The Leading Sectors Analysis and An Economy Interregion Disparity in Banten Province (Years From 2001 to 2011).

(1)

EKONOMI DI PROVINSI BANTEN

(PERIODE TAHUN 2002-2011)

UMAYATU SUIROH SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

“Analisis Sektor Unggulan Dan Ketimpangan Ekonomi Di Provinsi Banten (Periode Tahun 2002-2011)”

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2013

Umayatu Suiroh Suharto NRP. H151080141


(3)

Umayatu Suiroh Suharto, Analisis Sektor Unggulan dan Ketimpangan Ekonomi di Provinsi Banten (Periode tahun 2002-2011). Dibimbing oleh Didin S. Damanhuri dan Muhammad Findi A.

Perkembangan ekonomi di Provinsi Banten, pada kurun waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2011 mengalami peningkatan yang positif. Perkembangan ekonomi tersebut terjadi karena adanya peranan sektor unggulan pada ekonomi wilayah Provinsi Banten. Sektor unggulan yang berkembang di Provinsi Banten, berdasarkan identifikasi dengan menggunakan metode analisis LQ, Shift Share, dan tipologi Klassen, didapat empat sektor ekonomi yaitu sektor industri manufaktur, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Keempat sektor ekonomi tersebut merupakan sektor ekonomi modern.

Kondisi ketimpangan ekonomi antarwilayah kabupaten dan kota di Provinsi Banten, diantaranya disebabkan oleh adannya perbedaan sektor unggulan yang teridentifikasi pada tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten dan kota. Untuk wilayah kabupaten atau kota yang sektor unggulannya tidak sama dengan sektor uggulan di Provinsi Banten, maka wilayah tersebut berada pada kondisi sebagai wilayah yang tidak maju. Sedangkan untuk wilayah yang sektor unggulannya sama dengan sektor unggulan di Provinsi Banten, maka wilayah tersebut berada pada kondisi sebagai wilayah yang maju.

Peraturan Daerah Provinsi Banten yang ditujukan untuk menciptakan sektor pertanian sebagai sektor unggulan di Provinsi Banten sejak kurun waktu tahun 2003 sampai dengan tahun 2011 masih belum mencapai tujuannya. Demikian pula dengan tujuan untuk menurunkan tingkat ketimpangan ekonomi antarwilayah kabupaten dan kotanya, sampai dengan kurun waktu tahun 2011 masih belum mencapai tujuannya.


(4)

Umayatu Suiroh Suharto, The Leading Sectors Analysis and An Economy

Interregion Disparity in Banten Province (Years From 2001 to 2011). Supervised

by Didin S. Damanhuri and Muhammad Findi A.

Banten Economic growth during 2002 – 2011 has increased positively. This growth happened because of the role of superior sector at Banten province economic areas. Based on identification using analysis method LQ, Shift Share and Klassen typology has found four superior sectors at Banten province that are manufacture sector, electricity sector, gas and clean water, trading sector, hotel and restaurant, also transportation and communication. Those four sectors are called modern economic sectors.

The causes of economic gap of interregional between regency and city at Banten province happened by the differences between of identified superior sector at province level, compared to regency and city level. The undeveloped Banten regency and city has different superior sector compared to superior sector at Banten province. Meanwhile, the developed region has the same superior sector with superior sector at Banten province.

The Banten government regulation during 2003 - 2011 which is aimed to create agriculture sector as superior sector has not reached yet. Besides that, the purpose to decrease the interregional economic gap between regency and city during 2003 – 2011 has not reached yet also.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

EKONOMI DI PROVINSI BANTEN

(PERIODE TAHUN 2002-2011)

UMAYATU SUIROH SUHARTO

Tesis

Sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

(8)

(9)

Bismillahirrohmaanirrohiim, Alhamdulillahirrobbil’alamiin, puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, tidak lupa juga segenap salam dan shalawat bagi Nabi Muhammad saw, beserta keluarga, dan seluruh pejuang Islam di muka bumi ini. Rasa syukur yang saya panjatkan adalah berkenaan dengan telah selesainya penulisan Tesis yang merupakan tugas akhir dalam proses penyelesaian studi di Program Pascasarjana S2. Tesis yang menganalisis tentang sektor unggulan dan ketimpangan ekonomi antarwilayah ini mengambil objek penelitian di Provinsi Banten untuk periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2011. Penelitian ini diselesaikan selama satu tahun.

Terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang membatu saya dalam menyelesaikan Tesis ini, pertama saya sampaikan kepada suami tercinta, Anggoro Hadi N, terima kasih atas segala kesabarannya mendampingi penulis dalam menyelesaikan studi S2. Kedua, terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S., D.E.A., dan Dr.Muhammad Findi A, M.E., selaku Tim Komisi Pembimbing, yang dengan kesabaran yang tinggi senantiasa membatu penulis dalam menyelesaikan tugasnya. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si., selaku Ketua Prodi Ilmu Ekonomi beserta seluruh staff di Prodi IE, yang senantiasa memberi semangat kepada penulis untuk bekerja dengan baik.

Dalam Tesis ini, tentu saja masih banyak kekurangan yang semata-mata merupakan bentuk dari keterbatasan penulis sebagai manusia. Namun dengan kehadiran tim pembimbing, insya Allah segala kekurangannya dapat diperkecil, karena profesionalisme keilmuan yang ditransfer melalui berbagai diskusi dan evaluasi selama dalam masa bimbingan penelitian ini. Semoga Tesis ini sedikitnya dapat memberikan inspirasi bagi yang membacanya, dapat memberikan sumbang saran bagi perbaikkan bagi tulisan ini.

Bogor, Juli 2013


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Regional ... 7

2.1.1. Konsep Pembangunan ... 7

2.1.2. Konsep Pembangunan Ekonomi ... 9

2.1.3. Konsep Pembangunan Ekonomi Regional ... 10

2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 11

2.2.1. Teori-Teori Pertumbuhan Ahli Ekonomi Klasik ... 11

2.2.2. Teori Schumpeter ... 12

2.2.3. Teori Harrod-Domar ... 12

2.2.4. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik ... 13

2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 13

2.4. Teori Ekonomi Basis ... 14

2.4.1. Pengertian Sektor Basis dan Nonbasis ... 14

2.4.2. Analisis Location Quotient ... 15

2.4.3. Analisis Shift Share ... 15

2.4.4. Analisis Tipologi Klassen ... 16

2.5. Teori Ketimpangan Ekonomi ... 16

2.5.1. Ketimpangan Ekonomi ... 17

2.5.2. Teori Ketimpangan Ekonomi ... 18

2.5.3. Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah ... 19

2.6. Kebijakan untuk menekan Ketimpangan Ekonomi ... 20

2.6.1. Perlunya Kebijakan Pembangunan Regional ... 21

2.6.2. Sasaran Kebijakan Regional ... 21


(11)

2.6.4. Bentuk Kebijakan Pembangunan Regional ... 24

2.6.5. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Regional ... 25

2.7. Undang-Undang Otonomi Daerah ... 27

2.8. Penelitian Terdahulu ... 30

BAB III METODE DAN KERANGKA PENELITIAN ... 31

3.1. Metode Penelitian ... 31

3.2. Lokasi dan Periode Penelitian ... 32

3.3. Metode Pengambilan Data ... 32

3.4. Metode Analisis ... 32

3.4.1. Analisis Location Quotient ... 32

3.4.2. Analisis Shift Share ... 33

3.4.3. Analisis Tipologi Klassen ... 35

3.4.4. Indeks Ketimpangan Williamson ... 37

3.5. Kerangka Penelitian ... 37

BAB IV PROFIL PROVINSI BANTEN ... 41

4.1. Sejarah Singkat Provinsi Banten ... 41

4.2. Kondisi sosial budaya masyarakat ... 42

4.3. Kondisi ketenagakerjaan ... 45

4.4. Kondisi Geografis ... 46

4.5. Luas wilayah kabupaten dan kota di provinsi Banten ... 47

BAB V PEMBAHASAN MASALAH ... 49

5.1. Gambaran Umum kondisi PDRB Provinsi Banten ... 49

5.2. Sektor Unggulan di Provinsi Banten ... 52

5.2.1. Penentuan Sektor basis dengan menggunakan pendekatan metode LQ ... 52

5.2.2. Penentuan sektor unggulan dengan menggunakan pendekatan metode analisis Shift Share ... 54

5.2.2.1. Analisis perubahan PDRB Provinsi Banten dan PDB Indonesia periode tahun 2002-2011 ... 54

5.2.2.2. Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDB Indonesia periode tahun 2002-2011 ... 58

5.2.2.3. Analisis komponen pertumbuhan wilayah Provinsi Banten periode tahun 2002-2011 ... 62


(12)

5.2.3. Penentuan Sektor Unggulan dengan menggunakan pendekatan

metode analisis Tipologi Klassen ... 69

5.2.4. Penentuan Sektor Unggulan berdasarkan metode analisis LQ, Shift Share, dan Tipologi Klassen ... 70

5.3. Keterkaitan antara kesenjangan ekonomi antarwilayah dengan pengembangan sektor basis di Provinsi Banten ... 73

5.3.1. Perkembangan sektor unggulan di daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten ... 75

5.3.2. Tingkat ketimpangan ekonomi antarwilayah kabupaten dan kota di Provinsi Banten ... 78

5.3.3. Keterkaitan antara perkembangan sektor unggulan di wilayah kabupaten dan kota dengan ketimpangan ekonomi di Provinsi Banten ... 80

5.4. Implikasi kebijakan terkait dengan permasalahan kesenjangan ekonomi antarwilayah di Provinsi Banten ... 82

5.4.1. Kebijakan ekonomi Pemda provinsi terkait dengan upaya menekan tingkat kesenjangan ekonomi ... 82

5.4.2. Kebijakan strategis terkait dengan pengembangan sektor unggulan ... 83

5.4.3. Implikasi dari Perda No. 11tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Banten Tahun 2002-2022 terhadap perkembangan sektor unggulan di Provinsi Banten ... 83

