Resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi 2010.

(1)

vii

RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010

Albertus Guntur Prabawanto

ABSTRAK

Bencana alam adalah sesuatu yang di luar kendali manusia. Setelah bencana terjadi, manusia harus memilih untuk bangkit atau justru semakin terpuruk. Salah satu bencana alam yang berdampak luas di Yogyakarta adalah erupsi gunung Merapi pada tahun 2010. Masyarakat sekitar kehilangan harta benda, alam tempat tinggalnya, bahkan saudara. Pengalaman kehilangan dan suasana traumatis yang terjadi ketika itu menuntut individu untuk bangkit pengalaman pahit selama bencana dan sesudah bencana terjadi. Penelitian ini berusaha mengetahui resiliensi pada penyintas erupsi Merapi 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan subyek dua orang. Pemilihan subyek dilakukan lewat dasar pengalaman selama erupsi. Subyek adalah wanita yang mana dalam masyarakat Jawa menjadi subordinat dalam budaya patriarki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang berpengaruh terhadap resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi 2010 adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Selain itu, ditemukan adanya kecenderungan yang terarah pada Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat kejadian traumatis selama erupsi Merapi.

Kata kunci: Resiliensi, Erupsi Merapi 2010, Wanita Jawa, Kearifan Lokal, Posttraumatic Stress Disorder


(2)

viii

WOMEN RESILIENCE WHO SURVIVE ON MERAPI ERUPTION 2010

Albertus Guntur Prabawanto

ABSTRACT

Natural disasters are something beyond human control. After a disaster occurred, people must choose to rise or even worse off. One of the natural disasters that have broad impact in Yogyakarta is Mount Merapi eruption in 2010. Communities around have loss of property, natural place of residence, even brothers. An experience of losing and traumatic atmosphere that occurs, require the individual to rise up from bitter experience during the disaster and after the disaster occurred. This study sought to know the resilience of the victims of Merapi eruption 2010. The research method used is narrative. The data was collected through semi-structured interviews with two subjects. Selection of subjects is based on the experience during eruption. Subjects were women which in Java community became a subordinate in patriarchal culture. The results showed that the values of local wisdom that affect the resilience of women victims of Merapi eruption in 2010 is the value of unity, the value of struggle, the value of devotion, and the value of surrender. Else, there was found that directional tend to be Posttraumatic Syndrome Disorder (PTSD) due to traumatic events during the eruption.

Key words: Resilience, Merapi Eruption 2010, Java’s Women, Local Wisdom, Posttraumatic Syndrome Disorder


(3)

RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Albertus Guntur Prabawanto NIM : 069114046

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Albertus Guntur Prabawanto NIM : 069114046

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

Hadapi, Jalani, dan Jangan Pernah Menyesali Carpe Diem!


(8)

v

Untuk Semesta dan Jiwa-jiwa pemberani; Dalam nama-Nya;

Kita bangkit dan tetap berkarya; Rawe-rawe rantas, malang-malang putung;

Bencana bukanlah akhir dari kebidupan ini, namun awal dari kehidupan baru; Alfa dan Omega!!!


(9)

(10)

vii

RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010

Albertus Guntur Prabawanto

ABSTRAK

Bencana alam adalah sesuatu yang di luar kendali manusia. Setelah bencana terjadi, manusia harus memilih untuk bangkit atau justru semakin terpuruk. Salah satu bencana alam yang berdampak luas di Yogyakarta adalah erupsi gunung Merapi pada tahun 2010. Masyarakat sekitar kehilangan harta benda, alam tempat tinggalnya, bahkan saudara. Pengalaman kehilangan dan suasana traumatis yang terjadi ketika itu menuntut individu untuk bangkit pengalaman pahit selama bencana dan sesudah bencana terjadi. Penelitian ini berusaha mengetahui resiliensi pada penyintas erupsi Merapi 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan subyek dua orang. Pemilihan subyek dilakukan lewat dasar pengalaman selama erupsi. Subyek adalah wanita yang mana dalam masyarakat Jawa menjadi subordinat dalam budaya patriarki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang berpengaruh terhadap resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi 2010 adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Selain itu, ditemukan adanya kecenderungan yang terarah pada Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat kejadian traumatis selama erupsi Merapi.

Kata kunci: Resiliensi, Erupsi Merapi 2010, Wanita Jawa, Kearifan Lokal, Posttraumatic Stress Disorder


(11)

viii

WOMEN RESILIENCE WHO SURVIVE ON MERAPI ERUPTION 2010

Albertus Guntur Prabawanto

ABSTRACT

Natural disasters are something beyond human control. After a disaster occurred, people must choose to rise or even worse off. One of the natural disasters that have broad impact in Yogyakarta is Mount Merapi eruption in 2010. Communities around have loss of property, natural place of residence, even brothers. An experience of losing and traumatic atmosphere that occurs, require the individual to rise up from bitter experience during the disaster and after the disaster occurred. This study sought to know the resilience of the victims of Merapi eruption 2010. The research method used is narrative. The data was collected through semi-structured interviews with two subjects. Selection of subjects is based on the experience during eruption. Subjects were women which in Java community became a subordinate in patriarchal culture. The results showed that the values of local wisdom that affect the resilience of women victims of Merapi eruption in 2010 is the value of unity, the value of struggle, the value of devotion, and the value of surrender. Else, there was found that directional tend to be Posttraumatic Syndrome Disorder (PTSD) due to traumatic events during the eruption.

Key words: Resilience, Merapi Eruption 2010, Java’s Women, Local Wisdom, Posttraumatic Syndrome Disorder


(12)

(13)

x

KATA PENGANTAR

Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian penulis terhadap kesehatan mental pada survivors erupsi Merapi 2010, khususnya wanita.

Terdorong keinginan untuk melihat bagaimana resiliensi survivors wanita erupsi Merapi 2010. Penelitian ini memberi perhatian kepada kaum wanitadan memberikan tambahan pengetahuan dalam psikologi kesehatan guna bersama-sama mengembangkan suatu proses trauma healing berbasis Kearifan Lokal.

Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada semua pihak yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya. Terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Prof. Dr. A. Supratikya selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar dan telaten membimbing saya dalam penulisan ini.

2. FX. Suwondo, Mardinah, Ch dan Sekar Ayu Ning Tyas yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan kuliah.

3. Keluarga Besar Praptowiharjo yang selalu memberi dukungan untuk menyelesaikan kuliah.

4. Veronika Dwi Laksmi yang crewetin saya untuk menyelesaikan tulisan ini.

5. Sahabat Sanggar Anak Akar, teristimewa Ibe Karyanto yang tak henti-hentinya mengingatkan untuk menulis.


(14)

xi

6. Teman-teman Sekertariat Bersama Keistimewaan Yogyakarta, terkhusus Widhihasto yang selalu menyindir dan memotivasi dalam pengerjaan tulisan ini.

7. Teman-teman TRC dan SAR DIY yang memfasilitasi saya dalam pengambilan data.

8. Komunitas Sarikraman, terutama Nazarius Sudaryono yang selalu mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kuliah.

9. Komunitas Al-Qodir, pimpinan Kyai Masrur yang memfasilitasi saya untuk wawancara.

10. Teman-teman PT. Ayodya Bumi Lestari yang sudah memberi kesempatan untuk ―libur‖ guna menyelesaikan tulisan ini.

11. Ucil 08 dan Timo yang menemani saya ngeprint.

12. Teman-teman Ex Seminari yang menemani saya minum bir dikala penat.

13. Teman-teman Psi 06 yang bersama berjuang.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa pikiran selalu bergerak lebih cepat dari tulisan yang menjadi jejaknya. Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini selalu tidak sempurna jika dipikirkan lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tentunya akan sangat membantu untuk kepatutan karya tulis ini. Terima Kasih.

