Pengalaman traumatis Setelah Erupsi End

Namun, sebelum erupsi, biasanya muncul tanda-tanda terlebih dahulu. Oleh karena itu, ketika Merapi erupsi pada tanggal ada tanggal 26 Oktober 2010 Ibu Pur tidak begitu cemas. Baginya erupsi pada tanggal tersebut tidak terlalu membahayakan I bu Pur beserta para tetangganya. Menurut Ibu Pur ―Merapi mau meletus, tanda-tandanya belum lengkap. ‖ Erupsi tanggal tanggal 26 Oktober 2010 ini bukanlah puncak. Secara gradual aktivitas Merapi semakin meningkat. Mulailah Ibu Pur mengamati perubahan berkaitan dengan Merapi. Pada tanggal 4 November 2010, Ibu Pur menggambarkan bahwa ―siang itu udah gempa, terus langit gelap, terus ada abu sedikit .‖ Bagi Ibu Pur, ini adalah tanda-tanda Merapi akan erupsi kembali. Dan benar, pada tanggal 5 November 2010 dinihari, Merapi kemudian menunjukkan kekuatannya. Ibu Pur ―merasa seperti mau meninggal‖. D itambah lagi dengan ―suara halilintar yang tidak biasa‖ membuat suasana Merapi malam itu semakin muram. Kekuatan erupsi Merapi yang tidak seperti biasa ini bagi Ibu Pur benar- benar tidak terduga. Meskipun Ibu Pur tahu bahwa Merapi akan erupsi, namun ―akan meletus besar itu nggak tahu‖. Kekuatan erupsi Merapi yang tidak seperti biasanya ini menciptakan keadaan yang benar-benar chaos pada dirinya. Tidak heran apabila dia merasa seperti akan mati. Keadaan yang begitu seram lagi muram yang membuat Ibu Pur goyah. Kegoyahan ini mendorong Ibu Pur untuk mencari pegangan. Dalam kesehariannya, Ibu Pur selalu berpegang pada suaminya. Begitu juga kali ini. Sebagai tipe orang yang ―manut suami‖, Ibu Pur mempercayakan segala sesuatu kepada suaminya. Ibu Pur merasa aman ketika bersama suaminya. Seakan-akan suami menjadi perwujudan Allah secara fisik. Selain berpegang pada suaminya, Ibu Pur juga mengatasi keadaannya lewat berdoa. Ibu Pur terus sholawat dan istighfar. Baginya berdoa dapat mengatasi kecemasan terhadap keadaan. Selain itu, berdoa juga merupakan perwujudan kepasrahan manusia terhadap Allah. Allah sendiri digambarkan oleh Ibu Pur seba gai Yang Maha ―Sak Karepe Dewe‖. Allah adalah Dia yang berkuasa atas setiap nasib manusia. Dengan kehendakNya semua bisa terjadi, kata-kataNya adalah kebenaran. Suatu saat, seperti kata Allah yang berkuasa itu, kiamat akan terjadi dan ketika itu pula orang-orang akan seperti gabah diinteri. Setiap orang tidak peduli dengan anaknya dan hanya lari menyelamatkan diri. Kedekatan kehidupan Ibu Pur dengan agama membuat Ibu Pur memasrahkan segala sesuatu dalam kehendak Allah. Semua kehendak adalah kehendak Allah, seharusnya manusia mendekatkan dan takut kepada Allah. Begitu juga Merapi, ia adalah ciptaan Allah yang bermanfaat. Dengan demikian, erupsi yang mengerikan ini pun juga kehendak Allah. Kekuasaan Allah atas erupsi yang begitu dahsyat ini semakin membuat Ibu Pur berpasrah dan yakin bahwa Allah begitu Maha Kuasa. Meskipun Ibu Pur telah berpasrah pada suami dan Allah, namun bukan berarti Ibu Pur tidak mengalami pengalaman traumatis. Suara mengerikan yang terdengar ―gludak-gluduk‖ di perut bumi dan halilintar yang tak kunjung habisnya membuat Ibu Pur merasa ngeri. Ibu Pur tidak melihat maupun bersentuhan langsung dengan uap maupun lahar Merapi, oleh karena itu ketakutan traumatis yang muncul adalah berkaitan dengan suara. Meskipun hanya sekadar membayangkan suasana saat erupsi dulu, Ibu Pur tetap merasa takut dengan keadaan tersebut; takut akan kuasa Allah yang begitu besar. Meskipun kecemasan dan ketakutan terus menghantui, namun baginya, suami adalah orang yang dapat dipercaya. Keputusannya untuk tidak mengungsi sesuai amanat suaminya berbuah pada keselamatannya. Keselamatan dirinya ini membuktikan bahwa keyakinan terhadap suaminya yang menetukan nasibnya tidaklah salah. Sedangkan pada subyek kedua, Ibu Mur, menggambarkan dirinya seolah menjadi seorang pembaca tanda. Ibu Mur tinggal di Kinahrejo, sebuah dusun yang hilang ditelan material dan awan panas Merapi. Kehidupannya sangat dekat dengan Merapi dan erupsi. Sebagai orang yang telah biasa mengalami erupsi Merapi, Ibu Mur memprediksi bahwa erupsi 2010 tidak seperti biasanya. Lelehan lava merah bara di puncak Merapi memutuskan Ibu Mur untuk mengungsi dari Kinahrejo ke lokasi yang lebih aman. Sebagai penduduk Kinahrejo yang secara geografis sangat dekat dengan Merapi, Ibu Mur hidup berdasarkan pada kearifan lokal. Kearifan lokal yang dimaksud adalah berupa kepercayaan terhadap mitos Merapi. Mitos berupa adanya mahkluk ―tak terlihat‖ yang mendiami Merapi masih kuat menempel pada dirinya. Selain itu, hal- hal tabu seperti ―merapi tidak boleh dikatakan njeblug, mbledos atau ada wedus gembel, tapi Merapi dalam proses membangun‖ juga masih melekat dalam dirinya. Kearifan lokal dan