difenokonazol sehingga tidak mengandung residu difenokonazol. Drifting merupakan titik-titik semprot ketika penyemprotan berlangsung ikut terbawa
angin. Pengambilan sebanyak 5 buah tersebut berdasarkan aturan FAO yaitu untuk pengambilan sampel tanaman dengan buah yang beratnya lebih dari 250
gram, diharuskan mengambil sebanyak 5 buah sampel atau sekurang-kurangnya 2 kg FAO, 1999.
Sampel diambil menggunakan gunting bersih dan sarung tangan, terlebih dahulu sampel dibersihkan dengan sikat halus untuk menghilangkan kotoran-
kotoran atau sisa-sisa pasir yang menempel pada permukaan kulit buah melon. Pembersihan dengan sikat ini dilakukan secara perlahan dan halus supaya
mengurangi terjadinya kehilangan senyawa target yaitu residu fungisida difeokonazol. Setelah dibersihkan masing-masing sampel buah melon dimasukkan
ke dalam kantong plastik bening dan diberi label kemudian segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan preparasi.
D. Penetapan Kadar Residu Difenokonazol pada Sampel Buah Melon
Sebelum dilakukan penetapan kadar residu difenokonazol, berdasarkan hasil validasi metode analisis oleh Devi 2015 sampel buah melon melalui proses
preparasi sampel dan homogenisasi dengan diblender tanpa penambahan air terlebih dahulu kemudian melakukan proses ekstraksi. Homogenisasi sampel
dengan blender tanpa penambahan air karena pada hasil validasi oleh peneliti lain kandungan kadar air di dalam buah melon adalah 92,224 pada daging buah;
93,782 pada keseluruhan buah dan 93,050 pada kulit buah, sehingga dipersyaratkan untuk preparasi sampel kadar air lebih dari 80 tidak perlu
penambahan air Anastasiades, 2006. Ekstraksi dilakukan menggunakan asetonitril dan 4 jenis garam yaitu MgSO
4
anhidrat, NaCl, Na
3
sitrat dan Na
2
HCitr berdasarkan metode analisis untuk multiresidu yang sudah ada. MgSO
4
anhidrat digunakan untuk menarik air kemudian adanya NaCl karena kelarutan
difenokonazol kecil di dalam air dan difenokonazol memiliki energi bebas membentuk rongga di dalam air maka air lebih menarik NaCl kemudian
difenokonazol didesak sehingga keluar dan lebih larut ke dalam asetonitril. Na
3
sitrat dan Na
2
HCitr digunakan sebagai buffer untuk mengontrol pH, mempertahankan pH sampel antara 4-6 dan pada pH tersebut analit stabil selama
proses dan meminimalkan ko-ekstraktan Anastasiades, 2006. Adanya penggojogan dilakukan untuk memecah gumpalan matriks sampel sehingga
gumpalan matriks sampel semakin kecil, luas permukaan akan semakin meningkat dan kesetimbangan yang optimum akan lebih cepat tercapai. Hasil sentrifugasi
menunjukkan asetonitrik berada di bagian atas dan air berada dibagian bawah karena massa jeis air lebih besar dari asetonitril. Reekstraksi dilakukan untuk
meminimalisir analit yang masih tertinggal di dalam matriks sampel dan kesetimbangan akan lebih banyak tercapai.
Setelah diperoleh ekstrak kering hasil ekstraksi selanjutnya sampel dilakukan proses clean-up dengan SPE C
18
. Difenokonazol akan terjerap pada fase diam C
18
dengan ikatan lemah agar dapat terelusi dan dengan washing menggunakan aquabidest analit akan tertahan pada fase diam dan senyawa yang
labih polar akan ikut terelusi. Setelah itu analit dielusi menggunakan metanol yang akan mengambil analit yang tertahan pada fase diam karena kelarutan
difenokonazol di dalam metanol 500 gL. Setelah itu hasil elusi dikeringkan sehingga diperoleh ekstrak kering yang siap untuk determinasi menggunakan GC-
ECD. Sebelum dilakukan penginjekan ke dalam GC-ECD terlebih dahulu dibuat seri larutan kurva baku difenokonazol untuk memperoleh persamaan regresi linear
untuk menghitung kadar residu difenokonazol. Kurva baku yang digunakan untuk menghitung kadar residu difenokonazol pada sampel ekstrak ditunjukkan pada
Gambar 6. Persamaan regresi linear yang diperoleh dari kurva baku adalah y=- 0,08989+3,50422x dengan koefisien korelasi R
2
0,9977 yang artinya metode yang digunakan memiliki linearitas yang baik karena memenuhi persyaratan nilai
R
2
yaitu ≥ 0,98 Ahuju, 2005.
