Pembahasan PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA,

keakrabannya dengan Merapi ini membuatnya memiliki pandangan bahwa Merapi adalah sahabat. Personifikasi Merapi sebagai sahabat adalah wujud bahwa Ibu Mur dan sekitarnya berhubungan secara mutualistis. Ibu Mur merasa berkewajiban menjaga Merapi. Meskipun kadang-kadang ketika Merapi punya gawe dia sekeluarga harus menyingkir. Namun, rasa penasaran terhadap erupsi 2010 mengantar Ibu Mur untuk melihat keberlangsungan proses erupsi. Proses ―menikmati‖ erupsi ini telah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Tapi karena pertimbangan level erupsi yang cenderung destruktif ini Ibu Mur dilarang untuk naik ke atas melihat erupsi berlangsung meskipun kala itu Ibu Mur ingin menikmati seperti biasanya. Tidak dinyana erupsi Merapi 2010 ini merupakan sejarah yang merubah kehidupan Ibu Mur, baik secara psikis maupun spiritual. Berbagai pengalaman kehilangan terjadi. Ibu Mur memang kehilangan harta bendanya, namun dia lebih merasa kehilangan Mbah Maridjan yang telah dia anggap sebagai anutannya. Ibu Mur merasa bayang-bayang Mbah Maridjan masih ada di sekitarnya. Guna mengatasi rasa kehilangan tersebut, Ibu Mur berdoa. Selain lewat berdoa, Ibu Mur juga terus belajar mengikhlaskan kepergian Mbah Maridjan. Ibu Mur memahami bahwa banyak orang yang mengalami rasa kehilangan dan nasib yang sama. Bahkan untuk belajar mengikhlaskan Ibu Mur mensyukuri keadaan dirinya, baginya ―ada sesuatu atau orang yang lebih susah dari kita.‖ Selain kehilangan Mbah Maridjan, Ibu Mur juga merasakan kehilangan harta benda, suasana rumah. Rasa kehilangan Mbah Maridjan dan suasana rumah inilah yang mendominasi kehidupan psikisnya. Rasa rindu akan suasana rumah dan sosok Mbah Maridjan. Meskipun demikian dia terus belajar untuk ―mengikhlaskan apa yang diberikan Allah‖. Tidak hanya sebatas pengatasan masalah secara psikis secara personal, Ibu Mur juga berusaha menguatkan kondisi psikis anaknya yang menurun akibat trauma. Tidak terkecuali, orang-orang di sekitarnya juga dia beri pertolongan. Dia senang melihat dia dan orang di sekitarnya bangkit. Baginya pekerjaan sebagai tukang ojek, berdagang, kegiatan-kegiatan, dan Kelompok Usaha Bersama menjadi sarana kebangkitan secara ekonomi maupun psikis. Apapun usahanya, asal itu membantu dan berguna bagi orang lain dan diri sendiri, coba dia upayakan. Meskipun Ibu Mur selalu berusaha bangkit, namun rasa kehilangan yang muncul menyebabkan Ibu Mur mengalami kerinduan pada masa lalu. Rasa rindu yang muncul diarahkan kepada suasana dusun dan rumahnya dulu dan Mbah Maridjan. Ibu Mur bisa tidur lebih pulas di Kinahrejo yang hancur dibandingkan dengan rumah relokasinya. Semua kenangan masa kecil dan nostalgia berkelindan ketika di Kinahrejo. Sampai saat ini dia merasa belum pulang ke rumah, ― pikirannya ngungsi kok nggak pulang-pulang.‖ Bagi Ibu Mur, kehilangan yang Ibu Mur alami merupakan bagian dari latihan hidup. Ada tiga nilai yang disodorkannya; ―Sabar, iman, dan ikhlas. Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin mungkin sesuatu itu sudah diambil.