Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami
“Siapa yang dapat menunjukkan kepadaku seperti perjalananmu yang dimudahkan. Engkau berjalan perlahan-lahan, tetapi engkau sampai terlebih
dahulu”
9
Ada keistimewaan yang nampak dari KH. Syafi’i Hadzami yaitu pengakuan seorang gurunya al-Habib Ali bin Husen al-
‘Attas yang pernah menjadi ‘umdah sandaran para ulama besar di Jakarta. Habib Ali berpesan kepada salah sorang
dari kalangan sa’adah juga, yaitu Habib Ahmad al-‘Attas untuk mulazamah selalu menyertai KH. M. Syafi’i Hadzami. Hal ini belum pernah ditemui ulama
di Jakarta pada waktu itu bahwa ada seorang habib tekemuka yang merupakan seorang alim ‘allamah meminta kepada kalangan Sa’adah ‘Alawiyyin sendiri
untuk menjadi pendamping seorang kiai yang bukan dari golongan ‘Alawiyyin.
Kalau bukan karena potensi besar, kemapanan, dan keshalehan yang ada pada diri seseorang, hal tersebut tidak akan terjadi.
10
Ia juga kerapkali mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi Kwitang. Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk
menghadiri majelis yang biasa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan dari Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab
dalam karyanya yang berjudul al-Hujjat al-Bayyinah. KH. Syafii Hadzami juga berguru kepada KH. Mahmud Ramli, seorang
ulama besar Betawi. Selama 6 tahun 1950-1956, ia mempelajari kitab-kitab kuning, di antaranya Ihya Ulumuddin dan Bujayrimi. Selain KH. Syafii Hadzami,
murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama-ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, KH. Thabrani Paseban dan lain-lain.
Guru KH. Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Ya’qub Sa’idi di Kebon Sirih. Selama 5 tahun 1950-1955, ia telah mengkhatamkan kitab-kitab
Ushuluddin dan Manthiq, seperti kitab ldhah al-Mubham
11
, Syarh Quwaysini
12
9
Ali Yahya, Op. Cit., hal. 43
10
Ibid., hal. 82
11
Kitab Idhah al-Mubham adalah kitab mantiq karya Syeikh Syihabuddin Ahmad bin Abd
al-Munim al-Damanhuri.
dan lain-lain. Sedangkan dalam ilmu Nahwu ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah, seperti kitab Kafrawi, Mulhat al-
I’rab dan Asymawi. Beberapa guru KH. Syafl’i Hadzami lainnya adalah KH. Muhtar Muhammad 1953-1958,
KH. Muhammad Sholeh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syekh Yasin al Fadani dan KH Muhammad Thoha.
13
Jika melihat deretan nama guru- guru di atas, tampak sekali KH. Syafl’i
Hadzami belajar kepada ulama-ulama yang berada di lingkungan Jakarta, meski ada beberapa ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual
yang luar biasa. Kendati demi kian, KH. Syafl’i Hadzami memiliki tingkat
keilmuan yang tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke 20.
Dalam menuntut ilmu KH. M. Syafi’i Hadzami sangat memperhatikan dan menjaga adab baik kepada ilmu maupun guru. Etika beliau dalam menuntut ilmu
sangatlah luar biasa. Keikhlasan dalam menuntut ilmu, menjaga diri dari kemaksiatan, tawadu’, kesabaran dalam menuntut ilmu, mengoptimalkan waktu
dengan muthola’ah pelajaran yang telah didapat selesai mengaji.
Salah satu adab KH. M. Syafi’i Hadzami kepada gurunya Habib Ali bin
Husen al- ‘Aththas, Bungur saat menjenguknya ketika sedang sakit. Sebagai
penghormatan kepada guru dan menjaga adab, ia melepas sandalnya di luar. Habib Ali yang melihatnya menyuruh untuk memakainya. Namun ia tetap
menolak untuk memakai sendal karena menghormati gurunya. Tidak lama Habib Ali pun keluar kamar dan mengambil sandal itu dan menyuruhnya untuk memakai
kembali. Ia pun terkejut dengan perlakuan gurunya. Hal tersebut sesuai dengan yang tertulis di buku Tips Belajar para Ulama oleh
Salafuddin Abu Sayyid dan Jabbir al-Bassam bahwa diantara adab atau etika seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama, bersikap tawadu’ kepada
12
Salah satu kitab yang membahas tentang fan ilmu mantik, kitab Syarah al-Quwaisini ini dikarang oleh Syekh Hasan ibnu Darwisy al-Quwasini sebagai syarah atas kitab as-Sulam al-
Munawwaraq karya Syekh al-Khudlori.
