Ulama, Status, Fungsi dan Perannya

` Namun guna memenuhi keperluan membangun pertahanan dan perdagangan akhirnya Jan Pieterszoon Coen secara terbatas membolehkan orang Cina dari Banten dan Malaka untuk tinggal di Batavia. Selain mendatangkan orang Cina, Jan Pieterszoon Coen juga membolehkan orang-orang Moor 43 , orang Melayu dan orang Bali untuk menetap di Batavia. Catatan harian yang dibuat Belanda yang berdiam dalam benteng kota Batavia tahun 1673, penduduk Batavia dan sekitarnya kala itu berjumlah 33. 687 orang, sebagian di dalam benteng dan sebagian lagi di luarnya. Tahun 1779, penduduk di dalam benteng tercatat 12.131 orang, sementara di luar benteng 160.968 orang. Tetapi pada tahun 1788 jumlah penduduk berkurang akibat terjangkitnya wabah penyakit. Catatan penduduk di dalam maupun di luar benteng tidak diklasifikasikan berdasarkan etnisitas, agama dan status sosial, sehingga sulit untuk mengetahui, misalnya berapa jumlah pribumi yang beragama Kristen, atau berapa budak yang berasal dari kepulauan Nusantara. 44 Pada tahun 1930, terdapat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda berdasarkan etnis yang relatif kategoris. Berdasarkan sensus ini penduduk Batavia telah berlipat ganda dibanding tiga dekade sebelumnya, menjadi 786.800 orang. Dari sensus ini juga diketahui, penduduk yang tinggal di wilayah Batavia dan Mr. Cornelis sekarang Mester-Jatinegara yang pada dasarnya merupakan wilayah inti Batavia, tercatat 533.015 oarng. 45 Hasil sensus pada tahun 1930, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makassar, Sumbawa, dsb. Tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis penduduk Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat. Sebaliknya, selain muncul kelompok etnis pendatang seperti Minangkabau, Batak dan Madura, juga telah lahir sebuah kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” Betawi dalam jumlah besar. Para ahli menyatakan bahwa sebuah kelompok etnis 43 “Moor”, yaitu orang Islam dari India Selatan. Perkampungan orang Moor disebut dengan “Pakojan”. Orang-orang ini juga diduga merupakan keturunan komunitas muslim asal Arab yang telah lama menetap di Gujarat, India Selatan. Dan berasal dari komunitas Khojjah yang kemudian diperkirakan menjadi nama Kampung Pakojan. Lih. Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 13 44 Sobri, KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, hal. 11 45 Ibid., hal. 17 ` baru yaitu Betawi telah terbentuk secara jelas sekitar pertengahan abad ke-19, sebagai hasil peleburan dari berbagai kelompok etnis. 46

E. Perkembangan Islam dan Masyarakat Betawi

Disebutkan bahwa fakta sejarah masuknya Islam di Jakarta mulai terjadi pada abad ke 14 Masehi. Masuknya Islam di Batavia Jakarta dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Waktu itu dikenal seorang Syekh bernama Syekh Quro, yang bernama asli Syekh Hasanuddin, yang kemudian diketahui berasal dari negara Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke Pulau Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro urung meneruskan perjalanannya ke Jawa Timur karena dia menikah dengan penduduk setempat dan membangun pesantren di Quro. Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Dalam perkembangannya, seorang santri pesantren Quro, Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Kian Santang yang kelak menjadi penyebar Islam di Pajajaran dan Batavia, sehingga banyak warga Betawi menjadi pengikutnya. 47 Pada waktu itu Kerajaan Pajajaran mendudukin wilayah Batavia atau Jakarta yang sebelumnya masih bernama Sunda Kelapa. Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar. Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya 1418-1527, Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kian Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, 46 Ibid., hal. 19 47 http:www.maharprastowo.com201102perkembangan-islam-di-batavia.html diakses pada 19 Januari 2015 ` Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke. Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa sebutan Jakarta ketika itu diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato- dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi. Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan resi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang Condet, Kramatjati, Jakarta Timur. Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan 1527. Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan 1518. Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi. Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan ` atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat. Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi. Kemudian, sentra Mester Jatinegara, dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili. Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri. 48 Pembacaan rawi, manaqib, ratib juga banyak dijumpai di penjuru daerah masyarakat Betawi. Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC tahayyul, bid’ah, dan khurafat. 49 48 https:alwishahab.wordpress.com20091210penyebaran-islam-di-betawi-2 diakses pada 19 Januari 2015 49 Ahmad Fadli, HS, Ulama Betawi, Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011, hal. 61-63