BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pestisida
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest, yang berarti
hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama. Yang dimaksud hama bagi petani adalah sangat luas,
yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi jamur, bakteri dan virus, kemudian nematode cacing yang merusak akar,
siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan Sudarmo, 1991. Menurut The United States Environmental Control Act pestisida
didefinisikan sebagai berikut. a.
Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga,
binatang pengerat, nematode, gulma, virus, bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia.
b. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk
mengatur pertumbuhan atau mengeringkan tanaman Djojosumarto, 2008.
B. Fungisida
Fungisida adalah salah satu jenis pestisida yang dipakai untuk membunuh atau menghambat perkembangan jamur. Fungisida berasal dari dua kata dalam
bahasa Latin yaitu : fungus dan caedo. Fungus atau jamaknya fungi artinya jamur,
6
sedangkan caedo artinya membunuh. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut menjadi fungisida Sumardiyono, 2013.
1. Peranan Fungisida dalam Pengelolaan Penyakit Tumbuhan
Kelompok organisme yang paling banyak menjadi patogen adalah jamur fungi, disusul oleh bakteri dan virus. Oleh karena itu, pengelolaan kimiawi
penyakit tumbuhan paling banyak menggunakan fungisida dan sebagian kecil bakterisida. Penyakit menyebar dari suatu tempat ke tempat lain bersama dengan
penyebaran spora, yang terjadi terutama dengan perantaraan angin, air, tanah dan serangga. Spora jamur berbobot ringan, sehingga mudah diterbangkan oleh angin
ke tempat yang jauh dan jatuh ke permukaan tanaman atau daun. Pada tanaman yang rentan, setelah patogen bertemu dengan permukaan tanaman atau daun,
maka spora akan berkecambah kemudian akan terjadi penetrasi yang diikuti dengan perkembangan patogen dalam jaringan tanaman. Fungisida yang
disemprotkan pada permukaan tanaman menghambat perkecambahan spora. Spora menjadi mati dan tidak terjadi penetrasi. Apabila sudah terjadi penetrasi,
perkembangan patogen dalam jaringan tanaman dapat dihambat apabila fungisida yang diaplikasikan dapat terserap oleh tanaman. Tanaman yang sudah menderita
sakit dapat disembuhkan atau dikurangi intensitas kerusakannya Sumardiyono, 2013.
2. Fungisida Sistemik
Fungisida sistemik adalah fungisida yang dapat masuk melewati kutikula dan terserap oleh tanaman, bersifat mobile bergerak atau ditranslokasikan dari
tempat aplikasi ke bagian tanaman yang lain, atau bergerak dari akar melalui
xilem ke daun. Fungisida sistemik dapat diaplikasikan sebagai fungisida protektan atau terapeutan. Fungisida jenis ini berfungsi mencegah perkembangan penyakit
sehingga dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit atau menghambat perkembangan penyakit atau disebut juga fungisida kemoterapeutan. Fungisida
sistemik yang baik harus memenuhi beberapa kriteria : a.
Senyawa tersebut harus bersifat fungisidal atau dapat diubah menjadi senyawa yang beracun dalam tanaman.
b. Senyawa tersebut harus mempunyai fitotoksisitas yang sangat rendah karena
terserap oleh tanaman. c.
Senyawa tersebut harus dapat terserap oleh akar, daun atau biji sebelum dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain Sumardiyono, 2013.
Setelah perlakuan dengan fungisida ini akan terjadi penetrasi ke dalam jaringan tanaman, kemudia ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain.
Fungisida sistemik bekerja sampai jarak yang jauh dari tempat aplikasi dan dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit. Fungisida sitemik bekerja bersama
dengan proses metabolism tanaman. Fungisida sistemik hanya bekerja pada satu tempat dari bagian sel jamur, sehingga disebut mempunyai cara kerja single site
action atau spesifik. Jenis-jenis fungisida sistemik diantaranya golongan oksatin, metalaksil, benzimidazol, fosfat organik, pirimidin, triazol dan strobilurin
Sumardiyono, 2013.
3. Paparan dan Pengaruh Samping Fungisida
a. Pengaruh terhadap lingkungan. Fungisida mengandung racun yang
disamping dapat mengendalikan jamur juga mempunyai pengaruh racun terhadap
lingkungan. Tiap jenis fungisida mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan. Pengaruh terhadap lingkungan tergantung dari daya racun toksisitas,
cara dan kekerapan aplikasi, serta persistensi. Dalam praktik penyemprotan tanaman dengan fungisida, sebagian fungisida ada yang jatuh ke atas tanah sekitar
tanaman. Hal ini menyebabkan tanah sekitar tanaman terpapar fungisida, sehingga dapat mempengaruhi kualitas air tanah yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Pada keadaan cuaca yang beranging kencang, sebagian bahan semprot akan memberikan drift cipratan ke tempat bukan sasaran yang dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan berupa kontaminasi akibat cipratan misalnya akan mencemari sekitar lahan pertanian. Kontaminasi pada lingkungan juga terjadi
akibat dari pencucian alat semprot setelah aplikasi. Pencucian sprayer tidak boleh dilakukan pada saluran air irigasi, sungai kecil atau sumber air lain. Pencucian
dilakukan dengan sisa dibuang jauh dari pemukiman atau tempat bermain anak- anak Sumardiyono, 2013.
b. Pengaruh terhadap organisme tanah. Pestisida yang persisten termasuk
didalamnya fungisida yang persisten, sangat berbahaya bagi tanah dan air tanah. Klasifikasi pestisida yang berbahaya di dalam tanah didasarkan atas
persistensinya. Makin persisten suatu pestisida, maka semakin berbahaya. Umumnya fungisida tidak berbahaya, kecuali PCP dan golongan merkuri
Sumardiyono, 2013. c.
Pengaruh terhadap manusia. Pengaruh terhadap manusia dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Yang bersifat langsung adalah pengaruh terhadap
kesehatan pekerja. Para pekerja dan pemakai fungisida tentu akan terpapar
fungisida sewaktu melakukan aplikasi. Bila fungisida yang diaplikasikan berdaya racun tinggi, akibat terhadap para pekerja menjadi sangat berbahaya. Para pekerja
akan terpapar fungisida melalui udara yang terhirup karena sebagian bahan yang disemprotkan akan terbawa angin dan masuk ke dalam saluran pernafasan. Para
pekerja juga rentan terpapar fungisida bila terjadi kecelakaan atau tumpahan yang mengenai tangan atau kulit. Secara tidak langsung, manusia mendapatkan
kontaminasi fungisida melalui makanan yang kita makan. Manusia mengkonsumsi daging, ikan, sayur, beras, atau produk-produk pertanian yang
lain. Bila produk tersebut mengandung residu pestisida maka manusialah yang akan mendapatkan residu yang paling banyak Sumardiyono, 2013.
C. Difenokonazol
Difenokonazol merupakan fungisida berspektrum luas yang digunakan untuk berbagai penyakit pada berbagai buah, sayur, sereal dan tanaman lainnya.
Fungisida difenokonazol termasuk golongan fungisida triazol yang bekerja secara sistemik dan memiliki daya preventif dan kuratif. Difenokonazol bekerja
menghambat demetilasi selama sintesis ergosterol sehingga menghentikan perkembangan jamur. Difenokonazol merupakan molekul yang berpotensi dapat
bergerak, tidak mudah untuk dicuci karena kelarutan dalam air rendah. Difenokonazol tidak volatil, persisten di dalam tanah dan pada lingkungan akuatik
Anonim
1
, 2015. Nama umum
: difenoconazole Sinonim
: CGA 169374 Nama IUPAC
: 1-[2-[2-chloro-4-4-chloro-phenoxy-phenyl]-4-
methyl[1,3]dioxolan-2-ylmethyl]-1H-1,2,4-triazole Rumus molekul
: C
19
H
17
Cl
2
N
3
O
3
Massa molekul : 406,3
Rumus struktur :
EFSA, 2011.
1. Sifat Fisika Kimia
Bentuk fisik : putih, tidak berbau, bubuk Kristal halus
Titik lebur : 82-83 ºC
Titik didih : 100,8 ºC pada 3,7 mPa
Suhu dekomposisi : 337 ºC
Kepadatan relatif : 1,39 pada 22 ºC
Tekanan uap : 3,32 × 10
-8
Pa pada 25 ºC Kelarutan di dalam air
: 15 mgL pada 25 ºC Log P
ow
koefisien partisi : 4,4 pada 25 ºC
Konstanta disosiasi dalam pK
a
: 1,1 pada 20 ºC Konstanta Henry’s law
: 9,0 × 10
-7
Pa m
3
mol
-1
pada 25 ºC Kelarutan dalam pelarut organik
: Aseton 500 gL
Diklorometan 500 gL
Etil asetat 500 gL
Hexan 3,0 gL
Metanol 500 gL
Oktanol 110 gL
Toluen 500 gL
EFSA, 2011.
2. Toksisitas
Pada toksisitas akut difenokonazol memiliki LD
50
oral pada tikus sebesar 1453 mgkg bb, LD
50
oral pada mencit 2000 mgkg bb, LD
50
dermal pada kelinci 2010 mgkg bb dan LD
50
inhalasi pada tikus 3,3 mgL 4 jam paparan EFSA, 2011.
