wilayah bisa berkembang. Setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga bisa menciptakan demand untuk masing-masing produk.
Sedangkan tabungan diperlukan untuk bisa memacu investasi, karena apabila jumlah tabungan suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan
meningkat.
Lebih lanjut Rustiadi et al. 2007 menjelaskan bahwa kesenjangan antar wilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi yang
memperhatikan dimensi spasial, yaitu tahap pertama dengan: 1 redistribusi aset tanah, kapital, finansial dll; 2 pengembangan lembaga dan pasar finansial di
wilayah perdesaan; 3 kebijakan insentif lapangan kerja yang membatasi masalah migrasi penduduk dari desa ke kota; 4 kebijaksanaan mempertahankan nilai
tukar exchange rate policy yang mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif dan 5 pengendalian sebagian partial controlled melalui
kebijaksanaan perpajakan dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal. Tahap kedua meliputi: 1 pembangunan regional berbasis kepada pemanfaatan
sumberdaya wilayah kawasan berdasarkan keunggulan komparatif masing- masing wilayah; 2 kebijaksanaan insentif fiskal mendorong produksi dan
distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah perdesaan; 3 investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih
kuat dengan membangun trust fund di daerah-daerah untuk dapat membiayai pembangunan dua kapital tersebut dan 4 industrialisasi berbasis wilayah
perdesaan pertanian melalui pembangunan sistem mikropolitan, seperti industri pengolahan makanan dan pakan, industri pengolahan pertanian lain dan industri
peralatan dan input-input pertanian serta barang konsumsi lain. Secara berangsur- angsur tersebut akan mengurangi kesenjangan antar wilayah kawasan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh.
Dalam konteks nasional, strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan kesenjangan pembangunan
antar wilayah antara lain: 1 membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia; 2 percepatan pembangunan wilayah-
wilayah unggulan dan potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan seperti Kawasan Andalan Kadal dan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu Kapet yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi; 3 program percepatan pembangunan yang bernuansa
mendorong pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti Kawasan Sentra Produksi KSP, pengembangan kawasan perbatasan,
pengembangan kawasan tertinggal dan proyek pengembangan ekonomi lokal dan 4 program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti pewilayahan
komoditas unggulan, pengembangan sentra industri kecil, pengembangan masyarakat pesisir PEMP, dan lain-lain Rustiadi dan Hadi 2004. Program-
program tersebut sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada saat menjelang dan awal era
reformasi.
2.11 Paradigma Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Paradigma pembangunan, selama beberapa dekade terakhir terus mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan mendasar. Berbagai pergeseran
paradigma akibat adanya distrosi berupa “kesalahan” di dalam menerapkan
model-model pembangunan yang ada selama ini adalah sebagai berikut Rustiadi et al. 2007:
Pergeseran dari situasi harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan sebagai pilihan-pilihan yang tidak saling menenggang trade off ke keharusan mencapai tujuan pembangunan tersebut secara “berimbang”.
Kecenderungan pendekatan dari cenderung melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur secara makro menjadi pendekatan-pendekatan
regional dan lokal. Pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah yang dominan menjadi
pendekatan pembangunan yang mendorong pertisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.
Di masa sekarang dan yang akan datang diperlukan adanya pendekatan perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut: i sebagai bagian dari
upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, ii menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, iii menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang
pembangunan berkelanjutan dan iv disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun Rustiadi
et al. 2007.
Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar
dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin besar, beban dan ketergantungan pada
hutang luar negeri yang senakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan pelaksanaan pembangunan. Realitas-realitas tersebut telah mendorong perubahan
pemikiran dan konsepsi pembangunan.
Dalam perspektif kewilayahan regional di Indonesia, kesadaran akan perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan juga lahir akibat terjadinya
ketidakadilan yang begitu menonjol antar wilayah dan ruang. Terjadinya kesenjangan pembangunan wilayah ruang berupa dikotomi perdesaan rural
versus perkotaan urban, Kawasan Timur Indonesia KTI versus Kawasan Barat
Indonesia KBI, Jawa dan luar Jawa adalah bukti “ketidakseimbangan” pembangunan. Kesenjangan tersebut semakin besar seiring dengan semakin
besarnya proses kebocoran wilayah regional leakage. Bahkan telah terakumulasi menjadi persoalan-persoalan yang semakin kompleks, seperti
kongesti, sanitasi buruk, pemukiman kumuh serta penyakit-penyakit sosial di wilayah perkotaan.
Paradigma baru saat ini meyakini bahwa pembangunan harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan equity, pertumbuhan growth, dan keberlanjutan
sustainability dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru pembangunan ini dapat mengacu kepada dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan the
second fundamental of welfare economics, dimana dalil ini menyatakan bahwa
sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat
diserahkan kepada mekanisme pasar.
Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang balanced development. Isu pembangunan wilayah
atau daerah yang berimbang menurut Murty 2000 dalam Rustiadi et al. 2007 tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah equally
developed, juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi wilayah daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan sruktur ekonomi daerah,
atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar self sufficiency setiap wilayah daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi
pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah daerah yang jelas-jelas beragam sehingga memberikan keuntungan manfaat yang optimal bagi
masyarakat di seluruh wilayah all regions.
2.12 Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah
Studi tentang kesenjangan pembangunan antar wilayah mulai banyak dilakukan setelah Williamson pada tahun 1965 melakukan studi tingkat
kesenjangan di berbagai negara yang dinyatakan dengan PDB - Produk Domestik Bruto yang berbeda. Williamson menilai tingkat kesenjangan dengan
memperkenalkan indeks Williamson yaitu suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan pendapatan per kapita penduduk tiap wilayah dan
pendapatan per kapita nasional. Indeks Williamson ini sebenarnya merupakan suatu modifikasi dari standar deviasi.
