Gambar 2. Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010
Sumber: BAPPENAS BNPB, 2011
Berdasarkan data dari tim analisa gabungan BNPB, BAPPENAS, Pemda DIY dan Pemda Jawa Tengah pada bulan Januari 2011 teridentifikasi bahwa
kerusakan rumah mencapai 2.856 unit.
Tabel 2. Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi Gunung Merapi 2010
Provinsi Kabupaten
Jumlah Jawa Tengah
Klaten 165
Magelang 9
Boyolali -
Total Jawa Tengah 174
D. I. Yogyakarta Sleman
2.682 TOTAL
2.856
Sumber: BAPPENAS BNPB, 2011
Dari data di atas, kita mengetahui bersama bahwa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terkena dampak terparah pada erupsi Merapi 2010.
Dampak kerusakan terparah tersebut berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dimana sebagian besar dari total keseluruhan korban jiwa
227 jiwa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Selain merenggut ratusan korban jiwa, di
Kecamatan Cangkringan ada 2.856 unit rumah rusak parah dan ribuan rumah yang lain rusak sedang hingga ringan serta ribuan hektar lahan pertanian dan
pemukiman terkena keganasan awan panas. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut maka dalam penelitian ini, penulis memilih Kecamatan Cangkringan
sebagai tempat penelitian dan secara spesifik memilih daerah Kinahrejo dusun dimana Mbah Marid
jan ―Juru Kunci Merapi‖ hidup dan meninggal dunia dalam erupsi Merapi 2010 tersebut.
Dampak dari erupsi Merapi 2010 sangatlah besar. Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik maupun non fisik. Kerusakan
dan kerugian fisik antara lain: rumah, ladang, pemukiman dan banyaknya korban jiwa. Kerusakan dan kerugian non fisik antara lain: rasa kehilangan,
menderita yang luar bisa dan perubahan pola hidup para penyintas. Lebih dari itu semua, dampak bencana alam disaster akan mengakibatkan perasaan
tidak berdaya dan terancam yang luar biasa pada penyintas, akhirnya memunculkan perasaan takut yang luar biasa Sulastri, 2007 atau ‗stres
pascatrauma‘ yang dalam istilah klinis disebut sebagai Posttraumatic Stress Disorder
yang disingkat PTSD Parkinson dalam Dewi, 2010. Apabila hal tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan memunculkan gangguan
psikologis pada penyintas, keadaan tersebut pada umumnya terjadi disetiap bencana alam.
Akan tetapi, setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana. Faktor-faktornya adalah: 1 tingkat
intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, 2 kemampuan individu secara umum untuk menghadapi
situasi emosional, dan 3 peristiwa lain yang menimbulkan stres mengikuti peristiwa traumatik yang baru dialaminya American Psychiatri Association
[APA], 2000. Data menunjukkan bahwa ada peningkatan prosentase yang cukup
signifikan dari penyintas yang mengalami ganguan psikologis pasca bencana erupsi Merapi 2010.Akan tetapi, sebagian besar penyintas erupsi Merapi 2010
tetap mampu bangkit dan berubah menjadi lebih baik resiliensi pasca bencana alam itu.
B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD
Ada banyak definisi mengenai resiliensi, banyak ahli berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi, mengatasi,
memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan setelah peristiwa sulit dialami Grotberg, 1995. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk
menghadapi penderitaan. Persamaan kata resiliensi dalam bahasa Indonesia adalah daya lentur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartiakan
sebagai tidak mudah patah dan dapat dengan mudah menyesuaikan diri denga
n keadaan. ―Daya Lentur‖ sepertinya lebih pas dengan definisi resiliensi di atas, yaitu kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik
setelah melewati kondisi yang sulit. Lebih dari itu, resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan atau survive dan mampu
beradaptasi dalam keadaan stres dan mengalami penderitaan pada peristiwa traumatis.
Resiliensi adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah
kemajuan. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma serta bisa menyesuaikan
diri dengan keadaan.
Karakter individu yang memiliki resiliensi seperti terdapat dalam beberapa poin berikut ini www.APAHelpCenter.orgresilience:
a. Memiliki sikap optimis yaitu terdapat harapan akan masa depan;
b. Individu memiliki keyakinan diri bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk mengatur secara efektif atau menyelesaikan tugas secara mandiri; c.
Individu juga percaya bahwa mereka tetap memiliki kendali yang baik terhadap lingkungan, terutama pasca kejadian trauma;
d. Individu memiliki pemahaman yang baik bahwa setiap pengalaman hidup
memiliki alasan tertentu, dan mereka masih memiliki sumber personal dan sosial untuk memenuhi tuntutan hidup tersebut;
Serta individu yang bersangkutan biasanya aktif, percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka, terutama
pasca kejadian traumatis. Menurut Alexander dalam Dewi, 2010, setelah melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi.