‖ Akhirnya semua akan kembali ke Allah. Bencana sendiri juga kehendak Allah. ―Manusia itu nggak ada apa-apanya‖, agar manusia dapat menghadapi ujian maka harus dikuatkan dengan keimanan. Keimanan sendiri terarah pada Allah. Kepergian Mbah Maridjan, hilangnya rumah, suara sirine saat erupsi, guguran lava, dan suara perut Merapi terus menghantui pikiran Ibu Mur. Berbagai peristiwa yang tiba-tiba muncul dalam pikiran Ibu Mur ini bahkan berpengaruh kuat pada perasaannya dan mewujud dalam pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis yang paling mebekas baginya adalah suara sirine. Sampai saat ini, ketika Ibu Mur mendengar suara sirine, pikiran dan perasaannya terasa ngeri, kaget, arah, kesal lagi sakit. Bahkan tidak segan dia marah ketika ada yang iseng membunyikan suara sirine, baginya ―nggak pas lagi ‖. Dalam rasa kehilangan, Ibu Mur menemukan semangat bangkit dari orang di sekitarnya. ―Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan karo kancane. ― mengajarkan pada kita bahwa relasi sosial bersifat mutualistis, bukan hanya demi kepentingan pribadi. Bagi Ibu Mur yang bisa dilakukan setelah erupsi adalah saling membantu. Bukan hal mengejutkan ketika Ibu Mur juga mempersonifikasikan Merapi sebagai seorang sahabat. Selain itu Ibu Mur juga mejalin sebuah relasi mutualistis dengan BPPTK di mana keduanya saling memberi kabar mengenai keadaan Merapi guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan berkaitan dengan Merapi. Setelah menggambarkan story line kedua subyek, maka selanjutnya adalah pendeskripsian resiliensi dan berbagai kearifan lokal yang berperan pada penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010. Pemahaman mengenai resiliensi akan di-review singkat guna memberikan batas kajian masalah. Dari hasil sintesis beberapa kajian mengenai resiliensi Grotberg, 1995; Connor dan Davidson, 2003; Xianon dan Zhang, 2007, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah melewati kondisi yang sulit. Sesuai dengan definisi resiliensi di atas, maka syarat untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik adalah kondisi yang sulit. Kondisi yang sulit sendiri dalam penelitian ini adalah bencana erupsi Merapi yang dialami subyek. Kondisi sulit kedua subyek ditunjukkan dengan ketakutan yang traumatis terhadap bencana dan pengalaman kehilangan. Kondisi kedua ini lebih dialami oleh Ibu Mur. Salah satu yang menjadi modal resiliensi adalah kearifan lokal. Dalam penelitian ini ada berbagai nilai yang muncul. Pertama adalah nilai kebersamaan muncul dalam kondisi senasib sepenanggungan. Misalnya saja ketika Ibu Mur yang menjadi penyintas sekaligus subyek berada dalam pengungsian. Dia membutuhkan teman sekadar untuk guyonan. Dengan ngguyu bersama dia merasa tidak sendiri. Atau juga muncul dalam tema Ibu Pur yang menganut nilai kebersamaan dengan suaminya. Ibu Pur semakin merasa kuat jika sedang bersama suaminya. Bahkan dia menyampaikan tidak tahu jika tidak ada suaminya. Selanjutnya adalah nilai perjuangan. Nilai perjuangan dalam peristiwa ini diwujudkan dalam bentuk perjuangan dari kejatuhan, perjuangan untuk bangkit secara personal, ekonomi, maupun sosial. Keadaan ekonomi yang memburuk dan rasa kehilangan dialami oleh Ibu Mur. Melihat kondisinya tersebut, Ibu Mur tidak lalu menyerah. Justru Ibu Mur melihat hal tersebut sebagai sebuah tantangan yang membuatnya semakin hidup, semakin belajar sabar, semakin beriman, dan semakin belajar ikhlas. Demikian halnya dengan Ibu Pur. Dia semakin yakin akan Tuhan dan kekuatanNya. Bahwa manusia bukan apa-apa dan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa. Nilai perjuangan ini membawa Ibu Pur maupun Ibu Mur menjadi lebih optimis mengatasi keadaan diri yang kemudian juga berkaitan erat dengan pengalaman hidup dalam erupsi yang memiliki arti tersendiri bahwa bencana dan kesulitan hidup menantang keimanan seseorang. Kondisi keimanan ini kemudian berkaitan erat dengan nilai ketaqwaan dan kepasrahan. Nilai ketaqwaan dan nilai kepasrahan sendiri berkaitan erat dengan