5.4.3.1. Perkembangan sektor unggulan di daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten ... 84

5.4.4. Kebijakan strategis yang terkait dengan pengurangan tingkat kesenjangan ekonomi antawilayah kabupaten dan kota di Provinsi Banten ... 86

5.4.5. Implikasi dari Perda No. 11 tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Banten Tahun 2002-2022 terhadap masalah ketimpangan ekonomi di Provinsi Banten ... 87

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

6.1. Kesimpulan ... 89


(13)

DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 93 RIWAYAT HIDUP ... 125


(14)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perkembangan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, di Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 2

Tabel 1.2 PDRB Provinsi Banten menurut sektoral ekonomi ... 3

Tabel 1.3 Rata-rata proporsi sumbangan PDRB Kabupaten dan Kota

terhadap PDRB Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011... 5

Tabel 4.1 Beberapa indikator sosial di Provinsi Banten, Periode tahun 2009-2011... 43

Tabel 4.2 Luas wilayah dan ibukota dari kabupaten dan kota di Provinsi

Banten... 47

Tabel 5.1 Perkembangan PDRB Provinsi Banten Atas Dasar Harga

Konstan Tahun 2000, Periode Tahun 2007-2011 (Juta Rupiah) ... 49

Tabel 5.2 Perkembangan PDRB Provinsi Banten menurut sektoral ekonomi, Periode tahun 2007-2011 (juta rupiah)... 50

Tabel 5.3 Urutan sektoral ekonomi berdasarkan besarnya PDRB Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 51

Tabel 5.4 Nilai Analisis LQ pada Perekonomian Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 52

Tabel 5.5 Nilai perubahan PDRB Provinsi Banten dan PDB Indonesia, Periode tahun 2002-2011 ... 55

Tabel 5.6 Nilai indikator ekonomi Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 58

Tabel 5.7 Interpretasi indikator Ri untuk Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011... 59

Tabel 5.8 Nilai indikator ri untuk Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 60

Tabel 5.9 Nilai Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) di Provinsi

Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 63

Tabel 5.10 Nilai Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) di Provinsi

Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 64

Tabel 5.11 Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) di


(15)

iv

Tabel 5.12 Pergeseran Bersih Povinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 65

Tabel 5.13 Nilai persentase PPij dan persentase PPWij, Periode tahun 2002-2011 ... 66

Tabel 5.14 Sektor unggulaan berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Shift Share untuk Provinsi Banten,

Periode tahun 2002-2011 ... 68

Tabel 5.15 Penentuan sektor unggulan dengan menggunakan metode LQ, Analisis Shift Share, dan Tipologi Klassen utnuk Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 71

Tabel 5.16 Sektor unggulan di Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 (menurut metode LQ, Analisis Shift Share, dan Tipologi Klassen) ... 76

Tabel 5.17 Nilai Indeks Ketimpangan Ekonomi antarwilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 79

Tabel 5.18 Perbandingan sektor unggulan antara wilayah Provinsi Banten dengan wilayah Kabupaten dan Kota berdasarkan analisis metode LQ, Shift Share, dan Tipologi Klassen, Periode tahun 2002-2011... 81


(16)

v

DAFTAR GAMBAR

Gb. 3.1

Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Regional (Daerah) ... 36

Gb. 3.2

Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Sektoral ... 36

Gb. 3.3

Kerangka Pemikiran ... 40

Gb. 4.1

Peta Provinsi Banten ... 41

Gb. 5.1

Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 67

Gb. 5.2

Klasifikasi penelompokkan sektor ekonomi di Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 (Analisis Tipologi Klassen) ... 70

Gb. 5.3

Kerangka Keterkaitan antara sektor unggulan dengan kesenjangan ekonoi antardarah ... 74

Gb. 5.4

Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Regional untuk Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011 ... 80


(17)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran-1. PDB (nonmigas) Indonesia atas dasar harga konstan tahun

2000, Periode tahun 2001-2011 (miliar rupiah) ... 93

Lampiran-2. PDRB Provinsi Banten atas dasar harga konstan tahun 2000, Periode tahun 2001-2011 (juta rupiah) ... 94

Lampiran-3. PDRB Kabupaten Pandeglang atas dasar harga konstan tahun 2000, Periode tahun 2001-2011 (juta rupiah) ... 95

Lampiran-4. PDRB Kabupaten Lebak atas dasar harga konstan tahun

2000, Periode tahun 2001-201 (juta rupiah) ... 96

Lampiran-5. PDRB Kabupaten Tangerang atas dasar harga konstan tahun 2000, Periode tahun 2001-2011 (juta rupiah) ... 97

Lampiran-6. PDRB Kabupaten Serang atas dasar harga konstan tahun

2000, Periode tahun 2001-2011 (juta rupiah) ... 98

Lampiran-7. PDRB Kota Tangerang atas dasar harga konstan tahun 2000, Periode tahun 2001-2011 (juta rupiah) ... 99

Lampiran-8. PDRB Kota Cilegon atas dasar harga konstan tahun 2000,

Periode tahun 2001-2011 (juta rupiah) ... 100

Lampiran-9. Hasil analisis LQ Kabupaten Pandeglang, Periode tahun

2002-2011 ... 101

Lampiran-10. Hasil analisis LQ Kabupaten Lebak, Periode tahun

2002-2011 ... 102

Lampiran-11. Hasil analisis LQ Kabupaten Tangerang, Periode tahun

2002-2011 ... 103

Lampiran-12. Hasil analisis LQ Kabupaten Serang, Periode tahun

2002-2011 ... 104

Lampiran-13. Hasil analisis LQ Kota Tangerang, Periode tahun 2002-2011 ... 105

Lampiran-14. Hasil analisis LQ Kota Cilegon, Periode tahun 2002-2011 ... 106

Lampiran-15. Perubahan PDRB Kabupaten Pandeglang, Periode tahun

2002-2011 ... 107

Lampiran-16. Nilai Indikator Dalam Analisis Shift Share Kabupaten

Pandeglang , Periode tahun 2002-2011 ... 108

Lampiran-17. Perubahan PDRB Kabupaten Lebak, Periode tahun

2002-2011 ... 109

Lampiran-18. Nilai Indikator Dalam Analisis Shift Share Kabupaten Lebak

, Periode tahun 2002-2011 ... 110

Lampiran-19. Perubahan PDRB Kabupaten Tangerang, Periode tahun 2002-2011 ... 111


(18)

vii

Lampiran-20. Nilai Indikator Dalam Analisis Shift Share Kabupaten

Tangerang , Periode tahun 2002-2011 ... 112

Lampiran-21. Perubahan PDRB Kabupaten Serang, Periode tahun

2002-2011 ... 113

Lampiran-22. Nilai Indikator Dalam Analisis Shift Share Kabupaten Serang , Periode tahun 2002-2011 ... 114

Lampiran-23. Perubahan PDRB Kota Tangerang, Periode tahun 2002-2011 ... 115

Lampiran-24. Nilai Indikator Dalam Analisis Shift Share Kota Tangerang ,

Periode tahun 2002-2011 ... 116

Lampiran-25. Perubahan PDRB Kota Cilegon, Periode tahun 2002-2011 ... 117

Lampiran-26. Nilai Indikator Dalam Analisis Shift Share Kota Cilegon ,

Periode tahun 2002-2011 ... 118

Lampiran-27. Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Pandeglang, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran) ... 119

Lampiran-28. Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Lebak, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran) ... 120

Lampiran-29. Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Tangerang, Periode

tahun 2002-2011 (kelompok kuadran) ... 121

Lampiran-30. Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Serang, Periode

tahun 2002-2011 (kelompok kuadran) ... 122

Lampiran-31. Klasifikasi Tipologi Klassen Kota Tangerang, Periode tahun

2002-2011 (kelompok kuadran) ... 123

Lampiran-32. Klasifikasi Tipologi Klassen Kota Cilegon, Periode tahun


(19)

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan adalah sebuah proses dinamis yang merupakan satu kesatuan kegiatan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yaitu meliputi aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Ketiga aspek kehidupan manusia tersebut saling berkaitan satu sama lain, dimana apabila salah satunya tidak dapat terpenuhi, maka kegiatan pembangunan tersebut menjadi tidak seimbang. Sehingga, pembangunan merupakan sebuah proses yang multidimensi. Salahsatu aspek penting dalam kegiatan pembangunan adalah pembangunan ekonomi dimana merupakan yang aspek utama yang dapat menciptakan adanya perkembangan dari suatu pembangunan. Pentingnya pembangunan ekonomi karena meliputi beberapa hal, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi kegiatan ekonomi.

