Keyakinan akan nasib Setelah Erupsi End
bersentuhan langsung dengan uap maupun lahar Merapi, oleh karena itu ketakutan traumatis yang muncul adalah berkaitan dengan suara. Meskipun
hanya sekadar membayangkan suasana saat erupsi dulu, Ibu Pur tetap merasa takut dengan keadaan tersebut; takut akan kuasa Allah yang begitu besar.
Meskipun kecemasan dan ketakutan terus menghantui, namun baginya, suami adalah orang yang dapat dipercaya. Keputusannya untuk tidak
mengungsi sesuai amanat suaminya berbuah pada keselamatannya. Keselamatan dirinya ini membuktikan bahwa keyakinan terhadap suaminya
yang menetukan nasibnya tidaklah salah. Sedangkan pada subyek kedua, Ibu Mur, menggambarkan dirinya
seolah menjadi seorang pembaca tanda. Ibu Mur tinggal di Kinahrejo, sebuah dusun yang hilang ditelan material dan awan panas Merapi. Kehidupannya
sangat dekat dengan Merapi dan erupsi. Sebagai orang yang telah biasa mengalami erupsi Merapi, Ibu Mur memprediksi bahwa erupsi 2010 tidak
seperti biasanya. Lelehan lava merah bara di puncak Merapi memutuskan Ibu Mur untuk mengungsi dari Kinahrejo ke lokasi yang lebih aman.
Sebagai penduduk Kinahrejo yang secara geografis sangat dekat dengan Merapi, Ibu Mur hidup berdasarkan pada kearifan lokal. Kearifan lokal yang
dimaksud adalah berupa kepercayaan terhadap mitos Merapi. Mitos berupa adanya mahkluk ―tak terlihat‖ yang mendiami Merapi masih kuat menempel
pada dirinya. Selain itu, hal- hal tabu seperti ―merapi tidak boleh dikatakan
njeblug, mbledos atau ada wedus gembel, tapi Merapi dalam proses membangun‖ juga masih melekat dalam dirinya. Kearifan lokal dan
keakrabannya dengan Merapi ini membuatnya memiliki pandangan bahwa Merapi adalah sahabat.
Personifikasi Merapi sebagai sahabat adalah wujud bahwa Ibu Mur dan sekitarnya berhubungan secara mutualistis. Ibu Mur merasa berkewajiban
menjaga Merapi. Meskipun kadang-kadang ketika Merapi punya gawe dia sekeluarga harus menyingkir.
Namun, rasa penasaran terhadap erupsi 2010 mengantar Ibu Mur untuk melihat keberlangsungan proses erupsi.
Proses ―menikmati‖ erupsi ini telah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Tapi karena pertimbangan level erupsi yang
cenderung destruktif ini Ibu Mur dilarang untuk naik ke atas melihat erupsi berlangsung meskipun kala itu Ibu Mur ingin menikmati seperti biasanya.
Tidak dinyana erupsi Merapi 2010 ini merupakan sejarah yang merubah kehidupan Ibu Mur, baik secara psikis maupun spiritual. Berbagai pengalaman
kehilangan terjadi. Ibu Mur memang kehilangan harta bendanya, namun dia lebih merasa kehilangan Mbah Maridjan yang telah dia anggap sebagai
anutannya. Ibu Mur merasa bayang-bayang Mbah Maridjan masih ada di sekitarnya. Guna mengatasi rasa kehilangan tersebut, Ibu Mur berdoa.
Selain lewat berdoa, Ibu Mur juga terus belajar mengikhlaskan kepergian Mbah Maridjan. Ibu Mur memahami bahwa banyak orang yang
mengalami rasa kehilangan dan nasib yang sama. Bahkan untuk belajar mengikhlaskan Ibu Mur mensyukuri keadaan dirinya, baginya
―ada sesuatu atau orang yang lebih susah dari kita.‖