Relevansi Penerimaan Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Korporasi dalam hukum Pidana.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
33
jawabkan pelaku delik karena telah melakukan perbuatan pidana. Asas tersebut juga merupakan dasar dijatuhkannya pidana kepada pelaku delik. Pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap, jika
ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi yang memaafkan itu
5
. Hukum pidana Indonesia pada dasarnya juga menganut asas kesalahan, misal : Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 8 UU
No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004, tentang Ketentuan, Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 183, Pasal 193 ayat 1, Pasal 197 ayat 1 huruf h UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP dan di dalam KUHP, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dari rumusan pasal-pasalnya
mengidentifi kasikan dianutnya asas kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealfaan. Disamping itu juga dalam hukum pidana dikenal suatu asas yang tidak tertulis yang berbunyi :
“geen straf zonder schuld” tiada pidana tanpa kesalahan.
Dengan perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang teknologi, ekonomi, maupun dunia usaha, muncul perbuatan-perbuatan melawan hukum yang sifatnya ringan, namun
sangat membahayakan bagi masyarakat umum public welfare offences. Kejahatan dalam bentuk ini kadang-kadang tidak disertai dengan niat jahat sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain,
seperti : pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya.
Kejahatan ini juga kadang kala hanya berupa pelanggaran peraturan yang berdampak pada membahayakan masyarakat regulatory offences, misalnya yang berkaitan dengan minuman
keras, penggunaan obat-obatan terlarang, pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan sebagainya. Dalam rangka mengatasi perkembangan kejahatan yang semakin kompleks
tersebut, nampaknya hukum pidana klasik yang menganut asas kesalahan sudah tidak mampu lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan di bidang hukum pidana dengan mengakui
bahwa asas kesalahan bukan satu-satunya asas yang dapat dipakai. Dalam hukum pidana modern pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan kepada seseorang, meskipun orang tersebut
tidak mempunyai kesalahan sama sekali.
Alasan utama untuk menerapkan pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan itu adalah demi perlindungan masyarakat, karena untuk delik-delik tertentu, seperti tindak pidana korporasi
sangat sulit membuktikan adanya unsur kesalahan. Ada tiga macam bentuk atau model sistem pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan,
yaitu: a pertanggungjawaban mutlak, b pertanggungjawaban pidana pengganti dan pertanggungjawaban korporasi.
Ad. a. Pertanggungjawaban Pidana Mutlak Pertanggungjawaban pidana mutlak adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan, dimana
pelaku sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap bathinnya. Asas ini diartikan
dengan istilah “Liability Without Foulty”, Unsur pokok dalam strict liability adalah : perbuatan actus rens, sehingga yang harus dibuktikan hanya actus rens, bukan mens rea. Landasan penerapan
strict liability, antara lain: 1 Tidak berlaku umum terhadap semua jenis perbuatan pidana, tetapi sangat terbatas dan
tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial. 2 Perbuatan terbenar-benar bersifat melawan hukum unlawful yang sangat bertentangan
dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan.
5 Roeslan Saleh , 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 21.
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia Dewa Suartha
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
34
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
3 Perbuatan tersebut dilarang keras oleh undang-undang, karena dikatagorikan sebagai aktivitas yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesepakatan, keselamatan dan
moralik a particular activity potential danger of public health, safety, or moral. 4 Perbuatan tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan
yang sangat wajar unreasonable preausions
6
. Dalam persefektif ius constituendum, sistem pertanggung-jawaban pidana mutlak juga sudah
dirumuskan dalam Rancangan KUHP, Pasal 32 ayat 3 yang bunyinya sebagai berikut: Untuk tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana
semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
Latar belakang dan alasan dicantumkannya asas tersebut dalam Rancangan Konsep KUHP 1999-2000 dapat dilihat pada penjelasan Pasal 32 ayat 3 yang menyatakan bahwa
ketentuan ini merupakan suatu perkecualian. Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-
Undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pelakunya sudah dapat dipidana oleh perbuatannya. Disini kesalahan pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi
diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau “strict liability”. Secara teoritis, asas tanggung jawab mutlak strict liability telah diperkenalkan sejak pertengahan
abad ke-19. Di Indonesia sendiri, pengetahuan mengenai asas strict liability tidak hanya terbatas di kalangan teoritis atau ilmu pengetahuan hukum pidana. Sebab, asas strict liability sesungguhnya
telah diterapkan sejak lama dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum lalu lintas dalam hal terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum lalu lintas dan angkutan
jalan
7
. Ad. b. Pertanggungjawaban Pidana Pengganti
Pertanggungjawaban pidana pengganti adalah pertanggung-jawaban seseorang, tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain. Doktrin ini pada mulanya diterapkan
dalam kasus-kasus perdata, kemudian berkembang akhirnya dicoba untuk diterapkan pada kasus- kasus pidana dalam sistem precedent, seperti: Inggris dan Amerika. Asas pertanggungjawaban
pidana pengganti dikenal “Vicarious Leability”, yaitu prinsip pendelegasian the delegation principle” dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan the servant’s act is the master’s act in
law
8
. 1 Prinsip pendelegasian the delegation prinsiple
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila seseorang itu telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang
kepada orang lain
2 Prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan the servant’s act is the master’s act in law. Seseorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fi sik dilakukan
oleh buruhnya atau pekerjaannya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan. Jadi apabila si pekerja sebagai permbuat matriil fi sik auctor
fi
ciens dan majikan sebagai pembuatan intelektual auctor intellectualis.