Suatu negara membutuhkan adanya pertumbuhan ekonomi. karena melalui pertumbuhan ekonomi dapat mendorong terjadinya perkembangan dalam hal penawaran berbagai jenis produk kebutuhan manusia. Hal tersebut akan diikuti oleh adanya perkembangan dalam hal permintaan berbagai jenis produk kebutuhan masyarakat. Maka demikian halnya dengan suatu daerah, dimana suatu daerah memerlukan adanya perkembangan dalam sektor ekonominya. Sehingga daerah memerlukan adanya pertumbuhan ekonomi regional. Seperti yang dijelaskan oleh Sjafrizal (2008) sebagai berikut:

“Berbeda dengan teori pertumbuhan yang terdapat dalam ekonomi makro, teori pertumbuhan ekonomi regional ini memasukkan unsur lokasi dan wilayah secara eksplisit sehingga kesimpulan yang dihasilkan juga

berbeda”.1

Uraian tersebut diatas menjelaskan bahwa, konsep pertumbuhan ekonomi regional ini berbeda dengan pertumbuhan ekonomi secara makro, karena dalam konsep pertumbuhan ekonomi regional memasukkan unsur ruang dan lokasi. Analisa mengenai konsep pertumbuhan regional memiliki tujuan untuk dapat mengidentifikasi faktor utama dalam kegiatan pertumbuhan ekonomi, perkembangan indikator utama ekonomi, dan prospek masa depan dari kegiatan ekonomi. Dari beberapa tujuan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi ekonomi dari suatu daerah, diantaranya tentang kemajuan perekonomian suatu daerah, kondisi ketimpangan ekonomi antarregional maupun antarsektor ekonomi. Pada akhirnya semua informasi tersebut diharapkan dapat memiliki implikasi dalam hal kebijaksanaan ekonomi daerah. Subandi (2011) menjelaskan bahwa:

1 Sjafrijal, 2008,


(21)

“Dengan berlakunya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diubah menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi pula pergeseran dalam pembangunan ekonomi yang tadinya bersifat sentralistis, mengarah pada desentralisasi, yaitu dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membangun wilayahnya termasuk pembangunan dalam bidang

ekonominya”.2

Revisi pada Undang tentang Pemerintahan Daerah dari Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menunjukkan adanya perubahan mendasar atas peranan pemerintah daerah, yang awalnya hanya sebagai pihak yang menerima ketentuan dari pemerintah pusat menjadi pihak yang dapat membuat ketentuan atas kepentingan dan kebutuhan daerahnya sendiri. Perubahan tersebut adalah suatu bentuk adanya kebijakan desentralisasi. Desentralisasi ini berarti dalam pembangunan ekonomi, pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk membangun wilayahnya, yang didasarkan atas potensi ekonomi daerah masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi regional akan menjadi amat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional.

Perkembangan ekonomi di Provinsi Banten dapat dilihat dari perkembangan nilai PDRB yang dihasilkan setiap tahunnya, seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1.1. Pada tabel 1.1 nilai PDRB Provinsi Banten mengalami peningkatan baik secara total maupun per kapita untuk kurun waktu 10 tahun yaitu pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2011.

Tabel 1.1 Perkembangan PDRB, atas dasar harga konstan tahun 2000, di Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011

Tahun PDRB Provinsi Banten (juta rupiah)

PDRB per kapita (rupiah) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011** 33.459.436,21 33.698.027,39 58.203.300,00 61.918.050,00 64.112.540,00 61.351.840,00 73.507.730,00 78.026.579,00 83.054.385,67 95.089.700,00 30.532.203,07 33.278.590,47 55.048.500,29 58.208.589,96 61.282.459,64 63.963.374,65 62.600.214,91 64.566.266,83 64.797.819,96 82.781.038,75 Sumber: BPS Provinsi Banten, Banten Dalam Angkai, 2012. (*=angka perbaikan,

**=angka sementara)

2 Subandi, 2022,


(22)

Dari tabel 1.1 menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Provinsi Banten tumbuh dan berkembang secara positif. Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian Provinsi Banten itu merupakan akumulasi total dari pertumbuhan dan perkembangan output dari sektoral ekonominya. Oleh karena itu, peranan sektoral ekonomi pada perkonomian Provinsi Banten adalah bagian penting dalam kegiatan pembangunan ekonominya.

Pembangunan ekonomi daerah pada dasarnya adalah sebuah proses pengelolaan berbagai potensi sumberdaya ekonomi daerah. Potensi ekonomi daerah tersebut masing-masing dikelompokkan dalam berbagai sektor ekonomi. Masing-masing sektor ekonomi yang berkembang di daerah akan berupaya untuk memaksimumkan produksi seluruh komoditas dalam sektor ekonominya. Sektor ekonomi yang mampu memberikan sumbangan proporsi yang besar dalam perekonomian daerah, akan menjadi sektor unggulan di daerah tersebut.

Demikian pula dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Banten, yang merupakan sebuah proses pengelolaan berbagai potensi sumberdaya ekonomi yang ada di Provinsi Banten. Sektor-sektor ekonomi yang ada di Provinsi Banten adalah potensi yang dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah. Melalui pertumbuhan ekonomi daerah yang terjadi, maka perekonomian Provinsi Banten dapat berkembang. Berikut ini adalah nilai rata-rata dan laju pertumbuhan PDRB Provinsi Banten menurut sektor ekonomi pada tahun 2002-2011, yang ditunjukkan oleh tabel 1.2.

Tabel 1.2 PDRB Provinsi Banten menurut sektoral ekonomi.

Sektor ekonomi Rata-rata PDRB periode tahun 2002-2011 (juta rupiah) Rata-rata laju pertumbuhan PDRB periode tahun 2002-2011 (persen) Rata-rata proporsi sumbangan pendapatan sektor ekonomi terhadap PDRB periode tahun 2002-2011 (persen) Pertanian Pertambangan Industri Listrik Bangunan Perdagangan Pengangkutan Keuangan Jasa-jasa Total 6.594.396 83.820 39.850.103 3.211.340 2.884.133 13.809.573 6.694.443 2.229.436 3.522.256 0,04 0,07 0,08 0,03 0,43 0,63 007 0,17 0,05 8,36 0,11 50,52 4,07 3,66 17,51 8,49 2,83 4,47 100


(23)

Dari tabel 1.2 dapat dilihat besarnya nilai PDRB menurut jenis lapangan usaha mulai dari rata-rata nilai PDRB per sektor ekonomi, rata-rata laju pertumbuhan PDRB per sektor ekonomi, dan rata-rata proporsi sumbangan PDRB per sektor ekonomi terhadap PDRB Provinsi Banten. Untuk dapat melihat peranan sektor ekonomi yang mendominasi perekonomian Provinsi Banten, dapat dilihat dari nilai sumbangan proporsi PDRB per sektor ekonomi yang paling besar. Sektor ekonomi yang mendominasi perekonomian Provinsi Banten seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1.2 adalah sektor industri manufaktur, dengan nilai proporsi terhadap PDRB Provinsi Banten sebesar 50,52 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa struktur perekonomian Provinsi Banten adalah industri, yang berarti bahwa sektor industri adalah sektor unggulan di Provinsi Banten.

Namun penentuan sektor unggulan tentu saja tidak sesederhana itu. Dibutuhkan analisa lebih lanjut yang melibatkan peranan dari sektor ekonomi lainnya untuk dapat menentukan sektor unggulan di suatu daerah. Penentuan sektor unggulan ini menjadi penting, agar perekonomian daerah dapat lebih terarah dan fokus pada pengembangan sektor unggulan dan dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ekonomi yang tersedia untuk peningkatan output dari sektor unggulan tersebut. Maka akan dilakukan analisis mengenai penentuan sektor unggulan di Provinsi Banten. Juga akan dianalisis mengenai perkembangan sektor unggulan dalam setiap wilayah kabupaten dan kotanya, apakah terdapat kesamaan atau ketidaksamaan pada sektor unggulan dengan di Provinsi Banten.

Untuk dapat menganalisis perkembangan sektor unggulan di suatu daerah, dapat menggunakan beberapa metode diantaranya adalah analisis Location

Quotient, analisis Shift Share, dan analisis tipologi Klassen. Dari hasil analisis

sektor unggulan tersebut, diharapkan akan dapat memberikan beberapa informasi yang menggambarkan kondisi perekonomian Provinsi Banten.

Pada tahun 2011, Provinsi Banten memiliki empat wilayah kabupaten dan empat wilayah kota. Pada kegiatan analisis ini, asumsi dari jumlah wilayah yang menjadi objek analisis hanya terdiri dari empat wilayah kabupaten dan dua wilayah kota, yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Peranan wilayah kabupaten dan kota tersebut adalah sebagai wilayah yang menyumbangkan outputnya bagi perekonomian Provinsi Banten. Peranan tersebut ditunjukkan melalui besarnya nilai proporsi PDRB wilayah kabupaten dan kota terhadap PDRB Provinsi Banten. Berikut ini adalah tabel 1.3 yang menunjukkan nilai rata-rata sumbangan PDRB kabupaten dan kota terhadap PDRB Provinsi Banten.


(24)

Tabel 1.3 Rata-rata proporsi sumbangan PDRB kabupaten dan kota terhadap PDRB Provinsi Banten, Periode tahun 2002-2011

Kabupaten dan Kota Rata-rata proporsi (persen) Kabupaten Pandeglang

Kabupaten Lebak Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Total

5,29 4,92 27,34 12,13 35,25 15,06 100 Sumber: BPS Provinsi Banten, Banten Dalam Angka, 2012. (Diolah)

PDRB kabupaten dan kota dihasilkan juga dari produktifitas sektoral ekonomi yang berkembang di wilayah kabupaten dan kota tersebut. Maka, selain daerah Provinsi Banten yang memiliki sektor unggulan, wilayah kabupaten dan kota pun memiliki sektor unggulan. Namun apakah sektor unggulan yang berkembang di wilayah kabupaten dan kota tersebut sama seperti yang ada di Provinsi Banten atau tidak, maka hal tersebut harus dianalisis dengan pendekatan yang sama dalam menentukan sektor unggulan di Provinsi Banten.

Proporsi sumbangan PDRB antarwilayah kabupaten dan kota terhadap PDRB Provinsi Banten memiliki nilai yang berbeda-beda, seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.3. Besarnya nilai PDRB wilayah kabupaten dan kota adalah menunjukkan kinerja sektor ekonomi pada wilayah tersebut. Semakin tinggi nilai PDRB suatu wilayah yang dihasilkan, maka diindikasi bahwa kinerja sektoral ekonominya juga tinggi. Sehingga dapat pula memberikan sumbangan proporsi yang besar terhadap PDRB daerah provinsinya. Sebaliknya, semakin rendah nilai PDRB suatu wilayah yang dihasilkan, maka diindikasi bahwa kinerja sektor ekonominya juga rendah. Sehingga sumbangan proporsi PDRB wilayah tersebut terhadap PDRB provinsinya juga rendah.

