Teknik Analisis Data METODOLOGI PENELITIAN

KH. Syafi’i Hadzami sejak kecil senang melihat orang-orang pintar, terutama para kiai. Ia ingin menyamai mereka. Oleh karenanya saat kecil ia senang berpakaian seperti para ulama. Tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarganya ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kiai. Mungkin didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat- tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka. Ke inginan itulah yang menjadikan KH. Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu. Kegigihan ini tidak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya, tak ada satu masapun dalam hidupnya yang kosong dari kegiatan menimba ilmu. 6 Luar biasa cintanya pada ilmu, bahkan p ada ketika KH. Syafi’i Hadzami di kemudian hari sudah menjadi seorang pengajar di berbagai wilayah DKI Jakarta, beliau masih menyempatkan diri untuk melakukan muthola’ah terhadap kitab- kitab selama 1-2 jam setiap harinya setelah selesai aktivitas mengajar. Hal itu dilakukannya sekitar pukul 23.00 WIB - 01.00 WIB. 7 Dalam menuntut ilmu, Syafi’i hanya terbatas pada wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan para ulama Betawi lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Ia tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang masih berlangsung di masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi KH. Syafi’i Hadzami. Namun keyakinan hatinya, ketekunan dan semangat juang yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlak dan kecerdesan otaknya telah menghantarkan KH. Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang layak dibanggakan dan setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan KH. Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan ulama abad ke 19-20. 6 Ibid., hal. 14 7 Wawancara dengan Ustadz Suhendi murid Mu’allim Syafi’i Hadzami yang sekarang menjadi ulama di Rawa Belong, memiliki majelis Darul Musyaffa’, Jum’at: 29 Juli 2016, pukul 20.00 WIB Dalam biografinya yang disusun oleh Ali Yahya disebutkan, KH. Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuan. Di masa awal setelah mempelajari al- Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang dipelajarinya adalah tauhid, fiqih dan ilmu alat nahwu, Sharaf dan balaghah. Ia menghafalkan berbagai kitab matan terutama yang berbentuk nazham. Ia memberikan perhatian khusus untuk ilmu-ilmu alat. Penguasaan yang mendalam dalam ilmu alat menjadi prioritas utama di masa- masa awal. KH. Syafi’i Hadzami berkeyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat bergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat barulah ia menekuni ilmu lainnya, seperti ilmu ushul fiqih beserta qawaidnya, manthiq, tafsir, ulumul hadist, tasawuf, falak, arudh dan lain sebagainya. Beberapa Ulama yang dikunjungi KH. Syafii Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. KH. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca zikir di tempat Kiai Abdul Fattah 1884-1947 M yang dikenal sebagai pembawa tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al- Sanusi di Mekah. Dari gurunya ini, ia pernah mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berzikir bersama kelompok tarekat Idrisiyah yang dipimpin Kiai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, KH. Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami tahap fana lupa dan hilang kesadaran diri, karena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak persis bagaimana situasinya saat itu. Maka, kiai pun memberinya sebuah doa khusus menghadap. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kiai. Kiai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i agar kelak menjadi orang baik. KH. Syafii Hadzami juga berguru kepada Pak Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Pak Sholihin seperti kakeknya dalam mengajar yang tergolong keras dan disiplin seperti kakek Husin. Sebagai seorang yang telah berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar