama desa melalui paruman desa pakraman atau pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah mufakat krama desa melalui paruman desa pakraman dan bukan pengambilan keputusan dengan suryak siu, karena hukum adat tidak mengenal asas
suryak siu.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas hokum Universitas Udayana.
Ahmad A.K. Muda, 2006, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher . Biro Hukum Setda Propinsi Bali, 2001, PedomanTeknis Penyusunan Awig-Awig Dan Keputusan Desa
Adat, Denpasar Hadikusuma, H. Hilman, 2004, Pengantar Antropologi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Isntitut Hindu Dharma, 1986, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah ingkat I Bali.
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Makamh Konstitusi RI, Jakarta
Koti Cantika, I Wayan 2007, “Tata Cara Penerapan Pamidanda” Dalam I Ketut Sudantra dan Anak agung Oka Parwata, Editor Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pakraman
Dalam Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan, Upada sastra Denpasar Bekerjasama Dengan Bagian Hukum dan MAsyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni Bandung. Sianturi SR, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta
Soeroso R, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafi ka, Jakarta Soepomo R., 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Serikat Putra Jaya, Nyoman 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional. Citra Aditya bakti Bandung. Ter Haar B, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat terjemahan K.Ng.Soebakti Poeponoto,
Cetakan Ketigabelas, Pradnya Paramita, Jakarta. Wirta Griadhi, I Ketut, 2008, ”Kasepekang Dalam Perspektif Hukum Adat”, Makalah disajikan
dengan Penjatuhan Sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman Anak Agung Istri Ari Atu Dewi
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
64
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
dalam semiloka Kasepekang Dalam Perspektif Hukum dan Ham, diselenggarakan oleh Bali Shanti Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali, Denpasar.
Widnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Eresco Bandung. Windia, I Wayan P, 2008, “Konfl ik Adat dan Sanksi Kasepekang Di Desa Adat Bungaya
Kabupaten Karangasem Bali : Perspektif Kajian Budaya”, Disertasi Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Udayana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Penyelenggara Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
65
Tinjauan Kritis atas Peraturan Perundang-Undangan Landreform Batas Maksimum, Minimum dan Absentee
dalam Rangka Penyempurnaan UUPAPembaruan Agraria
Oleh : I GUSTI NYOMAN AGUNG
Bagian Hukum Perdata FH-Unud
Abstract To renew the agrarian affairs as stated in Tap.MPR RI No. IX2001 the Decisions made
by the People`s Advisory Assembly, some provisions with regard to land reform as included in UUPA and the regulations regulating its implementation should be reviewed.
What can be recommended as far as the excessive ownership of land the minimum limit of ownership of land and the absentee ownwership of land as part of the substance of the land
reform program are concerned is as follows:
1. The maximum limit ownership of land: a the indicator used for classifying areas should be reviewed; b the decree made by the Agrarian Minister No. 978Ka1960 should be
adjusted to the current situation and condition of the areas; c the provision determining the maximum limit of ownership of land for non agricultural purpose needs to be immediately
realized.
2. The minimum limit of ownership of land: a the reduction of the minimum limit of ownership of land should accurately and thoroughly taken into account; b solution to the
fragmentation of agricultural land due to inheritance should be sought after and should be regulated in the form of rules and regulations Peraturan Perundang-undangan abbreviated
as PP.
3. The provisions regulating the absentee ownership of land is still relevant; however, some should be made more perfect. Those which should be made more perfect are: a the criterion
of “kecamatam” the creterion that head of a district can determine the absentee ownership of land needs to be reviewed; b it would be advisable that the exception for the maximum
limit of absentee ownership of agricultural land refers to the minimum limit of ownership of land.
Key word: action of making UUPA more perfect, renewal of agrarian affairs, land reform, maximum limit, minimum limit, absentee.