5.4 Peran Serta Mayarakat dalam PHBM dan Perlindungan Hutan
5.4.1 Desa Lampeji RPH Mumbulsari
Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Jember dengan LMDH Lampeji tentang penjagaan, perlindungan dan pengamanan hutan,
kegiatan masyarakat dalam PHBM diantaranya adalah patroli secara aktif dan pasif. Patroli secara aktif yaitu seluruh anggota terlibat patroli yang dilakukan
secara bergilir bersama petugas dari Perum Perhutani. Patroli secara pasif yaitu anggota saling menjaga dan memantau saat melakukan kegiatan di dalam hutan
seperti mengambil getah pinus, mencari kayu bakar, memelihara dan memanen tanaman kopi, serta hasil pertanian mereka.
Budidaya yang dikembangkan dalam PHBM oleh LMDH Lampeji adalah tanaman palawijahortikultura dengan pola agroforestry dilakukan sejak adanya
program PHBM ditetapkan. Adapun jenis-jenis tanaman palawija yang ditanam seperti: tembakau, kopi, padi, jagung, dan singkong tergantung pada musim
tanam. Besar proporsi bagi hasilsharing yang diterima masing-masing pihak berupa tanaman hortikultura dan tanaman semusim hasil panen menjadi hak
anggota sebesar 92,5 dan 7,5 untuk fasilitator. Pembagian hasil tanaman pokok berupa jati 75 menjadi hak Perhutani, 20 menjadi hak anggota dan 5
menjadi hak pihak ketiga Pemdes, fasilitator dan Pemkec. Sharing hasil tanaman hutan dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah pohon per hektar dan dilakukan
pada saat penjarangan dan pemanenan saat akhir daur tanaman. Berdasarkan hasil wawancara responden, 93 masyarakat kurang
memahami pentingnya PHBM meskipun mereka sudah terlibat aktif dalam kegiatan PHBM. Dari 30 orang responden, 97 masyarakat di desa ini tidak
merasakan manfaat yang lebih baik dari adanya PHBM dan menganggap bahwa program PHBM belum dapat mengatasi pencurian kayu, dikarenakan belum
adanya pemahaman yang benar tentang PHBM pada 93 masyarakat. Berdasarkan penjelasan yang diberikan ketua LMDH dan para stakeholder
yang menyatakan bahwa pencurian kayu di Desa Lampeji memang sangat sulit diatasi meskipun telah dibentuk LMDH dan telah menerapkan pola PHBM
sekalipun. Hal ini disebabkan oleh pola pikir dan perilaku masyarakat yang telah lama dan menjadikan sebagai suatu kebiasaan dalam melakukan sesuatu. Menurut
warga setempat, mereka telah lama bekerja di dalam hutan dengan mengolah lahan serta mengambil segala jenis hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini pun diungkapkan oleh Pak Sugiono sebagai ketua LMDH Lampeji:
“Warga ndek desa ini ya wes biasa ngambili kayu enggak ijin, istilahe jare wong madura iku neteli wit. Lah mau gimana lagi, wong menurut
mereka ngambil kayu itu sudah jadi pekerjaan mereka sudah lama untuk makan mereka.” Warga di desa ini sudah biasa mengambil
kayu tanpa ijin, istilah dalam bahasa madura adalah menebang pohon. Hendak bagaimana lagi, karena menurut mereka menebang kayu telah
menjadi pekerjaan mereka yang telah lama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pencurian kayu di desa Lampeji tidak dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tetapi oleh oknum. Hal ini diungkapkan oleh ketua LMDH Lampeji:
“Yang nyuri kayu-kayu itu bukan dari warga saja mbak, tapi warga yang mencuri itu dibacking sama anggota baju hijau. Dulu itu mereka
sering menggunakan hutan untuk latihan. Ketika sudah akrab sama warga sekitar, mereka mengajak warga buat kerjasama untuk
ngangkut kayu-kayu itu mbak.” Pelaku pencuri kayu tidak hanya dari warga saja, tetapi warga tersebut dibantu oleh oknum TNI. Hutan
telah lama digunakan sebagai tempat latihan mereka. Ketika telah akrab dengan warga sekitar, mereka mengajak warga untuk
bekerjasama mengangkut kayu-kayu tersebut. Kasus pencurian kayu di Desa Lampeji merupakan suatu kasus yang hingga
saat ini belum dapat ditangani secara tuntas oleh Perhutani KPH Jember. Hal ini disebabkan kekuatan petugas keamanan yang terbatas sedangkan jangkauan
pengamanan wilayah yang luas, kurangnya kemampuan yang kuat dalam menghadapi oknum pencurian, serta tingkat kesadaran masyarakat akan
pentingnya hutan masih kurang, sehingga saat ini kasus ini belum dapat terselesaikan. Hal ini diungkapkan oleh mantri dan polisi hutan RPH Mumbulsari:
“Kasus di Lampeji ini memang susah ditangani mbak, karena pelakunya juga sama-sama abdi negara. Kekuatan mereka ya juga
lebih besar dibandingkan kita, warga desa ini memang wataknya keras juga, sulit bisa ngerti. Lah wong kami ae pernah dikejar-kejar
pake arit sama warga, kalau kami cegah mereka.” Kasus di Desa Lampeji sukar ditangani, karena pelaku pencurian pun adalah
petugasabdi negara. Kekuatan mereka lebih besar dibandingkan dengan kami petugas Perhutani, serta karakter warga di desa ini pun
keras dan sulit untuk mengerti. Kami pun pernah dikejar dengan senjata tajam oleh warga, jika kami mencegah mereka.
Dengan demikian kasus pencurian kayu yang terjadi di RPH Mumbulsari menjadi sulit ditangani. Kondisi sosial masyarakat yang didukung oleh kekuatan
aparat negara yang juga menginginkan hasil hutan kayu, serta tidak ada kerjasama dalam memerangi pencurian kayu menjadi faktor utama pencurian kayu.
5.4.2 Desa Sidomulyo RPH Garahan