Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi terhadap Guncangan Ekspor Produk Pertanian

197 panjang cenderung stabil. Kondisi tersebut lebih lanjut dalam jangka panjang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan net ekspor. Jika dilihat dari dampak shock ekspor non agro terhadap inflasi, walaupun pada periode jangka pendek terjadi kenaikan inflasi yang cukup tinggi, akan tetapi kenaikan tersebut terus menurun dan stabil, sedangkan nilai turkar rupiah dalam jangka pendek mengalami fluktuasi, namun dalam jangka panjang menjadi stabil dengan pertumbuhan yang relatif kecil.

7.3.2. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi terhadap Guncangan Ekspor Produk Pertanian

Gambar 19 menunjukkan respon dinamik variabel-variabel makroekonomi Indonesia atas shock ekspor pertanian XPT yang diestimasi dan di analisis dengan fungsi impulse respons secara simultan sampai 50 triwulan ke depan, dan secara numeriknya disajikan pada Lampiran 8.2. Pada Lampiran 8.2 dan Gambar 19, tampak bahwa pengaruh shock satu standar deviasi dari ekspor produk pertanian pada periode awal kebijakan dapat meningkatkan ekspor pertanian itu sendiri sebesar 9.36 persen, kemudian pada triwulan kedua guncangan ekspor pertanian memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 2.04 persen, net ekspor naik 2.69 persen persen, inflasi naik sebesar 0.49 persen, dan nilai tukar rupiah per dolar terdepresiasi cukup tinggi sebesar 10.34 persen. Pada periode awal shock ekspor pertanian menyebabkan peningkatan pada semua variabel kinerja makroekonomi. Pada periode ke 4, output nasional mengalami peningkatan pertumbuhan dari 2.04 persen menjadi 3.36 persen, net ekspor juga meningkat dari 2.69 persen meningkat menjadi 6.15 persen, sedangkan pengaruh guncangan ekspor pertanian terhadap tingkat inflasi juga 198 meningkat cukup tinggi, yakni 5.27 persen, dan terhadap nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 8.53 persen, lebih rendah dibandingkan periode ke 2. -1 1 2 3 4 5 6 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 .00 .01 .02 .03 .04 .05 .06 .07 .08 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 .00 .02 .04 .06 .08 .10 .12 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 .00 .01 .02 .03 .04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Response to Cholesky One S.D. Innovations of XPT R e s p o n te rh a d a p P D B R e s p o n te rh a d a p B O T R e s p o n te rh a d a p N ila i T u k a r E R R e s p o n te rh a d a p In fl a s i I N F Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Setelah periode ke 4, guncangan pada ekspor pertanian menyebabkan pertumbuhan ekonomi sedikit berfluktuasi antara 3.03 persen sampai 3.59 persen dan cenderung naik hingga periode ke 22, setelah itu mengalami pertumbuhan yang stabil pada periode ke 25 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 3. 58 persen. Dalam arti bahwa, shock terhadap ekspor pertanian tidak lagi direspon oleh produk domestik produk. Guncangan ekspor pertanian, selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga berhubungan positip dengan meningkatnya net ekspor, dari periode ke 4 terus meningkat menjadi sebesar 7.54 persen hingga periode ke 15, setelah itu pertumbuhan net ekspor mengalami konvergen pada periode ke 16 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7.57 persen per triwulan dan Gambar 19. Pengaruh Ekspor Pertanian terhadap Kinerja Makroekonomi Indonesia 199 tampaknya kestabilan pertumbuhan net ekspor lebih cepat tercapai dibandingkan dengan PDB. Hubungannya dengan tingkat inflasi, guncangan ekspor pertanian ternyata menyebabkan tingkat inflasi dalam jangka panjang cenderung menurun hingga bertumbuh menjadi 0.05 persen, dan setelah itu pertumbuhannya menjadi negatip 0.07 persen, kemudian meningkat lagi dan mencapai stabil pada periode ke 22 dengan pertumbuhan rata-rata minus 0.11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa, guncangan ekspor pertanian menyebabkan kenaikan tingkat inflasi yang cukup tinggi hanya terjadi selama periode jangka pendek, namun dalam jangka panjang cenderung menurun. Kondisi ini dapat saja terjadi apabila di dalam negeri sendiri terjadi kelangkaan produk pertanian, khususnya tanaman perkebunan yang lebih banyak di ekspor dalam bentuk komoditi primer, sehingga menyebabkan kelangkaan bahan baku di dalam negeri, walaupun demikian kelangkaan bahan baku tersebut dapat diatasi oleh pemerintah dengan cara membatasi atau mengurangi ekspor pada produk primer, sehingga dalam jangka panjang dampak guncangan ekspor pertanian terhadap tingkat inflasi domestik cenderung menurun dan stabil pada periode ke 22. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah dampak shock ekspor pertanian terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Kenaikan ekspor pertanian menyebabkan nilai tukar rupiah malah terdepresiasi dalam jangka pendek. Namun dalam depresiasi tersebut berfluktuatif. Terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika mengindikasikan bahwa kenaikan ekspor pertanian belum berpengaruh cukup kuat untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Selain itu bisa juga disebabkan oleh kemungkinan bahwa devisa hasil ekspor oleh para eksportir masih disimpan di luar negeri, sehingga 200 belum masuk ke pasar valuta asing di dalam negeri yang dapat meningkatkan nilai tukar rupiah, atau bisa juga disebabkan oleh permintaan lebih besar dibandingkan dengan penawaran mata uang dolar Amerika di pasar valuta asing di dalam negeri. Kemudian dalam jangka panjang, nilai tukar rupiah cenderung menguat atau apresiasi, hal ini sesuai dengan harapan teori ekonomi. Kestabilan pertumbuhan nilai tukar rupiah terjadi pada periode ke 24 dengan tumbuh rata-rata sebesar 5.03 persen. Penurunan nilai tukar apresiasi rupiah tersebut terjadi karena pendapatan ekspor naik, yang berarti lebih banyak dolar Amerika masuk dan sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran mata uang dolar Amerika di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika dalam kondisi normal akan menyebabkan apresiasi rupiah terhadap dolar Amerika. Jika diperhatikan pengaruh guncangan ekspor pertanian dalam jangka pendek telah menciptakan peningkatan kinerja makroekonomi yang positip, hal ini tampak dari peningkatan relatif yang diciptakannya pada PDB dan net ekspor. Demikian pula pengaruh shock pertanian dalam jangka panjang, kendatipun pengaruh tersebut bersifat fluktuatif dalam jangka pendek terutama terhadap nilai tukar dan PDB, namun perkembangannya dalam jangka panjang menunjukkan bahwa guncangan positip atas ekspor pertanian memberikan respon yang relatif baik terhadap produk domestik bruto, net ekspor, Inflasi, dan nilai tukar. Dari perkembangan di atas ternyata pengaruh shock ekspor pertanian, walaupun dapat meningkat dalam jangka panjang, namun peningkatan tersebut telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jangka pendek. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya ekspor terutama ekspor pertanian memiliki peranan dalam peningkatan perekonomian. Kondisi seperti ini 201 nampaknya perlu mendapat perhatian secara khusus, bagaimana agar suatu kebijakan perdagangan luar negeri, terutama untuk produk-produk sektor pertanian dapat meningkat terus hingga dalam jangka panjang, tidak hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Hal ini perlu dilakukan agar pengaruhnya dapat berkesinambungan dan positip, bukan saja terjadi peningkatan terhadap ekspor pertanian itu sendiri, tapi juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang saling bersinergi antara kebijakan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan peningkatan ekspor pertanian, perlu dilakukan secara koordinatif dan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Dengan kata lain kontribusi ekspor produk pertanian nampaknya masih merupakan komoditi ekspor utama Indonesia Seperti diketahui, bahwa perilaku ekspor Indonesia, termasuk masalah ekspor komoditi pertanian lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran karena kualitas ekspor sebagian hasil-hasil pertanian Indonesia kurang memenuhi standard konsumen luar negeri. Hal ini berarti daya saing komoditi ekspor pertanian Indonesia dibandingkan dengan ekspor dari negara lain masih relatif rendah. Di samping itu komoditi ekspor pertanian Indonesia masih didominasi oleh komoditi primer yang memiliki nilai jual yang relatif rendah, misalnya ekspor biji coklat, getah karet, dan komoditi perkebunan lainnya, termasuk ekspor dari hasil-hasil perikanan dan kelautan. Kendatipun kebijakan diarahkan untuk meningkatkan ekspor pertanian, namun dominasi komoditi primer perlu terus dikurangi dengan meningkatkan peran teknologi dalam pengolahan komoditi pertanian sehingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dengan demikian komoditi 202 pertanian dapat memiliki nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi, serta peranan ekspor agro industri juga dapat ditingkatkan. Kondisi lainnya dilihat dari aspek liberalisasi perdagangan, kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia terkait langsung dengan era pasar bebas, seperti Asean Free Trade Area AFTA, Asia Pacific Economic Cooperation APEC, dan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN–Cina ACFTA dan AFTA. Dengan demikian hambatan tarif dan non tarif untuk melindungi produksi komoditi pertanian dalam negeri pada saatnya tidak dapat diberlakukan lagi. Oleh karena itu, walaupun tujuan dari liberalisasi perdagangan ini positip, yakni untuk meningkatkan daya saing dan transaksi perdagangan luar negeri, namun kenyataannya produk ekspor pertanian Indonesia masih menemukan banyak persoalan, baik internal, eksternal, maupun di pasaran global. Sehingga ekspor pertanian belum dapat menunjukkan perkembangan yang berarti, namun demikian kontribusinya terhadap perekonomian nasional adalah positip, walaupun masih relatif kecil.

7.3.3. Respon Dinamik Kinerja Makroekonomi Indonesia terhadap Guncangan Ekspor Agro Industri