Pada toksisitas jangka pendek difenokonazol, pada tikus terjadi efek penurunan berat badan dan jantung, penurunan nafsu makan dan minum, liver
pada dosis tinggi setelah paparan secara oral, liver dan tiroid setalah paparan secara dermal. Pada mencit terjadi efek penurunan berat badan, penurunan berat
indung telur, liver pembesaran dan peningkatan berat, vakuolisasi dan koagulasi nekrosis dan pada anjing terjadi penurunan berat badan, liver berat meningkat
dan perubahan secara klinis, pembentukan katarak pada dosis tinggi. NOAEL oral pada rat 20 mgkgbbd 90 hari, mouse : 34 mgkgbbd 90 hari, anjing : 31
mgkgbbd 28 minggu sedangkan NOAEL dermal pada rat
adalah 100
mgkgbbd 28 hari. Difenokonazol mungkin menjadi genotoksik secara in vivo EFSA, 2011.
Pada toksisitas jangka panjang pada Rat terjadi efek penurunan berat badan, liver berat relatif meningkat, hepatosit hipertropi dan pada mouse terjadi
penurunan berat badan, liver berat meningkat, perubahan histopatologi termasuk nekrosis, hipertropi, perubahan lemak dan stasis empedu. Karsinogenisitas
difenokonazol ditunjukkan adanya adenomakarsinoma liver pada mice, hanya pada dosis tinggi, namun difenokonazol dianggap tidak menimbulkan resiko
karsinogenik pada manusia EFSA, 2011. Pada toksisitas reproduksi difenokonazol secara parental dapat
menurunkan berat badan, pada keturunan yang dihasilkan dapat menurunkan berat badan melalui laktasi dan tidak ada efek samping pada reproduksi. NOAEL
parental adalah 16,8 mgkgbbd, NOAEL reproduksi adalah 189 mgkgbbd dan NOAEL keturunan adalah 16,8 mgkgbbd EFSA, 2011.
Toksisitas difenokonazol terhadap perkembangan terjadi efek variasi skeletal rat dan peningkatan jumlah resorpsi rat,rabbit, pada maternal terjadi
efek penurunan berat badan dan nafsu makan rat, kelinci, aborsi dan kematian. NOAEL maternal pada rat adalah 15,6 mgkg bbd, pada kelinci 25 mgkgbbd
serta NOAEL perkembangan pada rat 15,6 mgkg bbd dan pada kelinci 25 mgkgbbd EFSA, 2011.
D. Melon Cucumis melo L.
1. Sejarah Perkembangan Melon
Melon Cucumis melo L. merupakan tanaman buah termasuk famili Curcubitaceae, banyak yang menyebutkan buah melon berasal dari Lembah Panas
Persia atau daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Dan tanaman ini akhirnya tersebar luas ke Timur
Tengah dan ke Eropa. Pada abad ke-14 melon dibawa ke Amerika oleh Colombus
dan akhuirnya ditanam luas di Colorado, California, dan Texas. Akhirnya melon tersebar keseluruh penjuru dunia terutama di daerah tropis dan subtropis termasuk
Indonesia Kemenristek, 2015.
2. Taksonomi Tanaman Melon
Tanaman melon termasuk jenis tanaman labu. Tanaman lain yang masih satu keluarga dengan melon di antaranya semangka, blewah, mentimun, dan
waluh. Secara taksonomi tanaman melon dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae Divisi
: Spermatophyta Subdivisi
: Angiospermae Klas
: Dikotiledoneae Subklas
: Sympetalae Ordo
: Curcubitales Famili
: Curcubitaceae Genus
: Cucumis Spesies
: Cucumis melo L. Redaksi Agromedia, 2007.
3. Sifat dan Ciri Tanaman Melon
a. Bentuk Tanaman. Tanaman melon tumbuh menjalar di atas permukaan
tanah atau seringkali dirambatkan pada turus bambu. Apabila tanaman dibiarkan tumbuh, maka akan membentuk banyak cabang yang muncul dari ketiak daun.
Dari cabang-cabang terebut akan muncul bunga yang akhirnya akan menjadi buah setelah terjadi persilangan antara bunga jantan dan bunga bentina. Tanaman melon
dapat mencapai ketinggian lebih dari 2 m, sehingga dengan demikian perlu
dilakukan pemangkasan. Susunan daun berselang-seling dengan daun yang ada di atasnya Samadi, 2007.
b. Akar. Sistem perakaran pada tanaman melon menyebar tetapi tidak dalam.
Cabang akar dan rambut-rambut akar menyebar ke segala arah sampai dengan kedalaman 15-30 cm Samadi, 2007.
c. Batang. Batang tanaman melon berbentuk segilima dengan sudut-sudut
yang sedikit membulat. Pertumbuhan batang tidak lurus. Batang berstruktur lunak, berbulu, dan berwarna hijau muda. Pada batang utama muncul cabang-cabang
baru yang berkembang ke arah samping Samadi, 2007. d.