Dengan demikian makin tinggi indeks Williamson V
w
, berarti kesenjangan senakin besar, bagitu pula sebaliknya jika indeks semakin rendah
berarti kesenjangan semakin kecil. Dari hasil penelitiannya, Williamson berkesimpulan bahwa pada waktu tingkat perkembangan ekonomi suatu negara
masih rendah, tingkat kesenjangannya pun V
w
rendah. Nilai V
w
ini terus meningkat bagi negara-negara yang lebih tinggi perkembangan ekonominya.
Sampai pada suatu saat tercapai titik balik, dimana tingkat perkembangan ekonomi suatu negara makin tinggi, nilai V
w
nya makin rendah. Bagi negara-negara yang telah maju, ternyata nilai V
w
rendah. Dari hasil penelitian Williamson tersebut dapat disimpukan bahwa pada waktu negara
sedang tumbuh dapat terjadi divergensi kesenjangan membesar dalam pengembangannya dan kemudian akan terjadi konvergensi kesenjangan
mengecil apabila perkembangan negara tersebut sudah lebih tinggi lagi Nurzaman 2002.
Memperkuat kesimpulannya, lebih lanjut Williamson melakukan penelitian secara runut waktu time series di Amerika Serikat dari tahun 1840
sampai tahun 1961. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata pada tahun 1948, pada waktu ekonomi Amerika Serikat belum berkembang nilai V
w
Amerika Serikat masih rendah, yaitu sebesar 0,279 dan mencapai puncaknya pada tahun
1932 sebesar 0,410, lalu menurun terus, dan pada tahun 1961 setelah ekonomi Amerika Serikat berkembang penuh, nilai V
w
nya sebesar 0,192 yang boleh dikatakan bahwa perkembangan telah merata di seluruh negara bagian.
Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada waktu suatu negara masih berkembang, nilai V
w
nya rendah, kemudian naik sejalan dengan perkembangan ekonomi, dan kemudian menurun lagi sejalan dengan perkembangan ekonomi
yang lebih tinggi, sampai boleh dikatakan merata pada waktu ekonomi sudah benar-benar berkembang. Hasil penelitian terhadap negara-negara yang sudah
maju seperti Kanada, Inggris, Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman menunjukkan hal yang sama, yaitu adanya pernurunan nilai V
w
yang cukup signifikan, sedangkan pada negara-negara yang ekonominya masih dalam tahap
perkembangan seperti Italia pengamatan sampai tahun 1960 dan Brazil pengamatan sampai tahun 1959, menunjukkan nilai V
w
yang terus naik Williamson. 1966 dalam Nurzaman 2002.
Fujita dan Hu 2001 yang meneliti disparitas wilayah di Cina wilayah pesisir dan pedalaman tahun 1985-1994 dengan menggunakan indeks Williamson
dan indeks Theil menunjukkan bahwa pada periode tahun 1980-an tingkat disparitas di Cina mengalami penurunan. Namun setelah tahun 1990-an, tingkat
disparitas tersebut meningkat secara nyata. Penurunan tingkat disparitas tersebut diakibatkan oleh meningkatnya pembangunan wilayah di kawasan pesisir Cina
yang semula relatif tertinggal dari kawasan pedalaman Cina. Akan tetapi setelah tahun 1990-an perkembangan wilayah pesisir Cina semakin pesat berkembang dan
jauh meninggalkan wilayah pedalamannya. Akibatnya kesenjangan pembangunan antara wilayah wilayah pesisir dan pedalaman di Cina menjadi meningkat. Hal
tersebut ditunjukkan Fujita dan Hu dari hasil dekomposisi ketimpangan dengan menggunakan indeks theil, dimana pada tahun 1980-an sumber ketimpangan
utama berasal dari ketimpangan dalam wilayah pesisir dan pedalaman, sedangkan setelah tahun 1990-an sumber utama ketimpangannya berubah menjadi
ketimpangan antar wilayah pesisir dan pedalaman.
Penelitian lain tentang disparitas di Cina juga dilakukan oleh Lee 2000, yang menguji perubahan sumber utama ketimpangan di Cina dengan
menggunakan data PDRB sektor industri dan pertanian per kapita dan konsumsi rumah tangga per kapita tahun 1982 dan 1994. Pada penelitian tersebut, Lee
menunjukkan bahwa sumber yang dominan dari seluruh ketimpangan wilayah sudah bergeser dari ketimpangan antar provinsi menjadi ketimpangan dalam
provinsi, dari ketimpanan kota-desa menjadi antar desa dan juga dari ketimpangan dalam kawasan pesisir menjadi antara kawasan pesisir dan kawasan pedalaman.
Dalam kasus konsumsi, ketimpangan antar provinsi, ketimpangan kota-desa dan ketimpangan dalam kawasan pesisir adalah faktor-faktor utama dari seluruh
ketimpangan wilayah.
Di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan
pada ketimpangan ekonomi antar provinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975
Tambuan 2003, disusul kemudian antara lain oleh Hughes dan Islami 1981, Uppal dan Handoko 1988, Islam dan Khan 1986, Akita 1988, Akita dan
Lukman 1995, Tambunan 1996, 2001, Takeda dan Nakata 1998, Garcia dan Soelistyaningsih 1998, Sjafrizal 1997, 2000 dan Booth 2000. Walaupun data
yang digunakan sama, yaitu PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antar studi. Misalnya Sjafrizal dalam Tambunan 2003 menganalisis
ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat IKB dan Indonesia Kawasan