Perbedaan besarnya nilai sumbangan proporsi dan nilai PDRB antarwilayah kabupaten dan kota tersebut, menggambarkan adanya ketimpangan dalam bidang ekonomi. Maka yang perlu dianalisis dari kondisi tersebut adalah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah kabupaten dan kota. Analisis ini akan dikaitkan dengan aspek sektor unggulan yang dikembangkan di wilayah kabupaten dan kota dengan membandingkan sektor unggulan yang berkembang di Provinsi Banten.

Maka dari berbagai persoalan yang dipaparkan tersebut diatas, peneliti mencoba untuk melakukan analisis yang berkaitan dengan sektor unggulan dan juga dihubungkan dengan masalah ketimpangan ekonomi di Provinsi Banten, sehingga penelitian ini diberi judul “Analisis Sektor Unggulan Dan Ketimpangan Ekonomi Di Provinsi Banten (Periode Tahun 2002-2011).


(25)

1.2. Perumusan Masalah.

Dari pemaparan kondisi diatas, peneliti akan melakukan analisis untuk dapat menjelaskan dan memaparkan beberapa informasi dan persoalan yang terkait dengan judul penelitian, yaitu:

1. Sektor unggulan apa yang berkembang di Provinsi Banten periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2011.

2. Bagaimana keterkaitan antara kesenjangan ekonomi antarwilayah dengan pengembangan sektor unggulan di Provinsi Banten.

3. Apakah implikasi kebijakan yang perlu dilakukan terkait dengan permasalahan kesenjangan ekonomi antarwilayah di Provinsi Banten.

1.3. Tujuan Penelitian.

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan penjelasan atas berbagai permasalahan yang akan dianalisis oleh peneliti, sebagai berikut:

1. Dapat menyebutkan dan menjelaskan sektor unggulan apa yang berkembang di Provinsi Banten.

2. Dapat mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana keterkaitan antara kesenjangan ekonomi antarwilayah dengan pengembangan sektor unggulan di Provinsi Banten.

3. Dapat menentukan dan menjelaskan implikasi kebijakan yang perlu dilakukan terkait dengan permasalahan kesenjangan ekonomi antarwilayah di Provinsi Banten.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam upaya untuk menjawab berbagai persoalan yang terdapat pada bab sebelumnya, maka perlu didasari oleh pemahaman dan pengertian atas landasan teori yang akan menjadi pedoman bagi kegiatan analisis permasalahan. Dalam konteks ilmu ekonomi yang dinamis, landasan teori ekonomi mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan kondisi yang berlaku, sehingga menimbulkan situasi pemberlakuan asumsi teori yang berbeda. Namun pada prinsipnya, landasan teori ekonomi yang berkembang tersebut tidak akan terlepas dari keterkaitan dengan landasan teori sebelumnya.

Kegiatan penelitian yang dilakukan ini juga menggunakan berbagai landasan teori dari peneliti sebelumnya. Hal tersebut dilakukan agar terdapat kondisi saling berkesinambungan dan saling melengkapi atas teori yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pada penelitian ini, kegiatan analisis yang dlakukan lebih cenderung kepada menampilkan kondisi yang terjadi sebagai bagian dari perkembangan dasar asumsi ataupun fakta empiris yang terjadi di suatu daerah. Maka berikut ini adalah berbagai landasan teori yang digunakan oleh peneliti dalam kegiatan analisis permasalahan penelitian ini.

2.1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Regional

Dalam rangka memahami konsep pembangunan ekonomi regional, maka perlu diuraikan berbagai pengertian yang terkait dengan konsep tersebut, sebagai berikut:

2.1.1 Konsep Pembangunan

Kebutuhan sebuah daerah untuk dapat mensejahterakan masyarakatnya harus dilakukan dengan cara melaksanakan pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan yang meliputi segala bidang, yaitu meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, kesehatan, pendidikan, dan bidang lainnya yang juga penting dalam aspek kehidupan masyarakat. Maka, pembangunan yang dilaksanakan haruslah merupakan pembangunan yang multidimensi.

Aspek pembangunan yang dilaksanakan di daerah tidak seluas aspek pembangunan yang dilaksanakan di daerah. Karena ada beberapa aspek yang hanya dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup nasional, misalnya aspek pertahanan keamanan, aspek hukum dan peradilan. Sedangkan pembangunan di daerah lebih banyak difokuskan pada aspek lainnya. Dari banyak aspek yang harus dilaksanakan dalam pembangunan di daerah adalah pembangunan ekonomi.

Pentingnya pembangunan ekonomi dalam pembangunan suatu daerah karena salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah besar kecilnya output yang dihasilkan oleh seluruh sektor


(27)

ekonominya. Indikator tersebut dirangkum dalam nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Besar kecilnya nilai PDRB sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonominya. Seperti yang dipaparkan oleh Todaro (2000) sebagai berikut:

“Pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional-yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikkan tahunan atas pendapatan nasional bruto atau GNP (Gross National Product)nya. Indeks ekonomi lainnya yang sering digunakan untuk

mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat

pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capita) atau GNP

per kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan dari

suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkat dan laju pertumbuhan GNP per kapita “riil” (yakni, sama dengan pertumbuhan GNP per kapita dalam satuan moneter dikurangi dengan tingkat inflasi) merupakan tolok ukur ekonomis dari suatu

bangsa.Berdasarkan tolok ukur tersebut, maka kita akan

dimungkinkan untuk mengetahui seberapa banyak barang dan jasa-jasa yang tersedia bagi rata-rata penduduk untuk melakukan kegiatan

konsumsi dan investasi”.3

Uraian tersebut diatas merupakan makna pembangunan yang tradisional, dimana indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan hanya pada besarnya nilai output ekonomi semata. Sementara itu, makna pembangunan yang modern telah memperluas aspek indikator keberhasilan pembangunan, yang meliputi berbagai aspek sosial, budaya dan aspek lainnya yang penting dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang diuraikan oleh Bank Dunia dalam Todaro(2000) sebagai berikut:

“Tantangan utama pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin, kualitas hidup yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi – namun, yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang tinggi itu hanya merupakan salahsatu dari beberapa syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuuangkan, yaitu mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan

individual, dan penyegaran kehidupan budaya”.4

3

Todaro, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi tujuh, Erlangga, hal.17

4


(28)

Besarnya nilai PDRB suatu daerah, terutama PDRB per kapita, ternyata tidak menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Sehingga Bank Dunia mengembangkan unsur indikator dalam menentukan keberhasilan pembangunan, diantaranya meliputi aspek pendidikan, kesehatan masyarakat, demokrasi, pemerataan kesempatan kerja, dan pelestarian dan pengembangan budaya. Namun, secara umum, tetap saja indikator utamanya adalah pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi merupakan jantungnya dari perputaran roda kehidupan masyarakat.

2.1.2 Konsep pembangunan ekonomi

Dalam kegiatan pembangunan suatu negara, salah satu aspek penting yang harus dilaksanakan adalah Pembangunan ekonomi. Pembangunan bidang ekonomi menjadi penting karena berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan berbagai sumberdaya ekonomi yang ada di masyarakat di mana melalui kegiatan pemberdayaan tersebut masyarakat dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pembangunan ekonomi mengandung aspek kepentingan ekonomi itu sendiri, namun juga mengandung aspek nonekonomi, misalnya pemerataan, keberpihakan terhadap pelaku ekonomi kecil, kebijakan politik anggaran pemerintah, stabilitas keamanan dan ekonomi untuk menjaga perkembangan kegiatan investasi di sektor riil, dan berbagai aspek lainnya.

Istilah Pembangunan ekonomi sering juga disejajarkan dengan istilah perkembangan ekonomi. kedua istilah tersebut tidaklah sama dengan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi menjelaskan tentang sebuah proses perubahan pendapatan suatu Negara karena adanya perubahan atas penggunaan berbagai sumberdaya ekonomi maupun non ekonomi. seperti yang dijelaskan oleh Okun dan Richardson dalam Jhingan (2002) sebagai berikut:

“Perkembangan ekonomi adalah perbaikan terhadap kesejahteraan material yang terus-menerus dan berjangka panjang yang dapat

dilihat dari lancarnya distribusi barang dan jasa”5

Dalam pengertian perkembangan ekonomi yang luas tersebut, berbagai aspek baik ekonomi maupun nonekonomi yang berubah dalam hal jumlah penggunaannya, secara keseluruhan akan bermuara pada perubahan besaran pendapatan masyarakat secara rill. Karena tolok ukur yang baku atas indikator perubahan dari perkembangan ekonomi adalah pendapatan masyarakat secara riil. Namun perubahan-perubahan tersebut merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dan bersifat jangka panjang.

5 Jhingan, 2002,


(29)

Penekanan terhadap perubahan pendapatan masyarakat riil dalam proses perkembangan ekonomi berarti bahwa proporsi perubahan tingkat pendapatan yang terjadi harus lebih besar daripada proporsi perubahan jumlah penduduk. Hal tersebut dijelaskan oleh beberapa ahli ekonomi yaitu Meier, Baran, Buchanan dan Ellis, dalam Jhingan (2002), dimana masing-masing mereka menjelaskan bahwa pengertian dari perkembangan ekonomi pada akhirnya harus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat.

2.1.3 Konsep Pembangunan Ekonomi Regional

Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari kegiatan pembangunan yang memiliki peran penting, yaitu untuk memenuhi penyediaan segala kebutuhan masyarakat, terutana dalam aspek materi, meliputi: sandang, pangan, perumahan, jasa keuangan, transportasi, dan sebagainya. Karena itu pembangunan ekonomi selalu mendapatkan prioritas utama pada pelaksanaannya dalam pembangunan. Demikian pula dengan pembangunan ekonomi regional yang merupakan unsur penting dalam pembangunan regional.