Daun. Daun melon memiliki bentuk agak bulat, bersudut lima, dengan tepi daun bergerigi tidak rata dan permukaan yang berbulu. Daun memiliki diameter
10-16 cm. Susunan daun berselang-seling antara daun yang di bawah dengan daun yang tumbuh di atasnya. Pada setiap ketiak daun tumbuh sulur yang berfungsi
sebagai alat untuk menjelar. Panjang tangkai daun berkisar antara 10-17 cm Samadi, 2007.
e. Bunga. Bunga melon berbentuk lonceng, berwarna kuning cerah, mirip
bunga tanaman semangka, memiliki kelopak daun sebanyak 5 buah dan kebanyakan bersifat uniseksual monoesius. Lebah sangat berperan dalam proses
penyerbukannya, sehingga bantuan manusia sudah tidak diperlukan lagi. Bunga- bunga ini muncul hampir pada setiap ketiak tangkai daun. Dalam waktu beberapa
hari, bunga-bunga tersebut akan layu dan gugur, kecuali bunga betina yang telah dibuahi. Bunga yang telah dibuahi akan bertahan dan berkembang hingga menjadi
buah Samadi, 2007.
f. Buah. Buah melon sangat beragam dalam hal ukuran, bentuk buah, rasa,
aroma, dan kenampakan permukaan kulit buahnya. Hal ini sangat tergantung pada varietasnya. Tanaman melon dapat dipanen buahnya pada umur 65-75 hari setelah
pindah tanam, tergantung pada varietas dan ketinggian tempat tumbuhnya. Melon yang ditanam di dataran tinggi berumur lebih panjang daripada yang ditanam di
dataran rendah. Daging buah melon memiliki warna yang bervariasi tergantung pada varietasnya. Ada yang memiliki warna daging buah hijau muda, putih susu,
kuning muda, jingga dan lain-lain Samadi, 2007.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon
a. Iklim
1 Angin yang bertiup cukup keras dapat merusak pertanaman melon,
dapat mematahkan tangkai daun, tangkai buah dan batang tanaman. 2
Hujan yang terus menerus akan menggugurkan calon buah yang sudah terbentuk dan dapat pula menjadikan kondisi lingkungan yang
menguntungkan bagi pathogen. Saat tanaman melon menjelang panen, akan mengurangi kadar gula dalam buah.
3 Tanaman melon memelukan penyinaran matahari penuh selama
pertumbuhannya. 4
Tanaman melon memerlukan suhu yang sejuk dan kering untuk pertumbuhannya. Suhu pertumbuhan untuk tanaman melon antara 25
– 30 °C. Tanaman melon tidak dapat tumbuh apabila kurang dari 18 °C.
5 Kelembaban udara secara tidak langsung mempengaruhi
pertumbuhan tanaman melon. Dalam kelembaban yang tinggi tanaman melon mudah diserang penyakit Kemenristek, 2015.
b. Media Tanam
1 Tanah yang baik untuk budidaya tanaman melon ialah tanah liat
berpasir yang banyak mengandung bahan organik untuk memudahkan akar tanaman melon berkembang. Tanaman melon
tidak menyukai tanah yang terlalu basah. 2
Tanaman melon akan tumbuh baik apabila pH-nya 5,8 – 7,2. 3
Tanaman melon pada dasarnya membutuhkan air yang cukup banyak. Tetapi, sebaiknya air itu berasal dari irigasi, bukan dari air
hujan Kemenristek, 2015. c.
Ketinggian Tempat. Tanaman melon dapat tumbuh dengan cukup baik pada ketinggian 300–900 meter dpl. Apabila ketinggian lebih dari 900
meter dpl tanaman tidak berproduksi dengan optimal Kemenristek, 2015.
5. Kandungan Buah Melon
Kandungan gizi buah melon dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Kandungan dan Komposisi Gizi Buah Melon tiap 100 gram Bahan Roe, 2013
Komposisi Gizi Banyaknya Jumlah
Energi 29 kcal.
Protein 0,50 gram
Lemak 0,10 gram
Karbohidrat 6,8 gram
Serat 0,70 gram
Abu 0,70 gram
Kalsium 6 mg
Fosfor 6 mg
Kalium 180,00 mg
Zat besi 0,18 mg
Natrium 11 mg
Thiamin 0,07 mg
Riboflavin 0,01 mg
Vitamin B
6
0,07 mg Vitamin C
8,0 mg Niacin
0,40 mg Air
91,0 gram
6. Cara Budidaya Melon
a. Pembibitan. Melon termasuk tanaman yang tidak terlalu menuntut media
semai yang khusus untuk pembibitannya. Benih disemai di polybag dan akan tumbuh menjadi calon bibit dan harus mendapatkan pemeliharaan yang baik agar
menjadi bibit melon yang sehat dan kekar. Bibit dipersemaian di siram setiap pagi hari mulai dari kecambah belum muncul sampai bibit muncul kepermukaan tanah.
