Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD

 Penderita atau korban melakukan berbagai macam cara untuk menghindari munculnya pikiran, perasaan atau percakapan yang terkait dengan trauma tersebut atau menghindari aktivitas, tempat, atau orang- orang yang dapat menyebabkan anda mengingat trauma tersebut  Penderita atau korban tidak dapat menngingat aspek penting yang terjadi pada peristiwa tersebut  Minat dan partisipasi dalam aktivitas menjadi jauh berkurang  Penderita atau korban merasa terasing dari orang lain  Kemampuan penderita atau korban untuk merasakan emosi dan jumlah emosi yang dirasakan menjadi terbatas misalnya: ia tidak dapat merasakan perasaan mencintai  Penderita atau korban mengalami perasaan dimana pandangan terhadap masa depan menjadi terbatas. Penderita atau korban tidak dapat melihat jauh ke masa depan misalnya: ia tidak memiliki pengharapan untuk memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau usia yang normal d. Seseorang juga memiliki gejala persisten berupa rangasangan fisik yang meningkat yang tidak ada muncul sebelum terjadinya trauma seperti yang diindikasikan oleh dua atau lebih hal berikut ini:  Sulit tidur atau sulit untuk tetap tidur  Mudah tersinggung atau kemarahan yang meluap  Sulit berkonsentrasi  Waspada yang berlebihan  Respons kaget yang berlebihan penderita atau korban mudah kaget e. Gejala tersebut berlangsung lebih dari sebulan f. Karena gejala ini, penderita atau korban mengalami stres dan gangguan dan fungsi sosial, kerja dan area yang penting lainnya. PTSD dianggap akut jika gejala-gejala tersebut telah berlangsung kurang dari tiga bulan dan dianggap kronis jika gejala telah berlangsung selama tiga bulan atau lebih. PTSD dianggap sebagai serangan yang tertunda jika gejala mulai muncul setidaknya setelah enam bulan setelah terjadinya peristiwa traumatis tersebut. Jika seseorang hanya memiliki beberapa gejala- gejala yang tersebut di atas maka ia baru bisa disebut sebagai penderita PTSD parsial. Dalam sebuah jurnal psikologi dikatakan bahwa perbedaan dari orang yang hanya mengalami tekanan untuk sementara dalam bagian kehidupannya dengan orang yang mengalami PTSD, secara mendasar dan sederhana dikatakan bahwa orang tidak mengalami PTSD apabila orang tersebut mampu untuk memulai mengelola hidupnya kembali ―berdampingan‖ dengan trauma yang mereka alami. Jadi, pada orang yang mengalami PTSD terdapat proses mengumpulkan kembali memori recollection yang mengganggu secara terus menerus persistent pasca terjadinya peristiwa traumatis. Persistent recollection terhadap kejadian-kejadian traumatis yang dialami dan dilakukan dengan sadar bukan diluar kendali tersebut biasanya akan mendorong gangguan secara biologis dan psikologis, yang merupakan bagian dari PTSD Sulastri, 2007. Komponen lain yang membuat sebuah peristiwa traumatis dapat menjadi gangguan adalah penilaian subyektif dari penyintas terhadap seberapa parah mereka merasa tertekan, terancam atau merasa tidak berdaya oleh adanya pengalaman tersebut. Jadi, meskipun fakta adanya pengalaman yang tidak biasa extraordinary atau unusual bisa disebut sebagai inti dari munculnya PTSD, namun arti meaning yang dilekatkan penyintas terhadap peristiwa tersebut juga bisa menjadi bagian paling mendasar dari gangguan yang dialami Herman, 1992. Proses interpretasi seseorang terhadap arti dari peristiwa traumatis biasanya akan terus terjadi terhadap trauma yang pernah dialami, walaupun peristiwa itu sendiri telah berhenti. Gejala khas dari PTSD dimulai dari fase, di mana bayangan-bayangan kejadian traumatis seperti terulang kembali flashback atau bayangan kejadian tersebut muncul kembali dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan ―beku‖ daze dan penumpukan emosi emotional numbness, menjauhi orang lain, tidak responsive terhadap lingkungan, tidak mampu merasakan perasaan senang anhedonia, serta menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya avoidance. Selain itu, juga muncul ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang meningkatkan kembali pada trauma yang pernah dialami.Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi bisa terjadi reaksi yang dramatis hyperarousal, seperti mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dimunculkan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang pernah dialaminya serta memunculkan reaksi asli terhadap trauma itu. Hyperarousal seperti ini pada dasarnya jarang terjadi, namun simptom hyperarousal menjadi salah satu simptom kuat adanya gangguan PTSD. Munculnya PTSD harus didahului dengan dengan adanya traumatis, dengan masa laten belum menampakkan secara nyata simtom-simtom PTSD, namun sudah mulai menjangkiti yang berkisar antara beberapa minggu hingga beberapa bulan, jarang melampaui 6 bulan. PTSD tidak terbatas pada salah satu jenis peristiwa traumatis tak terkecuali peristiwa traumatis yang diakibatkan karena faktor alam disaster. Disaster dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa.Tekanan luar biasa yang dimaksud adalah peristiwa traumatis yang menyebabkan adanya ancaman serius terhadap hidup atau integritas diri tubuh, atau pengalaman berhadapan langsung dengan kematian dan kehilangan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara signifikan terkait dengan stres pascatrauma Gist Lubin, 1999. Pengalaman- pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan dimana pengalaman itu melebihi situasi stres yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kondisi wajar maka itu bisa dikatakan sebagai pengalaman traumatik Sidabutar dkk., 2003. Terkadang digunakan istilah stres pascabencana untuk merujuk pada stres pascatrauma yang disebabkan oleh bencana. Pada peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu ada cukup banyak penyintas mengalami PTSD, hal itu mungkin terjadi karena mereka melihat sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan kehilangan semua harta bendanya. Situasi traumatis seperti itu akan memblokir sistem normal sehingga membuat orang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan lingkungannya serta arti Williams Poijula, 2002. Dalam pengalaman penulis, gejala-gejala PTSD pada penyintas pada erupsi Merapi 2010 silam nampak secara kuat. Respons keterkejutan cenderung bertahan lebih lama dibandingkan gejala lainnya. Penyintas biasanya menampilakan respons berlari, wajah pucat atau keterkejutan yang lainnya apabila mendengar atau melihat stimulus yang mirip atau ada hubungannya dengan peristiwa traumatis, misalnya: berlari bila mendengar suara gemuruh atau pucat ketika melihat api. Pada kasus erupsi Merapi, wanita memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik daripada laki-laki. Oleh karena itu, penulis mengambil wanita sebagai subyek dalam penelitian ini.Wanita memiliki karakteristik personal yang menonjol seperti kreativitas, dan kompetensi sosial Kelly dalam Handayani Novianto, 2007.Wanita juga memiliki kemampuan berempati, kemampuan untuk melihat makna dari suatu kejadian, sikap realistis melihat situasi diri dan lingkungannya sebagai ciri dari individu-individu yang lentur. Wanita cenderung memiliki kemampuan untuk membangun hubungan positif dengan orang lain atau ―keterampilan sosial‖. Dalam kasus ini, penulis menemukan bahwa ketika bencana terjadi para ibu masih bisa memikirkan dan mengurusi anak serta anggota keluarga yang lain. Wanita memiliki kemampuan untuk mencari berbagai alternatif dalam berbagai masalah atau ―keterampilan memecahkan masalah‖, misalnya: ketika para laki-laki masih bingung karena lahan pertanian mereka hilang atau belum bisa ditanami, para wanita mencari alternatif untuk mendapatkan rejeki dengan membuka warung atau menjual kebutuhan para wisatawan disekitar rumah mereka yang hancur. Wanita mempunyai kemampuan untuk percaya pada kemampuan diri dan mandiri atau ―kemandirian‖. Para wanita yang kehilangan suami atau pasangan hidupnya karena menjadi korban keganasan erupsi Merapi tetap mampu mengurusi anak dengan melakukan aktivitas ekonomi, misalnya: memecah batu, menjadi buruh pada proyek-proyek, bertani, berdagang dan pemandu wisata.