Pembangunan ekonomi regional merupakan prioritas utama dalam kegiatan pembangunan regional, karena dari pembangunan ekonomi regional dapat dihasilkan output, dan pendapatan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Menurut Subandi (2011):

“Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah derah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi

(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut”.6

Dari uraian tersebut diatas, disebutkan bahwa salahsatu hal penting yang dapat dihasilkan dari pembangunan ekonomi, yaitu terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat. Pentingnya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat adalah agar masyarakat dapat menikmati aspek distribusi dalam pembangunan ekonomi. Penciptaan lapangan kerja tersebut dapat terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi, merupakan salahsatu tujuan utama dari pembangunan ekonomi. Seperti yang dijelaskan oleh Subandi (2011) sebagai berikut:

“Tujuan utama dari setiap pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan

6 Subandi, 2011,


(30)

masyarakatnya harus bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah dengan partisipasi masyarakatnya, dengan dukungan sumberdaya yang

diperlukan untuk merancang dan membangun ekonomi daerahnya”.7

Untuk dapat mencapai tujuan terciptanya lapangan kerja yang banyak di daerah, diperlukan partispasi aktif dari masyarakat dan pemerintah daerah, dalam bentuk pengelolaan investasi di sektor riil. Adanya kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah daerah, akan saling melengkapi, yaitu dari pihak masyarakat adanya kegiatan investasi dan pengembangan sektor riil. Sedangkan dari pihak pemerintah daerah, yaitu menyediakan instrumen kebijaksanaan bidang ekonomi yang dapat mendukung kegiatan investasi masyarakat, dan juga menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi masyarakat.

2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Dalam menganalisis perkembangan pembangunan ekonomi, tidak dapat dilepaskan dengan adanya perkembangan dari teori pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang, dan dijadikan sebagai pedoman dalam menganalisis pembangunan bidang ekonomi, mengalami perkembangan sejak jaman kaum Klasik sampai dengan sekarang, dan dibutuhkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Sukirno (2006) menjelaskan bahwa teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang saat ini meliputi:

2.2.1 Teori – Teori Pertumbuhan Ahli Ekonomi Klasik

Dalam kelompok teori pertumbuhan ekonomi klasik, para ahli ekonominya secara umum menjelaskan tentang sebab-sebab dari persoalan yang muncul dalam proses pembangunan. Ahli ekonomi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Smith, Richardo, Malthus, Mill, Menger, Marshal, Walras, dan Wicksel. Seperti yang dijelaskan dalam Sukirno (2006) sebagai berikut:

“Ahli-ahli ekonomi Klasik, di dalam menganalisis masalah-masalah pembangunan, terutama ingin mengetahui tentang sebab-sebab perkembangan ekonomi dalam jangka panjang dan corak

proses pertumbuhannya”.8

Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa para ahli dari kelompok neoklasik melakukan analisis faktor penyebab dari berbagai permasalahan dalam pembangunan. Diantara permasalahan yang dianalisis adalah

7

Ibid, hal. 134

8

Sukirno, 2006, Ekonomi Pembangunan, Proses dan Dasar Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.244


(31)

mengenai faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah yang terjadi akibat proses pembangunan.

2.2.2 Teori Schumpeter

Teori ini dikemukakan oleh Schumpeter yang ditulis dalam bukunya yaitu The Theory of Economic Development, yang diterbitkan pada tahun 1911. Dalam Sukirno (2006) dijelaskan sebagai berikut:

“Salahsatu pendapat Schumpeter yang penting, yang selanjutnya merupakan landasan teori pembangunannya , adalah keyakinan bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling efisien untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang cepat. Walaupun demikian, dalam jangka panjang Schumpeter memberikan ramalan yang sangat pesimistik mengenai proses pembangunan, yaitu sistem kapitalisme akhirnya akan mengalami keadaan tidak berkembang

atau stagnation”.9

Schumpeter dalam tulisannya menjelaskan mengenai pentingnya peranan para pengusaha untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena, hanya para pengusaha saja yang dapat meningkatkan daya kreatifitas dan produktifitas dari setiap sumberdaya yang ada dalam suatu perekonomian. Dan hanya para pengusaha saja yang memiliki perilaku dalam kegiatan berinvestasi.

2.2.3 Teori Harrod-Domar

Teori ini dikemukakan oleh dua orang ahli ekonomi, yang sebetulnya berasal dari masa yang berbeda, yaitu R. F. Harrod yang tulisannya dengan judul “An Essay in Dynamic Theory” pada tahun 1936, dan Evsey Domar dengan judul tulisannya adalah “Expansion and

Employment” pada tahun 1947, dan “Capital Expansion: Rate of Growth

and Employment” pada tahun 1949. Tetapi karena inti dari teori tersebut

sangat sama, maka dewasa ini dikenal sebagai teori Harrod-Domar. Seperti yang dijelaskan dalam Sukirno (2006) sebagai berikut:

“Dalam teori Harrod-Domar pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan suatu barang, maupun sebagai pengeluaranyang akan menambah permintaan efektif seluruh

masyarakat”.10

Konsep pertumbuhan ekonomi yang dijelaskan oleh Harrod-Domar, menekankan pada pentingnya kegiatan investasi untuk menunjang pertumbuhan setiap sektor ekonomi yang berkembang. Investasi dapat

9

Ibid, hal.251

10 Sukirno,


(32)

meningkatkan kapasitas produksi ataupun meningkatkan permintaan efektif dalam masyarakat.

2.3.4 Teori Pertumbuhan NeoKlasik

Ahli ekonomi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Sollow, Phelps, Johnson, dan Meade. Konsep yang dijelaskan dalam teori ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat meningkat bila terdapat pertambahan faktor-faktor produksi (seperti sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), namun yang tidak kurang pentingnya adalah peningkatan dalam hal kemajuan teknologi yang digunakan dalam proses prooduksi. Seperti yang dijelaskan dalam Sukirno (2006) berikut ini:

“Pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan

penawaran faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan

teknologi”.11

Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa, menurut kelompok neoklasik, pertumbuhan ekonomi yang merupakan hal penting dalam suatu perekonomian memiliki keterkaitan erat (bahkan ketergantungan) terhadap kegiatan penawaran atas faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam proses produksi dan kemajuan teknologi yang dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi.

2.3. Teori pertumbuhan ekonomi regional

Teori pertumbuhan ekonomi adalah bagian penting dalam analisa ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi merupakan salahsatu unsur penting dalam pembangunan ekonomi. Dalam analisa pembangunan ekonomi regional, maka perlu dilakukan analisa mengenai teori pertumbuhan ekonomi regional. Pada analisa pertumbuhan ekonomi regional, akan dapat menjelaskan alasan mengapa suatu daerah dapat tumbuh dengan cepat atau tumbuh dengan lambat. Melalui pertumbuhan ekonomi regional, maka suatu daerah dapat menciptakan pendapatannya sendiri. Dengan adanya perbedaan pada tingkat pendapatan, maka akan menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat kesejahteraan antarregional. Tingkat perbedaan yang mencolok dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan. Maka, teori pertumbuhan ekonomi regional dapat juga menjelaskan penyebab dari terjadinya ketimpangan antarregional.

Analisa teori pertumbuhan ekonomi regional bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi regional, menetapkan target dari pertumbuhan ekonomi regional, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan atau penurunan pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dan menetapkan strategi

11


(33)

kebijaksanaan dalam bidang ekonomi untuk dapat mendukung terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Seperti yang diuraikan oleh Sjafrizal (2008):

“Perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat dalam ekonomi otonomi daerah. Hal ini cukup logis, karena dalam era

otonomi masing-masing daerah berlomba-lomba meningkatkan

pertumbuhan ekonomi daerahnya guna meningakatkan kemakmuran masyarakatnya. Karena itu, pembahasan tentang struktur faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong

pertumbuhhan ekonomi didaerahnya”. 12

Menurut Sjafrizal (2008), dalam konteks multidimensi yang harus diterapkan dalam menjalankan pembangunan regional, tetap saja yang terpenting adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi regionalnya. Sebab, dalam masa otonomi daerah, kesejahteraan masyarakat suatu daerah sangat bergantung pada pertumbuhan kegiatan ekonomi daerahnya. Dalam kegiatan ekonomi daerah tersebut terdapat aspek distribusi pekerjaan dan distribusi pendapatan. Semakin tinggi tingkat kegiatan ekonomi masyarakat, maka semakin tinggi pula peluang untuk menciptakan distribusi pekerjaan dan pendapatan. Hal tersebut dapat berdampak pada besar atau kecilnya penciptaan kesejahteraan masyarakat.

2.4. Teori ekonomi basis

Dalam analisis tentang pertumbuhan ekonomi regional, dapat menggunakan beberapa teori ekonomi basis. Teori ini akan dapat membantu menjelaskan mengenai penentuan sektor basis suatu daerah, perkembangan sektor basis itu sendiri, perkembangan pertumbuhan ekonomi, bahkan dapat digunakan juga untuk mengidentifikasi masalah ketimpangan ekonomi yang terjadi antardaerah melalui perbedaan perkembang sektor basis antardaerah. Alat analisis untuk mengidentifikasi sektor basis yang digunakan adalah analisis Location

Quotient (LQ), analisis Shift Share, dan analisis tipologi Klassen. Berikut ini

adalah pengertian dari masing-masing alat analisis tersebut:

2.4.1. Pengertian Sektor Basis Dan Nonbasis.

Analisis mengenai sektor basis dalam penelitian ini merupakan bagian yang terpenting dan tema utama yang akan banyak dibahas. Untuk itu perlu dipaparkan mengenai uraian tentang sektor basis yang akan melandasi pengertian atas sektor basis yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah pengertian sektor basis menurut McCann (2001):

“The basic sector is the sector whose performance depends primiarly on economis condition external to the local economy.The non basic sector is

12 Sjafrijal, 2008,


(34)

made up of the sectors whose performance depends primiarly on the

economic conditions internal to the local economy”.13

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka dapat diartikan bahwa, sektor basis adalah sektoral ekonomi yang membentuk perekonomian secara dominan dan mampu berperan diluar batas perekonomian suatu daerah. Maksudnya adalah, bahwa sektoral ekonomi yang tergolong dalam sektor basis adalah sektor-sektor yang mampu mendominasi struktur perekonomian suatu daerah bahkan mampu berperan dalam perekonomian dengan daerah lainnya, misalnya kemampuan dalam bidang ekspor barang dan jasa maupun tenaga kerja.