6 Yahya, Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya bakti Badung, hal. 37-38.
7 Barda Nawawi Arief , 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , hal. 237
8 Marcus Flacher.1990. A-Level Principle of English Law, 1st Edition. London. HLT Publication, hal.194.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
35
Rancangan KUHP 19992000 juga menganut sistem pertanggungjawaban pidana pengganti ini dalam pasal 32 ayat 2 yang rumusannya menyatakan bahwa: “Dalam hal-hal
tertentu, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang”.
Ad.c. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Korporasi disebut sebagai legal personality, artiya korporasi dapat memiliki harta kekayaan
sebagaimana manusia dan dapat menuntut dan dituntut dalam perkara perdata sehingga timbul pertanyaan apakah korporasi dapat dituntutdipertanggungjawabkan dalam hukum pidana ?
Pada mulanya orang menoleh untuk mempertanggungjawab dan korporasi dalam perkara pidana. Alasannya, korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia, sehingga ia tidak
mungkin melakukan kesalahan. Disamping itu pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi, maka
timbul pemikirn untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Dikatakan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya dalam kaitan
dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi biasanya pidana denda atau berupa tindakan lain, seperti : tindakan tata tertib atau tindakan
administratif
9
. Sehubungan hal tersebut pertanyaan yang muncul adalah : sampai sejauhmana
penyimpangan asas kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi mempunyai relevansi untuk diterapkan di Indonesia ? Dengan kata lian, sampai sejauhmana relevansinya dalam rangka
pembaharuan hukum pidana Indonesia ? Dengan kata lain, sampai sejauhmana relevansinya dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
maka ada beberapa tolak ukur yang dapat dipergunakan sebagai dasar pembenar, yaitu : 1 dasar pembenar teoritis, 2 dasar pembenar sosiologis, 3 dasar pembenar fi losofi s.
Ad. 1: Dasar Pembenar Teoritis Relevansi teoritis ini perlu dikemukakan dengan pertimbangna apakah berlakunya suatu
kaedah hukum tidak bertentangan dengan kecenderungan perkembangan pemikiran global. Relevansi Teoritis ini juga kasus dikaitkan dengan jalan pemikiran ilmiah di kalangan akademis
hukum, artinya apakah kaedah hukum yang baru di introdusir itu dapat diterima atau ditolak oleh kalangan ilmiah hukum dengan berbagai alasan dan argumentasi yang di kemukakan. Alasan dan
argumentasi para akhli hukum tersebut di samping didasarkan pada pemikiran yang abtrak, juga didasarkan pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Lebih karena itu pembahasan mengenai
relevasi teoritis ini tidak dapat dilepaskan dari realitas yang ada dalam masyarakat, baik mengenai perundang-undangan, mmaupun realitas penegakan hukumnya melalui putusan penyidikan
Yuriprudensi.
Barda Nawawi Arief berpendapat, penyesuaian pangan tidak alas kesalahan, jangan dilihat semata-mata sebagai suatu pertentangan Contralietensi, tetapi juga harus dilihat sebagai
pelengkap complement dalam mewujudkan asal keseimbangan yaitu keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, keseimbangan antara kedua kepentingan
itulah oleh beliau dinamakan sebagai asas monodualistik
10
. Pembenaran penyimpangan terhadap kesalahan dalam pertanggung jawaban tindak pidana berporasi dapat di kaji atas dasar tujuan
9 Sue Titus Reid, Criminal Low, 3 Edition, Prentici Hall, New Jersey, hal. 51
10 Barda Narawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya Bakti, Bandung, hal.112-113 Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia
Dewa Suartha
KERTHA PATRIKA
• VOLUME 34 NOMOR 1 • JANUARI 2010
36
• JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM
hukum pidana dan pemidanaan yang bersifat integretif dalam rangka perlindungan sosial, yaitu : 1 pencegahan umum dan khusus, 2 perlindungan masyarakat, 3 memelihara solidaritas
masyarakat, pengimbalan atau pengimbangan. Alasan perlunya perumusan “Strict Leability” dan “Vicarious Liability” dalam pemidanaan korporasi merupakan refl eksi dalam menjaga kepentingan
sosial.