hubungan dengan Tuhan. Tentu saja dalam hal ini Tuhan yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai pembimbing adikodrati dalam menghadapi suatu masalah Mulder, 2007. Kedua subyek mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, namun bukan berarti kemudian dependen kepada Tuhan. Nilai perjuangan menjadi pengejawantahan bahwa adanya Tuhan bukan menjadi sebuah wujud dependensi yang merusak kepribadian kedua subyek. Dengan adanya sosok Tuhan, manusia menjadi tidak jumawa dan menjadi sosok yang andhap asor . Seperti dirasakan Ibu Mur bahwa manusia itu bukan apa-apa dan disambung Ibu Pur bahwa semua tergantung pada kehendak Tuhan. Disampaikan lebih lanjut oleh Ibu Pur ―namun bukan berarti kita lalu pasrah‖. Artinya, ada suatu kekuatan untuk tetap berdaya meskipun kesan fatalistik muncul dalam hubungan dengan Tuhan. Sisi ketuhanan menjadi nuansa kental dalam kehidupan kedua subyek, baik keseharian maupun saat bencana. Dan sosok Tuhan sendiri menjadi sebuah daya magis untuk bangkit. Sesuai pemahaman bahwa orang yang resilien memiliki kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah melewati kondisi yang sulit, maka Tuhan dalam hal ini menjadi sebuah modal sosial dalam proses resiliensi wanita yang menjadi penyintas erupsi, terkhusus Ibu Pur dan Ibu Mur. Lewat berdoa kepada Tuhan mereka menjadi merasa aman dan kecemasan reda. Lewat Tuhan pula Ibu Mur bisa mengikhlaskan segala sesuatu yang hilang dari kehidupan sebelum erupsi. Nilai-nilai tersebut juga terekam dalam filosofi Memayu Hayuning Bawana , memang tidak terverbalisasi, tapi tidak lalu dengan mudah kita mengesampingkannya. Ketidaksadaran kolektif yang turun mentradisi di tanah Merapi menjadi sarana terhidupinya filosofi ini. Misalnya saja ketika Ibu Mur menyampaikan bahwa Merapi adalah sahabat. Kalimat singkat yang bernas ini merangkum segala filosofi yang ada di tanah Jawa dan terkhusus dalam kehidupan kejawen. Dalam konsep Merapi sebagai sahabat ini, terangkum pula filosofi Hangengasah Mingising Budi yang dikaitkan dengan harmonisasi antara jagad cilik dengan jagad gede. Atau secara lebih eksplisit mencapai keharmonisan antara diri dengan alam di mana alam adalah perwujudan kekuatan Tuhan. Lebih jauh lagi, konsep-konsep filosofis ini tenyata membantu seseorang menjadi resilien. Meskipun Merapi telah membuat Ibu Mur rugi secara material maupun psikologis, tidak lalu Ibu Mur membenci Merapi. Kecenderungan orang yang dirugikan oleh sesuatu maka akan merasa marah, kemudian rasa marah ini akan mengantar pada emosi benci terhadap sesuatu tersebut Stets, 2006. Namun kecenderungan tersebut tidak terjadi dalam diri Ibu Mur. Dia tetap menganggap Merapi sebagai sahabat di mana dia bertanggungjawab untuk melestarikan lingkungannya. Dengan menganggap Merapi sebagai sahabat, sebagai personifikasi orang yang dekat, maka rasa ikhlas atas kerugian yang diderita akibat Merapi akan cenderung dimunculkan. Resiliensi juga didukung oleh nilai-nilai yang dipegang baik oleh Ibu Pur maupun Ibu Mur. Kepasrahan dan keimanan dikonversi menjadi sebuah rasa sabar, sumeleh, dan sumarah yang memang sudah menjadi ciri karakter yang menonjol pada wanita Jawa Handayani Novianto, 2007. Dari beberapa hal di atas maka daya resiliensi Ibu Pur dan Ibu Mur berasal dari dua hal, yakni Tuhan mewakili kepasrahan dan keimanan dan nilai lokal berupa kesabaran, keikhlasan, keharmonisan, kebersamaan, serta perjuangan. Dengan demikian, hasil penelitian ini juga mendukung tesis Sulastri 2007 bahwa ada hubungan antara penyintas dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal. Hubungan yang terjadi dalam penelitian ini secara khusus hubungan antara resiliensi yang disokong oleh kearifan lokal. Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan bahwa berbekal daya resilien maka kecenderungan seseorang untuk mengalami rasa sakit termasuk dalam hal ini trauma semakin kecil Oulette, 1998. Hal tersebut dikarenakan daya resilien seseorang membuatnya mampu mengatasi tantangan dan dapat memberi kontrol atas dirinya di mana kemudian orang tersebut menjadi tahan terhadap keadaan sakit. Salah satu bentuk trauma atau rasa sakit seseorang adalah PTSD. Daya resilien wanita penyintas erupsi Merapi menjadi bekal tersendiri dalam mengantisipasi dan melewati gangguan traumatis ini. Dari data yang diperoleh, ada pengalaman traumatis berbeda dari kedua subyek. Pengalaman traumatis yang berbeda ini menjadi implikasi wajar bahwa kedua subyek memiliki latar belakang historis, geografis, dan pengalaman kehilangan yang berbeda satu sama lain. Pada subyek pertama, Ibu Pur, pengalaman traumatis yang dirasakan hingga saat sini berupa suara aktivitas perut bumi. Pengalaman traumatis ini berkaitan dengan erupsi 2010 yang hanya dia dengar saja, tidak dia lihat. Kejadian traumatis yang dirasakan Ibu Pur tersebut tidak terlalu merubah kehidupan Ibu Pur. Ibu Pur akan merasakan ketakutan jika mendengar suara aktivitas magma, namun tidak kemudian emosinya labil. Ibu Pur masih baik- baik saja meskipun teringat akan kejadian kala itu. Keadaan baik-baik saja ini dapat diamati ketika mengajak Ibu Pur bercerita tentang Merapi. Tidak lalu Ibu Pur menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya avoidance. Ibu Pur justru bercerita mengenai erupsi Merapi dengan sangat lancar. Jika Ibu Pur mengalami PTSD, maka akan muncul kecenderungan menghindari pembicaraan mengenai erupsi 2010. Lain lagi dengan pengalaman Ibu Mur. Menurut APA 2006 individu yang mengalami tingkat kehilangan lebih akan lebih mudah terkena PTSD. Namun, semua itu kemudian juga dipengaruhi oleh cara individu menghadapi situasi emosional. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa sosok Tuhan membuat para subyek cenderung lebih resilien, begitu pula dalam menanggulangi situasi emosional dan PTSD. Dengan adanya sosok Tuhan, maka penerimaan akan keadaan lebih meningkat dan coping yang terjadi cenderung konstruktif. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan Tuhan meningkatkan kesehatan mental seseorang. Lewat Tuhan, kata Silberman dalam Emmons Paloutzian, 2003, arti hidup dapat tercapai dan emotional well-being akan cenderung adaptif. Ada beberapa simptom tertentu bagi para penderita PTSD. Misalnya keterlepasan atau terasingkan dari orang lain akibat mati rasa atau kehidupan emosional tidak berjalan Getzfeld, 2006. Atau justru individu menjadi sangat emosional hyperarousal. Kecenderungan untuk menjadi sangat emosional terjadi pada Ibu Mur ketika mendengar suara sirine yang menyebabkan dia kesal dan marah. Namun, belum bisa dikatakan bahwa hal tersebut menunjukkan PTSD yang akut maupun kronis. Ibu Mur tidak menghindari penceritaan mengenai sirine, justru fokus ceritanya adalah tentang sirine yang membuatnya merasa ngeri. Bisa jadi memang bercerita menjadi sebuah cara mengatasi PTSD bagi para survivors. Meminjam kata-kata Ibu Mur, yang bernuansa nilai kebersamaan, bahwa ―Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan karo kancane. ‖ 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Ibu Pur adalah ibu rumah tangga berusia 36 tahun. Ibu Pur adalah istri dari tokoh