Tokoh-Tokoh Ulama Pendidikan Islam di Indonesia

` Syu’ara: 196 - 197 33 . Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk, patuh dan “khasyyah” takut kepada-Nya. Nabi Muhammad SAW memberikan rumusan tentang ulama itu sendiri yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang bera khlak Qur’ani yang menjadi warotsatul anbiya pewaris para nabi, qudwah pemimpin dan panutan , khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia. 34 Pada masa Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi, seperti ahli fikih disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakalim, ahli tasawuf disebut mutasawif dan ahli tafsir disebnut mufasir. Sementara orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama tetapi ahli di dalam bidangnya masing-masing. 35 Di Indonesia, ada beberapa macam istilan atau sebutan ulama. Di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Timur disebut Kiai, di daerah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara disebut Tuan Guru. Adapun ulama yang memimpin tarekat disebut Syaikh. 36 Sedangkan ulama di Betawi disebut Guru, Muallim dan Ustadz. 37 Dalam konteks kemasyarakatan, status ulama adalah informal leader pemimpin non formal yang diangkat dan diakui oleh masyarakat sebagai pemimpin yang disegani, dipatuhi, dijadikan sumber bertanya dan pertukaran 33 “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab orang dahulu. Dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya? 34 Ahmad Fadli, Ulama Betawi, Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2001, hal. 32-33 35 Ibid., hal. 33 36 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hal. 120-121 37 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, Jakarta: Gunara Kata, 2001, hal. 200-202 ` pikiran bagi masyarakat. Oleh karenanya, status ulama sebagai informal leader masih berlaku selama masyarakat yang dipimpinnya masih mengakui atau menerimanya sebagai pemimpin. Kendati sebagai pemimpin non formal, ulama memiliki peranan yang signifikan terhadap perubahan suatu sosial masyarakat. 38 Sebagai pewaris para nabi, para ulama menjalankan fungsi-fungsi kenabian, seperti mendidik untuk menyempurnakan akhlak mulia di kalangan masyarakat, berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran dan lain-lain. Ulama juga bertugas menyebarkan pengetahuan dan pengalaman ajaran-ajaran Islam sehingga masyarakat yang dicita-citakan agama terwujud. Ulama di samping memiliki pengetahuan dan ketaatan dalam menjalankan agama, mereka juga harus mempunyai kepedulian terhadap penderitaan manusia, baik moral maupun material dan terhadap orang-orang yang beriman dan jama’ah binaanya bersikap kasih sayang. 39 Mengenai konsep ulama dan tugas yang diembannya, maka tugas-tugas yang mereka emban tidak berubah. Oleh karenanya, peran yang harus dimainkan secara garis besar adalah sama dari masa ke masa. Persoalannya terletak pada pendekatan yang mereka gunakan dan dapat berubah serta berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu dan tuang tertentu. Mengenai perkembangan situasi dan kondisi itu, perubahan juga dapat terjadi pada konsep ulama sebagaimana yang dipahami oleh umat, bukan seperti disebutkan dalam teks suci. Oleh karenanya, konsep ulama di masa lampau bisa berbeda dengan konsep yang dianut pada masa sekarang. Perbedaan konsep itu tentu saja akan menyebabkan perbedaan peran yang mereka mainkan yang secara teknis berbeda. 40 38 Ahmad Fadli HS, Organisasi dan Administrasi, Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2002, hal. 23 39 Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi, Op Cit., hal. 35 40 Badri Yatim, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi dalam Abdul Aziz, Islam Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002, hal. 132 `