Ad 2 : Dasar Pembenar Sosiologis Relevansi sosiologis ini dibutuhkan untuk menilai sejauhmana penyimpangan asas
kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana dapat diterima oleh masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, ada dua teori yang dikenal, yaitu teori pengakuan dan teori kekuasaan.
Kedua teori tersebut digunakan oleh Soerjono Soekanto dalam menilai keberlakuan hukum adat di Indonesia, juga akna dipergunakan dalam menilai sejauhmana penyimpangan asas kesalahan
itu dapat diberlakukan atau tidak dalam masyarakat Indonesia
11
. Menurut teori pengakuan, berlaku tidaknya suatu norma hukum itu ditentukan oleh
sejauhmana masyarakat menerima dan mengakui sebagai norma yang ditaati. Secara ekstrim menurut pandangan teori pengakuan, suatu ketentuan hukum baru boleh dianggap sebagai
hukum apabila ia diakui secara sah oleh masyarakat sendiri. Sedangkan menurut teori kekuasaan, berlaku tidaknya suatu norma itu dilihat sejauhmana norma itu diberlakukan oleh suatu kekuasaan
tertentu. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa dalam pandangan teori kekuasaan, suatu norma hukum itu berlaku karena kekuatannya sendiri yang bersifat perintah, terpisah dari pertimbangan
ada tidaknya pengakuan dari masyarakat yang diaturnya.
Menurut hukum adat pidana, dalam masalah pertanggung-jawaban pidana, tidak semata- mata menganut asas kesalahan sebagai unsur yan mutlak yang harus ada dalam suatu delik.
Hukum adat pidana juga menuntut seseorang untuk bertanggungjawab, walaupun tidak ada kesalahan sama sekali. seperti strict liability
12
. Tindakan reaksi atau koreksi itu tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabat atau keluarganya atau mungkin
juga dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangna yang terganggu seperti vicarious liability
13
. Penyimpangan asas kesalahan ini dengan pembatasan- pembatasan yang ketat dapat saja diberlakukan atau tidak diberlakukan di Indonesia, bergantung
pada bagaimana sikap pembentuk undang-undang untuk menentukannya
14
. Melihat hukum pidana dalam perspektif us constituendum penyimpangan asas kesalahan itu sudah diterima oleh
pembentuk Rancangan KUHP 1999-2000. Pertimbangannya adalah mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat yang diikuti perkembangan bentuk dan modus
operensi kejahatan yang semakin kompleks. Penerimaan penyimpangan asas kesalahan dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi merupakan refl eksi tanggung jawab pemerintah
untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
11 Soerjono Soekanto.1979. Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat. Jakarta: Akademika, hal 5-6. 12 I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Adat, PT. Ereco, Bandung, hal. 19-27
13 Ibid.
14 Jimly Asshiddiqi, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Angkasa Bandung., hal. 216-217.
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM •
37
Ad. 3 Dasar Pembenar Filosofi s Perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang diikuti pula perkembangan kejahatan yang
semakin kompleks, yaitu munculnya perbuatan melawan hukum yang sifatnya ringan namun sangat membahayakan masyarakat, maka pembuktian unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban
korporasi sangat sulit dalam praktek penegakan hukumnya. Adanya keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan terutama unsur kesengajaan dalam pertanggungjawaban
tindak pidana korporasi cenderung akan memberi peluang kepada korporasi untuk memperoleh profi t menguntungkan dengan tidak mematuhi peraturan-peraturan penting tertentu yang
bertujuan untuk memelihara kepentingan sosial. Akibatnya kepentingan sosial dan kepentingan umum menjadi terancam. Oleh karena itu diambil jalan tengah, yaitu penyimpangan asas
kesalahan diterima, namun dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana tertentu yang mengatur kepentingan umum atau yang sifatnya ringan. Apabila kebijakan seperti itu dijalankan, maka
berarti salah satu prinsip dasar dari Pancasila, yakni adanya keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan umum dengan kepentingan pribadi asas monodualistik telah
dijalankan. Penerimaan terhadap asas yang menyimpang dari asas kesalahan adalah sesuai dan tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila. Dengan kata lain, penyimpangan asas kesalahan
itu mempunyai relevansi fi losofi s.