Pembahasan PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA,
keakrabannya dengan Merapi ini membuatnya memiliki pandangan bahwa Merapi adalah sahabat.
Personifikasi Merapi sebagai sahabat adalah wujud bahwa Ibu Mur dan sekitarnya berhubungan secara mutualistis. Ibu Mur merasa berkewajiban
menjaga Merapi. Meskipun kadang-kadang ketika Merapi punya gawe dia sekeluarga harus menyingkir.
Namun, rasa penasaran terhadap erupsi 2010 mengantar Ibu Mur untuk melihat keberlangsungan proses erupsi.
Proses ―menikmati‖ erupsi ini telah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Tapi karena pertimbangan level erupsi yang
cenderung destruktif ini Ibu Mur dilarang untuk naik ke atas melihat erupsi berlangsung meskipun kala itu Ibu Mur ingin menikmati seperti biasanya.
Tidak dinyana erupsi Merapi 2010 ini merupakan sejarah yang merubah kehidupan Ibu Mur, baik secara psikis maupun spiritual. Berbagai pengalaman
kehilangan terjadi. Ibu Mur memang kehilangan harta bendanya, namun dia lebih merasa kehilangan Mbah Maridjan yang telah dia anggap sebagai
anutannya. Ibu Mur merasa bayang-bayang Mbah Maridjan masih ada di sekitarnya. Guna mengatasi rasa kehilangan tersebut, Ibu Mur berdoa.
Selain lewat berdoa, Ibu Mur juga terus belajar mengikhlaskan kepergian Mbah Maridjan. Ibu Mur memahami bahwa banyak orang yang
mengalami rasa kehilangan dan nasib yang sama. Bahkan untuk belajar mengikhlaskan Ibu Mur mensyukuri keadaan dirinya, baginya
―ada sesuatu atau orang yang lebih susah dari kita.‖
Selain kehilangan Mbah Maridjan, Ibu Mur juga merasakan kehilangan harta benda, suasana rumah. Rasa kehilangan Mbah Maridjan dan suasana
rumah inilah yang mendominasi kehidupan psikisnya. Rasa rindu akan suasana rumah dan sosok Mbah Maridjan. Meskipun demikian dia terus belajar untuk
―mengikhlaskan apa yang diberikan Allah‖. Tidak hanya sebatas pengatasan masalah secara psikis secara personal,
Ibu Mur juga berusaha menguatkan kondisi psikis anaknya yang menurun akibat trauma. Tidak terkecuali, orang-orang di sekitarnya juga dia beri
pertolongan. Dia senang melihat dia dan orang di sekitarnya bangkit. Baginya pekerjaan sebagai tukang ojek, berdagang, kegiatan-kegiatan, dan Kelompok
Usaha Bersama menjadi sarana kebangkitan secara ekonomi maupun psikis. Apapun usahanya, asal itu membantu dan berguna bagi orang lain dan diri
sendiri, coba dia upayakan. Meskipun Ibu Mur selalu berusaha bangkit, namun rasa kehilangan
yang muncul menyebabkan Ibu Mur mengalami kerinduan pada masa lalu. Rasa rindu yang muncul diarahkan kepada suasana dusun dan rumahnya dulu
dan Mbah Maridjan. Ibu Mur bisa tidur lebih pulas di Kinahrejo yang hancur dibandingkan dengan rumah relokasinya. Semua kenangan masa kecil dan
nostalgia berkelindan ketika di Kinahrejo. Sampai saat ini dia merasa belum pulang ke rumah, ― pikirannya ngungsi kok nggak pulang-pulang.‖
Bagi Ibu Mur, kehilangan yang Ibu Mur alami merupakan bagian dari latihan hidup.
Ada tiga nilai yang disodorkannya; ―Sabar, iman, dan ikhlas. Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan
perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus
merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin mungkin sesuatu itu sudah diambil.‖
Akhirnya semua akan kembali ke Allah. Bencana sendiri juga kehendak Allah.