C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi

Sejarah mencatat, pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi bencana alam yang pernah terjadi terbukti lebih cepat bangkit melakukan pembenahan pasca bencana alam gempa bumi 2006. Dalam tulisan ini, penulis membahasakan hal tersebut bahwa masyarakat Yogyakarta cenderung resilien. Faktor penting yang perlu kita gali adalah dukungan nilai- nilai filosofis yang terkandung dalam kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat Yogyakarta. Salah satu landasan filosofi yang berkembang dalam masyarakat Yogyakarta adalah ―Memayu Hayuning Bawana‖ menghiasi dunia. Narasi Memayu Hayuning Bawana tersebut terealisasi dalam Hamemasuh Memalaning Bumi . Dalam arti bebas Memalaning Bumi dapat kita tafsirkan sebagai bencana alam erupsi Merapi. Falsafah lain yang dipegang dan dihidupi oleh masyarakat Jawa adalah Hangengasah Mingising Budi yang dapat kita artikan sebagai upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi manusia sehingga dari waktu ke waktu dapat menyinergikan kehidupan manusia dengan alam, manusia dengan manusia yang lain dan manusia dengan Tuhan-nya sehingga dapat mencapai keharmonisan di dunia ini Mulder, 2007. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa mengedepankan sikap kehati-hatian, harmoni dan melestarikan alam. Narasi Hangengasah Mingising Budi terealisasikan antara lain dengan kegiatan labuhan, merti dusun, dan slametan yang sudah menjadi tradisi masyarakat lereng gunung Merapi. Slametan berasal dari kata Slamet yang berarti selamat.Dengan demikian Slametan bertujuan untuk menjaga keselamatan dan ketentraman masyarakat dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang berbahaya. Selain dua falsafah besar tersebut di atas, masyarakat Jawa juga mengenal istilah sepi ing pamrih rame ing gawe tidak mementingkan diri sendiri, giat bekerja. Ini adalah ungkapan pokok bagi gaya hidup masyarakat Jawa Kejawen yang mengedepankan perilaku dan sikap sabar, nrimo, eling- waspada, andhap asor dan prasaja Mulder, 2007. Pada peristiwa traumatis erupsi Merapi 2010, solidaritas sosial orang jawa tersebut terlihat secara nyata. Masyarakat bergerak dengan cepat, banyak relawan yang berasal dari masyarakat sendiri yang bahu membahu membantu masyarakat korban erupsi Merapi 2010 dengan mengadakan penggalangan bantuan yang kemudian didistribusikan langsung kepada penyintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa komunitas lokal mempunyai kecerdasan lokal dan lebih cepat tanggap dibanding pemerintah. Masyarakat Jawa juga mengenal petungan Jawa penanggalan Jawa yang berfungsi untuk menyelaraskan kejadian-kejadian di bumi dengan kondisi-kondisi adiduniawi yang ternarasikan dalam kepercayaan jagad cilik; jagad gede . Masyarakat Jawa mempunyai pandangan hidup bahwa pokok- pokok kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa memiliki sikap hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Masyarakat Jawa juga memiliki kepercayaan terhadap bimbingan adikodrati, bantuan nenek moyang atau Tuhan mitos dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi erupsi Merapi 2010. Narasi dari kearifan lokal tersebut adalah masyarakat lereng gunung Merapi bisa ―niteni‖ membaca tanda-tanda alam yang terkadang tidak bisa dirasionalkan dengan menggunakan ilmu pengatahuan. Hal tersebut adalah bagian dari ilmu pengetahuan lokal local knowledge yang perlu kita cari dan kembangkan supaya ada peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana atau dengan kata lain masyarakat lebih ―waspodo‖ bila terjadi bencana sewaktu-waktu. Lebih khusus lagi, kita dapat mengartikan bahwa kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Berdasarkan dari penelitian dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman 2009 ada beberapa nilai yang berkembang dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku masyarakat Sleman adalah sebagai berikut: Tabel 3. Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman No. Nilai Makna 1. Nilai Kedermawanan Nilai untuk berbagi dan memberi kepada sesama sebagai bentuk solidaritas terdapat dalam ungkapan lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. 2. Nilai Kebersamaan Nilai untuk melakukan besama-sama sebagai bentuk kerukunan dalam bermasyarakat. 3. Nilai Keteladanan Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik. 4. Nilai Kepasrahan Nilai untuk selalu percaya akan keadilan dan kekuasaan Tuhan atas semua yang terjadi dalam kehidupan. 5. Nilai Perjuangan Nilai untuk selalu memperjuangkan hak, kemakmuran dan kesejahteraan. 6. Nilai Kepemimpinan Ada contoh yang baik dalam setiap tindakan dan memberikan keteladanan. 7. Nilai Ketaqwaan Nilai untuk selalu menyerahkan kepada Tuhan setelah melakukan segala upaya. 8. Nilai Kegotongroyongan Nilai untuk melakukan kegiatan secara bersama. 9. Nilai Kesetiaan Nilai untuk berpegang teguh pada komitmen. 10. Nilai Pengorbanan Bahwa setiap pengorbanan yang tulus demi kesejahteraan dan keselamatan rakyat tidak sia-sia. Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, 2009 Basis kearifan lokal menjadi modal sosial untuk melakukan inovasi dalam penanggulangan bencana berbasis komunitas. Strategi ini sebagai alternatif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana yang ada disekelilingnya. Bahkan dalam penanggulangan bencana berbasis kearifan lokal yang bisa mengapresiasi keberagaman dan keharmonisan masyarakat tersebut akan bisa meningkatkan resiliensi penyintas, khususnya wanita sebagai kelompok rentan dalam setiap bencana.

D. Wanita Jawa

Secara eti mologis, kata ―wanita‖ berasal dari kata wani berani dan ditata diatur. Secara harafiah dapat diartikan bahwa seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaaan yang tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Hal yang senada juga diungkapkan oleh ahli filsafat UGM Damarjadi Supadjar bahwa kata ―wanita‖ berasal dari kata wani berani dan tapa menderita. Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain Handayani Novianto, 2008. Dalam kebudayaan Jawa ada istilah bahwa wanita itu hanya sebagai ―konco wingking‖ sekaligus sebagai sigaraning nyawa belahan jiwa atau s eparo dari jiwa. Narasi dari kata ―sigaraning nyawa‖ tersirat bahwa posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas Handayani Novianto, 2007. Namun demikian, kebudayaan patriarki selaku memposisikan wanita sebagai subordinat dan perannya hanya berada disektor domestik. Dominasi