Yogyakarta, 24 Juni 2013 Albertus Guntur Prabawanto


(15)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

HALAMAN MOTTO.……...………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN.. ….………….…... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. ... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. PENGANTAR…... 1

A. Latar Belakang …………... 1

B. Rumusan Masalah. ... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 9

1. Manfaat Teoritis... 9


(16)

xiii

BAB II. LANDASAN TEORI... 10

A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010... 10

B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD…... 17

C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi... 26

D. Wanita Jawa... 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN…... 33

A. Metode Naratif... 33

B. Subyek Penelitian... 35

C. Fokus Penelitian... 36

D. Metode Pengumpulan Data... 37

1. Wawancara... 37

2. Daftar Pertanyaan... 38

E. Metode Analisis Thematic Narrative... 38

1. Pengumpulan Data... 39

2. Pengkodean (coding)... 39

3. Interpretasi dan Pembahasan... 40

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN... 41

A. Pelaksanaan Penelitian... 41

B. Analisis Data... 44


(17)

xiv

2. Ketika Erupsi (Middle)... 46

3. Setelah Erupsi (End)... 48

C. Pembahasan... 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 69

A. Kesimpulan... 69

B. Saran... 72

1. Bagi Keluarga dan Masyarakat... 72

2. Bagi LSM dan Pemerintah... 73

3. Bagi Peneliti dengan Subyek Survivors... 74


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010 di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah... 12 Tabel 2. Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi

Gunung Merapi 2010………... 15 Tabel 3. Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman... 29


(19)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi... 13 Gambar 2. Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010... 14


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Coding Wawancara Ibu Pur... 78

Lampiran 2. Kategorisasi Tema Ibu Pur... 87

Lampiran 3. Coding Wawancara Ibu Mur... 90

Lampiran 4. Kategorisasi Tema Ibu Mur... 98

Lampiran 5. Persamaan dan Perbedaan Pengalaman antara Ibu Pur dengan Ibu Mur... 101


(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Belum hilang ‗trauma‘ Gempa 27 Mei 2006, bumi Yogyakarta kembali dilanda bencana. Pada tahun 2010 terjadi bencana alam erupsi Merapi. Gunung Merapi sendiri merupakan gunung api teraktif di dunia. Dikatakan teraktif karena Gunung Merapi memiliki periode waktu erupsi yang relatif singkat yaitu setiap 2-5 tahun sekali. Namun demikian, erupsi yang terjadi pada tahun 2010 ini tercatat sebagai peristiwa erupsi Merapi terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.

Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan 386 jiwa korban meninggal dunia; termasuk Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi). 227 jiwa meninggal di Provinsi D.I Yogyakarta dan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 109 jiwa (Pusdalops, 2011). Selain korban jiwa, erupsi Merapi 2010 juga merusak ratusan rumah (BNPB dan BAPPENAS, 2011), ribuan hektar sawah dan kebun gagal panen serta ratusan hewan ternak mati.

Pada umumnya setiap bencana alam memiliki dampak yang sama, yaitu menimbulkan kerusakan secara fisik, memakan korban jiwa, menyisakan trauma, dan perubahan pola hidup pada korban selamat (survivors) atau penyintas. Secara umum, trauma psikologis disebabkan oleh suatu tekanan yang luar biasa sehingga si penyintas merasa menderita dan tidak berdaya menghadapi situasi tersebut. Seperti pada kejadian erupsi


(22)

Merapi 2010, para penyintas biasanya merasa tidak berdaya yang luar biasa karena merasa tidak mampu menolong dirinya sendiri, menolong orang lain (anak, saudara, suami, istri, orang tua) ataupun menyelamatkan harta bendanya yang berharga sehingga mereka merasa ―menderita‖ yang sangat kuat. Perasaan ―menderita‖ yang sangat kuat inilah yang menjadi indikasi adanya trauma psikologis pada orang yang mengalaminya. Apabila keadaan tersebut tidak teratasi dengan baik maka akan mengakibatkan munculnya beberapa gangguan psikologis.

Faktor alam atau yang biasa disebut sebagai bencana (disaster) adalah faktor yang dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa. Tekanan luar biasa yang dimaksud bukan hanya sekadar peristiwa yang tidak menguntungkan namun tekanan luar biasa dari peristiwa traumatis disebabkan oleh adanya ancaman yang serius terhadap hidup atau integritas diri (tubuh), atau bisa juga karena adanya pengalaman berhadapan langsung dengan ancaman kehilangan dan kematian. Peristiwa-peristiwa traumatis tersebut menghampiri manusia pada intensitas ekstrim sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya dan terancam, akhirnya memunculkan perasaan takut yang luar biasa (Sulastri, 2007). Dalam bahasa klinis, reaksi yang muncul setelah peristiwa traumatis itu memiliki istilah Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) atau ‗stres pascatrauma‘ (Parkinson dalam Dewi, 2010).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara signifikan terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999). Trauma mengacu pada pengalaman-pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan


(23)

yang melebihi situasi stres yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar (Sidabutar, Dharmawan, Poerwandari, & Nurhaya, 2003). Bencana yang sifatnya tiba-tiba dan di luar kemampuan seseorang untuk menghadapinya membuat pengalaman menjadi bersifat traumatis. Stres pascatrauma adalah reaksi yang menyusul peristiwa traumatis. Terkadang digunakan istilah stres pascabencana untuk merujuk pada stres pascatrauma yang disebabkan oleh bencana. Menurut Parkinson (dalam Dewi, 2010), stres pascatrauma sebenarnya adalah reaksi wajar seseorang setelah mengalami peristiwa yang abnormal.

Pengalaman langsung terhadap tekanan yang luar biasa atau peristiwa trauma tersebut akan mempengaruhi diri seseorang yang mengalaminya pada: fungsi tubuh (fisiologis), emosi, kognisi bahkan juga dapat merubah karakter atau kepribadian. Keadaan tersebut juga banyak dialami oleh penyintas dari peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu, ada cukup banyak yang pengalami gangguan stres pascatrauma. Hal ini terjadi mungkin karena mereka melihat sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan kehilangan semua harta bendanya. Peristiwa traumatis biasanya akan memblokir sistem normal yang pada umumnya membuat orang memiliki kendali minimal terhadap dirinya sendiri, memiliki hubungan dengan dunia di sekitarnya dan memiliki arti (Williams & Poijula, 2002).

Reaksi psikologis setiap individu dalam menghadapi peristiwa traumatis sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor antara lain karakteristik individu, lingkungan, pengalaman traumatis sebelumnya dan


(24)

apakah individu tersebut mengalami langsung atau tidak langsung peristiwa tersebut. Karakteristik individu yang berpengaruh antara lain umur atau tahap perkembangan, kemampuan kognitif, temperamen, status sosial dan pengalaman trauma sebelumnya (Williams & Poijula, 2002).

Dalam setiap peristiwa bencana alam, anak dan wanita digolongkan sebagai kelompok rentan. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa anak sebagai mahluk yang tidak berdaya dan pasif. Begitu pula dengan wanita, wanita juga digolongkan dalam kelompok rentan karena disadari atau tidak kita hidup dalam budaya patriarki. Dalam masyarakat Jawa golongan petani dan pedagang, wanita memiliki peran ganda. Selain berperan mengurus rumah tangga (domestik), wanita juga berperan dalam mencari nafkah (Handayani & Novianto, 2008). Berkaitan dengan peran ganda dan penempatan wanita dalam budaya Jawa yang patriarkis, penelitian dengan subjek wanita Jawa akan menjadi hal yang menarik.

Dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini, banyak temuan penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam memahami peranan dan kehidupan wanita. Banyak penelitian memperlihatkan betapa besar peranan wanita sebagai entitas yang kuat, berdaya, dan memiliki jiwa yang mandiri (Komnas Perempuan [KP], 2007), meskipun mereka berhadapan dengan situasi kekerasan atau peristiwa traumatis lainnya. Dalam banyak penelitian ditemukan pula bahwa kebanyakan wanita mampu bertahan (survive) dari situasi sulit tanpa kesulitan yang berarti. Wanita-wanita ini mungkin merasakan pula pengalaman yang tidak menyenangkan, dan


(25)

membutuhkan energi yang besar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka, namun mereka dapat bertahan. Keadaan seperti itu juga dapat kita temui dalam masyarakat Jawa. Banyak ditemukan wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial (Handayani & Novianto, 2008). Mereka memiliki kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit menekan hidup mereka (KP, 2007). Hal tersebut juga dapat kita temukan pada peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.