Gambar 6. Kurva Baku Standar Difenokonazol
Penetapan kadar residu fungisida difenokonazol pada kulit, daging dan keseluruhan buah melon dilakukan menggunakan GC-ECD dengan cara
memasukkan rasio luas puncak difenokonazol dengan DCB yang dihasilkan pada kromatogram kedalam persamaan kurva baku sehingga diperoleh kadar residu
difenokonazol pada sampel. Penetapan kadar dilakukan menggunakan kromatografi gas karena volatilitas analit yaitu difenokonazol yang ditunjukkan
dalam konstanta Henry’s law yaitu 9,0 x 10
-7
Pa m
3
mol
-1
dimana semakin besar
y = 3.50422x - 0.08989 R² = 0.9977
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0
0.0 0.2
0.4 0.6
0.8 1.0
1.2
R as
io l
ua s p
unc ak
D if
D C
B
massa ng
Kurva Baku Standar Difenokonazol
nilai konstanta Henry maka senyawa semakin cepat menguap Kenndler, 2004. Digunakan detektor ECD berdasarkan struktur dari difenokonazol yang
mengandung atom elektronegatif seperti Cl dan O yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas yang berasal dari sumber radioaktif
63
Ni. Gugus elektronegatif akan menangkap elektron bebas untuk dibawa keluar detektor,
sehingga terjadi pengurangan jumlah elektron dari sistem dan pengurangan jumlah arus akan direkam dan dianggap sebagai respon kromatogram. Semakin banyak
jumlah atom elektronegatif dalam suatu senyawa maka akan semakin tinggi respon pada GC-ECD Grob, 1995.
Kromatogram standar, sampel blangko dan residu difenokonazol yang dihasilkan pada masing-masing sampel bagian ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 A adalah puncak standar DCB dekaklorobifenil pada waktu retensi t
R
sekitar 22-23 menit. DCB digunakan sebagai standar internal saat determinasi karena untuk mengkoreksi kesalahan hilangnya analit saat determinasi
menggunakan GC-ECD. DCB dipilih sebagai standar internal karena dapat dideteksi oleh GC-ECD, memiliki waktu retensi yang konstan dan rasio dengan
analit konstan jika konsentrasi bertambah maka rasio juga naik. Gambar 8 menunujukkan keajegan waktu retensi t
R
antara puncak DCB dengan dua puncak difenokonazol yaitu ± 22-23 menit dan sekitar 26-28 menit secara
berturut-turut. Respon senyawa difenokonazol adalah munculnya 2 puncak pada t
R
sekitar 26-28 menit yaitu ditunjukkan pada Gambar 8 B. Adanya 2 puncak ini dikarenakan difenokonazol memiliki struktur diastereoisomer dengan adanya 2
karbon kiral pada strukturnya Hamilton, 2014. Struktur diastereoisomer
difenokonazol dapat dilihat pada Gambar 7. Tanda bintang menunjukkan karbon kiral dimana pada bagian kiral struktur dapat terjadi perputaran sehingga
terjadi perubahan bentuk molekul yang mengakibatkan difenokonazol memiliki dua isomer diastereoisomer. Menurut Spivey 2008 diastereoisomer memiliki
sifat fisika dan kimia yang berbeda sehingga pada kromatogram terdapat dua puncak difenokonazol. Karena difenokonazol memiliki respon 2 puncak pada GC-
ECD maka kedua luas puncak yang dihasilkan dijumlahkan. Menurut United States Department of Agriculture 2015 mengenai data program pestisida,
kuantifikasi senyawa yang memiliki puncak banyak multi-peak berdasarkan puncak terbesar atau menjumlahkan semua puncak. Gambar 8 menunjukkan pada
sampel blangko dan daging buah tidak terdapat difenokonazol. Pada penginjekan standar, sampel kulit buah dan keseluruhan buah terdapat difenokonazol yang
ditunjukkan pada kromatogram Gambar 8. Tinggi rendahnya puncak difenokonazol yang dihasilkan pada kromatogram berdasarkan kadar residu
difenokonazol yang terkandung di dalam masing-masing sampel.
Gambar 7. Struktur Diastereoisomer Difenokonazol Twohig, 2013.
Gambar 8. Overlay Kromatogram A puncak DCB dan B puncak difenokonazol pada GC-ECD
Tabel VII. Kadar Residu Difenokonazol di dalam Buah Melon Lahan Siliran Kulonprogo
Hari setelah aplikasi terakhir
Kadar di dalam kulit buah
mgkg Kadar di dalam
daging buah mgkg
H-1 0,003
0,000 H0
0,079 0,002
H+1 0,040
0,000 H+3
0,026 0,000
H+5 0,024
0,000 H+7
0,016 0,000
H+14 0,007
0,002 Kontrol
0,000 0,000
Tabel VIII. Kadar Residu Difenokonazol di dalam Buah Melon Lahan Panggungharjo Bantul
Hari setelah aplikasi terakhir
Kadar di dalam kulit buah
melon mgkg Kadar di dalam
daging buah melon mgkg
H-1 0,002
0,000 H0
0,025 0,002
H+1 0,051
0,000 H+3
0,013 0,000
H+5 0,011
0,000 H+7
0,013 0,000
Kontrol 0,000
0,000
Tabel IX. Kadar Residu Difenokonazol di dalam Buah Melon Lahan Wedomartani Sleman
Hari setelah aplikasi terakhir
Kadar di dalam kulit buah
melon mgkg Kadar di dalam
daging buah melon mgkg
H-1 0,014
0,000 H0
0,022 0,000
H+1 0,022
0,000 H+3
0,014 0,000
H+5 0,021
0,000 H+7
0,009 0,000
H+14 0,009
0,000 Kontrol
0,011 0,000
Tabel X. Kadar Residu Difenokonazol pada Keseluruhan Buah Melon
Hari setelah aplikasi terakhir
Kadar pada buah melon Siliran
mgkg Kadar pada buah
melon Bantul mgkg
Kadar pada buah melon Sleman
mgkg H-1
0,001 0,001
0,021 H0
0,042 0,013
0,018 H+1
0,022 0,010
0,023 H+3
0,026 0,004
0,016 H+5
0,020 0,002
0,020 H+7
0,012 0,007
0,003 H+14
0,007 -
0,002 Kontrol
0,011
Kadar residu fungisida difenokonazol di dalam kulit dan daging buah melon pada masing-masing lahan dan masing-masing hari setelah aplikasi terakhir
dapat dilihat pada Tabel VII, Tabel VIII dan Tabel IX. Penetapan kadar residu fungisida difenokonazol di dalam kulit dan daging buah melon dilakukan untuk
membuktikan hipotesis 1 yaitu kadar residu difenokonazol rata-rata paling banyak terdapat di dalam kulit buah melon daripada daging buah bila dilihat langsung.
