namun tidak tahu jika erupsi akan besar. Sedangkan Ibu Mur yang lebih sering bersebtuhan dengan pengalaman erupsi telah menduga bahwa
erupsi cukup besar sehingga memutuskan untuk mengungsi. Itu tidak tahu, saya di rumah juga tidak. Nggak ada tanda,
nggak ada…Tapi kejadian yang besar yang Jumat. Yang Jumat itu ada tanda-tanda. Rumah ini kan gempa. Itu dari
siang itu udah gempa, terus langit gelap, terus ada abu sedikit. Tapi siangnya itu juga ngaji di masjid. Itu siangnya
panas ya.
Ibu Pur Waktu itu kan saya mikirnya erupsi Merapi itu biasa-biasa
aja. Soalnya tahun 2006 saya nggak pergi malahan, saya lihat di rumah. Di Masjid itu. Nggak pergi. Saya kira 2010
kemarin kan di atas sudah merah. Jadi saya harus pergi. Ibu Mur
b. Cara hidup berdasarkan kearifan lokal
Ada perbedaan antara kedua subjek dalam memandang Merapi. Cara hidup Ibu Pur berkaitan erat dengan agama dan masa kecilnya tidak
akrab dengan Merapi, sedangkan Ibu Mur cenderung lebih akrab dengan Merapi sejak kecil sehingga nilai lokalitas masih menempel dalam diri
Ibu Mur. Hal ini kemudian berimplikasi pada cara pandang yang berbeda terhadap gunung Merapi.
Nek di dalam agama, Merapi itu juga termasuk ciptaan Allah.Terus Merapi itu kan juga berguna. Kalau nggak
meletus kan juga nggak ada pasir, nggak bisa tumbuh tanaman-tanaman di sekitarnya nggak bisa tumbuh subur.
Itu juga manfaat bagi manusia. Dan Merapi itu sebagai paku. Bumi kalau nggak ada pakunya, ya nggak tenang,
ngombang-ambing. Dulu kan ceritanya, diciptakan pertama kali sebelum ada gunung-gunung kan seperti di atas air.
Jadi, terombang-ambing gitu, tapi setelah ada gunung barulah bumi itu tenang. Bisa ditempati manusia. Gunung
itu pokoke manfaat ya Mas.
Ibu Pur
Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang harus
ikut menjaga
lingkungannya, penanaman-
penanaman, penghijauan. Ibu Mur
Kedekatan dan keakrabannya dengan Merapi ini kemudian
membuat Ibu Mur menjadi lebih maklum dengan guguran lava dan suara perut Merapi yang bagi orang lain, seperti misalnya Ibu Pur,
sebagai suatu hal yang menakutkan. Selain itu keakraban dengan Merapi bisa juga mengantar Ibu Mur untuk naik justru ketika
Merapi erupsi yang kemudian akan mengantar kita pada tema ketika erupsi terjadi.
2. Ketika Erupsi Middle
a. Rasa penasaran terhadap peristiwa
Ada hal yang begitu mencolok pada Ibu Mur ketika erupsi terjadi. Jika orang lain akan lari ketika erupsi dan guguran lava terjadi. Lain
halnya dengan Ibu Mur yang justru ingin melihat keadaan di atas, karenanya dia memutuskan untuk menuju lereng Merapi untuk melihat
peristiwa alam yang sudah ramah terhadap pengalamannya. Meskipun demikian, dia tidak diperbolehkan naik karena keadaan erupsi yang
cukup parah dibandingkan biasanya. Saya di pengungsian, saya larinya malah lucu, itu kan
malam Jumat ya. Kamis pagi kan anak saya sekolah di Pakem itu, pengen sekolah, ya udahlah. Saya anterin terus
saya titipkan anak saya di Wekas itu, malah Merapi malem itu kan meletus to itu saya malah naik. Sampai di Jetan itu
sudah nggak boleh naik.
