Teori Keuntungan Perdagangan Luar Negeri

28 alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Tambahan lagi, beberapa negara terbelakang mengkhususkan diri pada produksi satu atau dua komoditi bahan makanan. Jika dilakukan upaya ekspornya, upaya-upaya itu cenderung meluaskan pasar. Sumber-sumber yang ada digunakan lebih produktif dan alokasi sumber- sumber menjadi lebih efisien berdasarkan fungsi-fungsi produksi tertentu. Ini semua adalah keuntungan langsung dari perdagangan luar negeri yang dikemukakan Mill 1959 dalam Jhingan 1993. Perluasan pasar menghasilkan sejumlah keuntungan ekonomi internal dan eksternal dan karenanya dapat mengurangi biaya produksi. Perdagangan luar negeri juga dapat memberikan keuntungan lain seperti pertukaran barang melalui ekspor dan impor, memiliki pengaruh mendidik learning by doing, dan memberikan akses bagi pemasukan modal dari luar negeri.

2.2. Teori Keuntungan Perdagangan Luar Negeri

Perbedaan harga relatif atas berbagai komoditi antara dua negara pada dasarnya mencerminkan keunggulan komparatif bagi masing-masing negara dalam hubungan dagang yang saling menguntungkan. Jika suatu komoditi memiliki harga relatif yang lebih rendah, dapat dikatakan terdapat keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut, dan ini dapat dijadikan komoditi andalan untuk ekspor dan dapat mengimpor komoditi yang kurang memiliki keunggulan komparatifnya. Terkait dengan keuntungan perdagangan luar negeri, beberapa ekonom telah mengemukakan teorinya masing-masing. Para ekonom tersebut antara lain Heckscher-Ohlin, Ricardo, Krugman dan Obstfeld, masing-masing mengemukakan teori sebagai berikut. 29 Heckscher-Ohlin H-O dalam Kindleberger dan Lindert 1983 telah mempertegas konsepnya bahwa, suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menggunakan faktor produksi yang relatif berlebihan dan murah di negara tersebut. Contohnya, produk-produk pertanian dan produk- produk manufaktur tertentu diantaranya produk alas kaki. Sebaliknya negara tersebut mengimpor komoditi yang produksinya menggunakan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di dalam negeri. Negara yang relatif berlebihan tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan akan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif padat modal yang merupakan faktor produksi yang langka dan mahal di negara bersangkutan. Contoh kasus seperti ini terjadi untuk Indonesia yang mengimpor mesin-mesin otomotipn atau barang-barang modal. Kemudian mengekspor komoditi pertanian karena komoditi pertanian adalah produksi padat karya. Fakta bahwa negara Indonesia melimpah tenaga kerja dan murah, dan mengimpor barang yang diproduksi dengan padat modal dan mahal harganya jika diproduksi sendiri di Indonesia. Sebaliknya sebuah negara dapat mengekspor komoditi padat modal karena di negara tersebut dapat memproduksinya dengan biaya yang lebih rendah, sehingga berkelebihan dalam produksi barang-barang modal dan harganya relatif murah dibandingkan dengan negara pengimpor. Namun sebaliknya negara tersebut melakukan impor terhadap produk hasil-hasil pertanian yang di dalam negerinya relatif lebih mahal dan langka. Menurut teori H-O yang membedakan harga-harga relatif komoditi dan keunggulan komparatif antar negara adalah karena perbedaan dalam kelimpahan faktor-faktor produksi secara relatif, atau perbedaan kepemilikan faktor produksi 30 antar negara. Oleh karena itu teori H-O sering disebut teori kepemilikan faktor factor endownment theory. Teori ini menyebutkan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produk di negara tersebut dalam jumlah yang banyak dengan harga relatif murah, serta mengimpor komoditi yang menyerap faktor produksi di negara tersebut yang relatif langka dan harganya mahal. Ricardo dalam Kindleberger dan Lindert 1983 berpendapat bahwa, konsep keuntungan komparatif berbeda dengan teori H-O. Menurut Ricardo dalam konteks perdagangan internasional, jika negara lain dapat menyediakan barang bagi negara kita dengan harga relatif lebih murah dibandingkan memproduksi sendiri, lebih baik membeli barang tersebut dari negara lain dengan membayarnya dari sebagian hasil industri kita, sehingga kita mendapat keuntungan. Teori ini tidak mempertimbangkan alasan bahwa membatasi impor dapat menciptakan lapangan kerja, terutama jika yang diimpor adalah barang- barang modal dan akan menciptakan perusahaan-perusahaan yang padat modal. Indonesia memang melakukan impor terhadap barang-barang yang belum mampu diproduksi sendiri. Kelemahannya adalah dalam jangka panjang indonesia menjadi negara yang sangat tergantung dengan luar negeri, yang dapat menimbulkan resiko terhadap perekonomian domestik. Terlebih lagi jika Ekspor tersebut dikaitkan dengan nilai tukar valuta asing dengan mitra dagang yang juga dapat meningkatkan biaya produksi di dalam negeri. Teori perdagangan internasional Ricardo berdasarkan pada teori keuntungan komparatif yang berarti bahwa, komoditi tertentu yang akan diperdagangkan diukur dengan barang lainnya di negara tersebut lalu 31 dibandingkan dengan negara lain. Teori ini tidak meggunakan konsep biaya produksi yang dinyatakan dalam satuan input, seperti yang telah dijelaskan oleh teori H-O sebelumnya. Krugman dan Obstfeld 2000 berpendapat bahwa, keuntungan perdagangan internasional akan terwujud jika dalam proses produksi tercapai skala ekonomi economies of scale. Oleh karena itu untuk mencapai skala ekonomi tersebut suatu negara harus memperluas pasar sehingga efisiensi produksi akan meningkat. Hal ini disebabkan karena dengan melakukan perdagangan, maka peluang untuk meningkatkan intensitas penggunaan sumberdaya dapat terus ditingkatkan. Intensitas dalam penggunaan sumberdaya menyebabkan produksi dapat ditingkatkan pada skala yang lebih besar, yang artinya efisiensi akan meningkat. Pengertian economies of scale menurut Lindert 1993 adalah peningkatan produksi pada skala yang lebih besar sehingga biaya per unit output akan semakin rendah. Intinya teori ini menegaskan bahwa, pentingnya melakukan perluasan pasar baik di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri yang merupakan cara untuk dapat meningkatkan efisiensi produksi. Untuk Indonesia, jika dikaitkan dengan konsep tersebut nampaknya lebih mendekati pada ekspor hasil-hasil industri manufaktur, walaupun masih terbatas pada hasil-hasil industri kecil dan menengah, bahkan industri rumah tangga.

2.3. Perdagangan Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi