Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Ekspor Manufaktur

146 Sebelum krisis, investasi di sektor industri paling tinggi, bahkan hingga tahun 1998 kredit investasi industri meningkat cukup besar, namun pada tahun 1999 hingga tahun 2000 investasi industri mengalami penurunan, bahkan di bawah peningkatan investasi pertanian. Tapi mulai tahun 2001 investasi industri kembali mengalami kenaikan hingga tahun 2009 di atas pertumbuhan investasi di sektor pertanian. Jika diperhatikan keterkaitan antara pertumbuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri manufaktur, hubungannya sangat lemah. Karena besarnya investasi di sektor industri manufaktur, tidak diikuti oleh peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan kesempatan kerja di sektor tersebut. Sementara di sektor pertanian walaupun tingkat investasinya tidak terlalu besar, tapi dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Dari kondisi tersebut jelas bahwa, industri manufaktur termasuk padat modal, sementara sektor pertanian adalah padat karya. Walaupun demikian di sektor industri manufaktur juga terdapat beberapa industri yang padat karya, misalnya industri makanan dan minuman, kerajinan kayu, produk tekstil. Tenaga kerja dikedua sektor tersebut memiliki perbebedaan, di sektor industri manufaktur tenaga kerjanya memiliki kelebihan pada ketrampilan dan keahlian. Sementara di sektor pertanian sebagian besar tenaga kerja yang terserap kurang memiliki ketrampilan dan keahlian di bidangnya masing-masing, sehingga produktivitas tenaga kerjanya juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor industri manufaktur.

6.1.6. Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Ekspor Manufaktur

Dari gambaran di atas, sektor industri manufaktur menunjukkan peran 147 yang sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan penerimaan devisa. Namun demikian dibalik keberhasilan sektor industri manufaktur, juga masih terdapat beberapa persoalan yang dihadapi, baik dari proses produksi, konsentrasi pasar, terlebih lagi daya saing produk industri manufaktur, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri, sehingga menyebabkan perkembangan industri manufaktur dari tahun ke tahun masih relatif lambat. Di antara permasalahan yang dihadapi industri manufaktur adalah sebagai berikut.

1. Diversifikasi Pasar Ekspor Manufaktur

Sebagaimana persoalan yang terjadi pada ekspor Indonesia pada umumnya, pasar ekspor komoditi utama hanya tertuju pada beberapa negara saja, dalam arti memiliki ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena tujuan ekspor manufaktur kurang bervariasi. Negra-negara utama tujuan ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Sementara komoditas utama yang termasuk dalam kategori tersebut, adalah tekstil dan produk tekstil, alat-alat listrik, dan hasil-hasil perkebunan seperti kopi, minyak kelapa sawit, dan karet. Komoditi-komoditi tersebut sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Demikian pula menurut Juswanto dan Mulyanti 2003, masalah utama ekspor manufaktur Indonesia adalah terkonsentrasinya pasar dan komoditi utama. Ekspor manufaktur Indonesia terkonsentrasi pada negara-negara Jepang dan NIEs Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong, serta Amerika serikat. Sementara komoditinya terkonsentrasi pada ekspor manufaktur jenis SITC 6 dan SITC 8 hasil-hasil industri dari bahan baku, dan hasil industri lainnya. Negara- 148 negara tujuan utama ekspor manufaktur tersebut dapat menyerap lebih dari 60 persen adalah dari total ekspor manufaktur Indonesia.