Dalam bahasa konseptual, kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit disebut resiliensi. Ada banyak definisi mengenai resiliensi, akan tetapi kebanyakan ahli mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah peristiwa sulit (Bautista, Auretita, Myra dalam Dewi, 2010; Grotberg, 1995). Padanan resiliensi yang umum dipakai di Indonesia adalah lentur. Dalam ilmu psikologis daya lentur dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bangkit dan menjadi lebih baik setelah melewati kondisi sulit. Setelah melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi (Alexander dalam Dewi, 2010), mereka tidak mudah patah karena tekanan dan dapat menyesuaikan dengan keadaan. Menyesuaikan dengan keadaan adalah juga menyesuaikan diri terhadap peristiwa traumatis, yang menjadi bagian dari dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu disaat mengingat ataupun menceritakannya atau sering disebut pulih (Sidabutar dkk., 2003).


(26)

Setiap individu pada dasarnya memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya; untuk menjadi bagian dan selalu terhubung dengan orang lain, memiliki perasaan mampu, aman dan memiliki makna (Bernard, 2004). Kebutuhan-kebutuhan ini membentuk kekuatan dalam diri manusia dan meningkatkan resiliensi. Dengan begitu, resiliensi lebih menunjuk atribut personal, namun lingkungan memiliki peran penting. Ada interaksi faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangannya (Turner dalam Sulastri, 2007). Faktor lingkungan yang mempengaruhi resiliensi meliputi karakteristik budaya kelompok, keluarga, spiritualitas, dan masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Sulastri (2007) mengenai penyintas gempa bumi Yogyakarta 2006 menyimpulkan adanya hubungan antara penyintas (survivors) dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal (Sulastri, 2007).

Kearifan lokal yang dimaksud penulis dalam tulisan ini adalah kearifan lokal masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di seputar lereng Gunung Merapi. Definisi kearifan lokal dalam penelitian ini adalah sistem sosial yang dijalankan oleh masyarakat pada suatu tempat dalam kehidupan mereka sehari-hari dan memiliki ciri khas tertentu. Untuk selanjutnya kekhasan ini menonjol ketika dilihat oleh orang lain (Handayani & Novianto, 2008). Masyarakat Jawa dalam tulisan ini adalah masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, yaitu bahasa yang dijumpai di pulau Jawa Tengah dan Jawa Timur.


(27)

Orang Jawa yang masih menghidupi dan menjalankan nilai-nilai luhur nenek moyangnya juga biasa dianggap masyarakat Jawa Kejawen. Orang Jawa Kejawen tersebut memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah jagad cilik dan alam serta isinya adalah jagad gede. Orang Jawa Kejawen mempunyai pandangan hidup bahwa pokok-pokok kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Oleh karena itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki sikap hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Selain itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki kepercayaan terhadap bimbingan adikodrati dan bantuan dari nenek moyang atau Tuhan dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi suatu bencana alam: erupsi Merapi.

Kearifan lokal inilah yang menjadi modal sosial yang meningkatkan resiliensi pada diri wanita penyintas (suvivors) dalam menghadapi suatu kesulitan-kesulitan pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam.

Berkaitan dengan kearifan lokal yang menjadi modal resiliensi dan keberadaan wanita Jawa dalam strata sosial, maka penelitian mengenai resiliensi wanita Jawa yang menjadi penyintas erupsi Merapi akan menjadi hal yang menarik. Melalui kajian naratif, penulis akan mencoba mencatat narasi mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010 yang terekam pada ingatan korban selamat (survivors) atau penyintas. Dalam upaya lebih lanjut, penulis hendak melihat dan mengkaji tentang kearifan lokal serta pengaruhnya terhadap resiliensi pada wanita penyintas. Oleh karena itu, untuk menggali makna-makna yang muncul pada peristiwa tersebut maka penulis akan


(28)

melakukan wawancara dengan subyek. Selain itu, penulis akan menggunakan bantuan dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema-tema yang muncul dari hasil wawancara.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian naratif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis tematik yang dengan fleksibilitasnya akan memberikan kesempatan pada keseluruhan tema ataupun sub-tema untuk saling dikaitkan dalam penyempurnaan analisis (Braun, 2006). Penulis berharap bahwa hasil dari penulisan ini akan bisa memberikan sumbangan dalam menemukan sistem penanganan bencana yang baik dari sisi psikologis dan sesuai dengan kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat korban. Hal tersebut juga dapat kita temukan pada peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah kultur Jawa (kearifan lokal Jawa) yang dikembangkan melalui pola interaksi sebagai modal sosial berpengaruh pada wanita Jawa penyintas pada peristiwa erupsi Merapi 2010 sehingga lebih resilien?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat peran kearifan lokal Jawa dalam meningkatkan resiliensi para penyintas terutama Wanita pada Erupsi Merapi 2010.


(29)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penulisan ini bisa memberikan sumbangan teoritis dalam bidang psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai resiliensi dan kearifan lokal dalam kajian naratif.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat lebih bijaksana dan selalu siap siaga dalam menghadapi bencana.

b. Bagi LSM dan Pemerintah

Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi penanggulangan bencana yang baik sehingga bisa menekan jatuhnya korban jiwa dan harta benda.


(30)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010

Secara etimologis, bencana adalah gangguan yang menyebabkan dan menimbulkan kesusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya. Kata bencana dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata disaster identik dengan sesuatu dan situasi yang negatif.Disaster berasal dari Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi (BAPPENAS & BNPB, 2011).

Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BAPPENAS & BNPB, 2011).

Dampak umum bencana baik alam dan non-alam dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan,


(31)

penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi.

Pada penelitian ini, penulis akan memfokuskan diri pada bencana alam yaitu: Erupsi Merapi 2010. Definisi bencana alam dalam penelitian ini adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (BAPPENAS & BNPB, 2011).

Gunung Merapi merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi aktif dari ring of fire yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa, hingga Indonesia bagian timur dan memiliki ekosistem yang unik. Sebagai suatu kawasan yang memiliki keunikan ekosistem maka kawasan Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor 134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004.

Selain itu, Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di dunia sehingga banyak peneliti gunung berapi dari berbagai Negara menjadikan Gunung Merapi sebagai obyek penelitian mereka. Gunung Merapi termasuk dalam tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7° 32.5¹ Lintang Selatan dan 110° 26.5¹ Bujur Timur. Secara administratif Gunung Merapi terletak di perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Propinsi Jawa Tengah terbagi atas tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Boyolali di sisi utara, Kabupaten Klaten di sisi Timur, dan Kabupaten Magelang di sisi


(32)

Barat. Sedangkan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu: Kabupaten Sleman di sisi Selatan (BNPB dan BAPPENAS, 2011).

Pada tanggal 20 September 2010, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari Normal menjadi Waspada, dan selanjutnya ditingkatkan kembali menjadi Siaga (Level III) pada 21 Oktober 2010. Sejak 25 Oktober 2010, pukul 06.00 WIB, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari ―Siaga ― (Level III) menjadi ―Awas‖ (Level IV), dan pada 26 Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan berlanjut dengan erupsi lanjutan sampai awal November 2010 (BNPB dan BAPPENAS, 2011).

Erupsi Merapi 2010 ini merupakan bencana terbesar dibandingkan dengan bencana erupsi pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001, dan 2006. Berdasarkan data pusdalops BNPB pada tanggal 12 Desember 2010 data korban erupsi Merapi yang meninggal dunia sebanyak 386 jiwa. Selain itu, bencana tersebut mengakibatkan 15.366 jiwa mengungsi di titik-titik pengungsian yang tersebar seluruh wilayah di D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah bahkan ada yang sampai mengungsi sampai luar kota (BNPB dan BAPPENAS, 2011).

Tabel 1.

Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010 di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah

LOKASI MENINGGAL PENGUNGSI1

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 277 12.839 Provinsi Jawa Tengah 109 2.527 Total DIY dan Jawa Tengah 386 15.366

1

Data yang tercatat di pusdalops akan tetapi pada kenyataan dilapangan ada kurang lebih 320.090 jiwa pengungsi.


(33)

Gambar 1.

Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011

Selain menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, bencana erupsi ini juga membawa dampak kerusakan dan kerugian yang terjadi di 4 (empat) kabupaten disekitarnya yaitu: Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


(34)

Gambar 2.

Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010

Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011

Berdasarkan data dari tim analisa gabungan BNPB, BAPPENAS, Pemda DIY dan Pemda Jawa Tengah pada bulan Januari 2011 teridentifikasi bahwa kerusakan rumah mencapai 2.856 unit.


(35)

Tabel 2.

Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi Gunung Merapi 2010

Provinsi Kabupaten Jumlah

Jawa Tengah Klaten 165

Magelang 9

Boyolali -

Total Jawa Tengah 174

D. I. Yogyakarta Sleman 2.682

TOTAL 2.856

Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011

Dari data di atas, kita mengetahui bersama bahwa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terkena dampak terparah pada erupsi Merapi 2010. Dampak kerusakan terparah tersebut berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dimana sebagian besar dari total keseluruhan korban jiwa 227 jiwa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Selain merenggut ratusan korban jiwa, di Kecamatan Cangkringan ada 2.856 unit rumah rusak parah dan ribuan rumah yang lain rusak sedang hingga ringan serta ribuan hektar lahan pertanian dan pemukiman terkena keganasan awan panas. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut maka dalam penelitian ini, penulis memilih Kecamatan Cangkringan sebagai tempat penelitian dan secara spesifik memilih daerah Kinahrejo dusun dimana Mbah Maridjan ―Juru Kunci Merapi‖ hidup dan meninggal dunia dalam erupsi Merapi 2010 tersebut.


(36)

Dampak dari erupsi Merapi 2010 sangatlah besar. Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik maupun non fisik. Kerusakan dan kerugian fisik antara lain: rumah, ladang, pemukiman dan banyaknya korban jiwa. Kerusakan dan kerugian non fisik antara lain: rasa kehilangan, menderita yang luar bisa dan perubahan pola hidup para penyintas. Lebih dari itu semua, dampak bencana alam (disaster) akan mengakibatkan perasaan tidak berdaya dan terancam yang luar biasa pada penyintas, akhirnya memunculkan perasaan takut yang luar biasa (Sulastri, 2007) atau ‗stres pascatrauma‘ yang dalam istilah klinis disebut sebagai Posttraumatic Stress Disorder yang disingkat PTSD (Parkinson dalam Dewi, 2010). Apabila hal tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan memunculkan gangguan psikologis pada penyintas, keadaan tersebut pada umumnya terjadi disetiap bencana alam.

Akan tetapi, setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana. Faktor-faktornya adalah: (1) tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) kemampuan individu secara umum untuk menghadapi situasi emosional, dan (3) peristiwa lain yang menimbulkan stres mengikuti peristiwa traumatik yang baru dialaminya (American Psychiatri Association [APA], 2000).

Data menunjukkan bahwa ada peningkatan prosentase yang cukup signifikan dari penyintas yang mengalami ganguan psikologis pasca bencana erupsi Merapi 2010.Akan tetapi, sebagian besar penyintas erupsi Merapi 2010


(37)

tetap mampu bangkit dan berubah menjadi lebih baik (resiliensi) pasca bencana alam itu.

B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD

Ada banyak definisi mengenai resiliensi, banyak ahli berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan setelah peristiwa sulit dialami (Grotberg, 1995). Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menghadapi penderitaan. Persamaan kata resiliensi dalam bahasa Indonesia adalah daya lentur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartiakan sebagai tidak mudah patah dan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. ―Daya Lentur‖ sepertinya lebih pas dengan definisi resiliensi di atas, yaitu kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah melewati kondisi yang sulit. Lebih dari itu, resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan atau survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stres dan mengalami penderitaan pada peristiwa traumatis.

Resiliensi adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma serta bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.


(38)

Karakter individu yang memiliki resiliensi seperti terdapat dalam beberapa poin berikut ini (www.APAHelpCenter.org/resilience):

a. Memiliki sikap optimis yaitu terdapat harapan akan masa depan;

b. Individu memiliki keyakinan diri bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif atau menyelesaikan tugas secara mandiri; c. Individu juga percaya bahwa mereka tetap memiliki kendali yang baik

terhadap lingkungan, terutama pasca kejadian trauma;

d. Individu memiliki pemahaman yang baik bahwa setiap pengalaman hidup memiliki alasan tertentu, dan mereka masih memiliki sumber personal dan sosial untuk memenuhi tuntutan hidup tersebut;

Serta individu yang bersangkutan biasanya aktif, percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka, terutama pasca kejadian traumatis. Menurut Alexander (dalam Dewi, 2010), setelah melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi. Dengan kata lain, individu yang resiliensinya baik akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Menyesuaikan diri dengan keadaan adalah juga menyesuaikan diri tanpa membuatnya merasa terganggu kembali terhadap peristiwa traumatis yang menjadi bagian dari dirinya.

Reaksi psikologis individu terhadap peristiwa traumatis bervariasi dan tergantung pada banyak faktor seperti karakteristik individu, sistem dukung yang ada dan pengalaman traumatis yang langsung dialami atau tidak pada peristiwa traumatis tersebut (Webb dalam Dewi, 2010). Hal tersebut juga sangat berpengaruh pada resiliensi seseorang dalam menghadapi peristiwa


(39)

traumatis. Narasi reseliensi pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam terealisasi dengan terbuktinya masyarakat korban erupsi bangkit dari keterpurukannya.

Peristiwa traumatis pada umumnya berpotensi menimbulkan stres. Dalam fase yang lebih akut, stres ini akan memunculkan gangguan stres pascatrauma atau PTSD. Tanda-tanda PDSD meliputi ketakutan, ketidakberdayaan, dan rasa dihantui. Lebih lanjut, gejala gangguan ini antara lain: (a). mengalami kembali peristiwa traumatis, misalnya melalui mimpi buruk atau terbayang kembali peristiwa tersebut; (b). menghindari stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatis, tidak dapat merespons, atau berkurangnya responsivitas terhadap lingkungan sekitar; dan (c). meningkatnya ketergugahan, seperti sulit tidur atau tidur tidak nyenyak, mudah jengkel atau marah, kesulitan berkonsentrasi, dan menampilkan respons keterkejutan (APA, 2000).

Pada penelitian ini, penyintas wanita dikatakan bebas dari PTSD ketika terbebas dari gejala-gejala PTSD. Deskripsi gejala-gejala PTSD berikut ini diadaptasi dari DSM IV (APA, 2000):

a. Seseorang telah mengalami peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut ini muncul:

 Penderita atau korban mengalami, menyaksikan atau dikonforontasi dengan sebuah peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang melibatkan pengalaman kematian atau ancaman kematian, cedera yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisiknya atau orang lain


(40)

 Respons penderita atau korban terhadap peristiwa tersebut melibatkan ketakutan yang intens, perasaan tidak berdaya, perasaan horror, atau persepsi anda terhadap peristiwa yang menyebabkan emosi-emosi tersebut

b. Seseorang mengalami kembali peristiwa dengan satu atau beberapa cara berikut ini:

 Penderita atau korban mengalami rekoleksi peristiwa yang mengganggu, intrusif dan sering muncul yang meliputi bayangan, pikiran dan persepsi

 Penderita atau korban mengalami mimpi yang mengganggu dan berulang atas peristiwa yang terjadi

 Penderita atau korban bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatis tersebut terjadi berulang ulang dan penderita atau korban mungkin mengalami perasaan dimana ia mengalami kembali peristiwa tersebut melalui halusinasi, ilusi dan kilas balik aktif