13
Ibid., hal. 46-51
mereka, memelihara kehormatan mereka dan berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada mereka atau merendahkan kemampuan mereka. Sebab, orang yang
berilmu memiliki kemuliaan yang agung dan kedudukan yang besar.
14
Ada cerita menarik dibalik nama Hadzami. Nama Hadzami yang melekat di kemudia hari
pada nama Mu’allim KH. Muhammad Syafi’i Hadzami bukanlah nama dari sejak lahir, melainkan gelar yang diberikan oleh ulama-ulama senior
pada waktu beliau berusia di bawah 30 tahun. Cerita ini didapat dari Mu’allim
sendiri, ketika itu tahun 50-an di daerah Jakarta Kota ada semacam klub para ulama yang biasa mengadakan majelis mubahatsah diskusi yang men-tahqiq
kitab-kitab ulama. Yang terlibat dalam majelis itu bukan orang-orang yang baru belajar tetapi memang orang-orang yang punya bekal ilmu yang memadai.
Pada majelis itu, jika ada perbedaan pendapat dalam membacakan nash-nash atau dalam menggambarkannya, maka penyelesaian akhirnya selalu berada di
tangan beliau. Padahal, saat itu beliau masih sangat muda sedangkan peserta yang lainnya banyak dari kalangan ulama senior, termasuk Kiai Muhammad Thoha.
Melihat kecerdasan dan penguasaan ilmu yang dimiliki Mu’allim Syafi’i, maka dalam suatu kesempatan para peserta forum itu mengukuhkan gelar Hadzami
15
kepada Mu ’allim. Yang mengusulkan agar Mu’allim diberi gelar itu adalah Haji
Abdurrahman Samman kelahi ran tahun 1920, seorang kawan kerja Mu’allim di
RRI yang kemudian mengaji kepada Mu’allim.
16
Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. Syafi’i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi
gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsung menolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syariat. Jadi, pembaharuan
14
Abu Huzaifah ed, Tips Belajar para Ulama, Solo: Wacana Ilmiah Press, hal. 55
15
Hadzami adalah nama seorang wanita Arab Yaman yang hidup di masa sebelum Islam yang juga digelari
Zarqa’ al-Yamamah. Ia sering dijadikan suatu contoh perumpamaan dalam hal pandangan yang tajam dan informasi yang benar. Seorang penyair berkata:
ح ق ا إ ا ح ق
ا إف ه ق صف ا Artinya:
Apabila Hadzami telah berkata, maka benarkanlah. Karena sesungguhnya perkataan yang benar itu adalah apa yang dikatakan oleh Hadzami.
16
Ali Yahya, Op.Cit., hal. 82-83
dalam memahami agama bukan suatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan-persyaratan untuk itu.
Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi Muhammad SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid pembaharu. Dalam kehidupan
beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang membaharui pandangan- pandangan agama. Jadi, yang di-tajdid-kan diperbaharui bukan agamanya, tetapi
pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan lebih jelas. Padahal, objek
pandangannya sama saja. Jadi, bukan obyeknya yang diubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seorang mujaddid.
Dalam soal pendidikan bagi kaum wanita, KH. Syafi’i Hadzami berpandangan bahwa wanita berhak mendapatkan pendidikan yang cukup.
Namun, mereka tidak harus berpendidikan terlalu tinggi dan tidak perlu menjadi wanita karir. Yang penting, wanita dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Itu
sudah cukup dan itulah yang harus diprioritaskan. Di dalam Islam, patuh terhadap suami, mendidik anak, dan mengurus rumah tangga lebih utama bagi kaum wanita
daripada mencari ilmu yang setinggi-tingginya, namun melupakan hal-hal yang pokok.
