Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada waktu suatu negara masih berkembang, nilai V
w
nya rendah, kemudian naik sejalan dengan perkembangan ekonomi, dan kemudian menurun lagi sejalan dengan perkembangan ekonomi
yang lebih tinggi, sampai boleh dikatakan merata pada waktu ekonomi sudah benar-benar berkembang. Hasil penelitian terhadap negara-negara yang sudah
maju seperti Kanada, Inggris, Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman menunjukkan hal yang sama, yaitu adanya pernurunan nilai V
w
yang cukup signifikan, sedangkan pada negara-negara yang ekonominya masih dalam tahap
perkembangan seperti Italia pengamatan sampai tahun 1960 dan Brazil pengamatan sampai tahun 1959, menunjukkan nilai V
w
yang terus naik Williamson. 1966 dalam Nurzaman 2002.
Fujita dan Hu 2001 yang meneliti disparitas wilayah di Cina wilayah pesisir dan pedalaman tahun 1985-1994 dengan menggunakan indeks Williamson
dan indeks Theil menunjukkan bahwa pada periode tahun 1980-an tingkat disparitas di Cina mengalami penurunan. Namun setelah tahun 1990-an, tingkat
disparitas tersebut meningkat secara nyata. Penurunan tingkat disparitas tersebut diakibatkan oleh meningkatnya pembangunan wilayah di kawasan pesisir Cina
yang semula relatif tertinggal dari kawasan pedalaman Cina. Akan tetapi setelah tahun 1990-an perkembangan wilayah pesisir Cina semakin pesat berkembang dan
jauh meninggalkan wilayah pedalamannya. Akibatnya kesenjangan pembangunan antara wilayah wilayah pesisir dan pedalaman di Cina menjadi meningkat. Hal
tersebut ditunjukkan Fujita dan Hu dari hasil dekomposisi ketimpangan dengan menggunakan indeks theil, dimana pada tahun 1980-an sumber ketimpangan
utama berasal dari ketimpangan dalam wilayah pesisir dan pedalaman, sedangkan setelah tahun 1990-an sumber utama ketimpangannya berubah menjadi
ketimpangan antar wilayah pesisir dan pedalaman.
Penelitian lain tentang disparitas di Cina juga dilakukan oleh Lee 2000, yang menguji perubahan sumber utama ketimpangan di Cina dengan
menggunakan data PDRB sektor industri dan pertanian per kapita dan konsumsi rumah tangga per kapita tahun 1982 dan 1994. Pada penelitian tersebut, Lee
menunjukkan bahwa sumber yang dominan dari seluruh ketimpangan wilayah sudah bergeser dari ketimpangan antar provinsi menjadi ketimpangan dalam
provinsi, dari ketimpanan kota-desa menjadi antar desa dan juga dari ketimpangan dalam kawasan pesisir menjadi antara kawasan pesisir dan kawasan pedalaman.
Dalam kasus konsumsi, ketimpangan antar provinsi, ketimpangan kota-desa dan ketimpangan dalam kawasan pesisir adalah faktor-faktor utama dari seluruh
ketimpangan wilayah.
Di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan
pada ketimpangan ekonomi antar provinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975
Tambuan 2003, disusul kemudian antara lain oleh Hughes dan Islami 1981, Uppal dan Handoko 1988, Islam dan Khan 1986, Akita 1988, Akita dan
Lukman 1995, Tambunan 1996, 2001, Takeda dan Nakata 1998, Garcia dan Soelistyaningsih 1998, Sjafrizal 1997, 2000 dan Booth 2000. Walaupun data
yang digunakan sama, yaitu PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antar studi. Misalnya Sjafrizal dalam Tambunan 2003 menganalisis
ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat IKB dan Indonesia Kawasan
Timur IKT dan perbedaan dalam kesenjangan antar provinsi antara kedua kawasan tersebut dengan indeks Williamson yang disebut wighted coefficient of
variation WCV.
Dengan menggunakan data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya tahun 1977 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi
antar provinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB
selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 hingga 0,392 dengan tendensi yang terus menurun sejak 1990.Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT
berkisar antara 0,396 hingga 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung
memburuk dibandingkan di IKB.
Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya tahun 2000 menunjukkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antar
provinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk negara berkembang. Negara berkembang lain yang
indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brazil, Kolombia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa kesenjangan
ekonomi antar provinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata negara berkembang. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi
peningkatan ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Akan tetapi pada tahun 1998 tingkat kesenjangan sedikit mengalami
penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605.
Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dimana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat
konsentrasi krisis yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurng maju pada umunya
adalah daerah-daerah pertanian, seperti Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapat
keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh
krisis ekonomi.
Pada tingkat yang lebih disagregat, Tajudin et al. 2001 menganalisis ketimpangan regional dengan menggunakan data kabupaten kota tahun 1996.
Dari hasil analisis tersebut mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten kota yang memiliki PDRB per kapita sangat tinggi dan menjadikan daerah
tersebut sebagai daerah kantong enclave dikarenakan diantaranya oleh keberadaan migas dan sumberdaya alam lainnya. Menurut mereka dilihat dari
sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan out layers. Hal yang menarik dari studi mereka adalah jika
outlayers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisis, ketimpangan PDRB per kapita antar provinsi menjadi sangat rendah. Selain itu, Tajudin et al. 2001 juga
melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yaitu ketimpangan antar individu di dalam provinsi dan kesenjangan
antar provinsi dengan indeks Theil dan L. Hasilnya juga menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu adanya migas dan daerah kantong memperparah
kesenjangan regional mencapai 60 hingga 70.