Teknik Pengumpulan Data METODOLOGI PENELITIAN

kelompok pengajian untuk mengajarkan kitab. Ktiteria ketiga adalah Ustadz yang mengajarkan ilmu pengetahuan dasar agama termasuk membaca al- Qur’an. 1 Selain dari tiga kriteria tersebut, masyarakat Betawi juga memakai istilah Sayyid dan Habib bagi para ulama keturunan Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Hadramaut dan Makkah. Orang-orang Arab yang bermukim di Betawi sebagian besar dari Hadramaut. Hanya satu dua di antara mereka yang datang dari Maskat, di tepian teluk Persia, dari Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika. 2 Orang Hadramaut datang ke Betawi secara masal pada tahun terakhir abad ke-18. Mereka kebanyakan tinggal di Pekojan, Tanah Abang dan Krukut. Sayyid secara etimologi berarti “tuan” atau “junjungan”. Dalam msyarakat Arab golongan sayyid adalah mereka yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya, Fatimah az-Zahra dan melalui cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya yang lain, Hasan bin Ali bin Abi Thalib disebut Syarif. Kata Sayyid dan Syarif hanya atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar. Gelar bagi mereka adalah habib kekasih. Interaksi antara habaib dan ulama di Betawi sangat cair dan harmonis dalam konsep kesetaraan. Begitu pula dengan masyarakat Betawi, penghormatan mereka terhadap habaib sama saja dengan penghormatan mereka terhadap ulama. Misalnya, di rumah-rumah orang Betawi, foto-foto yang terpasang bukan hanya foto para habaib tetapi juga ulamanya. Perayaan haul 3 seorang habaib sama ramainya dengan perayaan haul seorang ulama Betawi. Masyarakat Betawi sangat menghormati para ulama-ulamanya, baik yang dipanggil guru, mu’allim, ustadz maupun habib dan sayyid. Rasa hormat orang 1 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, Jakarta: Gunara Kata, 2001, hal. 200-202 2 Ahmad Fadli, Ulama Betawi Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20, hal. 68-69 3 Haul yang dalam bahasa Arab berarti tahun, dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seseorang yang ditokohkan dari para wali, ulama atau kyai. Lih. M. Hanif Muslih, Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2006, Cet. I, hal. 1 Betawi kepada ulama-ulama dan habaib tercermin dalam setiap pengajian- pengajian dan majelis taklim mereka yang kerapkali dikunjungi oleh orang Betawi. Rasa hormat kepada ulama juga ditampilkan orang Betawi yang berprofesi sebagai jagoan atau jawara. Kendati para jagoan dan jawara Betawi memiliki ilmu silat yang mumpuni tetapi jika sudah ketemu ulama dan habib maka mereka akan menghormatinya dengan mencium tangan para ulama dan habib tersebut. Hubungan mu’allim dan jagoan tidak konfrontatif, bahkan di antara keduanya ada hubungan fungsional. Jagoan membaca doa-doa tertentu untuk meningkatkan kemampuan silatnya. Beberapa senjata jagoan biasanya diberi wifik yang diajarkan oleh m u’allim. Para mu’allim memberikan doa-doa kepada jagoan yang pergi ke medan perang. Seperti apapun bengalnya jaogan tetapi mereka tetap men ghormati mu’allim. 4 Mu’allim dan jagoan merupakan ujung tombak kepemimpinan non formal msayarakat Betawi, terutama pada masa revolusi fisik. Seiring dengan makin kompleknya struktur masyarakat Jakarta, figur jagoan tidak lagi menonjol tetapi figur mu’allim masih tetap diakui oleh masyarakat. Hal itu makin membuktikan kentalnya masyarakat Betawi dengan Islam.

C. Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami

Muhammad Syafi’i dilahirkan pada tanggal 12 Ramadhan 1349 H31 Januari 1931. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. KH. Syafi’i Hadzami sejak kecil di bawah bimbingan kakeknya, Husin di Batutulis XIII Pecenongan. Di sinilah KH. Syafii Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar al Qur’an hingga fasih beserta tajwidnya. Ia juga belajar ilmu nahwu dan Sharaf. Ketika berusia 9 tahun, ia sudah menghatamkan al Quran di bawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas. 5 4 Yasmine Zaki Shahab, Betawi dalam Perspektif Kontemporer, Perkembangan, Potensi dan Tantangan, Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997, hal. 30 5 Ali Yahya, KH. M. Syafi’i Hadzami, Sumur yang Tak Pernah Kering, Jakarta: Yayasan Al- ‘Asyirotus Syafi’iyyah, 1999, hal. 11-12 KH. Syafi’i Hadzami sejak kecil senang melihat orang-orang pintar, terutama para kiai. Ia ingin menyamai mereka. Oleh karenanya saat kecil ia senang berpakaian seperti para ulama. Tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarganya ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kiai. Mungkin didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat- tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka. Ke inginan itulah yang menjadikan KH. Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu. Kegigihan ini tidak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya, tak ada satu masapun dalam hidupnya yang kosong dari kegiatan menimba ilmu. 6 Luar biasa cintanya pada ilmu, bahkan p ada ketika KH. Syafi’i Hadzami di kemudian hari sudah menjadi seorang pengajar di berbagai wilayah DKI Jakarta, beliau masih menyempatkan diri untuk melakukan muthola’ah terhadap kitab- kitab selama 1-2 jam setiap harinya setelah selesai aktivitas mengajar. Hal itu dilakukannya sekitar pukul 23.00 WIB - 01.00 WIB. 7 Dalam menuntut ilmu, Syafi’i hanya terbatas pada wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan para ulama Betawi lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Ia tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang masih berlangsung di masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi KH. Syafi’i Hadzami. Namun keyakinan hatinya, ketekunan dan semangat juang yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlak dan kecerdesan otaknya telah menghantarkan KH. Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang layak dibanggakan dan setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan KH. Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan ulama abad ke 19-20. 6 Ibid., hal. 14 7 Wawancara dengan Ustadz Suhendi murid Mu’allim Syafi’i Hadzami yang sekarang menjadi ulama di Rawa Belong, memiliki majelis Darul Musyaffa’, Jum’at: 29 Juli 2016, pukul 20.00 WIB