―Manusia itu nggak ada apa-apanya‖, agar manusia dapat menghadapi ujian maka harus dikuatkan dengan keimanan. Keimanan sendiri terarah pada
Allah. Kepergian Mbah Maridjan, hilangnya rumah, suara sirine saat erupsi,
guguran lava, dan suara perut Merapi terus menghantui pikiran Ibu Mur. Berbagai peristiwa yang tiba-tiba muncul dalam pikiran Ibu Mur ini bahkan
berpengaruh kuat pada perasaannya dan mewujud dalam pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis yang paling mebekas baginya adalah suara
sirine. Sampai saat ini, ketika Ibu Mur mendengar suara sirine, pikiran dan perasaannya terasa ngeri, kaget, arah, kesal lagi sakit. Bahkan tidak segan dia
marah ketika ada yang iseng membunyikan suara sirine, baginya ―nggak pas
lagi ‖.
Dalam rasa kehilangan, Ibu Mur menemukan semangat bangkit dari orang di sekitarnya.
―Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan karo kancane.
― mengajarkan pada kita bahwa relasi sosial bersifat mutualistis, bukan hanya demi kepentingan pribadi. Bagi Ibu Mur yang bisa dilakukan
setelah erupsi adalah saling membantu. Bukan hal mengejutkan ketika Ibu Mur juga mempersonifikasikan Merapi sebagai seorang sahabat. Selain itu Ibu Mur
juga mejalin sebuah relasi mutualistis dengan BPPTK di mana keduanya saling memberi kabar mengenai keadaan Merapi guna mencegah kejadian yang tidak
diinginkan berkaitan dengan Merapi. Setelah menggambarkan story line kedua subyek, maka selanjutnya
adalah pendeskripsian resiliensi dan berbagai kearifan lokal yang berperan pada penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010. Pemahaman mengenai
resiliensi akan di-review singkat guna memberikan batas kajian masalah. Dari hasil sintesis beberapa kajian mengenai resiliensi Grotberg, 1995; Connor dan
Davidson, 2003; Xianon dan Zhang, 2007, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah melewati
kondisi yang sulit. Sesuai dengan definisi resiliensi di atas, maka syarat untuk bangkit dan
berubah menjadi lebih baik adalah kondisi yang sulit. Kondisi yang sulit sendiri dalam penelitian ini adalah bencana erupsi Merapi yang dialami
subyek. Kondisi sulit kedua subyek ditunjukkan dengan ketakutan yang traumatis terhadap bencana dan pengalaman kehilangan. Kondisi kedua ini
lebih dialami oleh Ibu Mur. Salah satu yang menjadi modal resiliensi adalah kearifan lokal. Dalam
penelitian ini ada berbagai nilai yang muncul. Pertama adalah nilai kebersamaan muncul dalam kondisi senasib sepenanggungan. Misalnya saja
ketika Ibu Mur yang menjadi penyintas sekaligus subyek berada dalam pengungsian. Dia membutuhkan teman sekadar untuk guyonan. Dengan
ngguyu bersama dia merasa tidak sendiri. Atau juga muncul dalam tema Ibu
Pur yang menganut nilai kebersamaan dengan suaminya. Ibu Pur semakin merasa kuat jika sedang bersama suaminya. Bahkan dia menyampaikan tidak
tahu jika tidak ada suaminya. Selanjutnya adalah nilai perjuangan. Nilai perjuangan dalam peristiwa
ini diwujudkan dalam bentuk perjuangan dari kejatuhan, perjuangan untuk bangkit secara personal, ekonomi, maupun sosial. Keadaan ekonomi yang
memburuk dan rasa kehilangan dialami oleh Ibu Mur. Melihat kondisinya tersebut, Ibu Mur tidak lalu menyerah. Justru Ibu Mur melihat hal tersebut
sebagai sebuah tantangan yang membuatnya semakin hidup, semakin belajar sabar, semakin beriman, dan semakin belajar ikhlas. Demikian halnya dengan
Ibu Pur. Dia semakin yakin akan Tuhan dan kekuatanNya. Bahwa manusia bukan apa-apa dan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa. Nilai perjuangan ini
membawa Ibu Pur maupun Ibu Mur menjadi lebih optimis mengatasi keadaan diri yang kemudian juga berkaitan erat dengan pengalaman hidup dalam
erupsi yang memiliki arti tersendiri bahwa bencana dan kesulitan hidup menantang keimanan seseorang. Kondisi keimanan ini kemudian berkaitan erat
dengan nilai ketaqwaan dan kepasrahan. Nilai ketaqwaan dan nilai kepasrahan sendiri berkaitan erat dengan
hubungan dengan Tuhan. Tentu saja dalam hal ini Tuhan yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai pembimbing adikodrati dalam menghadapi suatu
masalah Mulder, 2007. Kedua subyek mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, namun bukan berarti kemudian dependen kepada Tuhan. Nilai
perjuangan menjadi pengejawantahan bahwa adanya Tuhan bukan menjadi
sebuah wujud dependensi yang merusak kepribadian kedua subyek. Dengan adanya sosok Tuhan, manusia menjadi tidak jumawa dan menjadi sosok yang
andhap asor . Seperti dirasakan Ibu Mur bahwa manusia itu bukan apa-apa dan
disambung Ibu Pur bahwa semua tergantung pada kehendak Tuhan. Disampaikan lebih lanjut oleh Ibu Pur ―namun bukan berarti kita lalu pasrah‖.