agama terkemuka. Kedekatannya dengan agama ini mengantar hidupnya pada filosofi hidup yang dikenakannya berbasis agama. Ketika erupsi Merapi 2010, Ibu Pur tidak mengungsi ke manapun. Ibu Pur mematuhi perintah suaminya untuk tetap berlindung di rumah. Jika lahar maupun awan panas sampai di desanya, Ibu Pur akan berlindung dan lebih baik mati bersama di masjid bersama suaminya. Kepatuhan dengan suami ini juga berbasis pada kitab suci. Ibu Pur menganggap Merapi sebagai ciptaan Tuhan yang memang kerja ―nya‖ meletus dan menyuburkan tanah. Tuhan dipandang sebagai Maha ―Sak Karepe Dewe‖. Kita senantiasa manut pada kehendakNya. Ibu Pur merasa tidak ada ketakutan yang berarti kecuali saat erupsi. Menurut Ibu Pur jika suatu saat terjadi erupsi lagi, Ibu Pur menyerahkan semuanya kepada suaminya dan kepada Tuhan. Oleh karena itu pengalaman erupsi Merapi 2010 bagi Ibu Pur merupakan wujud ―kepasrahan terhadap Tuhan‖ yang dikarakterisasikan lewat a bencana, b Tuhan itu Maha, c mendekatkan dan takut kepada Tuhan. Jika Ibu Pur menjadi wanita dengan peran yang cenderung pasif dalam urusan ekonomi, maka Ibu Mur lain. Ibu Mur, yang berusia 45 tahun, bekerja sebagai tukang ojek sekaligus berdagang di Kinahrejo. Ibu Mur adalah menantu dari Mbah Maridjan. Sekitar 2 bulan Ibu Mur mengungsi secara nomad. Ibu Mur merasa kehilangan banyak hal, yang paling membekas adalah kehilangan Mbah Maridjan. Sampai sekarang dia merasa ―percaya nggak percaya ya saya itu harus percaya bahwa simbah itu udah nggak ada.‖ Selain kehilangan, Ibu Mur mengalami trauma dengan suara sirine. Efeknya, ketika Ibu Mur mendengar suara sirine, Ibu Mur merasa sakit dan pikirannya kesal, bukan takut. Pengalaman mendengar suara sirine ketika erupsi 2010 masih terbawa ketika ada trigger suara ambulan. Sampai saat ini, Ibu Mur menghadapi erupsi Merapi dengan 3 nilai utama; sabar, iman, dan ikhlas. Ibu Mur mencoba untuk terus ―sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan perintahNya.‖ Ketika teringat akan pengalaman erupsi 2010, Ibu Mur kemudian berdoa. Baginya, segala bencana yang terjadi adalah kehendak Allah, ―Manusia itu kan nggak ada apa-apanya.‖ Meskipun demikian Ibu Mur tetap menganggap Merapi sebagai sahabat. Ibu Mur merasa harus ikut menjaga lingkungan Merapi meskipun erupsi 2010 mengambil banyak hal di sekitarnya. Termasuk suasana home. Setelah ditempatkan di desa relokasi, Ibu Mur masih sering menuju Kinahrejo untuk tidur. Ibu Mur merasa belum benar- benar pulang ke rumah. Oleh karena itu pengalaman erupsi Merapi 2010 bagi Ibu Mur merupakan pengejawantahan ―rasa kehilangan‖ yang dikarakterisasikan lewat a kesal terhadap sirine ada bahaya, b kehilangan Mbah Maridjan, c kehilangan ―rumah‖. Dari kedua cerita subyek yang muncul, diperoleh data bahwa kedua subyek mengatasi kejadian traumatis lewat tatanan nilai yang telah tersedia secara kolektif. Nilai-nilai yang cenderung muncul dari para survivors untuk mengatasi keadaan adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, kesabaran, keikhlasan, keharmonisan nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Lewat nilai- nilai ini kecenderungan mengatasi masalah menjadi adaptif. Subyek menjadi lebih resilien. Misalnya saja nilai kebersamaan membuat individu untuk tidak menghindari individu lain sehingga tidak terjadi sense of detachment terhadap individu lain yang menjadi simptom PTSD. Dengan tingkat resilien yang lebih tinggi maka masa depan bukan lagi semata-mata determinisme dari masa lalu. Dari keempat nilai tersebut, nilai ketaqwaan dan kepasrahan cenderung