Ibu Pur
b. Masa depan yang tak terjamah
Berbeda dengan pengalaman Ibu Mur, dalam pengalaman Ibu Pur muncul tema mengenai masa depan yang tak terjamah. Masa depan yang
tak terjamah ini muncul sebagai wujud ketakutan akan kematian yang dia rasakan. Keadaan ketika bencana sangat mencekam dan ketika itu Ibu
Pur tidak mengungsi sehingga kekuatan erupsi Merapi yang tidak seperti biasanya ini menciptakan keadaan yang benar-benar chaos pada dirinya.
Wong itu nggak tahu kok itu akan meletus besar itu nggak tahu. Tapi orang Utara sana udah pada ngungsi. Kan sini tempat
ngungsi. Jadi saya nggak ngeh, nggak paham itu nanti akan meletus gitu. Nggak persiapan blas yang ngungsi itu. Mobil sini
aja dibawa ke Kopeng. Dan hampir aja kena lahar panas itu. Itu lari, mobilnya lari. Paling let 30 meter itu. Kena itu lahar panas.
Ibu Pur
c. Suami sebagai otoritas
Tema suami sebagai otoritas ini hanya muncul pada pengalaman Ibu Pur. Ketika erupsi terjadi, suami menjadi pengambil keputusan dalam
hidup Ibu Pur. Ibu Pur mempercayakan segala sesuatu kepada suaminya yang dia percaya memiliki ―kelebihan‖ seperti orang suci.
Terus saya, itu di rumah, saya tidur. Malah saya tu ngantuk-ngantuknya jam 11 itu. Terus rumahnya goyang-
goyang gini to, terus Pak Masrur itu “Ma, ini ada gempa,
gempa beneran, kita di masjid aja. Nanti kalau mati di masjid aja.” Terus anak saya tak bangunin semua. Ke
masjid semua. Ibu Pur
Kalau saya ndherek Pak Masrur. Perkiraan Pak Masrur kan udah, ini udah selesai. Meletusnya yang paling besar
ya cuma ini. Ini udah selesai kok ngungsi, apa gunanya. Ya di rumah aja. Daripada mengungsi wong di sini banyak
orang gila. Kalau dibawa ke pengungsian kan malah merepotkan. Iya to? Alasannya apa ya, ya cuma itu. Sini
kan punya anak-anak kecil, orang gila. Terus perkiraan itu lho, ngapain ngungsi, wong udah meletus.
Ibu Pur Saya bagaimana? Kalau saya tipenya orang manut suami,
jadi gimana suami gitu aja. Kalau sendiri mungkin ya melarikan diri. Kalau nggak ya mungkin di masjid. Karena
saya ki tipenya ki, suami bilang nggak ya nggak. Suami bilang iya; ya. Jadi alurnya nggak bisa sendiri.
Ibu Pur
3. Setelah Erupsi End
a. Pengalaman kehilangan
Pengalaman kehilangan hanya dirasakan oleh Ibu Mur. Erupsi Merapi menyebabkan kejatuhan perekonomian keluarga maupun
masyarakat sekitar, desanya hilang, keluarganya meninggal. Pengalaman ini dipandang Ibu Mur sebagai sebuah proses pembelajaran dalam hidup.
Ya kadang-kadang. Kadang-kadang di saat tertentu ya Mas ya. Misalnya ada acara prosesi Labuhan atau apa. Waktu
yang pertama saya pulang pas, saya juga abdi dalem, dandan pake kebaya. Saya pulang untuk yang pertama,
waktu itu dianter itu saya hanya bisa nangis. Teringat semua-muanya. Merasa kehilangan, bayang-bayang simbah
itu ada.
Ibu Mur Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas.
Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti
juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan,
mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin mungkin suatu itu sudah diambil.
Ibu Mur Saya naik pertama kali tu pas di rumah Pak Bagyo, yang
batas terbakar itu lho. Sampai atas mencari tilas rumah ya bingung Mas. Nek ra bingung ya ampuh. Tapi yo ra nangis.
Malah heran. Ini beneran atau nggak.
Ibu Mur