Sedangkan sektor nonbasis adalah sektoral ekonomi yang membentuk perekonomian dalam batas suatu daerah. Maksudnya adalah sektoral ekonomi yang bukan merupakan sektor basis yang memiliki peran dalam perekonomian suatu daerah, terutama untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa maupun tenaga kerja di daerahnya sendiri.

2.4.2. Analisis Location Quotient.

Setelah pemaparan tentang pengertian sektor basis, maka selanjutnya adalah pemaparan tentang alat analisis yang digunakan untuk menentukan sektor basis, yaitu dengan menggunakan alat analisis Location Quotient (LQ). Dalam bukunya, McCann (2001) menjelaskan tentang alat analisis tersebut sebagai berikut:

“A regional Location Quotient (LQ)ir is defined as the ratio of the regional

proportion of employment E in a given sector i in a given region r, relative

to the national n proportion of employment in the same given sector “.14

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diartikan bahwa, analisis

Location Quotient (LQ) adalah perbandingan pendapatan tenaga kerja dari

suatu sektor antara daerah bawah (daerah regionalnya) dengan daerah atas (daerah nasionalnya). Alat analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi sektoral ekonomi yang menjadi sektor basis dalam perekonomian, dengan cara membandingkan pendapatan tenaga kerja suatu sektor ekonomi yang ada di suatu daerah regional (disebut daerah bawah) dengan daerah nasional (disebut daerah atas). Hasil analisis dari analisis LQ ini dibutuhkan oleh suatu daerah agar daerah tersebut dapat mengambil kebijakan ekonomi berdasarkan kondisi perekonomian yang berkembang saat itu.

2.4.3. Analisis Shift Share.

Dalam analisis mengenai sektor unggulan, tentu saja terkait dengan analisis pertumbuhan ekonomi. Maka untuk mengetahui berbagai indikator dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang dianalisis, akan digunakan alat

13

Mc. Cann, 2001, Urban and egional Economics, Oxford, New York, hal. 139

14


(35)

analisis Shift Share. Berikut ini adalah pemaparan dari alat analisis Shift Share tersebut:

“Analisis Shift Share adalah salahsatu alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada wilayah tertentu. Melalui analisis Shift Share dapat dianalisis besarnya sumbangan pertumbuhan dari tenaga kerja dan pendapatan pada masing-masing sektor di wilayah tertentu”.15

Analisis Shift Share dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang merupakan sumber pertumbuhan dari daerah itu sendiri. Dari hasil analisis ini, dapat diidentifikasi mengenai kemandirian ekonomi suatu daerah, karena dalam model analisis Shift Share terdiri dari komponen sumber pertumbuhan baik yang berasal dari pusat, maupun dari daerah itu sendiri.

2.4.4. Analisis tipologi Klassen.

Alat analisis berikutnya adalah alat analisis yang dapat memberikan informasi tentang kondisi suatu daerah atau wilayah dari sisi perkembangan ekonomi daerah atau wilayah tersebut, yaitu dengan menggunakan alat analisis tipologi Klassen. Berikut ini adalah pengertian tentang alat analisis tipologi

Klassen :

“Tipologi Klassen merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha, atau komoditi prioritas atau unggulan suatu daerah, dan juga merupakan suatu alat analisis ekonomi regional yaitu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran

tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah”.16

Analisis tipologi Klassen dapat menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam analisis Location Quotient, namun lebih luas lagi, dalam analisis ini setiap daerah akan diidentifikasi kondisi perkembangan ekonominya dan dikelompokkan berdasarkan kriteria yang disediakan dalam analisis ini. Sehingga dalam hasil analisisnya, setiap daerah akan diidentifikasi mengenai kondisi perekonomiannya yang dibandingkan dengan daerah lainnya dalam lingkup wilayah yang sama.

2.5. Teori ketimpangan ekonomi

Hal berikutnya dari permasalahan sektor unggulan adalah mengidentifikasi adanya keterkaitan antara kondisi ketimpangan ekonomi dengan perkembangan

15

Priyarsono dan kawan-kawan, 2007, Modul Ekonomi Regional, Universitas Terbuka, Jakarta, hal. 7.3


(36)

sektor unggulan. Untuk itu, perlu dipaparkan beberapa konsep tentang ketimpangan ekonomi.

2.5.1 Ketimpangan ekonomi

Dalam proses pembangunan ekonomi yang dilaksanakan secara berkesinambungan, terus menerus dan terjadi peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi, suatu negara atau daerah dapat mengalami perkembangan ekonomi yang pesat dan maju. Pengukuran indikator keberhasilan pembangunan ekonomi yang secara umum menggunakan besaran pendapatan masyarakat per kapita, pada kenyataannya merupakan indikator yang tidak nyata dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.

Dalam suatu wilayah nasional atau provinsi, perkembangan ekonomi antarwilayah regionalnya ternyata memiliki perbedaan dalam berbagai aspek, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi regionalnya, dan besaran pendapatan per kapita masyarakat. Perbedaan tersebut merupakan fenomena ketimpangan ekonomi yang terjadi akibat proses pembangunan ekonomi tingkat nasional atau provinsi tanpa mengindahkan aspek pembangunan ekonomi yang berbasis regional.

Ketimpangan ekonomi antardaerah pada akhirnya merupakan akibat dari sebuah proses pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh suatu negara atau provinsi. Dari masalah ketimpangan ekonomi tersebut, kemudian memunculkan berbagai permasalahan lainnya, diantaranya adalah adanya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antardaerah karena salahsatu penunjang dari pelaksanaan pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya fasilitas infrastruktur, baik fisik maupun nonfisik, di mana pada daerah yang perkembangan ekonominya tertinggal ternyata memiliki ketersediaan sarana infrastruktur yang sedikit atau bahkan tidak ada.

Selain hal tersebut di atas, masalah ketimpangan pada dasarnya disebabkan oleh masalah perbedaan pada kepemilikkan sumberdaya ekonomi dan juga kondisi demografi. Sebagaimana diuraikan oleh Sjafrizal (2008) sebagai berikut:

“Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah”.

Penyebab yang mendasar tersebut sesungguhnya menggambarkan adanya keanekaragaman dalam hal potensi ekonomi daerah. Hal tersebut relatif sangat sulit untuk diubah. Sehingga jika dalam penerapan strategi maupun kebijaksanaan pembangunan ekonominya diperlakukan sama

17 Sjafrijal,2008,


(37)

dengan daerah lain yang kaya akan sumberdaya ekonomi dan secara geografis juga potensial, maka hasilnya tentu saja tidak akan sama. Kebutuhan setiap daerah terhadap strategi dan kebijaksanaan pembangunan adalah tidak sama, dan sangat perlu disesuaikan dengan segala potensi ekonomi yang dimilikinya.

Maka ketimpangan ekonomi adalah suatu kondisi di mana terdapatnya perbedaan hasil-hasil dari kegiatan pembangunan ekonomi, yang disebabkan oleh adanya perbedaan kepemilikkan sumberdaya ekonomi, kondisi geografis, dan ketersediaan sarana infrastruktur baik fisik maupun nonfisik yang dibutuhkan untuk kegiatan pertumbuhan ekonomi.

2.5.2 Teori ketimpangan ekonomi

Masalah ketimpangan ekonomi yang dialami banyak negara sedang berkembang menimbulkan berbagai masalah lainnya yang tidak hanya meliputi aspek ekonomi saja, melainkan juga aspek nonekonomi. ketimpangan ekonomi pada akhirnya merupakan pemicu berbagai persoalan sosial masyarakat, dimana penyelesaiannya membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Upaya untuk menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi ini telah sering dilakukan dengan menerapkan berbagai metode dan kebijakan pemerintah.

Pada kenyataannya, masalah ketimpangan ekonomi masih sering ditemui di berbagai negara sedang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah ketimpangan ekonomi baik di tingkat nasional maupun regionalnya ternyata tidak mudah. Pendekatan yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi perlu disesuaikan dengan kondisi dari kebutuhan masyarakat negara tersebut. Melalui pendekatan yang tepat, maka diharapkan masalah ketimpangan ekonomi dapat lebih ditekan.

Menurut hipotesa kaum neoklasik dalam Sjafrizal (2012), secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh North dalam analisanya tentang teori pertumbuhan NeoKlasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai hipotesa NeoKlasik. Yang menarik perhatian para ekonom dan perencanaan pembangunan.

”Pada permulaan proses pembangunan suatu negara,

ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tesebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut,


(38)

maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan

antarwilayah tersebut akan menurun”.18

Konsep ketimpangan ekonomi menurut kelompok neoklasik tersebut menjelaskan mengenai tahapan-tahapan yang kemungkinan besar akan dilalui oleh suatu negara terkait dengan masalah ketimpangan ekonomi antarwilayahnya. Namun konsep tersebut akan dianalisis untuk kondisi yang berbeda, yaitu kondisi perekonomian di masa sekarang dengan asumsi kondisi daerah yang berbeda pula.