KH. Syafi’i Hadzami tetap menghargai pendidikan bagi kaum wanita, walau setinggi apapun. Hanya saja, ia berpendapat bahwa yang paling penting adalah
bagaimana seorang wanita dapat menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Rumah tangga adalah medan karir yang utama bagi kaum wanita. Ia mengatakan
bahwa ulama-ulama di masa dahulu ada yang memakruhkan wanita belajar menulis. Wanita dibolehkan membaca tetapi tidak boleh menulis. Mungkin hal itu
merupakan pengekangan sekali. Tetapi, harus dipahami latar belakangnya. Mungkin latar belakangnya adalah pertimbangan terhadap bahaya-bahaya yang
dapat muncul di masa itu. Pergaulan wanita yang lebih luas memang akan fatal akibatnya. Tetapi, keadaan sudah jauh berubah. Sekarang tidak lagi mendengar
ulama yang melarang wanita untuk belajar menulis. Bahkan, mereka mendorong
wanita wanita muslim, asalkan tidak meninggalkan tugas-tugas pokoknya sebagai istri atau ibu.
Menurutnya, untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan masyarakat luas, sebaiknya kaum lelaki saja yang mengerjakan. Jadi, ada pembagian tugas
antara suami dan istri. Hubungan luar ditangani suami, sedangkan pekerjaan- pekerjaan di dalam rumah diurus oleh istri. Tentu saja wanita dibolehkan
beraktivitas, asalkan dalam batas- batas yang tidak melanggar aturan syara’.
Berkaitan dengan bagaimana seharusnya peran wanita menurut Islam, ia berpandangan bahwa wanita lebih utama berada di rumah. Jadi wanita melayani
suami dan membina keluarga, Hal ini bukan berarti wanita tidak punya peranan sama sekali. Justru, ia sangat berperan dalam membina dan membangun keluarga.
Menurutnya wanita boleh dan dianjurkan untuk berperan dalam keluarga, tentunya dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ketentuan syara. Pada
prinsipnya, hal itu bukan untuk memperbodoh wanita, tetapi justru untuk menjaga dan memberdayakannya. Jika pengertian wanita karir itu adalah dalam bidang
agama, misalnya seperti aktivitas yang dilakukan Hj. Tutty Alawiyah, menurut KH. Syafi’i Hadzami boleh-boleh saja asal memenuhi syarat-syarat agama. Tidak
boleh saja seenaknya melainkan ada kaidah-kaidahnya, wanita merupakan perhiasan, sehingga harus dijaga. Jika dia berpidato, harus menghadap wanita
tidak boleh menghadap laki-laki. Dalam majlis taklim ibu-ibu yang diasuh KH. Syafi’i Hadzami di rumahnya, digunakan dinding pemisah antara laki-laki dan
perempuan. Kitab yang diajarkan adalah kitab kuning yang sesuai dengan kebutuhan
mereka, jamaah pengajian ini berasal dari sekitar rumahnya dan kebanyakan mereka sudah berkeluarga. Mereka diajarkan bukan dipersiapkan untuk menjadi
pengajar. Apa yang diajarkan untuk mereka terapkan sendiri, baik sebagai peribadi maupun seorang istri atau seorang ibu, kendati begitu ada juga salah satu
atau dua orang yang sekarang sudah hampir mengajar mengaji.
Mengenai kaum wanita yang bekerja keluar negeri, pada Prinsipnya KH. Syafii Hadzami tidak setuju, wanita hanya dapat melakukannya jika dalam
keadaan memaksa darurat, kalau tidak darurat tidak diperbolehkan. Penyebab ketidak bolehan, menurutnya karena wanita tidak boleh merantau tanpa disertai
mahramnya, dengan alasan tersebut KH. Syafi’i Hadzami tidak menyetujui adanya Tenaga Kerja Wanita TKW yang dikirim ke luar negeri. Kalau keadaan
darurat, seperti tidak dapat makan di Indonesia dan tidak ada cara lain, baru diperbolehkan.
Dalam salah satu penjelasannya yang termuat dalam kitab Taudhih al-adillah jilid 6, KH. Syafii Hadzami mengatakan :
Mengenai tidak bolehnya wanita bekerja, adalah tergantung pada aktivitas yang ia kerjakan, dan dengan cara bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Karena
sebagian besar tubuh wanita itu aurat, maka sebaiknya kalau bisa, janganlah wanita bekerja. Akan tetapi, kalau hal tersebut memang diperlukan, bolehlah
wanita menjadi buruh atau karyawati, untuk pekerjaan yang layak dilakukan wanita dan tidak melangar ketentuan -ketentuan syara, serta menjaga auratnya
jangan sampai nampak dinikmati lelaki yang bukan mahram di jalan dan tempat ia bekerja. Jadi, kalau memang diperlukan, bolehlah wanita bekerja, asalkan jujur
dan jangan melantur.
17
Dengan mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, KH. Syafl’i Hadzami menceritakan bahwa di zaman dahulu ada seorang kisra Kaisar Persia
yang bernama Anusyirwan. Waktu kaisar itu meninggal, Nabi bertanya pada para sahabat, ”Siapa yang menggantikanya?” Sahabat menjawab bahwa yang
menggantikanya adalah putrinya. Mendengar itu, Nabi mengatakan, “Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita
.” Inilah yang mendasari pandangan KH. Syafl’i Hadzami terhadap peran aktif perempuan.
Semasa hidupnya, KH. Syafi’i Hadzami dikenal sebagai ulama yang produktif menuliskan pemikiranya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-
karyanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan Arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis di era 80-an sebagai
17
Syafi’i Hadzami, Taudhih al-Adillah, Seratus Masalah Agama Jilid 6, Kudus: Menara Kudus, 1982
puncak intelektual sang Kiai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang. Meskipun karya-karya KH.
Syafl’i Hadzami terkesan sangat sederhana, baik dari penampilan fisik buku- bukunya maupun dari bahasanya, namun materi-materi yang ditulis adalah tema-
tema penting yang sangat dibutuhkan masyarakat luas. Karya-karyanya adalah :
18
1. Tawdhih al-Adillah, Seratus Masalah Agama. Buku ini merupakan tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cendrawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7
jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negri jiran Malaysia.
2 . Sullamu alArsy Qira’at Warsy. KH. Syafi’i Hadzami menyusunnya di usia
muda, yaitu pada usia 25 tahun. Risalah yang setebal 40 halaman ini berisi kaidahkaidah khusus dalam pembacaan al-
Qur’an menurut Syekh Warasy dan terdiri dari mukadimah
, sepuluh mahal ’ pokok pembicaraan, dan satu khatimah penutup.
3. Qiyas adalah Hujjah Syariyyah. Risalah ini merupakan karya dalam bidang ushul fiqih. Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari al-
Qur’an, hadis dan i
jma’ ulama, yang menunjukan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syariah.
4. Qabliyyah Jum’at. Risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum Jumat
dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash al-Quran. hadis, dan para ahli fikih.
5. Shalat Tarawih. Untuk memenuhi kaum muslimin akan penjelasan tentang shalat Tarawih Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan
keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah rakaatnya, cara pelaksanaanya, dan lain-
lain dibahas dalam risalah ini.
18
Ali Yahya, Op. Cit., hal. 107-127
6. ‘Ujalah Fidyah Shalat. Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang
pembayaran fidyah mengeluarkan bahan makanan pokok untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang di masa hidupnya pernah meninggalkan
beberapa waktu shalat fardhu. Risalah ini disusun karena adanya pertanyaan tentang masalah tersebut yang diajukan oleh seorang jamaah pengajiannya.
7. Mathmah al- Ruba fi Ma’rifah al-Riba. Dalam risalah ini dibahas beberapa
hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, benda-benda ribawi, jenis- jenis riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya.
Keunikan yang KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dari Ulama Betawi yang lain adalah beliau termasuk orang alim yang tidak mondok atau megalami
pendidikan pesantren, namun beliau mengaji rapih dari satu fan ilmu ke fan ilmu yang lain dengan mendatangi guru demi guru. Selain itu, beliau menjadi Ulama
Betawi pilihan dari Habib Ali Bungur untuk salah sorang dari kalangan sa’adah, yaitu Habib Ahmad al-
‘Attas untuk mulazamah selalu menyertai KH. M. Syafi’i Hadzami. Hal ini belum pernah ditemui ulama di Jakarta pada waktu itu bahwa
ada seorang habib tekemuka yang merupakan seorang alim ‘allamah meminta kepada kalangan Sa’adah ‘Alawiyyin sendiri untuk menjadi pendamping seorang
kiai yang bukan dari golongan ‘Alawiyyin.
Pada hari Ahad, 07 Mei 2006 pukul 08.30 WIB KH. Syafii Hadzami berpulang ke rahmatullah. Ratusan ribu ummat Islam dari bebagai penjuru kota
Jabotabek bertaziyah di kediamannya, Pondok Pesantren Al Asyiratu as Syafiiyyah di Jl. KH. Syafi’i Hadzami Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Karena
banyak para pengunjung, maka shalat jenazah dilakukan dari pagi hingga shalat Maghrib dan jenazah KH. Syafii Hazami dimakamkan di pemakaman keluarga di
samping mushallanya.