Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur

177 Jepang, sedangkan ke negara Singapura hanya sekitar lima persen saja. Demikian pula impornya lebih tergantung pada kedua negara tersebut, kecuali impor beras dari Thailand. Dilihat dari komoditas yang diperdagangkan, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif perbedaannya tidak signifikan. Untuk produk pertanian negara-negara dalam kelompok AFTA adalah relatif homogen, sehingga tidak terjadi persaingan dalam lingkup perdagangan ASEAN. Kondisi ini sangat terkait dengan karakteristik produk negara-negara dilingkungan ASEAN yang cenderung bersifat homogen, sehingga volume perdagangan antar negarapun menjadi relatif kecil Hadi, et.al 2003.

6.2.9. Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa, salah satu peranan sektor pertanian adalah sebagai pemasok bahan baku terhadap sektor industri manufaktur, terutama industri agro yang berbasis pada komoditi pertanian. Tujuannya agar sektor pertanian dapat menyalurkan produksinya dan di olah oleh industri manufaktur. Dengan meningkatnya produksi industri manufaktur, maka akan memiliki dampak positip terhadap sektor pertanian. Sehingga pembangunan di kedua sektor akan berjalan secara seimbang. Seperti dikatakan oleh Lewis dalam Arsyad 1992 bahwa, pembangunan yang seimbang adalah pembangunan yang saling ketergantungan antara sektor pertanian dan industri manufaktur secara efisien. Menurutnya jika pembangunan tidak berjalan seimbang, misalnya pembangunan hanya di fokuskan pada sektor industri manufaktur saja, maka akan menimbulkan gangguan terhadap kelancaran atau akan menghambat pembangunan pada sektor industri manufaktur itu sendiri. 178 Sebenarnya jika pembangunan di sektor pertanian juga digalakkan sejalan dengan pembangunan industri manufaktur, maka kesenjangan dapat diminimalisir, termasuk pendapatan dan kesempatan kerja di masing-masing sektor dapat mendorong lebih lanjut pembangunan di kedua sektor tersebut. Adelman 1984 telah memberikan konsep tentang strategi pembangunan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri manufaktur. Dengan menerapkan strategi ini, maka produktivitas sektor pertanian dapat ditingkatkan melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, sehingga pendapatan rumah tangga di sektor pertanian dapat meningkat. Peningkatan produktivitas pertanian melalui keterkaitan ke belakang backward linkage yang akan mendorong permintaan terhadap input-input yang dibutuhkan oleh sektor pertanian seperti pupuk, pestisida, benih unggul, alat-alat produksi mesin pertanian, transportasi, infra struktur, dan irigasi, serta meningkatkan lapangan kerja. Sedangkan keterkaitan ke depan forward linkage akan mendorong pengembangan investasi di sektor industri manufaktur yang menggunakan bahan baku dari sektor pertanian. Sehingga sinergi antara kedua sektor tersebut akan menciptakan kemajuan yang seimbang dan dinamis. Apabila terjadi peningkatan investasi dan kesempatan kerja di kedua sektor, maka akan meningkatkan produksi di masing-masing sektor, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan bagi pekerjanya. Dengan meningkatnya pendapatan, maka akan mendorong peningkatan konsumsi baik terhadap produk pertanian, maupun terhadap produk industri manufaktur. Oleh karena itu menurut Adelman, kunci keberhasilan pembangunan di kedua sektor tersebut adalah harus memiliki keterkaitan yang kuat dalam pembangunan masing-masing sektor. 179 Dengan demikian untuk melakukan ekspansi dikedua sektor tersebut dapat terjadi, karena saling membutuhkan. Terlebih lagi dengan adanya perluasan pasar ke luar negeri melalui ekspor, maka baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri akan ikut menstimulir pembangunan di kedua sektor tersebut. Jika melihat keterkaitan pembangunan sektor pertanian dengan industri manufaktur di Indonesia, tampaknya belum menerapkan pembangunan sinergi di antara keduanya. Indikasi tersebut dapat dilihat pada uraian berikut. Perkembangan investasi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur di Indonesia, jika dilihat dari peranan masing-masing dalam investasi total, besaran investasi di sektor pertanian sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan investasi di sektor industri manufaktur. Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa, investasi di sektor pertanian pada tahun 1995-2009 rata-rata 19,86 persen per tahun dari investasi total. Sementara kontribusi investasi di industri manufaktur terhadap investasi total pada periode yang sama rata-rata 26,64 persen per tahun. Dari perkembangan investasi ini tentu akan berdampak pada kontribusi output terhadap PDB nasional. Dilihat dari Gambar 13, kontribusi sektor pertanian di bawah kontribusi industri manufaktur. Demikian pula dampaknya terhadap nilai ekspor pertanian jauh juga jauh di bawah nilai ekspor industri manufaktur terhadap nilai total ekspor non migas Tabel 8. Akan tetapi ironisnya, kemajuan yang pesat pada sektor industri manufaktur tidak diimbangi oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja, sehingga penyerapan tenaga kerja masih menjadi beban sektor pertanian lihat Gambar 16. Sektor industri belum mampu menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian, padahal di sektor pertanian banyak pekerja yang menjadi penganggur tersembunyi disguise unemployment, atau 180 banyak juga yang pergi ke kota untuk bekerja di sektor informal. Oleh karena itu sekalipun sektor pertanian memiliki peran lebih rendah di bandingkan sektor industri, terutama dilihat dari kontribusinya pada PDB dan ekspor non migas, namun di bagian lain sektor pertanian tetap memiliki peran penting, seperti sebagai penyedia pangan dan lapangan kerja, pemasok bahan baku agro industri, dan pasar bagi hasil-hasil industri. Namun demikian peranan pertanian menjadi tidak optimal, karena strategi pembangunan industrialisasi di Indonesia kurang terintegrasi dengan pembangunan sektor pertanian. Pembahasan tentang terjadinya kesenjangan di atas, adalah akibat dari prioritas yang berlebihan pada penekanan pembangunan industrialisasi di Indonesia. Ketidak seimbangan tersebut dalam jangka panjang akan menjadi hambatan pembangunan secara keseluruhan. Kondisi ini terbukti pada saat terjadinya krisis tahun 1998. Karena kesenjangan distribusi pendapatan dikedua sektor tersebut sangat besar, maka pasar dalam negeri tidak banyak membantu untuk penyelamatan industri manufaktur, sementara komoditas industri manufaktur banyak menggunakan input dari impor. Dalam kondisi krisis tersebut sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan negatip cukup besar. Demikian pula dalam penyerapan tenaga kerja. Tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian meningkat, sementara di sektor industri manufaktur terus mengalami penurunan, karena banyaknya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja, di samping banyaknya perusahaan yang menutup usahanya atau memindahkan usahanya ke negara lain. Padahal dalam kerangka teori klasik dan hasil-hasil empiris oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa, keberhasilan industrialisasi selalu 181 seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan perbaikan produktivitas di sektor pertanian Dumairy, 1996. Sehingga jika produktivitas di sektor pertanian tidak mengalami perbaikan, maka pembangunan industrialisasi menjadi tidak berhasil. Karena tanpa dukungan sektor pertanian yang kuat sebagai penyangga, kemajuan sektor industri akan mudah terkendala. Sebenarnya menurut Tambunan 2001, sektor pertanian yang kuat sangat penting dalam proses industrialisasi, termasuk di Indonesia karena, 1 dapat memperkuat ketahanan pangan, sehingga tidak terjadi kelaparan, dan akan terciptanya kestabilan dibidang sosial politik, 2 dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga yang akan menjadi sumber permintaan terhadap produk-produk industri manufaktur, 3 merupakan sumber input bagi industri manufaktur, seperti industri makanan dan minuman, industri tekstil, dan industri kulit, dan lainnya, 4 menjadi sumber investasi di kedua sektor, jika keduanya memiliki keterkaitan yang kuat. Hingga saat ini keterkaitan antar kedua sektor tersebut di Indonesia, terutama di dominasi oleh efek keterkaitan pendapatan dan produksi, sementara keterkaitan dalam investasi tidak terlalu kuat Adelman, 1984. Sebagai tolok ukur, bahwa perkembangan sektor pertanian di beberapa negara menurut Dumairy 1996 biasanya ditempuh melalui tiga kemungkinan pola yakni, 1 jalur kapitalistik, mengembangkan usaha tani berskala besar tapi juga melibatkan satuan-satuan usaha kecil, contoh negara yang menerapkan pola ini seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, 2 jalur sosialistik, yaitu dengan membentuk usaha kolektif berskala besar yang diprakarsai oleh negara, seperti yang diterakan oleh negara-negara Eropa Timur, dan 3 jalur koperasi semi kapitalistik, yakni dengan melakukan pembinaan usaha-usaha kecil padat modal yang dibantu oleh 182 koperasi nasional di bawah pengelolaan negara, pola ini telah diterapkan di Jepang dan Taiwan, walaupun polanya berbeda, tapi kesemuanya selalu disertai dengan reformasi agraris, serta penataan penguasaan tanah land reform. Dari pola-pola tersebut, nampaknya Indonesia belum pernah mencoba untuk melakukannya. Kendatipun demikian, Indonesia pernah melakukan beberapa kebijakan di bidang pengelolaan pertanian, bahkan pernah mencapai swasembada beras, pernah menerapkan kebijakan revolusi hijau, dan intensifikasi serta ekstensifikasi. Namun keberhasilan yang pernah dicapai baru bersifat temporer, belum bersifat berkelanjutan sustainable. 183