Artinya, ada suatu kekuatan untuk tetap berdaya meskipun kesan fatalistik muncul dalam hubungan dengan Tuhan.
Sisi ketuhanan menjadi nuansa kental dalam kehidupan kedua subyek, baik keseharian maupun saat bencana. Dan sosok Tuhan sendiri menjadi
sebuah daya magis untuk bangkit. Sesuai pemahaman bahwa orang yang resilien memiliki kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik
setelah melewati kondisi yang sulit, maka Tuhan dalam hal ini menjadi sebuah modal sosial dalam proses resiliensi wanita yang menjadi penyintas erupsi,
terkhusus Ibu Pur dan Ibu Mur. Lewat berdoa kepada Tuhan mereka menjadi merasa aman dan kecemasan reda. Lewat Tuhan pula Ibu Mur bisa
mengikhlaskan segala sesuatu yang hilang dari kehidupan sebelum erupsi. Nilai-nilai tersebut juga terekam dalam filosofi Memayu Hayuning
Bawana , memang tidak terverbalisasi, tapi tidak lalu dengan mudah kita
mengesampingkannya. Ketidaksadaran kolektif yang turun mentradisi di tanah Merapi menjadi sarana terhidupinya filosofi ini. Misalnya saja ketika Ibu Mur
menyampaikan bahwa Merapi adalah sahabat. Kalimat singkat yang bernas ini merangkum segala filosofi yang ada di tanah Jawa dan terkhusus dalam
kehidupan kejawen. Dalam konsep Merapi sebagai sahabat ini, terangkum pula
filosofi Hangengasah Mingising Budi yang dikaitkan dengan harmonisasi antara jagad cilik dengan jagad gede. Atau secara lebih eksplisit mencapai
keharmonisan antara diri dengan alam di mana alam adalah perwujudan kekuatan Tuhan.
Lebih jauh lagi, konsep-konsep filosofis ini tenyata membantu seseorang menjadi resilien. Meskipun Merapi telah membuat Ibu Mur rugi
secara material maupun psikologis, tidak lalu Ibu Mur membenci Merapi. Kecenderungan orang yang dirugikan oleh sesuatu maka akan merasa marah,
kemudian rasa marah ini akan mengantar pada emosi benci terhadap sesuatu tersebut Stets, 2006. Namun kecenderungan tersebut tidak terjadi dalam diri
Ibu Mur. Dia tetap menganggap Merapi sebagai sahabat di mana dia bertanggungjawab untuk melestarikan lingkungannya. Dengan menganggap
Merapi sebagai sahabat, sebagai personifikasi orang yang dekat, maka rasa ikhlas atas kerugian yang diderita akibat Merapi akan cenderung dimunculkan.
Resiliensi juga didukung oleh nilai-nilai yang dipegang baik oleh Ibu Pur maupun Ibu Mur. Kepasrahan dan keimanan dikonversi menjadi sebuah
rasa sabar, sumeleh, dan sumarah yang memang sudah menjadi ciri karakter yang menonjol pada wanita Jawa Handayani Novianto, 2007. Dari
beberapa hal di atas maka daya resiliensi Ibu Pur dan Ibu Mur berasal dari dua hal, yakni Tuhan mewakili kepasrahan dan keimanan dan nilai lokal berupa
kesabaran, keikhlasan, keharmonisan, kebersamaan, serta perjuangan. Dengan demikian, hasil penelitian ini juga mendukung tesis Sulastri 2007 bahwa ada
hubungan antara penyintas dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal.
