Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia

` pada tahun 1912 M, beliau juga membangun sekolah-sekolah formal. Lahirlah kemudian lembaga-lembaga pendidikan modern, yang memadukan antara ilmu- ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu modern. Ahmad Dahlan kemudian melangkah dengan nuansa Islam yang baru. Pikiran-pikiran pembaruan yang disampaikan lewat tablignya banyak memukau kalangan intelektual dan kaum terpelajar Islam di Indonesia. Tidak kurang para aktivis Boedi Oetomo ikut terpesona dan sering mengundang Ahmad Dahlan untuk memberikan ceramahnya. 23 b. K.H. Hasyim Asy’ari K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871 M di Jombang Jawa Timur, mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy’ari. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain. Beliau bermukim selam 8 tahun ke Mekkah untuk menuntut agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan membuka ilmu pengetahuaanya, yaitu Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899 M 24 . Selain mengembangkan ilmu di Tebu Ireng ia juga turut membangunkan perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan ia sebagai Syekhul Akbar dalam perkumpulan itu. Selain daripada itu K.H. Hasyim Asy’ari duduk dalam pucuk pimpinan M.I.A.I. yang kemudian menjadi Masyumi. Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliau mempunyai sandaran hidup sendiri, yaitu beberapa bidang sawah, hasil peniagaannya. Beliau seorah salih, sungguh beribadat, taat dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat dan kursi, baik di zaman Belanda, atau di zaman Jepang. Kerap kali beliau diberi pangkat dan kursi, tetapi ia menolak dengan bijaksana. 25 23 Kholid O. Santosa, Manusia Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam, Bandung: Sega Arsy, 2007, hal. 12-13 24 Deliar Noer, Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990, hal.62 25 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, hal. 237- 238 ` K.H. Hasyim Asy’ari juga merupakan sosok pengarang produktif yang telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku. Diantara karya K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al- muta’alim fima yahtaj ila al- muta’allim fi ahwal ta’allum wa ma yataqaff al-muta’allim fi maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu terdiri dari 8 bab, yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus dipedomani oleh guru, etika guru ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan etika terhadap buku. 26 c. Mahmud Yunus Mahmud Yunus lahir di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10 Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Beliau termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri PTAIN. Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di bidang pendidikan setelah kembali ke Indonesia yaitu memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di sana yang bernama al- Jami’ah al-Islamiyah, dengan mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu umum yaitu Normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan diutamakan pada metode mengajar bahasa arab. Mahmud Yunus memiliki komitmen dan perhatian yang besar terhadap upaya membangun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Dia ingin lulusan pendidikan Islam mutunya lebih baik dan mampu bersaing dengan lulusan sekolah yang sudah maju, beliau juga menawarkan pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa arab, mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal, cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia dan jenjang 26 Kholid O. Santosa, op.cit., hal. 27-28 ` pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi. 27 Mahmud Yunus bukan hanya mengajarkan tentang kebahasaannya, tapi juga bagaimana cara mudah dan cepat untuk bisa menguasai bahasa Arab. Pada tanggal 16 Januari 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia di Jakarta. 28 d. Imam Zarkasyi Dilahirkan di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1901 M dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak. 29 Semasa hidup beliau pernah menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia MUI pusat. Selain itu, beliau juga orang yang aktif dalam bidang pendidikan, sosial dan politik negara. Imam Zarkasyi juga seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Banyak sekali karyanya yang hingga saat ini dapat dinikmati. Beliau juga rajin menulis beberapa petunjuk teknik bagi para santri dan guru di Pondok Gontor dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangannya hingga kini masih dipakai di KMI Gontor dan pondok-pondok pesantren yang didirikan para alumni Gontor serta beberapa sekolah agama. 30 e. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain pendidikan Islam di Indonesia

C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya

Kata ulama adalah berasal dari kata Jama’-A’lima yang mempunyai arti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap. 31 Dalam al- Q ur’an terdapat dua kata “ulama”, yaitu pada surat Fatir:28 32 dan surat Asy- 27 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005, hal. 57-70 28 Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, hal. 90 29 Abuddin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 157 30 Ibid., hal. 195 31 Abdul Qodir Djaelani, Peran Ulama danSantri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia , Surabaya: PT Bina Ilmu,1990, hal. 3 32 “…. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama ”. Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. ` Syu’ara: 196 - 197 33 . Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk, patuh dan “khasyyah” takut kepada-Nya. Nabi Muhammad SAW memberikan rumusan tentang ulama itu sendiri yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang bera khlak Qur’ani yang menjadi warotsatul anbiya pewaris para nabi, qudwah pemimpin dan panutan , khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia. 34 Pada masa Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi, seperti ahli fikih disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakalim, ahli tasawuf disebut mutasawif dan ahli tafsir disebnut mufasir. Sementara orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama tetapi ahli di dalam bidangnya masing-masing. 35 Di Indonesia, ada beberapa macam istilan atau sebutan ulama. Di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Timur disebut Kiai, di daerah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara disebut Tuan Guru. Adapun ulama yang memimpin tarekat disebut Syaikh. 36 Sedangkan ulama di Betawi disebut Guru, Muallim dan Ustadz. 37 Dalam konteks kemasyarakatan, status ulama adalah informal leader pemimpin non formal yang diangkat dan diakui oleh masyarakat sebagai pemimpin yang disegani, dipatuhi, dijadikan sumber bertanya dan pertukaran 33 “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab orang dahulu. Dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya? 34 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2001, hal. 32-33 35 Ibid., hal. 33 36 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hal. 120-121 37 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, Jakarta: Gunara Kata, 2001, hal. 200-202