Untuk membuktikan apakah kadar residu difenokonazol pada kulit lebih besar daripada di daging buah maka dilakukan uji signifikansi slope antara kadar residu
difenokonazol pada kulit dengan daging buah setiap harinya. Uji signifikansi diawali dengan uji F untuk melihat perbedaan standar
deviasi kemudian uji signifikansi slope dengan uji t. Hasil uji F antara standar deviasi kadar residu difenokonazol pada kulit dengan daging buah setiap harinya
dari lahan Siliran adalah F
hitung
= 254,56 dan F
tabel
=5,05 artinya F
hitung
F
tabel
sehingga standar deviasi berbeda signifikan dan hasil uji t slope yang dilakukan adalah t
hitung
=6,352 dan t
tabel
=180 maka t
hitung
t
tabel
sehingga berbeda signifikan, artinya kadar residu difenokonazol pada kulit buah lebih besar dari pada di daging
buah dari Siliran. Sedangkan hasil uji F antara standar deviasi kadar residu difenokonazol pada kulit dengan daging buah setiap harinya dari lahan Bantul
adalah F
hitung
= 333,58 dan F
tabel
=5,05 artinya F
hitung
F
tabel
sehingga standar deviasi berbeda signifikan dan hasil uji t slope yang dilakukan adalah t
hitung
= 3,154 dan t
tabel
=100 maka t
hitung
t
tabel
sehingga berbeda signifikan, artinya kadar residu difenokonazol pada kulit buah lebih besar dari pada di daging buah dari Bantul.
Dari hasil uji signifikansi baik buah melon dari Siliran maupun Bantul kadar residu difenokonazol di kulit buah lebih besar daripada di daging buah melon
karena kulit buah terletak paling luar sehingga saat penyemprotan fungisida kulit buah langsung terkena cairan semprot. Residu difenokonazol di dalam daging
buah melon pada lahan Siliran Kulonprogo terdapat pada hari ke-0 dan hari ke-14 serta di dalam daging buah melon Panggungharjo Bantul terdapat residu
difenokonazol pada hari ke-0 setelah aplikasi terakhir. Adanya residu difenokonazol pada daging buah melon dari Siliran dan Bantul pada hari ke-0
karena ada sisa residu dari penyemprotan formula fungisida difenokonazol sebelumnya penyemprotan 2.
Tabel X adalah kadar residu difenokonazol pada keseluruhan buah melon dari Siliran, Bantul dan Sleman. Penetapan kadar residu difenokonazol pada
keseluruhan buah dilakukan untuk menetapkan pola laju disipasi residu difenokonazol pada masing-masing lahan untuk pembuktian hipotesis 2 sebagai
dasar penentuan PHI Pre Harvest Interval Hamilton, 2014. Secara keseluruhan data dapat dilihat pada hari sebelum aplikasi terakhir H-1 mula-mula kadar
residu difenokonazol kecil karena ada sisa-sisa residu difenokonazol hasil penyemprotan formula difenokonazol aplikasi kedua kemudian kadar residu
meningkat pada hari ke-0 4 jam setelah aplikasi terakhir. Kadar kontrol sampel buah melon Siliran Kulonprogo dan Panggungharjo Bantul baik pada kulit, daging
maupun keseluruhan buah adalah 0 mgkg yang artinya pada kontrol tidak mengandung residu difenokonazol. Kadar residu difenokonazol pada kulit, daging
dan keseluruhan buah melon dari Sleman tidak dapat menggambarkan keadaan sebenarnya karena kerusakan yang terjadi pada buah melon Sleman akibat
penyakit antraknosa. Kerusakan yang terjadi pada tanaman buah melon dimulai pada saat sudah muncul buah melon sekitar umur 40 hari yang ditandai dengan
munculnya bercak kecoklatan pada sebagian batang dan daun menyerang pada hampir seluruh lahan tanaman melon. Ketika buah melon mulai tumbuh
membesar, kebanyakan buah yang terbentuk tidak terdapat jaring net tidak seperti buah melon yang semestinya dan banyak buah yang mengalami
pembusukan. Namun, secara kasat mata dapat dilihat kadar residu difenokonazol di kulit lebih besar daripada di dalam daging buah karena pada daging buah per
hari setelah aplikasi terakhir tidak terdapat residu difenokonazol. Selanjutnya pada kontrol terdapat residu difenokonazol karena petani juga menyemprotkan
fungisida yang mengandung difenokonazol pada seluruh lahan melon akibat serangan antraknosa.
E. Hilangnya Residu Difenokonazol ke dalam Daging Buah Melon