2. Daya Saing Produk Industri Manufaktur

Kinerja sektor industri manufaktur hingga tahun 2005, merupakan sektor yang dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia engines of economic growth . Kondisi ini telah diperlihatkan melalui kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi baik secara absolute maupun secara relatif. Demikian pula peranannya terhadap ekspor manufaktur yang tumbuh dengan cepat dari tahun ke tahun. Namun semenjak krisis tahun 1998 pertumbuhan atau kontribusi sektor manufaktur agak melambat. Dilihat dari pertumbuhannya, industri manufaktur dapat menjadi landasan untuk mendorong peningkatan produksi, dan peningkatan produksi akan mendorong kegiatan pasar, baik input maupun output, di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negri. Pasar input akan meningkatkan permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja, investasi, maupun bahan-bahan baku, termasuk impor input dari luar negeri. Sedangkan di pasar output, dapat meningkatkan pemasaran produk-produk di dalam negeri dan pasar ekspor. Perusahaan- perusahaan yang terkait dengan orientasi ekspor, selalu berusaha untuk mengembangkan teknik produksi dengan berbagai inovasi dan penggunaan teknologi agar produktivitas dan efisiensi dapat meningkat. Dengan demikian daya saing produk manufaktur akan meningkat, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri Jika dilihat dari kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor non migas, ekspor manufaktur adalah merupakan kontributor terbesar Tabel 8. 149 Namun walaupun ekspor manufaktur terus meningkat, akan tetapi pertumbuhannya dari tahun ke tahun bersifat fluktuatif, dan secara relatif pertumbuhannya cenderung melambat, terutama pasca krisis 1998. Salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor manufaktur adalah, faktor daya saing yang kian merosot. Karena dari sisi penawaran, kinerja ekspor akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan daya saing. Daya saing tersebut erat kaitannya dengan biaya produksi. Biaya produksi berkaitan dengan berbagai persoalan domestik, di samping terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah. Persoalan kemampuan daya saing, dapat disebabkan oleh kurang kondusifnya lingkungan usaha di dalam negeri. Menurut catatan World Economic Forum WEF tahun 2006, posisi daya saing ekonomi Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 104 negara yang diteliti. Secara lengkap perkembangan posisi daya saing Indonesia selama tahun 2000 hingga tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Peringkat Daya Saing Industri Non Migas Dunia, Tahun 2000-2009 NEGARA 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Argentina 42 45 48 58 59 58 55 58 56 56 Brazil 38 40 37 52 53 51 52 52 54 51 Hongkong 9 4 13 10 6 2 2 4 2 3 India 41 42 41 50 34 39 29 36 36 30 Indonesia 43 46 47 57 58 57 59 54 46 49 Korea 29 29 29 37 25 29 38 32 32 28 Malaysia 26 28 24 21 16 28 23 19 21 21 Philippines 35 39 40 49 52 49 49 48 50 46 Singapore 2 3 8 4 2 3 3 3 3 2 Thailand 31 34 31 30 29 27 32 28 28 26 Sumber : Deprin 2000-2005, WEF 2006-2009 Dari Tabel 14 tampak bahwa dari tahun 2000 hingga 2006, peringkat daya saing Indonesia menunjukkan arah yang terus menurun. Jika pada tahun 2000 daya saing Indonesia berada pada peringkat 43, India, Malaysia, dan Thailand 150 pada tahun yang sama masing-masing berada pada urutan ke 41, 26, dan 31. Posisi daya saing industri Indonesia berturut-turut terus menurun, dari urutan ke 43 tahun 2000, menjadi urutan ke 46 2001, terus menurun menjadi urutan ke 57 2003, dan urutan ke-59 2006, pada tahun yang sama masih di bawah Argentina 55, Brazil 52, dan Philippines 49. Kemudian dari tahun 2006 ke 2007 hingga 2008 daya saing Indonesia mengalami kenaikan, namun tahun 2009 kembali turun dari peringkat 46 ke 49. Sementara di tingkat negara-negara ASEAN, Indonesia memiliki urutan daya saing yang terendah setiap tahun. Negara lainnya yang hampir menyamai rekor Indonesia