pergeseran proporsional proportional shift yang merupakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum
dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor aktivitas total dalam wilayah; c komponen pergeseran diferensial differential shift yang menjelaskan
bagaimana tingkat kompetisi competitiveness suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor aktivitas tersebut dalam wilayah.
Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidak-unggulan suatu sektor aktivitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub
wilayah lain.
2.6 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah dan Berbagai Implikasinya
Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun
antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan
sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah Rustiadi dan Pribadi 2006. Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang
dilaksanakan tidak merata, baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan atau disparitas pembangunan antar
wilayah. Menurut Chaniago et al. 2000 bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau
ketidaksimetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan antar sektor atau wilayah, maka kesenjangan disparitas pembangunan tidak lain adalah suatu
kondisi ketidakberimbangan ketidaksimetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar
wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah ini sangat tergantung pada perkembangan
struktur sektor-sektor
ekonomi dan
struktur wilayah
perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi baik darat, laut maupun udara,
telekomunikasi, air bersih, penerangan, dll serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas
sumberdaya manusia pengetahuan dan keterampilan serta penguatan kelembagaan. Dalam tingkat yang tinggi, kesenjangan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan.
Sebenarnya masalah kesenjangan pembangunan regional merupakan fenomena universal. Semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat
pembangunannya, kesenjangan pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Dalam banyak negara, pembagian ekonomi telah melahirkan
tekanan sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana serta terpusat, pembangunan diarahkan agar
mengikuti kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah Rustiadi et al. 2007.
Skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar
dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada
pertumbuhan ekonomi makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi serta
sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya
yang berlebihan.
Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang nyata misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia
Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro merugikan
proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Menurut Anwar 2005 terjadinya kesenjangan yang semakin melebar pada akhirnya menimbulkan
kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi, sosial politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit di atasi.
Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya
yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur hubungan antar
wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.
Wilayah kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash yang mengakibatkan aliran bersih dan
akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan
Rustiadi et al. 2009. Sebaliknya, kemiskinan di wilayah belakang perdesaan semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk
dari desa ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi lemah
akibat timbulnya berbagai “penyakit urbanisasi” yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota ini dapat
terlihat pada perkembangan kota- kota besar di Indonesia yang mengalami “over-
urbanization ” yang dicirikan dengan berbagai bentuk ketidakefisienan dan
permasalahan sepertinya munculnya daerah kumuh slum area, tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan, kriminalitas dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan
perkembangan perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah untuk diatasi.
Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, juga pada gilirannya
meniadakan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat makro dari adanya interaksi pembangunan inter-regional. Dengan demikian, jelas bahwa
kesenjangan antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari
pembangunan seperti yang telah diungkapkan oleh Anwar 2005, yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi efficiency, pemerataan equity dan keberlanjutan
sustainability.
2.7 Ukuran Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah
Disparitas atau kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum dalam kegiatan ekonomi suatu daerah yang pada dasarnya disebabkan
oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Terjadinya disparitas ini dapat membawa
implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah, sehingga berimplikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah.
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif:
distribusi perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi ukuran pendapatan “fungsional” atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi
Todaro 1994:234. Melihat kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam suatu negara atau
daerah bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok
masyarakat miskin pada daerah bersangkutan atau adanya segelintir kelompok kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya miskin. Berbeda dengan
distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah,
sehingga yang dipersoalkan bukan antar kelompok kaya dan miskin, tetapi perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang Sjafrizal 2008.
Ukuran kesenjangan pembangunan wilayah yang mula-mula ditemukan adalah Williamson index yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966. Secara
ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur perbedaan. Istilah Williamson index muncul sebagai
penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah. Walaupun indeks
ini cukup lazim digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah Sjafrizal 2008; Rustiadi et al. 2007; Susanti et al. 2007.
Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regional
Bruto PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat
kemakmuran antara kelompok. Williamson mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut Rustiadi 2007:
� = −
2
Dimana : V
w
= Indeks kesenjangan Williamson I
w
Yi= PDRB per kapita wilayah ke-i Ý = Rata-rata PDRB per kapita seluruh wilayah
Pi= fin, fi adalah jumlah penduduk wilayah ke-i dan n adalah jumlah penduduk seluruh wilayah