Dengan kata lain, individu yang resiliensinya baik akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Menyesuaikan diri dengan keadaan adalah juga
menyesuaikan diri tanpa membuatnya merasa terganggu kembali terhadap peristiwa traumatis yang menjadi bagian dari dirinya.
Reaksi psikologis individu terhadap peristiwa traumatis bervariasi dan tergantung pada banyak faktor seperti karakteristik individu, sistem dukung
yang ada dan pengalaman traumatis yang langsung dialami atau tidak pada peristiwa traumatis tersebut Webb dalam Dewi, 2010. Hal tersebut juga
sangat berpengaruh pada resiliensi seseorang dalam menghadapi peristiwa
traumatis. Narasi reseliensi pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam terealisasi dengan terbuktinya masyarakat korban erupsi bangkit dari
keterpurukannya. Peristiwa traumatis pada umumnya berpotensi menimbulkan stres.
Dalam fase yang lebih akut, stres ini akan memunculkan gangguan stres pascatrauma
atau PTSD. Tanda-tanda PDSD meliputi ketakutan, ketidakberdayaan, dan rasa dihantui. Lebih lanjut, gejala gangguan ini antara
lain: a. mengalami kembali peristiwa traumatis, misalnya melalui mimpi buruk atau terbayang kembali peristiwa tersebut; b. menghindari stimulus
yang berkaitan dengan peristiwa traumatis, tidak dapat merespons, atau berkurangnya responsivitas terhadap lingkungan sekitar; dan c.
meningkatnya ketergugahan, seperti sulit tidur atau tidur tidak nyenyak, mudah jengkel atau marah, kesulitan berkonsentrasi, dan menampilkan
respons keterkejutan APA, 2000. Pada penelitian ini, penyintas wanita dikatakan bebas dari PTSD
ketika terbebas dari gejala-gejala PTSD. Deskripsi gejala-gejala PTSD berikut ini diadaptasi dari DSM IV APA, 2000:
a. Seseorang telah mengalami peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut
ini muncul: Penderita atau korban mengalami, menyaksikan atau dikonforontasi
dengan sebuah peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang melibatkan pengalaman kematian atau ancaman kematian, cedera yang serius, atau
ancaman terhadap integritas fisiknya atau orang lain
Respons penderita atau korban terhadap peristiwa tersebut melibatkan ketakutan yang intens, perasaan tidak berdaya, perasaan horror, atau
persepsi anda terhadap peristiwa yang menyebabkan emosi-emosi tersebut
b. Seseorang mengalami kembali peristiwa dengan satu atau beberapa cara
berikut ini: Penderita atau korban mengalami rekoleksi peristiwa yang
mengganggu, intrusif dan sering muncul yang meliputi bayangan, pikiran dan persepsi
Penderita atau korban mengalami mimpi yang mengganggu dan berulang atas peristiwa yang terjadi
Penderita atau korban bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatis tersebut terjadi berulang ulang dan penderita atau korban
mungkin mengalami perasaan dimana ia mengalami kembali peristiwa tersebut melalui halusinasi, ilusi dan kilas balik aktif
Penderita atau korban mengalami gangguan psikologis atau reaksi tubuh yang intens ketika terekspos pada tanda-tanda eksternal maupun
internal yang menandakan atau menyerupai peristiwa traumatis tersebut misalnya: penglihatan, bau, suara, tanggal, hal-hal ini disebut triggers
Pemicu c.
Seseorang tetap menghindari hal-hal atau peristiwa pemicu yang diasosiasikan dengan trauma dan mebekukan respon dengan tiga atau
lebih cara berikut ini:
Penderita atau korban melakukan berbagai macam cara untuk menghindari munculnya pikiran, perasaan atau percakapan yang terkait
dengan trauma tersebut atau menghindari aktivitas, tempat, atau orang- orang yang dapat menyebabkan anda mengingat trauma tersebut
Penderita atau korban tidak dapat menngingat aspek penting yang terjadi pada peristiwa tersebut
Minat dan partisipasi dalam aktivitas menjadi jauh berkurang Penderita atau korban merasa terasing dari orang lain
Kemampuan penderita atau korban untuk merasakan emosi dan jumlah emosi yang dirasakan menjadi terbatas misalnya: ia tidak dapat
merasakan perasaan mencintai Penderita atau korban mengalami perasaan dimana pandangan terhadap
masa depan menjadi terbatas. Penderita atau korban tidak dapat melihat jauh ke masa depan misalnya: ia tidak memiliki pengharapan untuk
memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau usia yang normal d.
Seseorang juga memiliki gejala persisten berupa rangasangan fisik yang meningkat yang tidak ada muncul sebelum terjadinya trauma seperti yang
diindikasikan oleh dua atau lebih hal berikut ini: Sulit tidur atau sulit untuk tetap tidur
Mudah tersinggung atau kemarahan yang meluap Sulit berkonsentrasi
Waspada yang berlebihan Respons kaget yang berlebihan penderita atau korban mudah kaget