VII. PENGARUH EKSPOR PRODUK PERTANIAN DAN INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI

INDONESIA

7.1. Hasil Pengolahan dan Estimasi Sistem Persamaan

Pengolahan data yang dilakukan disesuaikan dengan model ekonometrik yang akan dimanfaatkan untuk analisis ekonomi. Model-model ekonometrik tersebut mencakup uji stasioner data, uji ordo optimal VAR, dan uji rank kointegrasi, sehingga dapat menghasilkan persamaan kointegrasi VECM, serta alat peramalan IRF dan FEVD. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab metode penelitian tentang prosedur ekonometrik, sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut, terlebih dahulu data dari setiap variabel ditransformasikan kedalam bentuk log, kemudian dilakukan pengolahan secara bertahap dengan melakukan pengujian pada masing- masing tahapan yang dimulai dari uji stasioner data dari setiap variabel, uji lag optimal VAR, dan uji kointegrasi. Hasil-hasil pengolahan data yang dilakukan akan dijelaskan pada bagian berikut.

7.1.1. Hasil Uji Stasioner

Penggunaan data runtun waktu, sangat rentan terhadap kondisi tidak stasioner nonstationary. Oleh karena itu untuk menghindari masalah-masalah ekonometrik, perlu dilakukan pengujian terhadap kondisi data. Karena data yang digunakan dalam analisis harus bersifat stasioner terlebih dahulu Gujarati, 2003. Tujuannya agar rata-ratanya stabil dan random errornya menjadi nol. Sehingga diharapkan model estimasi yang dipergunakan dalam analisis ini memiliki nilai prediksi yang dapat dipercaya. Sebenarnya terdapat beberapa metode untuk