Saat menyemprot untuk penyiraman jangan terlalu kuat karena akan mengikis tanah media dan melemparkan benih atau kecambah keluar dari polibag. Apabila
daun sejati keluar, penyiraman bibit baru dapat dilakukan embrat atau gembor. Saat cuaca panas, tanah pada polybag kering dan penyiraman perlu diulangi pada
sore hari, jangan menyiram bibit tanaman pada siang hari karena akan menyebabkan air dan zat-zat makanan tidak dapat terserap akibatnya bibit
menjadi kurus, kering dan layu Kemenristek, 2015. Bibit melon dipindahkan ke lapangan apabila sudah berdaun 4–5 helai atau tanaman melon telah berusia 10–
12 hari. Cara pemindahan tidak berbeda dengan cara pemindahan tanaman lainnya, yaitu kantong plastik polibag dibuang secara hati-hati lalu bibit berikut
tanahnya ditanam pada bedengan yang sudah dilubangi sebelumnya, bedenganpun jangan sampai kekurangan air Kemenristek, 2015.
b. Persiapan Pengolahan Media Tanam. Sebelum bibit melon dipindahkan ke
lapangan maka perlu dilakukan pengukuran pH tanah, analisis tanah, penetapan waktujadwal tanam, penetapan luas areal penanaman, dan pengaturan volume
produksi. Penetapan waktu tanam berkaitan dengan perkiraan waktu panen suatu varietas melon yang ditanam dan waktu panen varietas melon lainnya. Penetapan
luas penanaman berkaitan erat dengan pemilikan modal, luas lahan yang tersedia, musim dan permintaan pasar. Tanaman melon yang diusahakan di lahan terbuka
di musim hujan akan rusak terserang penyakit karena terguyur hujan terus- menerus. Maka penanaman melon di musim hujan lebih diarahkan dengan sistem
hidroponik Kemenristek, 2015.
c. Pembukaan Lahan. Untuk penanaman melon lahan dilakukan pembajakan.
Untuk pencangkulan dan penggarukan, keadaan tanahnya harus cukup kering karena kita bisa mudah membentuk tanah yang semula berbongkah-bongkah dan
cukup liat, tanah yang beremah-remah dan cukup sarang mudah diserap air. Dengan tanah tersebut akan menguntungkan tanaman. Selain perakarannya mudah
menembus tanah, juga akan mudah bernapas Kemenristek, 2015. d.
Pembentukan Bedengan. Selama 5–7 hari lahan dibiarkan kering setelah dibajak atau dibalik. Proses ini akan membuat tanah menjadi lengket dan
berbongkah sehabis dibajak menjadi agak hancur karena mengalami proses pengeringan matahari dan penganginan. Selama proses tersebut beberapa senyawa
kimia yang beracun dan merugikan tanaman dan akan hilang perlahan-lahan. Setelah kering, bongkahan tanah dibuat petakan dengan tali rafia untuk
membentuk bedengan dengan ukuran panjang bedengan maksimum 12–15 m; tinggi bedengan 30–50 cm; lebar bedengan 100–110 cm; dan lebar parit 55–65
cm. Bedengan dibentuk dengan cara mencangkuli bongkahan tanah menjadi struktur tanah yang remahgembur. Bila telah bentuk bedengan terlihat, baik itu
bedengan kasarsetengah jadi bedengan tersebut dikeringanginkan lagi selama seminggu agar terjadi proses oksidasipenguapan dari unsur-unsur beracun ada
hingga menghilang tuntas. Dengan panjang maksimum 15 m tersebut akan memudahkan perawatan tanaman dan mempercepat pembuangan air, terutama di
musim hujan. Tinggi bedengan dibuat sesuai dengan musim dan kondisi tanah. Pada musim hujan tinggi bedengan 50 cm agar perakaran tanaman tidak terendam
air jika hujan deras. Dan pada musim kemarau tinggi bedengan cukup 30 cm,
karena untuk memudahkan perawatan pada saat bedengan digenangi. Parit dibuat dengan lebar 55–65 cm adalah untuk memudahkan perawatan pada saat
penyemprotan, pemasangan ajir, maupun penalian Kemenristek, 2015. e.
Pemasangan Mulsa Plastik Hitam-Perak PHP. Mulsa PHP yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan berwarna perak di bagian atas dan warna hitam
dibagian bawah dengan berbagai keuntungan. Warna perak pada mulsa akan memantulkan cahaya matahari sehingga proses fotosintesis menjadi lebih optimal,
kondisi pertanaman tidak terlalu lembab, mengurangi serangan penyakit, dan mengusir serangga-serangga penggangu tanaman. Sedangkan warna hitam pada
mulsa akan menyerap panas sehingga suhu di perakaran tanaman menjadi hangat, akibatnya perkembangan akar akan optimal. Selain itu warna hitam juga
mencegah sinar matahari menembus ke dalam tanah sehingga benih-benih gulma tidak akan tumbuh kecuali teki dan anak pisang. Pemasangan mulsa sebaiknya
dilakukan pada saat panas matahari terik agar mulsa dapat memuai sehingga menutup bedengan dengan tepat. Teknis pemasangannya cukup oleh 2 orang
untuk satu bedengan. Setelah selesai pemasangan, bedengan-bedengan dibiarkan tertutup mulsa PHP selama 3 – 5 hari sebelum dibuat lubang tanam. Tujuan agar
pupuk kimia yang diberikan dapat berubah menjadi bentuk tersedia sehingga dapat diserap tanaman Kemenristek, 2015.