mendominasi. Orientasi intrinsik dalam hubungan dengan Tuhan menjadi sebuah proses pemahaman bahwa kita perlu untuk menjadi andhap asor. Ketaqwaan dan kepasrahan tidak lalu membuat mereka tidak berdaya, dengan taqwa dan pasrah justru para survivors menjadi lebih berdaya. Kedua nilai ini membantu individu untuk menerima kenyataan dan kemudian mengikhlaskan apa yang telah hilang akibat bencana. Kepasrahan juga memunculkan kesabaran dalam diri individu. Nilai ketaqwaan dan kepasrahan juga berkelindan mewujud dalam keimanan. Kedua subyek mengklaim bahwa dengan adanya bencana justru terjadi sebuah paradoksal. Bencana justru meningkatkan keimanan terhadap Tuhan. Tidak heran jika kemudian orientasi kehidupan kedua subyek bukan pada masa lalu, melainkan hari ini dan masa depan. Semua kejadian pahit maupun manis adalah sebuah kehendak Tuhan yang menjadi ujian kelulusan individu. Dan atas itu individu yang berpasrah, sabar, juga berjuang akan dapat lulus dalam ujian tersebut. Oleh karena itu, resiliensi dengan subyek wanita Jawa penyintas erupsi Merapi 2010 merupakan resiliensi yang didominasi oleh nilai-nilai lokal yang terarah pada ketuhanan. Selain nilai-nilai tersebut, ada beberapa simptom PTSD yang terjadi. Misalnya saja ketakutan terhadap suara aktivitas magma dan ketakutan akan suara sirine. Kedua kejadian traumatis ini tergantung pada latar belakang subyek. Pada ketakutan akan aktivitas magma hanya terjadi pada Ibu Pur, pada Ibu Mur tidak karena baginya suara aktivitas magma adalah hal yang biasa. Dengan demikian ada perbedaan kejadian traumatis sesuai dengan latar belakang historis maupun kultural terhadap kejadian traumatis. Pengalaman traumatis yang cenderung eksesif adalah yang dialami oleh Ibu Mur. Jarak tempat tinggal yang relatif dekat dengan kejadian yang lalu menyebakan pengalaman kehilangan yang berlebih menjadi pemicu munculnya pengalaman traumatis. Tidak menutup kemungkinan apabila kecemasan yang terjadi akibat kejadian traumatis ini terus bertumpuk, suatu saat akan meluap secara eksplosif —melebihi Merapi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi 2010, ada tiga saran yang dapat diberikan:

1. Bagi Keluarga dan Masyarakat

a. Pada ranah keluarga dan masyarakat, nilai kebersamaan menjadi satu hal penting menanggulangi kebuntuan emosional yang berujung pada PTSD. Dukungan secara sosial membuat seseorang merasa tidak sendiri. Suasana harmonis antar anggota keluarga maupun masyarakat dapat menciptakan atmosfer positif misalnya saja dalam penelitian ini munculnya nilai perjuangan yang didasari perasaan senasib resiliensi komunal. b. Lokalitas dan nilainya memiliki peran yang kuat dalam resiliensi individual. Misalnya saja cara pandang Ibu Mur terhadap Merapi yang dipersonifikasi sebagai sahabat dan dia bertanggungjawab melestarikan lingkungan Merapi. Sekiranya mitos lokal tersebut membuat daya resiliensi seseorang semakin meningkat, sebaiknya tetap dilestarikan.

2. Bagi LSM dan Pemerintah

a. Meningkatkan perhatian dalam kesehatan mental masyarakat. Kecemasan yang eksesif terhadap sirine seperti yang dialami Ibu Mur perlu mendapatkan pemecahan yang serius. DSM-IV-TR menunjukkan adanya klasifikasi mengenai PTSD dengan onset yang tertunda. Jika kejadian traumatis seperti yang dialami Ibu Mur terus bertumpuk, maka suatu saat akan terjadi blooming gangguan pasca traumatis. b. Implikasi pada bagian 2.a. adalah bahwa diperlukannya tenaga ahli dalam bidang kesehatan mental yang secara rutin memantau dan mengatasi permasalahan berkaitan dengan kehidupan mental para survivors .