 Penderita atau korban mengalami gangguan psikologis atau reaksi tubuh yang intens ketika terekspos pada tanda-tanda eksternal maupun internal yang menandakan atau menyerupai peristiwa traumatis tersebut (misalnya: penglihatan, bau, suara, tanggal), hal-hal ini disebut triggers (Pemicu)

c. Seseorang tetap menghindari hal-hal atau peristiwa (pemicu) yang diasosiasikan dengan trauma dan mebekukan respon dengan tiga atau lebih cara berikut ini:


(41)

 Penderita atau korban melakukan berbagai macam cara untuk menghindari munculnya pikiran, perasaan atau percakapan yang terkait dengan trauma tersebut atau menghindari aktivitas, tempat, atau orang-orang yang dapat menyebabkan anda mengingat trauma tersebut

 Penderita atau korban tidak dapat menngingat aspek penting yang terjadi pada peristiwa tersebut

 Minat dan partisipasi dalam aktivitas menjadi jauh berkurang

 Penderita atau korban merasa terasing dari orang lain

 Kemampuan penderita atau korban untuk merasakan emosi dan jumlah emosi yang dirasakan menjadi terbatas (misalnya: ia tidak dapat merasakan perasaan mencintai)

 Penderita atau korban mengalami perasaan dimana pandangan terhadap masa depan menjadi terbatas. Penderita atau korban tidak dapat melihat jauh ke masa depan (misalnya: ia tidak memiliki pengharapan untuk memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau usia yang normal)

d. Seseorang juga memiliki gejala persisten berupa rangasangan fisik yang meningkat yang tidak ada muncul sebelum terjadinya trauma seperti yang diindikasikan oleh dua atau lebih hal berikut ini:

 Sulit tidur atau sulit untuk tetap tidur

 Mudah tersinggung atau kemarahan yang meluap

 Sulit berkonsentrasi

 Waspada yang berlebihan


(42)

e. Gejala tersebut berlangsung lebih dari sebulan

f. Karena gejala ini, penderita atau korban mengalami stres dan gangguan dan fungsi sosial, kerja dan area yang penting lainnya.

PTSD dianggap akut jika gejala-gejala tersebut telah berlangsung kurang dari tiga bulan dan dianggap kronis jika gejala telah berlangsung selama tiga bulan atau lebih. PTSD dianggap sebagai serangan yang tertunda jika gejala mulai muncul setidaknya setelah enam bulan setelah terjadinya peristiwa traumatis tersebut. Jika seseorang hanya memiliki beberapa gejala-gejala yang tersebut di atas maka ia baru bisa disebut sebagai penderita PTSD parsial.

Dalam sebuah jurnal psikologi dikatakan bahwa perbedaan dari orang yang hanya mengalami tekanan untuk sementara dalam bagian kehidupannya dengan orang yang mengalami PTSD, secara mendasar dan sederhana dikatakan bahwa orang tidak mengalami PTSD apabila orang tersebut mampu untuk memulai mengelola hidupnya kembali ―berdampingan‖ dengan trauma yang mereka alami. Jadi, pada orang yang mengalami PTSD terdapat proses mengumpulkan kembali memori (recollection) yang mengganggu secara terus menerus (persistent) pasca terjadinya peristiwa traumatis. Persistent recollection terhadap kejadian-kejadian traumatis yang dialami dan dilakukan dengan sadar (bukan diluar kendali) tersebut biasanya akan mendorong


(43)

gangguan secara biologis dan psikologis, yang merupakan bagian dari PTSD (Sulastri, 2007).

Komponen lain yang membuat sebuah peristiwa traumatis dapat menjadi gangguan adalah penilaian subyektif dari penyintas terhadap seberapa parah mereka merasa tertekan, terancam atau merasa tidak berdaya oleh adanya pengalaman tersebut. Jadi, meskipun fakta adanya pengalaman yang tidak biasa (extraordinary atau unusual) bisa disebut sebagai inti dari munculnya PTSD, namun arti (meaning) yang dilekatkan penyintas terhadap peristiwa tersebut juga bisa menjadi bagian paling mendasar dari gangguan yang dialami (Herman, 1992). Proses interpretasi seseorang terhadap arti dari peristiwa traumatis biasanya akan terus terjadi terhadap trauma yang pernah dialami, walaupun peristiwa itu sendiri telah berhenti.

Gejala khas dari PTSD dimulai dari fase, di mana bayangan-bayangan kejadian traumatis seperti terulang kembali (flashback) atau bayangan kejadian tersebut muncul kembali dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan ―beku‖ (daze) dan penumpukan emosi (emotional numbness), menjauhi orang lain, tidak responsive terhadap lingkungan, tidak mampu merasakan perasaan senang (anhedonia), serta menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya (avoidance). Selain itu, juga muncul ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang meningkatkan kembali pada trauma yang pernah dialami.Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi bisa terjadi reaksi yang dramatis (hyperarousal), seperti mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang


(44)

dimunculkan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang pernah dialaminya serta memunculkan reaksi asli terhadap trauma itu. Hyperarousal seperti ini pada dasarnya jarang terjadi, namun simptom hyperarousal menjadi salah satu simptom kuat adanya gangguan PTSD. Munculnya PTSD harus didahului dengan dengan adanya traumatis, dengan masa laten (belum menampakkan secara nyata simtom-simtom PTSD, namun sudah mulai menjangkiti) yang berkisar antara beberapa minggu hingga beberapa bulan, jarang melampaui 6 bulan.

PTSD tidak terbatas pada salah satu jenis peristiwa traumatis tak terkecuali peristiwa traumatis yang diakibatkan karena faktor alam (disaster). Disaster dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa.Tekanan luar biasa yang dimaksud adalah peristiwa traumatis yang menyebabkan adanya ancaman serius terhadap hidup atau integritas diri (tubuh), atau pengalaman berhadapan langsung dengan kematian dan kehilangan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara signifikan terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999). Pengalaman-pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan dimana Pengalaman-pengalaman itu melebihi situasi stres yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kondisi wajar maka itu bisa dikatakan sebagai pengalaman traumatik (Sidabutar dkk., 2003). Terkadang digunakan istilah stres pascabencana untuk merujuk pada stres pascatrauma yang disebabkan oleh bencana.

Pada peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu ada cukup banyak penyintas mengalami PTSD, hal itu mungkin terjadi karena mereka melihat


(45)

sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan kehilangan semua harta bendanya. Situasi traumatis seperti itu akan memblokir sistem normal sehingga membuat orang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan lingkungannya serta arti (Williams & Poijula, 2002).

Dalam pengalaman penulis, gejala-gejala PTSD pada penyintas pada erupsi Merapi 2010 silam nampak secara kuat. Respons keterkejutan cenderung bertahan lebih lama dibandingkan gejala lainnya. Penyintas biasanya menampilakan respons berlari, wajah pucat atau keterkejutan yang lainnya apabila mendengar atau melihat stimulus yang mirip atau ada hubungannya dengan peristiwa traumatis, misalnya: berlari bila mendengar suara gemuruh atau pucat ketika melihat api.

Pada kasus erupsi Merapi, wanita memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik daripada laki-laki. Oleh karena itu, penulis mengambil wanita sebagai subyek dalam penelitian ini.Wanita memiliki karakteristik personal yang menonjol seperti kreativitas, dan kompetensi sosial (Kelly dalam Handayani & Novianto, 2007).Wanita juga memiliki kemampuan berempati, kemampuan untuk melihat makna dari suatu kejadian, sikap realistis melihat situasi diri dan lingkungannya sebagai ciri dari individu-individu yang lentur.