Hubungan yang terjadi dalam penelitian ini secara khusus hubungan antara resiliensi yang disokong oleh kearifan lokal.
Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan bahwa berbekal daya resilien maka kecenderungan seseorang untuk mengalami rasa sakit termasuk dalam
hal ini trauma semakin kecil Oulette, 1998. Hal tersebut dikarenakan daya resilien seseorang membuatnya mampu mengatasi tantangan dan dapat
memberi kontrol atas dirinya di mana kemudian orang tersebut menjadi tahan terhadap keadaan sakit. Salah satu bentuk trauma atau rasa sakit seseorang
adalah PTSD. Daya resilien wanita penyintas erupsi Merapi menjadi bekal tersendiri dalam mengantisipasi dan melewati gangguan traumatis ini.
Dari data yang diperoleh, ada pengalaman traumatis berbeda dari kedua subyek. Pengalaman traumatis yang berbeda ini menjadi implikasi wajar bahwa
kedua subyek memiliki latar belakang historis, geografis, dan pengalaman kehilangan yang berbeda satu sama lain.
Pada subyek pertama, Ibu Pur, pengalaman traumatis yang dirasakan hingga saat sini berupa suara aktivitas perut bumi. Pengalaman traumatis ini
berkaitan dengan erupsi 2010 yang hanya dia dengar saja, tidak dia lihat. Kejadian traumatis yang dirasakan Ibu Pur tersebut tidak terlalu merubah
kehidupan Ibu Pur. Ibu Pur akan merasakan ketakutan jika mendengar suara aktivitas magma, namun tidak kemudian emosinya labil. Ibu Pur masih baik-
baik saja meskipun teringat akan kejadian kala itu. Keadaan baik-baik saja ini dapat diamati ketika mengajak Ibu Pur bercerita tentang Merapi. Tidak lalu Ibu
Pur menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya
avoidance. Ibu Pur justru bercerita mengenai erupsi Merapi dengan sangat lancar. Jika Ibu Pur mengalami PTSD, maka akan muncul kecenderungan
menghindari pembicaraan mengenai erupsi 2010. Lain lagi dengan pengalaman Ibu Mur. Menurut APA 2006 individu
yang mengalami tingkat kehilangan lebih akan lebih mudah terkena PTSD. Namun, semua itu kemudian juga dipengaruhi oleh cara individu menghadapi
situasi emosional. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa sosok Tuhan membuat para subyek cenderung lebih resilien, begitu pula dalam menanggulangi situasi
emosional dan PTSD. Dengan adanya sosok Tuhan, maka penerimaan akan keadaan lebih meningkat dan coping yang terjadi cenderung konstruktif. Hal
ini mengindikasikan bahwa keberadaan Tuhan meningkatkan kesehatan mental seseorang. Lewat Tuhan, kata Silberman dalam Emmons Paloutzian, 2003,
arti hidup dapat tercapai dan emotional well-being akan cenderung adaptif. Ada beberapa simptom tertentu bagi para penderita PTSD. Misalnya
keterlepasan atau terasingkan dari orang lain akibat mati rasa atau kehidupan emosional tidak berjalan Getzfeld, 2006. Atau justru individu menjadi sangat
emosional hyperarousal. Kecenderungan untuk menjadi sangat emosional terjadi pada Ibu Mur ketika mendengar suara sirine yang menyebabkan dia
kesal dan marah. Namun, belum bisa dikatakan bahwa hal tersebut menunjukkan PTSD yang akut maupun kronis. Ibu Mur tidak menghindari
penceritaan mengenai sirine, justru fokus ceritanya adalah tentang sirine yang membuatnya merasa ngeri. Bisa jadi memang bercerita menjadi sebuah cara
mengatasi PTSD bagi para survivors. Meminjam kata-kata Ibu Mur, yang
bernuansa nilai kebersamaan, bahwa ―Kadang kan juga butuh teman. Di sana
kan juga guyonan karo kancane. ‖
69