D. Pertumbuhan Etnis Betawi

Tidak ditemukan laporan tertulis mengenai kota Jakarta ketika masih bernama Sunda Kelapa dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sejarawan Portugis Baros, yang mencatat peristiwa perjanjian perdagangan antara Portugis dengan Pajajaran pada tahun 1522 memperkirakan jumlah penduduk Sunda Kelapa 15.000 orang. Sementara itu pengunjung Belanda paling awal memperkirakan penduduk Sunda Kelapa 2.000 keluarga atau 10.000 orang, tanpa menyebutkan identitas etnisnya. 41 Ketika Sunda Kelapa dikuasai oleh Fadhilah Khan juga tidak ditemukan keterangan apapun mengenai penduduk atau kelompok etnis yang mendiami kota itu, melainkan hanya perubahan nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Memasuki abad ke 17, Jayakarta berkembang sebagai pelabuhan dagang dan mulai mengadakan perjanjian perdagangan dengan orang-orang Inggris dan perusahaan Belanda VOC. Pada masa ini pun tidak ada catatan mengenai penduduk dan identitas etnis mereka. Sekitar tahun 1619 terjadi pertikaian antara Jayakarta dan VOC yang saat itu dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen yang berakhir dengan peperangan dan Jayakarta berhasil dikuasai oleh Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Sementara pengikut pangeran Jayakarta melarikan diri, antara lain ke daerah Jatinegara Kaum sekarang. Setelah berhasil membumi hanguskan Jayakarta, VOC membangun kota baru bernama Batavia 42 , di atas reruntuhan kota Jayakarta yang kemudian dijadikan basis utama VOC. Batavia dibangun dalam bentuk yang berbeda dibanding kebanyakan kota-kota di Jawa. Bentuk kota Batavia itu meniru gaya kota di Eropa, khususnya Belanda dengan ciri utama tembok pembenteng yang mengitari pusat kota dan kali-kali buatan yang membelah bagian kota sekaligus menghubungkan aliran-aliran sungai alamiah. Jumlah penduduk Batavia relatif jarang karena Jan Pieterszoon Coen tidak memberikan kesempatan kepada penduduk pedalaman Jawa untuk bermigrasi ke Batavia dengan alasan keamanan. 41 Abdurrahman Surdjomiharjo, Beberapa Segi Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, hal. 21 42 Nama Batavia ini diberikan oleh seorang pegawai VOC yang bernama Van Raay pada tanggal 12 Maret 1619. ` Namun guna memenuhi keperluan membangun pertahanan dan perdagangan akhirnya Jan Pieterszoon Coen secara terbatas membolehkan orang Cina dari Banten dan Malaka untuk tinggal di Batavia. Selain mendatangkan orang Cina, Jan Pieterszoon Coen juga membolehkan orang-orang Moor 43 , orang Melayu dan orang Bali untuk menetap di Batavia. Catatan harian yang dibuat Belanda yang berdiam dalam benteng kota Batavia tahun 1673, penduduk Batavia dan sekitarnya kala itu berjumlah 33. 687 orang, sebagian di dalam benteng dan sebagian lagi di luarnya. Tahun 1779, penduduk di dalam benteng tercatat 12.131 orang, sementara di luar benteng 160.968 orang. Tetapi pada tahun 1788 jumlah penduduk berkurang akibat terjangkitnya wabah penyakit. Catatan penduduk di dalam maupun di luar benteng tidak diklasifikasikan berdasarkan etnisitas, agama dan status sosial, sehingga sulit untuk mengetahui, misalnya berapa jumlah pribumi yang beragama Kristen, atau berapa budak yang berasal dari kepulauan Nusantara. 44 Pada tahun 1930, terdapat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda berdasarkan etnis yang relatif kategoris. Berdasarkan sensus ini penduduk Batavia telah berlipat ganda dibanding tiga dekade sebelumnya, menjadi 786.800 orang. Dari sensus ini juga diketahui, penduduk yang tinggal di wilayah Batavia dan Mr. Cornelis sekarang Mester-Jatinegara yang pada dasarnya merupakan wilayah inti Batavia, tercatat 533.015 oarng. 45 Hasil sensus pada tahun 1930, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makassar, Sumbawa, dsb. Tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis penduduk Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat. Sebaliknya, selain muncul kelompok etnis pendatang seperti Minangkabau, Batak dan Madura, juga telah lahir sebuah kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” Betawi dalam jumlah besar. Para ahli menyatakan bahwa sebuah kelompok etnis 43 “Moor”, yaitu orang Islam dari India Selatan. Perkampungan orang Moor disebut dengan “Pakojan”. Orang-orang ini juga diduga merupakan keturunan komunitas muslim asal Arab yang telah lama menetap di Gujarat, India Selatan. Dan berasal dari komunitas Khojjah yang kemudian diperkirakan menjadi nama Kampung Pakojan. Lih. Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 13 44 Sobri, KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, hal. 11 45 Ibid., hal. 17