Sjafrizal (2008), menjelaskan mengenai faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah sebagai berikut:

“Faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah adalah adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam, adanya perbedaan kondisi geografis, kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, adanya konsentrasi kegiatan ekonomi

wilayah, dan alokasi dana pembangunan antarwilayah”.19

Uraian tersebut di atas merupakan pemaparan mengenai faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi yang telah secara luas diketahui dalam analisis ekonomi. Pemaparan tersebut akan dijadikan sebagai informasi dasar dalam menganalisis masalah ketimpangan ekonomi antarwilayah. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa faktor utama tersebut dapat berkembang lagi melalui kegiatan analisis yang dilakukan pada kondisi dan asumsi yang berbeda pula.

2.5.3 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah

Indeks Williamson sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan yang digunakan mula-mula oleh Jeffery G. Wiliamson (1966) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. seperti yang dijelaskan oleh Sjarfizal (2008) sebagai berikut:

“Istilah Williamson Index muncul sebagai penghargaan kepada Jeffery G. Wiliamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan

18

Sjafrijal, 2012, Ekonomi Wilayah dan Perkotaan, Rajawali Press, Jakarta, hal.108

19


(39)

dalam perhitungan , namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar

wilayah”.20

Indeks Williamson ini telah banyak diaplikasikan oleh banyak peneliti untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi antarwilayah, dan hasil analisis dari indeks ini masih digunakan untuk menjelaskan kondisi perkembangan pembangunan di suatu daerah. Selain indeks Williamson, ada juga indeks lain yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi antarwilayah, yaitu indeks Theil. Adapun pengertian dari indeks Theil menururt Sjafrizal (2008) adalah:

“Indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia, dengan menggunakan metode ini dapat dihitung ketimpangan dalam provinsi dan kabupaten/kota serta antar provinsi, kabupaten dan kota. Dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitungan kontribusi (dalam presentase ) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah scara keseluruhn sehingga dapat memberikan implikasi

kebijakan yang cukup penting”.21

Indeks Theil yang pernah digunakan oleh Akita dan Alisyahbana (2002) dalam studinya yang dilakukan di Indonesia mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia, mempunyai kelebihan tertentu.

Pertama, indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan

antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia, dengan menggunakan metode ini dapat dihitung ketimpangan dalam provinsi dan kabupaten atau kota serta antar provinsi, kabupaten dan kota. Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitungan kontribusi (dalam presentase) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting.

2.6. Kebijaksanaan untuk menekan Ketimpangan Ekonomi

Berbagai persoalan yang muncul akibat kegiatan pembangunan ekonomi di suatu daerah perlu ditangani secara seksama melalui berbagai strategi dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hal tersebut merupakan bentuk intervensi dari pemerintah bagi perekonomian. Penetapan bentuk kebijakan pemerintah perlu dianalisis agar dapat sesuai dengan kebutuhan bagi kondisi perekonomian yang dihadapi. Dalam rangka analisis tersebut, perlu ditetapkan berbagai sasaran dan tujuan dari kebijakan yang akan diterapkan, misalnya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, penyediaan lapangan kerja, dan menurunkan tingkat ketimpangan

20

Sjafrijal, 2008, Loc.Cit, hal.108

21


(40)

ekonomi antarwilayah dalam satu provinsi. Menurut Sjafrizal (2008), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan kebijaksanaan yang diarahkan untuk menekan tingkat ketimpangan ekonomi antarwilayah adalah sebagai berikut:

“Kebijakan pembangunan regional pada dasarnya merupakan intervensi pemerintah, baik secara nasional maupun regional untuk mendorong proses

pembangunan daerah secara keseluruhan”.22

Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan intervensi pemeritah dalam proses pembangunan adalah adanya kebijakan pembangunan regional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang disusun secara berkesinambungan dan didasarkan pada kebutuhan pembangunan di daerah tersebut.

2.6.1. Perlunya Kebijakan Pembangunan Regional

Hal pertama yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi antarwilayah menurut Sjafrizal (2008) adalah adanya kebijakan pembangunan regional, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

“Kebijakan pembangunan pada dasarnya adalah merupakan keputusan atau tindakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah berwenang atau pengambil keputusan publik guna mewujudkan suatu kondisi pembangunan atau masyarakat yang diinginkan, baik pada saat sekarang maupun untuk periode tertentu di masa

datang”.23

Kebijakan pembangunan regional dibutuhkan untuk menetapkan berbagai keputusan kebijakan yang diambil baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang ditujukan kepada daerah tertentu agar dapat memenuhi kebutuhan perekonomian daerah tersebut sehingga dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat daerah yang bersangkutan. Maka kebijakan pembangunan regional harus berbasis pemberdayaan potensi ekonomi daerah. Karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda, maka pihak pemerintah daerahlah yang seharusnya terlibat secara langsung dalam penetapan kebijakan pembangunan daerahnya.

2.6.2. Sasaran Kebijakan Regional

Hal kedua yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi menurut Sjafrizal (2008) adalah dengan menentukan sasaran dalam kebijakan regional, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

22

Ibid, hal.154

23


(41)

“Untuk dapat merumuskan kebijakan pembangunan regional yang baik dan terarah, perlu pula ditetapkan terlebih dahulu sasaran

yang ingin dicapai”.24

Uraian tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa kebijakan pembangunan daerah harus didasarkan pada sasaran yang ingin dicapai dalam perekonomian daerah.

a. Kemakmuran Wilayah

Sasaran kebijakan regional yang pertama adalah kemakmuran wilayah, seperti yang dijelaskan oleh Sjafrizal (2008) sebagai berikut:

“Salahsatu sasaran utama pembangunan ekonomi regional yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah adalah untuk

mewujudkan kemakmuran wilayah bersangkutan”.25

Dari uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa sasaran kemakmuran wilayah adalah penting dan merupakan sasaran utama yang pertama yang perlu ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan dalam kebijakan regionalnya. Hal yang meliputi sasaran tersebut adalah adanya pembangunan berbagai sarana umum bagi masyarakat yang baik, penyediaan lingkungan pemukiman yang sehat, dan penyediaan sarana pendidikan yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Bila sasaran tersebut dapat dipenuhi, maka dapat mendorong kemjuan ekonomi daerah pada masa berikutnya.

b. Kemakmuran Masyarakat

Sasaran kebjakan regional yang berikutnya adalah kemakmuran masyarakat, seperti yang dijelaskan oleh Sjafrizal (2008) sebagai berikut:

“Dalam kaitannya dengan sasaran kemakmuran

masyarakat, program dan kegiatan lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam bentuk pengembangan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, peningkatan penerapan teknologi tepat guna, dan meningkatkan kegiatan produksi masyarakat setempat

di bidang pertanian”.26

24

Sjafrijal, 2008, Loc.Cit, hal.156

25

Ibid, hal.156

26


(42)

Dari uraian tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa kemakmuran masyarakat merupakan bagian penting lainnya yang harus dapat dicapai dalam pembangunan ekonomi regional. Bila kemakmuran wilayah akan dapat mendorong kemajuan ekonomi daerah yang bersangkutan, seharusnya juga dapat mendorong peningkatan kesejahteraan atau kemakmuran dari masyarakatnya, melalui penyediaan lapangan kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah tersebut. Jika masyarakat dapat mengakses berbagai jenis pekerjaan yang tersedia dalam perekonomian daerah, maka dapat diprediksikan kemakmuran masyarakat dapat dicapai (masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang merupakan penduduk asli daerah yang bersangkutan).

2.6.3. Penetapan Wilayah Pembangunan

Penetapan wilayah pembangunan merupakan salahsatu langkah awal dalam menerapkan kebijakan pembangunan regional. Hal tersebut dibutuhkan karena dalam sebuah region, terdapat subregion yang memiliki perbedaan kondisi fisik yang berbeda-beda akibat adanya pembangunan sebelumnya. Subregion dalam provinsi misalnya, yaitu kabupaten dan kota, masing-masing memiliki kondisi fisik yang berbeda akibat pembangunan regional provinsi pada masa sebelumnya.

Bagi kebupaten dan kota yang relatif masih kurang maju atau kurang berkembang kondisi perekonomiannya, maka wilayah tersebut yang perlu menjadi prioritas bagi pemabangunan wilayah di provinsi tersebut. Dengan tanpa meninggalkan dari pemerintah provinsi untuk juga terus membangun wilayah kabupaten dan kota yang sudah lebih dulu maju, maka pemerintah daerah provinsi beserta pemerintah kabupaten dan kota harus terus melakukan koordinasi yang baik agar dapat mencapai sasaran terwujudnya kemakmuran wilayah. dalam bukunya, Sjafrizal (2008) menjelaskan, bahwa:

“Dalam merumuskan kebijakan pembangunan wilayah terlebih dahulu perlu ditetapkan pengelompokan wilayah pembangunan baik dalam suatu negara, provinsi, kabupaten maupun kota dengan memperhatikan kondisi dan potensi wilayah bersangkutan. Penetapan wilayah pembangunan ini perlu dilakukan agar pemberlakuan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut dapat ditentukan dengan jelas dan tegas sampai di mana wilayah cakupanya. Dengan demikian, perumusan kebijakan pembangunan wilayah akan dapat dilakukan secara lebih tepat, sesuai dengan kondisi, permasalahan dengan potensi wilayah serta kewenangan pemerintah daerah bersangkutan. Hal ini sanagat penting artinya


(43)

agar penetapan kebijakan pembangunan wilayah tersebut menjadi

lebih operasional dan terarah.”.27

Penepatan wilayah pembangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan 4 aspek utama,yaitu:

a. Kesamaan kondisi, permasalahan dan potensi umum daerah baik di bidang ekonomi,sosial dan geografi.

b. Keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan.

c. Kesamaan karakteristik geografis antar daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan tersebut. Karakteristik geografis tersebut meliputi jenis daerah pantai, pegunungan atau daerah aliran,dan potensi sumber daya alam.

d. Kesatuan wilayah administrasi pemerintah antar provinsi, kabupaten dan kota yang tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan.