Wanita cenderung memiliki kemampuan untuk membangun hubungan positif dengan orang lain atau ―keterampilan sosial‖. Dalam kasus ini, penulis menemukan bahwa ketika bencana terjadi para ibu masih bisa memikirkan dan mengurusi anak serta anggota keluarga yang lain. Wanita memiliki kemampuan untuk mencari berbagai alternatif dalam berbagai masalah atau


(46)

―keterampilan memecahkan masalah‖, misalnya: ketika para laki-laki masih bingung karena lahan pertanian mereka hilang atau belum bisa ditanami, para wanita mencari alternatif untuk mendapatkan rejeki dengan membuka warung atau menjual kebutuhan para wisatawan disekitar rumah mereka yang hancur. Wanita mempunyai kemampuan untuk percaya pada kemampuan diri dan mandiri atau ―kemandirian‖. Para wanita yang kehilangan suami atau pasangan hidupnya karena menjadi korban keganasan erupsi Merapi tetap mampu mengurusi anak dengan melakukan aktivitas ekonomi, misalnya: memecah batu, menjadi buruh pada proyek-proyek, bertani, berdagang dan pemandu wisata.

C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi

Sejarah mencatat, pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi bencana alam yang pernah terjadi terbukti lebih cepat bangkit melakukan pembenahan pasca bencana alam (gempa bumi 2006). Dalam tulisan ini, penulis membahasakan hal tersebut bahwa masyarakat Yogyakarta cenderung resilien. Faktor penting yang perlu kita gali adalah dukungan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat Yogyakarta. Salah satu landasan filosofi yang berkembang dalam masyarakat Yogyakarta adalah ―Memayu Hayuning Bawana‖ (menghiasi dunia). Narasi Memayu Hayuning Bawana tersebut terealisasi dalam Hamemasuh Memalaning Bumi. Dalam arti bebas Memalaning Bumi dapat kita tafsirkan sebagai bencana alam (erupsi Merapi).


(47)

Falsafah lain yang dipegang dan dihidupi oleh masyarakat Jawa adalah Hangengasah Mingising Budi yang dapat kita artikan sebagai upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi manusia sehingga dari waktu ke waktu dapat menyinergikan kehidupan manusia dengan alam, manusia dengan manusia yang lain dan manusia dengan Tuhan-nya sehingga dapat mencapai keharmonisan di dunia ini (Mulder, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa mengedepankan sikap kehati-hatian, harmoni dan melestarikan alam. Narasi Hangengasah Mingising Budi terealisasikan antara lain dengan kegiatan labuhan, merti dusun, dan slametan yang sudah menjadi tradisi masyarakat lereng gunung Merapi. Slametan berasal dari kata Slamet yang berarti selamat.Dengan demikian Slametan bertujuan untuk menjaga keselamatan dan ketentraman masyarakat dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang berbahaya.

Selain dua falsafah besar tersebut di atas, masyarakat Jawa juga mengenal istilah sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak mementingkan diri sendiri, giat bekerja). Ini adalah ungkapan pokok bagi gaya hidup masyarakat Jawa Kejawen yang mengedepankan perilaku dan sikap sabar, nrimo, eling-waspada, andhap asor dan prasaja (Mulder, 2007). Pada peristiwa traumatis erupsi Merapi 2010, solidaritas sosial orang jawa tersebut terlihat secara nyata. Masyarakat bergerak dengan cepat, banyak relawan yang berasal dari masyarakat sendiri yang bahu membahu membantu masyarakat korban erupsi Merapi 2010 dengan mengadakan penggalangan bantuan yang kemudian didistribusikan langsung kepada penyintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa


(48)

komunitas lokal mempunyai kecerdasan lokal dan lebih cepat tanggap dibanding pemerintah.

Masyarakat Jawa juga mengenal petungan Jawa (penanggalan Jawa) yang berfungsi untuk menyelaraskan kejadian-kejadian di bumi dengan kondisi-kondisi adiduniawi yang ternarasikan dalam kepercayaan jagad cilik; jagad gede. Masyarakat Jawa mempunyai pandangan hidup bahwa pokok-pokok kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa memiliki sikap hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Masyarakat Jawa juga memiliki kepercayaan terhadap bimbingan adikodrati, bantuan nenek moyang atau Tuhan (mitos) dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi erupsi Merapi 2010. Narasi dari kearifan lokal tersebut adalah masyarakat lereng gunung Merapi bisa ―niteni‖ (membaca) tanda-tanda alam yang terkadang tidak bisa dirasionalkan dengan menggunakan ilmu pengatahuan. Hal tersebut adalah bagian dari ilmu pengetahuan lokal (local knowledge) yang perlu kita cari dan kembangkan supaya ada peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana atau dengan kata lain masyarakat lebih ―waspodo‖ (bila terjadi bencana sewaktu-waktu).

Lebih khusus lagi, kita dapat mengartikan bahwa kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Berdasarkan dari penelitian dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman 2009 ada beberapa nilai


(49)

yang berkembang dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku masyarakat Sleman adalah sebagai berikut:

Tabel 3.

Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman

No. Nilai Makna

1. Nilai Kedermawanan Nilai untuk berbagi dan memberi kepada sesama sebagai bentuk solidaritas terdapat dalam ungkapan lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah.

2. Nilai Kebersamaan Nilai untuk melakukan besama-sama sebagai bentuk kerukunan dalam bermasyarakat.

3. Nilai Keteladanan Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik.

4. Nilai Kepasrahan Nilai untuk selalu percaya akan keadilan dan kekuasaan Tuhan atas semua yang terjadi dalam kehidupan.

5. Nilai Perjuangan Nilai untuk selalu memperjuangkan hak, kemakmuran dan kesejahteraan.

6. Nilai Kepemimpinan Ada contoh yang baik dalam setiap tindakan dan memberikan keteladanan. 7. Nilai Ketaqwaan Nilai untuk selalu menyerahkan kepada

Tuhan setelah melakukan segala upaya. 8. Nilai Kegotongroyongan Nilai untuk melakukan kegiatan secara

bersama.

9. Nilai Kesetiaan Nilai untuk berpegang teguh pada komitmen.

10. Nilai Pengorbanan Bahwa setiap pengorbanan yang tulus demi kesejahteraan dan keselamatan rakyat tidak sia-sia.

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, 2009

Basis kearifan lokal menjadi modal sosial untuk melakukan inovasi dalam penanggulangan bencana berbasis komunitas. Strategi ini sebagai alternatif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penanggulangan


(50)

bencana yang ada disekelilingnya. Bahkan dalam penanggulangan bencana berbasis kearifan lokal yang bisa mengapresiasi keberagaman dan keharmonisan masyarakat tersebut akan bisa meningkatkan resiliensi penyintas, khususnya wanita sebagai kelompok rentan dalam setiap bencana.

D. Wanita Jawa

Secara etimologis, kata ―wanita‖ berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Secara harafiah dapat diartikan bahwa seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaaan yang tertata sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Hal yang senada juga diungkapkan oleh ahli filsafat UGM Damarjadi Supadjar bahwa kata ―wanita‖ berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain (Handayani & Novianto, 2008).

Dalam kebudayaan Jawa ada istilah bahwa wanita itu hanya sebagai ―konco wingking‖ sekaligus sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa atau separo dari jiwa). Narasi dari kata ―sigaraning nyawa‖ tersirat bahwa posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas (Handayani & Novianto, 2007).

Namun demikian, kebudayaan patriarki selaku memposisikan wanita sebagai subordinat dan perannya hanya berada disektor domestik. Dominasi


(51)

kebudayaan patriarki tersebut dapat kita temukan pada setiap kebudayaan tak terkecuali kebudayaan Jawa. Namun demikian, ikatan dan konsepsi nilai tersebut berlaku sebagai kondisi ―sakprayoganipun‖ (seyogianya) atau ideal bagi budaya Jawa. Sakprayoganipun ini berarti bahwa segala tindakan dilakukan dengan ndelog kahanan (lihat-lihat situasinya) sehingga ―memberlakukannya‖ pun gumantung kahanan (tergantung keadaan).

Kultur Jawa telah membentuk karakter psikologis masyarakat yang memiliki kecerdasan emosional. Kecenderungan gerak diri orang Jawa dari dunia lahir ke dunia batin telah membentuk karakter psikologis masyarakat Jawa yang akan selalu peka dan memiliki kesadaran diri (mampu menempatkan diri secara tepat dalam posisi sosial), dimana kesadaran diri menjadi inti kecerdasan emosional. Kecenderungan dari gerak sosial dan kultur Jawa tersebut telah membentuk karakter wanita Jawa yang memiliki rasa empati, kesadaran diri tinggi dan peka). Selain itu, ciri karakter yang menonjol pada wanita Jawa, yaitu: sabar, sumeleh dan sumarah (Handayani & Novianto, 2007). Karakter-karakter yang dimiliki oleh wanita Jawa tersebut adalah modal dasar bagi seseorang yang resilien.