f. Teknik Penanaman. Untuk membuat lubang tanam dengan menggunakan
pelat pemanas atau memanfaatkan bekas kaleng susu kental. Plat pemanas yang berupa potongan besi dengan diameter 10 cm, dibuat sedemikian rupa hingga
panas yang ditimbulkan dari arang yang dibakar mampu melubangi mulsa PHP
dengan cepat. Model penanaman dapat berupa dua baris berhadap-hadapan membentuk segi empat dua baris berhadap-hadapan membentuk segi tiga. Bibit
yang telah di semai ± 3 minggu dipindahkan ke dalam wadah besar beserta medianya. Akar tanaman diusahakan tidak sampai rusak saat menyobek polibag
kecil. Cetakan tanah yang telah berisi bibit melon, diletakkan pada lubang yang telah ditugal dan diusahakan agar tidak pecahhancur karena bisa mengakibatkan
kerusakan akar dan tanaman akan layu jika hari panas Kemenristek, 2015. g.
Pemeliharaan Tanaman. Pemupukan diberikan sebanyak 3 kali, yaitu 20 hari setelah ditanam, tanaman berusia 40 hari ketika akan melakukan penjarangan
buah dan pada saat tanaman berusia 60 hari saat menginjak proses pematangan. Untuk memudahkan dalam pemupukan, dibuat data mengenai rangkaian
pemupukan sejak awal. Tanaman melon menghendaki udara yang kering untuk pertumbuhannya, tetapi tanah harus lembab. Pengairan harus dilakukan jika hari
tidak hujan. Pengairan dilakukan pada sore atau malam hari. Tanaman di siram sejak masa pertumbuhan tanaman, sampai tanaman akan dipetik buahnya. Saat
menyiram jangan sampai air siraman membasahi daun dan air dari tanah jangan terkena daun dan buahnya. Tujuannya adalah supaya tanaman tidak dijangkiti
penyakit yang berasal dari percikan tersebut, kalau daun basah kuyup akan mengundang jamur sangat besar. Penyiraman dilakukan pagi-pagi sekali atau
malam hari. Oleh karena itu ada pengairan di sekitar kebun besar sekali manfaatnya Kemenristek, 2015.
h. Pemeliharaan Lain. Ajir atau tongkat dari kayu atau bilahan bambu, untuk
rambatan dapat dipasang setelah selesai membuat pembubunan dan selesai
mensterilkan kebun. Atau dapat juga ajir dipasang sesudah bibit ditanam, dan bibit sudah mengeluarkan sulur-sulurnya kira-kira tingginya adalah 50 cm. Ajir
harus terbuat dari bahan yang kuat sehingga mampu menahan beban buah dengan bobot kira-kira 2–3 kg. Tempat ditancapkannya ajir dengan jarak kira-kira 25 cm
dari pinggir gulu dan baik kanan maupun kiri. Supaya ajir lebih kokoh lagi, kita bisa menambahkan bambu panjang yang diletakkan di bagian pucuk segitiga
antara bambu atau kayu yang menyilang, mengikuti barisan ajir-ajir di belakangnya. Pemangkasan yang dilakukan pada tanaman melon bertujuan untuk
memelihara cabang sesuai dengan yang dikehendaki. Tinggi tanaman dibuat rata- rata antara titik ke-20 sampai ke-25 bagian ruas, cabang atau buku dari tanaman
tersebut. Pemangkasan dilakukan kalau udara cerah dan kering, supaya bekas luka tidak diserang jamur. Waktu pemangkasan dilakukan setiap 10 hari sekali,
yang paling awal dipangkas adalah cabang yang dekat dengan tanah dan sisakan dua helai daun, kemudian cabang-cabang yang tumbuh lalu dipangkas dengan
menyisakan 2 helai daun. Pemangkasan dihentikan, jika ketinggian tanamannya sudah mencapai pada cabang ke-20 atau 25 Kemenristek, 2015,.
i. Panen. Tandaciri penampilan tanaman siap panen adalah ukuran buah
sesuai dengan ukuran normal, serat jala pada kulit buah sangat nyatakasar, dan warna kulit hijau kekuningan, umur Panen ± 3 bulan setelah tanam, waktu
Pemanenan yang baik adalah pada pagi hari. Cara panen adalah potong tangkai buah melon dengan pisau, sisakan minimal 2 cm untuk memperpanjang masa
simpan buah, tangkai dipotong berbentuk huruf “T” maksudnya agar tangkai buah utuh dan kedua sisi atasnya merupakan tangkai daun yang telah dipotong
daunnya, pemanenan dilakukan secara bertahap, dengan mengutamakan buah yang benar-benar telah siap dipanen Kemenristek, 2015.
7. Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Melon
Tanaman melon merupakan tanaman yang rentan terhadap berbagai serangan penyakit dan hal ini akan berakibat pada hasil buah yang diproduksi
Nuryanto, 2007. Jenis penyakit yang sering muncul pada tanaman melon adalah penyakit jamur atau cendawan dan kekeringan Anonim, 2014. Tanaman melon
memang membutuhkan kelembaban udara yang tinggi pada awal fase pertumbuhannya yaitu dari perkecambahan benih. Pada fase dewasa, tanaman
memerlukan kelembaban udara lebih rendah disbanding pada fase pertumbuhan awal. Sementara kelembaban yang tinggi dan kualitas sirkulasi udara yang buruk
dapat mengakibatkan tanaman mudah terserang penyakit, karena dengan kelembaban yang tinggi maka orgaisme penyebab penyakit seperti cendawan atau
jamur dapat tumbuh dan mempengaruhi kondisi tanaman Nuryanto, 2007. Penyakit patek atau antraknosa merupakan salah satu jenis penyakit
tanaman yang sering merepotkan petani atau pembudidaya. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan patek atau antraknosa ini terbilang sangat besar,
bahkan tidak jarang penyakit ini menimbulkan kegagalan panen. Penyakit ini sangat sulit dikendalikan terutama jika kelembaban areal pertanaman sangat
tinggi. Penyakit patek atau antraknosa disebakan oleh serangan cendawan.
Penyakit ini terutama menyerang pada saat kelembaban udara tinggi dan suhu rendah. Penyebaran spora dan miselium cendawan penyebab antraknosa sangat
cepat. Serangan sangat hebat terjadi pada saat kelembaban di atas 95 dan suhu udara dibawah 32 °C. Jenis cendawan yang paling sering menyebabkan timbulnya
penyakit antraknosa adalah Colletrotichum sp. Nama cendawan Colletrotichum sp menjadi momok yang paling menakutkan terutama di daerah subtropis dan
daerah tropis seperti Indonesia. Penyakit ini terutama sering menyerang tanaman melon Kurnianti, 2013.
Penyakit antraknosa menyerang semua bagian tanaman yang ditandai dengan adanya bercak agak bulat berwarna cokelat muda, lalu berubah menjadi
cokelat tua sampai kehitaman. Gejala lain adalah bercak bulat memanjang berwarna kuning atau cokelat. Buah yang terserang akan nampak bercak agak
bulat dan berlekuk berwarna cokelat tua, disini cendawan akan membentuk massa spora berwarna merah jambu. Pengendalian secara kimiawi menggunakan
fungisida sitemik dengan bahan aktif yang bisa digunakan adalah difenokonazol Oktara, 2014.
E. Laju Disipasi Residu Pestisida
Seperti halnya pestisida yang lain, fungisida juga meninggalkan residu pada berbagai komoditas pertanian, lingkungan dan manusia. Residu adalah sisa
pestisida yang masih terdapat di lingkungan, produk tanaman atau bahan lain setelah mengalami degradasi. Adanya residu akan berpengaruh terhadap
lingkungan dan kesehatan. Untuk menjaga kesehatan masyarakat, oleh pemerintah ditetapkan angka MRLs Maximum Residue Limits yaitu batas maksimum residu
yang masih diperbolehkan pada komoditas pertanian Sumardiyono, 2013.
Di Indonesia masalah residu fungisida juga telah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat. Hal ini terkait dengan meningkatnya produk
ekspor maupun impor beberapa komoditas hortikultura. Oleh karena itu, data analisis residu berbagai komoditas tetap diperlukan untuk memenuhi syarat
sertifikasi bahan ekspor. Ekspor komoditas hasil pertanian yang mengandung residu fungisida di atas MRL ada kemungkinan akan ditolak oleh negara
pengimpor yang mempunyai persyaratan yang ketat Sumardiyono, 2013. Residu dapat hilang atau terurai dan faktor-faktor yang mempengaruhi
hilangnya residu di lingkungan adalah penguapan, pencucian, penyerapan terabsorpsi, mengalami reaksi, degradasi, titik-titik semprot yang terbawa oleh
angin spray drift, dan run off.
Gambar 1. Jalur Penyebaran atau Hilangnya Pestisida Anonim
2
, 2015
Adsorpsi adalah pengikatan pestisida oleh partikel tanah. Jumlah pestisida yang teradsorpsi dengan tanah bergantung pada jenis pestisida, jenis
tanah, kelembaban, pH tanah, dan tekstur tanah. Pestisida sangat teradsorpsi dengan tanah liat atau kandungan bahan oraganik yang tinggi. Pestisida tidak
cukup kuat teradsorpsi pada tanah berpasir Anonim
2
, 2015.