2.6.4. Bentuk Kebijakan Pembangunan Regional

Kebijakan pembangunan regional yang ditetapkan oleh pemerintah terdiri dari dua bentuk yaitu kebijakan Fiskal dan kebijakan Moneter, seperti yang dijelaskan oleh Sjafrizal (2008) sebagai berikut:

“Mengikuti analisis dalam ilmu ekonomi makro, kebijakan pembangunan ekonomi pada tingkat wilayah dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan Fiskal dan atau kebijakan Moneter. Kebijakan

Fiskal menyangkut dengan pengendalian penerimaan dan

pengeluaran (belanja) pada tingkat nasional dan daerah sehingga prospek pembangunan menjadi lebih baik dan optimal. Sedangkan kebijakan Moneter menyangkut dengan pengendalian Jumlah Uang yang Beredar dalam masyarakat termasuk instansi terkait seperti lembaga keuangan dan perbankan yang sasarannya juga untuk

mendorong kegiatan ekonomi secara keseluruhan”.28

Dari uraian tersebut di atas, dijelaskan mengenai bentuk dari kebijakan pembangunan yang digunakan. Ruang lingkup dari kebijakan tersebut meliputi wilayah pusat (nasional) dan juga termasuk wilayah daerah. Berikut ini adalah pengertian dari kebijakan pembangunan yang digunakan untuk ruang lingkup wilayah.

a. Kebijakan Fiskal Wilayah

27

Ibid, hal.158

28


(44)

Bentuk kebijakan pembangunan yang pertama adalah kebijakan Fiskal wilayah. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kebijakan Fiskal wilayah menurut Syafrijal (2008):

“Kebijakan Fiskal pada tingkat wilayah dapat dilakukan dalam bidang pengaturan dan pengendalian dan pengeluaran

keuangan daerah”.29

Kebijakan Fiskal wilayah yang menyangkut aspek penerimaan antara lain adalah kebijakan pembebasan atau pengurangan pajak. Sementara itu kebijakan Fiskal wilayah yang menyangkut aspek pengeluaran adalah peningkatan proporsi dana APBD yang dialokasikan untuk belanja publik dan belanja modal, dan peningkatan keterkaitan antara perencanaan dan anggaran. Dapat pula dengan menggunakan kebijakan Dana Alokasi Khusus.

b. Kebijakan Moneter Wilayah

Bentuk kebijakan pembangunan wilayah yang kedua adalah kebijakan Moneter wilayah. Berikut ini adalah penjelasan dari kebijakan Moneter wilayah menurut Syafrijal (2008):

“Pelaksanaan kebijakan wilayah dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan penerian kredit perbankan yang dibedakan untuk daerah yang sudah maju dengan daerah yang sedang

berkembang”.30

Pemberian kredit perbankan tersebut dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Untuk daerah sedang berkembang dapat diberikan dalam bentuk prosedur dan jaminan yang lebih sederhana sehingga para pengusaha di daerah bersangkutan dapat memanfaatkan fasilitas kredit tersebut untuk mendorong kegiatan usahanya. b. Pengembangan lembaga-lembaga keuangan nonbank sebagai

alternatif untuk penyediaan pembiayaan bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat.

2.6.5. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Regional

Proses berikutnya setelah pelaksanaan kebijakan regional adalah evaluasi pelaksanaan kebijakan regional. Berikut ini adalah penjelasan untuk kegiatan evaluasi tersebut menurut Sjafrijal (2008):

“Evaluasi pelaksanaan kebijakan regional perlu dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa jauh kebijakan yang telah dilaksanakan

29

Sjafrijal, 2008, Loc.Cit, hal.161

30


(45)

oleh pemerintah derah dapat memberikan dampak positif sesuai

dengan tujuan yang ditetapkan semula”.31

Uraian tersebut dia atas dapat dimaknai bahwa evaluasi perlu dilakukan agar dapat memantau perkembangan atau perubahan pada kondisi daerah dengan sasaran yang telah ditetapkan dalam pembangunan ekonomi regional. Dalam kegiatan evaluasi akan ditemui berbagai keadaan yang diharapkan mampu menjelaskan berbagai faktor penyebab atas berhasil dan belum berhasilnya sebuah strategi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam pembangunan ekonomi regional. Sehingga akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan pembangunan ekonomi regional berikutnya agar dapat tercapai kondisi perkembangan dan perubahan kondisi pembangunan ekonomi yang ada di daerah tersebut. Menurut Sjafrizal 2008, evaluasi pelaksanaan kebijakan regional tersebut dapat dilakukan secara komprehensif maupun secara parsial.

a. Evaluasi Komperhensif

Bentuk evaluasi yang pertama adalah evaluasi komprehensif, menurut Sjafrizal (2008) evaluasi komprehensif adalah:

“Evaluasi komprehensif paling sederhana yang dapat dilakukan dalam melakukan evaluasi pelaksanaan suatu kebijakan pembangunan regional adalah dengan jalan membandingkan kondisi pembangunan sesudah kebijakan dilakukan dengan

sebelumnya.”32

Kegiatan evaluasi komprehensif ini merupakan sebuah kegiatan membandingan kondisi pembangunan setelah dilaksanakannya kebijakan pembangunan wilayah denga kondisi sebelum dilaksanakannya kebijakan pembangunan wilayah. Hal yang diperbandingkan misalnya secara umum adalah perbedaan besarnya output daerah dalam bentuk PDRB secara agregat maupun PDRB sektoral. Kegiatan evaluasi ini dapat memberikan informasi sementara mengenai kondisi perkembangan dari pembangunan regional yang dilaksanakan.

b. Evaluasi parsial

Bentuk evaluasi yang kedua adalah evaluasi parsial, menurut Sjafrijal (2208) evaluasi parsial adalah sebagai berikut:

“Evaluasi pelaksanaan kebijakan regional secara parsial

dilakukan dengan melihat keberhasilan pelaksanaan

pembangunan pada tingkat program atau proyek (kegiatan).

31

Ibid, hal.165

32


(1)

Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Lebak, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran).

Tahun Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas

Bangunan Perdagangan Transportasi

Persewaan Dan Jasa Perusahaan

Jasa-Jasa

2002 III III II III III I III IV III

2003 III III II II II III I III III

2004 I I II IV I II II I I

2005 I I II II III III IV III III

2006 I III IV II I III IV III III

2007 I III III IV I III IV III III

2008 I III IV IV III III IV III III

2009 III III IV IV III III IV II III

2010 III III IV IV III IV IV I I


(2)

Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Tangerang, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran).

Tahun Pertanian Pertambangan Industri

Listrik,

Gas Bangunan Perdagangan Transportasi

Persewaan Dan Jasa Perusahaan

2002 I I I I IV II II I I

2003 I I I III II III II III I

2004 I I II I II II II I I

2005 I IV I III IV IV II IV II

2006 I II I I II II II II I

2007 I II III I II III II IV I

2008 III III II I III IV III III III

2009 III II III III II II II IV II

2010 I II I III II IV II II IV


(3)

Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten Serang, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran).

Tahun Pertanian Pertambangan Industri

Listrik,

Gas Bangunan Perdagangan Transportasi

Persewaan Dan Jasa Perusahaan

2002 I II II III III II IV III I

2003 I IV III II II III II III III

2004 I II II I I II II I I

2005 III II II II III IV IV III III

2006 I II IV II I IV IV III III

2007 I IV I III III IV II III II

2008 III IV IV IV III IV IV III III

2009 III IV III III IV II II IV IV

2010 III II III III IV IV II II II


(4)

Klasifikasi Tipologi Klassen Kota Tangerang, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran).

Tahun Pertanian Pertambangan Industri

Listrik,

Gas Bangunan Perdagangan Transportasi

Persewaan Dan Jasa Perusahaan

2002 IV IV III IV IV I III III IV

2003 III IV I III III III I III IV

2004 II IV II III II II II II II

2005 II IV I IV IV III I II IV

2006 IV IV IV IV II I I II IV

2007 IV IV I IV II I III IV IV

2008 IV IV III IV III I I IV IV

2009 IV IV III III III I I IV IV

2010 II IV II IV II III III II IV


(5)

Klasifikasi Tipologi Klassen Kota Cilegon, Periode tahun 2002-2011 (kelompok kuadran).

Tahun Pertanian Pertambangan Industri

Listrik,

Gas Bangunan Perdagangan Transportasi

Persewaan Dan Jasa Perusahaan

2002 IV III III II III II II III II

2003 IV II I I II III III IV I

2004 II II II II II II II II III

2005 IV IV I III IV III III IV II

2006 II II II II II IV IV IV III

2007 IV II I III IV II I IV II

2008 II II II III IV IV IV IV IV

2009 IV IV III III IV III III I II

2010 IV II I III II II III II IV


(6)

Umayatu Suiroh Suharto yang merupakan penulis dari Tesis ini lahir di Serang pada Tanggal 24 September 1973 dari ayah H. Moh. Ibrahim Suharto dan ibu Hj. Romlah. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, penulis tinggal di kota Cilegon, setelah menikah pindah ke kota Serang. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan dasarnya mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di kota Cilegon. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri Cilegon dan pada tahun yang sama masuk Universitas Pasundan Bandung. Penulis menyelesakan studi di jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, dan lulus tahun 1998. Selama masa studi, penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan di kampus, terutama di tingkat Jurusan. Penulis bekerja di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang sebagai pengajar di Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi sejak perguruan tinggi negeri ini berdiri.