Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi

bencana yang ada disekelilingnya. Bahkan dalam penanggulangan bencana berbasis kearifan lokal yang bisa mengapresiasi keberagaman dan keharmonisan masyarakat tersebut akan bisa meningkatkan resiliensi penyintas, khususnya wanita sebagai kelompok rentan dalam setiap bencana.

D. Wanita Jawa

Secara eti mologis, kata ―wanita‖ berasal dari kata wani berani dan ditata diatur. Secara harafiah dapat diartikan bahwa seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaaan yang tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Hal yang senada juga diungkapkan oleh ahli filsafat UGM Damarjadi Supadjar bahwa kata ―wanita‖ berasal dari kata wani berani dan tapa menderita. Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain Handayani Novianto, 2008. Dalam kebudayaan Jawa ada istilah bahwa wanita itu hanya sebagai ―konco wingking‖ sekaligus sebagai sigaraning nyawa belahan jiwa atau s eparo dari jiwa. Narasi dari kata ―sigaraning nyawa‖ tersirat bahwa posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas Handayani Novianto, 2007. Namun demikian, kebudayaan patriarki selaku memposisikan wanita sebagai subordinat dan perannya hanya berada disektor domestik. Dominasi kebudayaan patriarki tersebut dapat kita temukan pada setiap kebudayaan tak terkecuali kebudayaan Jawa. Namun demikian, ikatan dan konsepsi nilai tersebut berlaku sebagai kondisi ―sakprayoganipun‖ seyogianya atau ideal bagi budaya Jawa. Sakprayoganipun ini berarti bahwa segala tindakan dilakukan dengan ndelog kahanan lihat-lihat situasinya sehingga ―memberlakukannya‖ pun gumantung kahanan tergantung keadaan. Kultur Jawa telah membentuk karakter psikologis masyarakat yang memiliki kecerdasan emosional. Kecenderungan gerak diri orang Jawa dari dunia lahir ke dunia batin telah membentuk karakter psikologis masyarakat Jawa yang akan selalu peka dan memiliki kesadaran diri mampu menempatkan diri secara tepat dalam posisi sosial, dimana kesadaran diri menjadi inti kecerdasan emosional. Kecenderungan dari gerak sosial dan kultur Jawa tersebut telah membentuk karakter wanita Jawa yang memiliki rasa empati, kesadaran diri tinggi dan peka. Selain itu, ciri karakter yang menonjol pada wanita Jawa, yaitu: sabar, sumeleh dan sumarah Handayani Novianto, 2007. Karakter-karakter yang dimiliki oleh wanita Jawa tersebut adalah modal dasar bagi seseorang yang resilien. Dalam setiap bencana alam wanita selalu digolongkan menjadi kelompok rentan. Hal ini tentu saja akibat dari pengaruh budaya patriarki.Di mana wanita dianggap sebagai makhluk yang tak berdaya dan pasif termasuk dalam budaya Jawa. Namun dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini, banyak temuan penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam memahami peranan dan kehidupan wanita. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa betapa besar peranan wanita sebagai entitas yang kuat, berdaya, dan memiliki jiwa mandiri KP, 2007, meskipun mereka berhadapan dengan situasi kekerasan atau peristiwa bencana alam. Wanita- wanita ini mungkin merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan membutuhkan energi yang besar namun mereka tetap bertahan. Keadaan seperti itu juga dapat kita temukan pada wanita-wanita penyintas erupsi Merapi 2010 silam. Para wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial Handayani Novianto, 2008. Berita baiknya, menurut KP 2007, wanita memiliki kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit menekan hidup mereka atau resilien. 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Naratif

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kearifan lokal Jawa dalam meningkatkan resiliensi para penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010. Guna melihat peran kearifan lokal dalam erupsi Merapi 2010, maka penghadiran pengalaman personal penyintas wanita perlu diketahui. Berdasarkan tujuan tersebut maka tipe studi naratif pada penelitian ini adalah personal experience story Lyons Coyle, 2007. Personal experience story memungkinkan untuk menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase kehidupan, di mana dalam penelitian ini adalah erupsi Merapi 2010. Sebuah penelitian naratif dalam metode kualitatif memiliki dimensi sosial yang terdiri dari narasi-narasi kelompok atau masyarakat yang bercerita tentang diri, sejarah, dan aspirasi yang dimiliki oleh kelompok atau masyarakat. Oleh karena itu, narasi sosial mampu menjelaskan sejarah suatu kelompok atau masyarakat yang membedakannya dengan kelompok- kelompok atau masyarakat-masyarakat lain. Supaya tidak tumpang tindih dengan narasi personal maka individu yang menjadi subyek penelitian dapat mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat. Selain itu dalam melakukan analisa terhadap narasi personal yang telah diperoleh, penulis akan mempertimbangkan narasi sosial yang lebih luas Smith, 2009. Menurut Smith 2009, ada dua langkah besar dalam penelitian dengan pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi. Adapun pengumpulan ini dilakukan lewat wawancara kisah kehidupan yang berisi mengenai pengalaman sehari-hari dalam penelitian ini berarti pengalaman ketika erupsi. Selain itu, pembuatan jurnal pribadi seseorang, pengumpulan foto, bahkan pembuatan video dapat membantu dalam memperoleh data naratif seseorang. Kedua adalah menganalisis narasi. Ada dua fase dalam analisis narasi. Yang pertama adalah fase deskriptif. Proses analisis pada fase deskriptif ini dapat dibantu dengan membaginya ke dalam sekuensi, misalnya; awal, tengah, dan akhir. Analisis ini dilakukan dengan cara menyoroti isu penting dalam teks dan mengidentifikasi keterkaitan naratif antar bagian. Selain itu, sub-alur dalam narasi juga perlu untuk ditemukan kemudian dibuat ringkasan agar dapat mengembangkan kerangka coding lewat gagasan atau isu utama dalam cerita. Kerangka coding ini dibuat dengan tujuan menangkap makna menyeluruh dari narasi dan isu khusus yang ada dalam narasi. Fase kedua adalah fase interpretatif. Fase interpretatif berusaha untuk mengaitkan narasi dengan literatur teoritis yang lebih luas sebagai pedomannya. Guna mencapai tujuan penelitian, studi naratif yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi langkah sebagai berikut untuk detail akan dijelaskan pada bagian E: a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum, selama, dan sesudah erupsi Merapi 2010.