Penguapan adalah proses padatan atau cairan berubah menjadi gas yang dapat bergerak jauh dari tempat aplikasi. Penguapan pestisida paling mudah
terjadi pada tanah berpasir dan tanah yang basah. Cuaca yang panas, kering atau berangin dan droplet semprot yang kecil dapat meningkatkan terjadinya
penguapan Anonim
2
, 2015. Spray drift adalah gerakan droplet-droplet titik-titik semprot menjauhi
tempat aplikasi oleh udaraangin. Spray drift dipengaruhi oleh : a.
Ukuran droplettetesan semprot, semakin kecil ukuran tetesan maka akan lebih mudah terbawa udara.
b. Kecepatan angin, semakin kuat angin maka petisida yang disemprotkan akan
mudah terbawa oleh angin. c.
Jarak antara nozel dengan tanaman target atau tanah, semakin jauh jarak maka angin semakin mempengaruhi semprotan Anonim
2
, 2015. Adanya titik-titik semprot yang terbawa oleh angin dapat
mengkontaminasi tanaman didekatnya atau tanaman yang siap panen. Selain itu, titik semprot yang terbawa angin dapat mencemari air kolam, sungai, selokan,
ikan atau tanaman dan hewan akuatik lainnya. Pastisida yang mengalami spray drift yang berlebihan akan mengurangi aplikasinya ke tanaman target dan
mengurangi efektivitas pestisida Anonim
2
, 2015. Pencucian adalah perpindahan pestisida oleh air ke dalam tanah. Faktor-
faktor yang mempengaruhi apakah pestisida tercuci ke tanah adalah interaksi pestisida dengan air hujan. Pencucian akan meningkat ketika :
a. Pestisida dapat larut dalam air
b. Tanah berpasir
c. Terjadi hujan tidak lama setelah penyemprotan
d. Pestisida tidak terikat kuat dengan tanah Anonim
2
, 2015. Karakterisasi tanah sangat penting terhadap perpindahan pestisida. Tanah
liat memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengadsorpsi banyak bahan kimia seperti pestisida. Tanah berpasir memiliki kapasitas yang jauh lebih rendah untuk
menyerap pestisida. Bahan organik di dalam tanah juga dapat menyerap pestisida. Pestisida akan cenderung berpindah pada volume air hujan yang besar dengan
interval yang lebih sering Anonim
2
, 2015. Penyerapan absorpsi adalah masuknya pestisida dan bahan kimia
lainnya ke dalam jaringan tanaman atau mikroorganisme. Sedangkan degradasi adalah proses perusakan pestisida setelah aplikasi. Pestisida dapat terpecah karena
mikroba, reaksi kimia, dan cahaya atau fotodegradasi. Proses ini dapat berlangsung dimana saja pada jam, hari bahkan tahun tergantung pada kondisi
lingkungan dan karakteristik kimia dari pestisida. Pestisida yang pecah dengan cepat umumnya tudak bertahan pada lingkungan atau tanaman. Proses degradasi
dapat terjadi karena : a.
Mikrobia, adalah pemecehan pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi, bakteri dan protozoa. Degradasi oleh mikrobia dapat meningkat ketika suhu
hangat, pH menguntungkan, kondisi yang lembab dan kesuburan tanah baik yang berarti banyaknya bahan organik Gardner, 2015.
b. Kimiawi, adalah pemecahan pestisida oleh reaksi kimia di dalam tanah.
Tingkat dan jenis reaksi kimia yang terjadi dipengaruhi oleh ikatan pestisida dengan tanah, suhu tanah dan pH tanah.
c. Fotodegradasi, adalah pemecahan pestisida oleh sinar matahari. Semua
pestisida rentan terhadap fotodegradasi sampai batas tertentu. Tingkat pemecahan dipengaruhi oleh intensitas dan spectrum sinar matahari, lama
penyinaran, dan sifat pestisida Anonim
2
, 2015. Konsentrasi residu pestisida yang dapat dianggap aman yakni bila telah
95 terdisipasi dari dosis awal yang diaplikasikan. Suatu pestisida perlu ditetapkan dalam hal ini nilai DT
50
, yaitu waktu yang dibutuhkan suatu pestisida untuk mengalami proses disipasi sehingga kadarnya menjadi separo dari kadar
awal yang diaplikasikan. Nilai DT
50
ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penilaian keamanan residu pestisida. Standar keamanan untuk setiap residu
pestisida dalam setiap komoditi pertanian disebut dengan batas maksimum residu BMR, Maximum Residue Limits, MRLs Noegrohati, 2008.
F. Iklim Tropis Daerah Istimewa Yogyakarta