Dalam setiap bencana alam wanita selalu digolongkan menjadi kelompok rentan. Hal ini tentu saja akibat dari pengaruh budaya patriarki.Di mana wanita dianggap sebagai makhluk yang tak berdaya dan pasif termasuk dalam budaya Jawa. Namun dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini, banyak temuan penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam memahami peranan dan kehidupan wanita. Banyak penelitian yang


(52)

menunjukkan bahwa betapa besar peranan wanita sebagai entitas yang kuat, berdaya, dan memiliki jiwa mandiri (KP, 2007), meskipun mereka berhadapan dengan situasi kekerasan atau peristiwa bencana alam. Wanita-wanita ini mungkin merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan membutuhkan energi yang besar namun mereka tetap bertahan. Keadaan seperti itu juga dapat kita temukan pada wanita-wanita penyintas erupsi Merapi 2010 silam. Para wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial (Handayani & Novianto, 2008). Berita baiknya, menurut KP (2007), wanita memiliki kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit menekan hidup mereka atau resilien.


(53)

33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Naratif

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kearifan lokal Jawa dalam meningkatkan resiliensi para penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010. Guna melihat peran kearifan lokal dalam erupsi Merapi 2010, maka penghadiran pengalaman personal penyintas wanita perlu diketahui. Berdasarkan tujuan tersebut maka tipe studi naratif pada penelitian ini adalah personal experience story (Lyons & Coyle, 2007). Personal experience story memungkinkan untuk menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase kehidupan, di mana dalam penelitian ini adalah erupsi Merapi 2010.

Sebuah penelitian naratif dalam metode kualitatif memiliki dimensi sosial yang terdiri dari narasi-narasi kelompok atau masyarakat yang bercerita tentang diri, sejarah, dan aspirasi yang dimiliki oleh kelompok atau masyarakat. Oleh karena itu, narasi sosial mampu menjelaskan sejarah suatu kelompok atau masyarakat yang membedakannya dengan kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat lain. Supaya tidak tumpang tindih dengan narasi personal maka individu yang menjadi subyek penelitian dapat mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat. Selain itu dalam melakukan analisa terhadap narasi personal yang telah diperoleh, penulis akan mempertimbangkan narasi sosial yang lebih luas (Smith, 2009).


(54)

Menurut Smith (2009), ada dua langkah besar dalam penelitian dengan pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi. Adapun pengumpulan ini dilakukan lewat wawancara kisah kehidupan yang berisi mengenai pengalaman sehari-hari (dalam penelitian ini berarti pengalaman ketika erupsi). Selain itu, pembuatan jurnal pribadi seseorang, pengumpulan foto, bahkan pembuatan video dapat membantu dalam memperoleh data naratif seseorang.

Kedua adalah menganalisis narasi. Ada dua fase dalam analisis narasi. Yang pertama adalah fase deskriptif. Proses analisis pada fase deskriptif ini dapat dibantu dengan membaginya ke dalam sekuensi, misalnya; awal, tengah, dan akhir. Analisis ini dilakukan dengan cara menyoroti isu penting dalam teks dan mengidentifikasi keterkaitan naratif antar bagian. Selain itu, sub-alur dalam narasi juga perlu untuk ditemukan kemudian dibuat ringkasan agar dapat mengembangkan kerangka coding lewat gagasan atau isu utama dalam cerita. Kerangka coding ini dibuat dengan tujuan menangkap makna menyeluruh dari narasi dan isu khusus yang ada dalam narasi. Fase kedua adalah fase interpretatif. Fase interpretatif berusaha untuk mengaitkan narasi dengan literatur teoritis yang lebih luas sebagai pedomannya.

Guna mencapai tujuan penelitian, studi naratif yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi langkah sebagai berikut (untuk detail akan dijelaskan pada bagian E):

a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum, selama, dan sesudah erupsi Merapi 2010.


(55)

b. Memastikan subyek dan mengumpulkan data.

c. Menganalisa kisah subyek dan menceritakannya kembali lewat sebuah story line.

d. Menganalisa peran kearifan lokal terhadap resiliensi subyek.

B. Subyek Penelitian

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berawal dari asumsi mengenai realitas atau fenomena sosial yang khas dan kompleks memiliki tujuan untuk mendiskripsikan fenomena tersebut secara utuh (Bungin, 2008). Oleh karena itu, untuk memenuhi tujuan dasar penelitian kualitatif tersebut maka dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua orang subyek penelitian yang dengan sengaja dipilih karena sebagai penyintas atau pelaku dan memiliki ingatan tentang peristiwa erupsi Merapi 2010 (Bungin, 2008). Pemilihan ketiga subyek penelitian tersebut juga didasari dengan adanya kecenderungan bahwa cara seseorang untuk mengingat masalalunya bergantung dari hubungannya dengan komunitas (Pennebaker & Banastik, 1997) tidak hanya dalam arti kualitas hubungan namun juga peranan dalam komunitas juga menentukan adanya keterkaitan dari model tersebut.

Peneliti memilih subyek dengan berbagai macam karakteristik yang berdasarkan pada kelas sosial dan kelas ekonomi; abangan dan santri (Geertz, 1960). Subyek pertama adalah Ibu Pur. Ibu Pur merupakan wanita yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas, hidup di lingkungan pondok pesantren yang posisinya masuk pada kawasan bahaya (kurang dari 5 Km dari


(56)

puncak Merapi) pada saat terjadi erupsi tidak mengungsi dan rumahnya menjadi tempat pengungsian warga sekitar. Subyek kedua adalah Ibu Mur. Ibu Mur berasal dari kelas ekonomi menengah, yakni menantu almarhum Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi) yang menjadi korban dari erupsi Merapi 2010. Berdasarkan pada penggolongan yang dilakukan Geertz (1960), maka subyek pertama yang cenderung lekat dengan agama digolongkan sebagai santri, sedangkan subyek kedua yang cenderung lekat dengan adat lokal adalah golongan abangan. Kedua karakteristik yang berbeda diharapkan dapat menghasilkan data yang memperlihatkan variasi sekaligus dinamika untuk saling memperkuat data.

Subyek yang termasuk dalam kategori ‗korban langsung‘(penyintas) merupakan sampel yang akan memberikan informasi langsung, faktual dan apa adanya berdasarkan pada pengalaman pribadi (Bungin, 2008). Dalam kasus ini subjek pertama adalah korban tidak langsung dan korban kedua adalah korban langsung. Dengan perbedaan ini diharapkan diperoleh sebaran data dari dua perspektif yang berbeda.

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini akan berfokus pada resiliensi penyintas, khususnya: wanita pada peristiwa erupsi Merapi 2010. Dengan mengetahui detail dari narasi, perasaan, dan sudut pandang subyek mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010, penulis akan dapat mengetahui bagaimana kearifan lokal berperan pada subyek untuk merekonstruksi atau memaknai ulang peristiwa


(57)

tersebut dan menempatkan makna-makna baru yang khas sehingga bisa bangkit dan menjalani kehidupannya dengan normal kembali (resiliens) serta bebas dari PTSD.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini akan dilakukan secara intensig dengan mengolah temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai macam sarana. Dalam penelitian kualitatif disebutkan bahwa sarana pengumpulan data dalam prosedur kualitatif meliputi: pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset video, dan data sensus (Strauss & Corbin, 2003). Selain itu, keutamaan dari penelitian kualitatif adalah dengan mengumpulkan data yang bersifat meluas serta dari berbagai sumber (Creswell, 1998) dengan tetap berfokus pada pengalaman penyintas mengenai erupsi Merapi 2010. Guna memenuhi prosedur penelitian kualitatif tersebut di atas maka dalam pengumpulan data diawali dengan pengumgumpulan dan pengolahan terhadap penelitian sebelumnya tentang resiliensi dan budaya Jawa, serta berita dari media tentang erupsi Merapi. Guna memperoleh data langsung dari subyek, digunakan wawancara. Berikut adalah uraian mengenai wawancara;

1. Wawancara

Wawancara merupakan sumber utama bagi penelitian naratif (Smith,2009). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan


(58)

empiris yang telah disusun sebelum wawancara dilakukan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya perluasan pertanyaan pada saat wawancara.

