Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah

Timur IKT dan perbedaan dalam kesenjangan antar provinsi antara kedua kawasan tersebut dengan indeks Williamson yang disebut wighted coefficient of variation WCV. Dengan menggunakan data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya tahun 1977 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar provinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 hingga 0,392 dengan tendensi yang terus menurun sejak 1990.Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara 0,396 hingga 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di IKB. Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya tahun 2000 menunjukkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antar provinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk negara berkembang. Negara berkembang lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brazil, Kolombia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata negara berkembang. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Akan tetapi pada tahun 1998 tingkat kesenjangan sedikit mengalami penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605. Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dimana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi krisis yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurng maju pada umunya adalah daerah-daerah pertanian, seperti Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapat keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Pada tingkat yang lebih disagregat, Tajudin et al. 2001 menganalisis ketimpangan regional dengan menggunakan data kabupaten kota tahun 1996. Dari hasil analisis tersebut mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten kota yang memiliki PDRB per kapita sangat tinggi dan menjadikan daerah tersebut sebagai daerah kantong enclave dikarenakan diantaranya oleh keberadaan migas dan sumberdaya alam lainnya. Menurut mereka dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan out layers. Hal yang menarik dari studi mereka adalah jika outlayers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisis, ketimpangan PDRB per kapita antar provinsi menjadi sangat rendah. Selain itu, Tajudin et al. 2001 juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yaitu ketimpangan antar individu di dalam provinsi dan kesenjangan antar provinsi dengan indeks Theil dan L. Hasilnya juga menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu adanya migas dan daerah kantong memperparah kesenjangan regional mencapai 60 hingga 70. Studi lain yang menggunakan indeks Theil adalah Akita dan Alisjahbana 2002 dengan memakai data output dan populasi pada tingkat kabupaten kota untuk periode 1993-1998. Mereka melakukan analisis dekomposisi ketimpangan regional dalam tiga komponen, yaitu antar wilayah Sumatra, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya, antar provinsi dan di dalam provinsi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa antara 1993 dan 1997, ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7, ketimpangan pendapatan regional mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0,262 tahun 1993 ke 0,287 tahun 1997. Hasil analisis dekomposisi ketimpangan dengan indeks Theil menunjukkan bahwa kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh suatu kenaikan ketimpangan di dalam provinsi. Pada tahun 1997, komponen ketimpangan di dalam provinsi menyumbang 50 dari ketimpangan regional di Indonesia. Penyebaran dari efek krisis ekonomi yang mengakibatkan merosotnya PDB per kapita tahun 1995, ternyata tidak merata lintas provinsi dan kabupaten kota. Pada tahun 1998 kesenjangan pendapatan regional menurun ke tingkat tahun 1993-1994. Berbeda dengan periode 1993-1997, sekitar 75 dari penurunan tersebut diakibatkan oleh adanya suatu perubahan dalam kesenjangan antar provinsi, dengan wilayah Jawa-Bali memegang peranan yang dominan. Selain dari studi diatas, masih banyak penelitian tentang kesenjangan atau disparitas antar wilayah yang dianalisis dengan indeks Williamson dan indeks Theil, namun pada umumnya penelitian tersebut masih dalam tingkat wilayah pada tingkat yang lebih rendah mikro, seperti antar kabupaten kota, antar wilayah pengembangan atau antar kecamatan dalam wilayah kabupaten masih relatif sedikit. Padahal kajian-kajian tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah tersebut sangat diperlukan dalam memformulasikan kebijakan bagi pemerintah daerah agar tidak terjadi dampak negatif dari kesenjangan yang terjadi atau setidaknya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu, kajian tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah pada tingkat mikro wilayah pengembangan atau kecamatan juga perlu mendapat perhatian. Achsani 2003 mengemukakan bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi antar wilayah yang sangat tajam di Indonesian khususnya pulau Jawa – Bali yang hanya mencakup 7,2 wilayah Indonesia ternyata dihuni oleh 64 penduduk dan menyumbang sekitar 60 PDB Indonesia. Sebaliknya Papua yang mencakup 22 wilayah Indonesia tetapi hanya dihuni 0,8 penduduk dan menyumbang sekitar 2,1 PDB Indonesia. Nugroho 2004 mengenai Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat Studi Kabupaten Karawang Subang – Garut Ciamis, Adifa 2007 mengenai Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor, Rahman 2009 mengenai Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Kabupaten Sambas, Gumilar 2009 mengenai Kajian Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Sebagai Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Lokal Studi Kabupaten Garut, Pravitasari 2009 mengenai Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau Jawa Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah, Yudha 2011 mengenai Kualitas Sumberdaya Manusia, Pelayanan Publik dan Kesenjangan Pembangunan Wilayah Kabupaten Lebak-Banten, Baransano 2011 mengenai Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat. 3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan fenomena universal yang tejadi di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hanya saja yang terjadi di negara maju tidak begitu mengkhawatirkan, karena tingkat kesenjangan pembangunannya tidak terlalu lebar. Berbeda dengan negara berkembang, kesenjangan pembangunan antar wilayah cukup nyata dan kompleks. Kondisi kesenjangan tersebut diperparah dengan adanya kebijakan sentralistik sektoral dan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata. Menurut Hadi 2001 pemerataan pembangunan equity bukan berarti identik dengan persamaan pambangunan equality tetapi lebih ke arah adanya keseimbangan yang proportional antara kemajuan satu wilayah dengan wilayah lainnya, sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. Proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi pencapaian sasaran utama pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi, tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah memicu disparitas pertumbuhan yang amat lebar antar wilayah di Indonesia. Kesenjangan tersebut apabila tidak dieliminir secara hati-hati dalam kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan ke depan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks seperti masalah kependudukan, sosial, ekonomi, politik dan lingkungan dan dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai suatu bangsa yang utuh. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi faktor biofisik karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya buatan ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, karakteristik struktur ekonomi wilayah, dan kebijakan pemerintah daerah. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah tersebut, maka akan dapat membantu dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan daerah khususnya dalam mengurangi tingkat kesenjangan serta dalam rangka mewujudkan pembangunan wilayah yang merata dan berimbang. Atas dasar pemahaman tersebut dibangun kerangka pikir penelitian seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar 5 Kerangka Pemikiran

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan, kerangka teori dan kerangka pemikiran diatas maka didapat hipotesisnya adalah:  Diduga keunggulan komparatif LQ dan keunggulan kompetitif SSA terdapat pada WP Utara khususnya pada Kecamatan Ciamis yaitu pada sektor perdagangan dan jasa dilihat dari aspek: penerimaan pendapatan, ketersediaan infrastruktur sarana dan prasarana, penyebaran anggaran pembangunan pada Kondisi Existing Kab.Ciamis :  Biofisik wilayah beragam  PDRB per kapita tidak merata  Kebijakan pembangunan kurang bijaksana  Sarana dan prasarana sosial- ekonomi tidak merata Paradigma Pembangunan masa lalu:  Mengutamakan pertumbuhan ekonomi tinggi  Sentralistik  Sektoral Terjadinya Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Kecamatan Implikasi  Masalah sosial politik  Masalah Kependudukan migrasiurbanisasi  Menimbulkan potensi konflik  Struktur hubungan antar wilayah yang saling memperlemah  Disintegrasi bangsa → stabilitas nasional Diperlukan Analisis KesenjanganPembangunan Antar Wilayah Kecamatan untuk Mengetahui Faktor Penyebab Kesenjangan Sektor Unggulan Kecamatan dalam Wilayah Pengembangan Tingkat KesenjanganPemba ngunan Antar Wilayah Kecamatan Tingkat Perkembangan Hirarki Wilayah Kecamatan Faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Kecamatan Teori: Endogenus Geografi Faktor Kebijakan Pembangunan masing-masing SKPD dan intensitas interaksi spasial arus barang, orang dan informasi. Dimana WP Tengah diduga hanya memiliki sedikit sektor-sektor unggulan.  Diduga pada masing-masing WP terutama WP Utara khusunya Kecamatan Ciamis memiliki tingkat perkembangan lebih baik dari pada WP Tengah ataupun WP Selatan oleh karena memiliki sarana dan prasarana yang lebih memadai.  Besarnya tingkat kesenjangan diduga WP Utara memiliki tingkat kesenjangan yang tinggi dari WP Tengah dan WP Selatan oleh karena jumlah kecamatan yang ada pada WP Utara terlalu banyak dan faktor geografis yang sulit terjangkau.  Diduga faktor penyebab kesenjangan adalah masalah pembangunan yang kurang merata khususnya pada infrastruktur, kesempatan bekerja atau usaha sehingga kelancaran arus barang atau transportasi terganggu dan pendapatan masyarakat tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari hingga pada pengalokasian anggaran infrastruktur pada masing-masing SKPD terutama masing-masing kecamatan tidak sesuai kebutuhan.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ciamis yang memiliki luas wilayah sekitar 244.479 Ha, letaknya ujung timur bagian selatan tenggara propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2009, Kabupaten Ciamis memiliki 36 Kecamatan, 343 Desa, 7 Kelurahan, 3.772 Rukun Warga dan 12.086 Rukun Tetangga . Kabupaten Ciamis dibagi dalam pewilayahan pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Maksud dan tujuan pewilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka wilayah Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 tiga Wilayah Pengembangan WP, yaitu: WP Utara Kecamatan Ciamis, WP Tengah Kecamatan Banjarsari dan WP Selatan Kecamatan Pangandaran. Penelitian dilakukan selama 6 enam bulan, dari bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Maret 2012.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik BPS, Bappeda, Dinas Tata Ruang dan dokumen perencanaan yang dikeluarkan