antara lain, Argentina, Brazilia, dan Philippines. Sedangkan negara India, Malaysia, dan Thailand daya saingnya terus mengalami peningkatan. Rendahnya daya saing produk-produk industri manufaktur Indonesia antara lain disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi, terbatasnya infrastruktur, dan rendahnya produktivitas. Indikator ekonomi biaya tinggi tercermin pada tingginya biaya produksi, dibandingkan denganbeberapa negara di kawasan Asia lainnya. Misalnya dari hasil penelitian Bank Indonesia 2006, bahwa kontribusi biaya pajak dan pungutan tidak resmi di Indonesia terhadap struktur biaya produksi 13 dari total biaya produksi 33.37 persen. Kondisi ini sangat tidak kondusif bagi investor di Indonesia. Laporan hasil survei tersebut menyebutkan bahwa, terdapat 10 kendala atau hambatan untuk melakukan investasi di Indonesia yaitu, korupsipungutan tidak resmi, birokrasi lamban, penegakan hukum, kebijakan perburuhan, ketidakpastiankebijakan, keamanan, dukungan pemerintah pada dunia usaha, pemahaman pemerintah terhadfap dunia usaha, kebijakan OTODA, dan koordinasi antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter. 151 Menurut World Economic Forum WEF, 2006, merosotnya daya saing Indonesia, karena 5 faktor penting yang menonjol terjadi di Indonesia. Pada tataran makro terdapat 3 faktor yaitu, 1 kondisi ekonomi makro yang tidak kondusif, 2 buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan, dan 3 lemahnya kebijakan pengembangan tenologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara pada tataran mikro atau bisnis terdapat dua faktor yang menonjol yakni, rendahnya efisiensi produksi karena pengembangan dan penerapan iptek masih sangat rendah, dan lemahnya iklim persaingan usaha. Sedangkan menurut laporan International Institute for Management Development IIMD tahun 2006, rendahnya daya saing Indonesia disebabkan oleh 4 hal pokok yakni, 1 buruknya perekonomian nasional, yang tercermin pada kinerja perdagangan internasional, investasi, ketenaga kerjaan, dan stabilisasi harga, 2 buruknya efisiensi kelembagaan pemerintah dalam mengembangkan dan mengelola kebijakan fiskal, kebijakan perundang-undangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi kerangka institusi publik yang tumpang tindih, 3 lemahnya efisiensi dalam produksi dan inovasi, karena produktivitas yang rendah, tenaga kerja yang belum optimal, termasuk kualitas tenaga kerja dalam arti ketrampilan dan keahlian yang kurang, dan 4 keterbatasan infrastruktur, baik fisik, teknologi, maupun infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pendidikan dan kesehatan. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa, daya saing produk-produk industri manufaktur Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Kondisi tersebut juga dapat dilihat dari beberapa produk manufaktur di pasaran 152 dalam negeri yang tidak mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari impor. Sementara di pasaran luar negeri, produk-produk manufaktur seperti tekstil dan produk tekstil, serta produk dari kayu olahan juga kurang mampu bersaing dengan produk-produk dari negara Cina dan negara-neghara Asean lainnya. Menurunnya daya saing produk-produk manufaktur Indonesia juga disebabkan oleh tingginya biaya overhead produksi. Sebagai gambaran dari hasil identifikasi oleh perusahaan Jepang menyebutkan bahwa struktur biaya produksi manufaktur Indonesia yang disebabkan oleh biaya overhead mencapai 33.37 persen, sedangkan biaya matrial 58.26 persen dari total biaya produksi. Jika dibandingkan dengan Cina, biaya overhead 17.1 persen dan biaya matrial hanya 39.9 persen Tabel 15. Tabel 15. Struktur Biaya Produksi Produk Manufaktur Negara Indonesia Thailand Malaysia Phillippine China Cost Index 100.00 89.09 79.64 76.67 61.17 Expenses. Tax 33.37 19.25 12.96 11.35 17.06 Depretiation 2.92 3.03 2.70 3.16 1.36 Personnal 5.45 6.74 5.84 4.71 2.86 Matrial 58.26 54.07 58.12 57.45 39.89 Sumber : Kementerian Perindustrian, Tahun 