Guru, Muallim, Ustadz, Sayyid dan Habib

Dalam biografinya yang disusun oleh Ali Yahya disebutkan, KH. Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuan. Di masa awal setelah mempelajari al- Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang dipelajarinya adalah tauhid, fiqih dan ilmu alat nahwu, Sharaf dan balaghah. Ia menghafalkan berbagai kitab matan terutama yang berbentuk nazham. Ia memberikan perhatian khusus untuk ilmu-ilmu alat. Penguasaan yang mendalam dalam ilmu alat menjadi prioritas utama di masa- masa awal. KH. Syafi’i Hadzami berkeyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat bergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat barulah ia menekuni ilmu lainnya, seperti ilmu ushul fiqih beserta qawaidnya, manthiq, tafsir, ulumul hadist, tasawuf, falak, arudh dan lain sebagainya. Beberapa Ulama yang dikunjungi KH. Syafii Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. KH. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca zikir di tempat Kiai Abdul Fattah 1884-1947 M yang dikenal sebagai pembawa tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al- Sanusi di Mekah. Dari gurunya ini, ia pernah mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berzikir bersama kelompok tarekat Idrisiyah yang dipimpin Kiai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, KH. Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami tahap fana lupa dan hilang kesadaran diri, karena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak persis bagaimana situasinya saat itu. Maka, kiai pun memberinya sebuah doa khusus menghadap. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kiai. Kiai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i agar kelak menjadi orang baik. KH. Syafii Hadzami juga berguru kepada Pak Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Pak Sholihin seperti kakeknya dalam mengajar yang tergolong keras dan disiplin seperti kakek Husin. Sebagai seorang yang telah berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakan Raudhah al-Sholihin. Beberapa tahu n setelah Mu’allim KH. Syafi’i Hadzmai belajar kepada Pak Sholihin, hubungan mereka menjadi terbalik. Pak Sholihin justru menjadi murid Mu’allim dan belajar kepadanya, karena keilmuan Mu’allim yang lumayan pada saat masih berusia belasan tahun. Ia pun tak tahu kapan mu’allim belajar kepada orang lain. Setelah mengaji al- Qur’an kepada guru-gurunya, KH. Syafii Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran selama lima tahun l948-1953. Pada gurunya ini ia belajar ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhat al- I’rab dan ilmu fiqih dengan kitab pegangan al-Tsimar al-Yaniah yang merupakan syarah dari kitab al-Riyadh al-Badiah . Guru Sa’idan pula yang menyuruhnya belajar kepada guru- guru yang lain, seperti Guru Yaqub Sa’idi Kebon Sirih, Guru Khalid Gondangdia dan Guru Abdul Madjid Pekojan. Salah satu guru utama KH. Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali bin Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. KH. Syafii Hadzami belajar kepadanya kurang lebih 18 tahun, mulai sejak 1958-1976. Seperti murid- murid Habib Ali lainnya K.H.S. Muhammad bin Ali al Habsyi, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, KH. Abdullah Syafl’i, KH. Thohir Rohili, KH. Ahdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh, KH. Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab di hadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan 8 . KH. M. Syafi’i Hadzami adalah salah satu murid yang paling disayang dan dicintainya. Sangat wajar karena pada saat mengaji, KH. Syafi’i Hadzami terlihat begit menonjol dan tampak kecerdasannya. Hingga pada suatu ketika Habib Ali melantunkan sebuah syair yang ditujukan kepada muridnya ini: ث يس ا ش ي ج 8 Sorogan adalah sistem pengajian yang disampaikan kepada murid-murid secara individual. Lih. Zamachsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, Jakarta, 1983, hal. 28 Menurut Hasbullah sorogan ialah metode yang santrinya cukup men-sorog-kan mengajukan sebuah kitab kepada kyai untuk dibacakan di hadapannya. Lih. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 26 “Siapa yang dapat menunjukkan kepadaku seperti perjalananmu yang dimudahkan. Engkau berjalan perlahan-lahan, tetapi engkau sampai terlebih dahulu” 9 Ada keistimewaan yang nampak dari KH. Syafi’i Hadzami yaitu pengakuan seorang gurunya al-Habib Ali bin Husen al- ‘Attas yang pernah menjadi ‘umdah sandaran para ulama besar di Jakarta. Habib Ali berpesan kepada salah sorang dari kalangan sa’adah juga, yaitu Habib Ahmad al-‘Attas untuk mulazamah selalu menyertai KH. M. Syafi’i Hadzami. Hal ini belum pernah ditemui ulama di Jakarta pada waktu itu bahwa ada seorang habib tekemuka yang merupakan seorang alim ‘allamah meminta kepada kalangan Sa’adah ‘Alawiyyin sendiri untuk menjadi pendamping seorang kiai yang bukan dari golongan ‘Alawiyyin. Kalau bukan karena potensi besar, kemapanan, dan keshalehan yang ada pada diri seseorang, hal tersebut tidak akan terjadi. 10 Ia juga kerapkali mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi Kwitang. Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majelis yang biasa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan dari Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al-Hujjat al-Bayyinah. KH. Syafii Hadzami juga berguru kepada KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun 1950-1956, ia mempelajari kitab-kitab kuning, di antaranya Ihya Ulumuddin dan Bujayrimi. Selain KH. Syafii Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama-ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, KH. Thabrani Paseban dan lain-lain. Guru KH. Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Ya’qub Sa’idi di Kebon Sirih. Selama 5 tahun 1950-1955, ia telah mengkhatamkan kitab-kitab Ushuluddin dan Manthiq, seperti kitab ldhah al-Mubham 11 , Syarh Quwaysini 12 9 Ali Yahya, Op. Cit., hal. 43 10 Ibid., hal. 82 11 Kitab Idhah al-Mubham adalah kitab mantiq karya Syeikh Syihabuddin Ahmad bin Abd al-Munim al-Damanhuri.