2004 Dari dua komponen biaya produksi tersebut menunjukkan, bahwa pelayanan publik di Indonesia belum baik. Dari hasil kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPOD 2004 diperoleh informasi bahwa, pengeluaran untuk berbagai pungutan dan buruknya layanan umum menambah biaya overhead sebesar 8.7 persen hingga 11.2 persen. Sementara biaya uang cost of money yang relatif tinggi adalah bersumber dari suku bunga pinjaman yang tinggi, sehingga pengusaha atau produsen yang mengandalkan modal dari 153 perbankan dalam negeri akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya bersumber dari luar negeri dengan biaya bunga yang relatif lebih rendah, yakni antara 4-6 persen. Di samping itu administrasi pajak yang belum optimal, terutama dikaitkan dengan restitusi pajak ekspor manufaktur yang akan menurunkan daya saing karena dibebankan ke harga jual. Masalah lain dalam kaitan dengan daya saing adalah, kandungan impor dari produk-produk manufaktur yang sangat tinggi. Menurut laporan deprin 2002, nilai impor bahan baku, bahan baku antara, dan komponen untuk seluruh industri kecenderungannya meningkat, dari rata-rata 28 persen pada tahun 1993, menjadi rata-rata 30 persen pada tahun 2003, khusus untuk produk industri tekstil, kimia, dan logam dasar mencapai 4 persen, bahkan untuk industri mesin, elektronik, dan barang-barang dari logam mencapai 60 persen. Tingginya kandungan impior tersebut mengakibatkan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah, terlebih lagi regim valuta asing yang bersifat floating, akan menyebabkan ketidak pastian dalam usaha tersebut. Akibat kandungan impor yang sangat tinggi pada produk-produk manufaktur tertentu, akan menyebabkan nilai tambah suatu produk yang mengalir pada perekonomian domestik menjadi kecil. Rendahnya nilai tambah industri manufaktur, juga disebabkan oleh penguasaan dan penerapan teknologi masih sangat lemah. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa, walaupun disatu sisi industri manufaktur berperan besar dalam mendorong kinerja perekonomian Indonesia, yang tercermin dari kontribusinya terhadap PDB dan ekspor, serta penciptaan lapangan kerja dan investasi, namun banyak persoalan yang masih menjadi hambatan berkembangnya sektor industri manufaktur agar benar-benar menjadi penggerak perekonomian nasional. Hambatan-hambatan 154 tersebut dapat bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri seperti yang telah dijelaskan di atas seperti layanan umu, bunga bank, administrasi pajak, kualitas tenaga kerja, penguasaan teknologi, iklim persaingan yang kurang sehat, dan peranan industri kecil dan menengah terhadap penciptaan nilai tambah masih relatif rendah, walaupun dilihat dari daya serap tenaga kerja cukup tinggi. Yang tidak kalah pentingnya adalah masih tingginya ketergantungan terhadap komponen impor, baik bahan baku, bahan baku penlong, maupun barang-barang modal. Sifat ketergantungan tersebut akan membawa konsekuensi lemahnya daya saing, jika terjadi kemerosotan nilai tukar rupiah. Ketergantungan terhadap komponen impor tersebut, tidak terlepas dari lemahnya terhadap penciptaan teknologi produksi dan penerapannya. Walaupun produk ekspor manufatur Indonesia telah merambah pada produk ekspor dengan muatan teknologi menengah dan tinggi, namun baru pada level dominasi perakitan. Sementara kehadiran investasi asing, berupa penanaman modal langsung foreign direct investment , FDI yang memiliki potensi sebagai basis transfer teknologi, namun hingga saat ini belum dapat memberikan manfaat bagi perkembangan industri berbasis teknologi sendiri. Pada hal hubungan antara FDI dengan pertumbuhan ekonomi adalah positif, artinya jika penanaman modal asing meningkat, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seperti beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Krisharianto dan Hartono, 2006; Dritsaki, et. al, 2004; dan Alguacil dan Orts, 2001. 155 6.2. Kinerja Sektor Pertanian 6.2.1. Pentingnya Pertanian