Maksud dan tujuan penulis adalah untuk memperoleh kesaksian (testimoni) dari subyek-subyek penelitian mengenai erupsi Merapi 2010. Kepentingan dari kesaksian (testimoni) adalah memberikan ruang bagi penyintas untuk menceritakan peristiwa yang dilihat ataupun dialami secara bebas dan alami melalui cerita (Creswell,1998). Nilai kesaksian (testimoni) tidak terletak pada kemampuannya untuk digunakan sebagai alat klarifikasi atau penyelidikan namun lebih sebagai mediasi truth-telling.

2. Daftar Pertanyaan

a. Tolong Anda ceritakan mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010? b. Apakah saat ini Anda masih sering teringat peristiwa tersebut?

c. Apakah ada kepercayaan atau keyakinan atau persepsi masyarakat (kearifan lokal) yang berkembang di dusun ini mengenai Gunung Merapi?

d. Bagaimana pikiran dan perasaan Anda sekarang terhadap kejadian itu? e. Apa dan bagaimana harapan Anda ke depan dalam menjalani hidup ini?

E. Metode Analisis Thematic Narrative

Analisis thematic narrative adalah sebuah pendekatan dalam mengolah data narasi dalam bentuk transkrip wawancara dengan melibatkan


(59)

penciptaan dan penerapan kode pada data. Analisis tematik sendiri harus dilihat sebagai metode dasar dalam sebuah analisis kualitatif. Identifikasi dan memberi tema adalah salah satu keterampilan umum yang harus dimiliki dalam berbagai macam penelitian kualitatif (Braun, 2006).

Karakteristik analisis tematik adalah fleksibilitas, dimana fleksibilitas tersebut dapat berguna atau berpotensi untuk memberikan laporan yang kaya dan rinci dari sebuah data yang kompleks (Braun, 2006). Tema dalam analisis ini dapat menangkap sesuatu yang penting di dalam data yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian dan mewakili beberapa tingkat respon atau makna yang berlainan.

1. Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa data narasi dan deskripsi yang berasal dari transkrip wawancara semi tersetrukur. Langkah pertama yang akan dilakukan peneliti adalah membaca narasi yang telah ditranskrip tersebut dengan cermat kemudian baru melakukan pengelompokan data.

2. Pengkodean (coding)

Coding (koding) mengacu pada penciptaan kategori dalam kaitannya dengan data. Dalam penelitian kualitatif, model analisis yang digunakan adalah analisis induktif, dimana peneliti akan membuat kategori-kategori, tema-tema, dan pola-pola tertentu yang bersumber dari data (Denzin & Lincoln, 1997). Dengan kata lain, di sini peneliti akan melakukan pengelompokan contoh-contoh dari fakta yang ada di dalam


(60)

istilah umum yang dapat memungkinkan data-data tersebut dimasukkan sebagai jenis yang sama.

Pendekatan induktif yang digunakan dalam analisis data bertujuan untuk (1) menyingkat data yang luas dan beragam teks yang masih kasar ke dalam format ringkasan yang singkat, (2) membangun jaringan yang jelas antara tujuan penelitian dan ringkasan hasil temuan yang berasal dari data yang masih kasar, dan (3) mengembangkan teori tentang model atau struktur yang mendasari penelitian atau proses yang menjelaskan data mentah (Thomas, 2003).

3. Interpretasi dan Pembahasan

Setelah fase deskripsi, penulis masuk pada fase interpretatif dimana penulis akan mengkaitkan narasi dengan kerangka teoritis (Smith, 2009) dan menuliskan analisis penelitiannya ke dalam bentuk narasi. Penulis

lebih tertarik untuk menyebutnya sebagai analisis dan bukan ‘hasil’ karena

analisis dalam penelitian kualitatif merupakan suatu rangkaian penafsiran yang terbuka terhadap pertanyaan (Parker, 2008).

Peneliti akan memasukkan pengalaman personal ke dalam narasi kesimpulan tanpa mengubah alur dan inti dari analisis penelitian (Creswell, 1998), serta mencantumkan berbagai referensi dan beberapa perspektif baru sehingga memungkinkan untuk mengembangkan sebuah penelitian kualitatif (Parker, 2008).


(61)

41

BAB IV

PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA,

DAN PEMBAHASAN

A.Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dari awal Januari 2013-Juni 2013. Pencarian subjek lewat syarat-syarat yang memenuhi kriteria dilakukan pada bulan Februari 2013. Adapun kriteria yang dicari adalah survivors wanita yang selamat dari erupsi Merapi, sudah menikah dan memiliki anak, etnis Jawa, serta berdomisili kurang dari 7 Km di sekitar Merapi. Subyek adalah mereka yang telah menikah dan memiliki anak dengan asumsi bahwa ada beban sekaligus tanggung jawab khusus terhadap anak (sesuai pembagian peran dalam keluarga Jawa bahwa Ibu bertugas mengasuh anak). Subyek yang berdomisili kurang dari 7 Km di sekitar Merapi diasumsikan terkena dampak erupsi secara langsung sekaligus mengalami pengalamn erupsi Merapi 2010.

Wawancara pertama dilakukan bersama Ibu Pur yang merupakan istri seorang tokoh agama di Cangkringan yang menjadi korban namun tidak mengungsi karena rumahnya yang relatif jauh dari ancaman awan panas (bukan berarti tidak mungkin terkena). Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Juni 2013. Dari hasil wawancara maka diperoleh beberapa catatan dan impresi yang diperoleh oleh interviewer.

Wawancara dilakukan di rumah Ibu Pur. Setelah sholat isak, wawancara dilakukan. Subyek adalah seorang istri dari tokoh agama. Kedekatannya


(62)

dengan agama ini membuat jawaban subyek cenderung bernuansa agama. Latar belakang pendidikan yang berupa sekolah agama juga semakin meperkuat kecenderungan ini.

Selama pengalaman erupsi Merapi 2010, subyek tidak mengalami kehilangan yang berarti dalam keluarga, baik secara fisik maupun sosial. Tidak ada gejala kesedihan yang mendalam. Namun, ditemukan ketakutan selama bencana gunung meletus. Ketakutan ini diatasi dengan mempercayakan segala sesuatu kepada suaminya. Dia meyakini bahwa suaminya merupakan orang yang bisa dipercaya. Selain itu, ketakutan juga dijustifikasikan dengan ke-Mahakuasaan Allah. Dengan adanya Allah, subyek cenderung menjadi fatalis. Baginya, semua sudah digariskan Allah.

Dengan memasrahkan (tawakal) semuanya pada Allah, subjek dapat menerima keadaan dan hidup seperti biasa lagi. Resiliensi psikologisnya disokong dengan keyakinan terhadap figur Allah yang Maha Kuasa dan Maha ―Sak Karepe Dewe‖. Subyek juga mengungkapkan bahwa jika suatu saat bencana itu menimpa dia kembali, itu tidak masalah. ―Semua yang menentukan Allah.‖, katanya.

Wawancara selanjutnya dilakukan pada tanggal 17 Juni 2013 bersama Ibu Mursani. Ibu Mursani adalah menantu dari almarhum Mbah Maridjan. Kini dia tinggal di sebuah dusun relokasi. Dusun Kinahrejo yang menjadi kelahiran sekaligus membesarkannya hilang dan hancur ditelan lahar dan awan panas. Dari hasil wawancara maka diperoleh beberapa catatan dan impresi yang diperoleh oleh interviewer.


(63)

Wawancara dilakukan di rumah Ibu Mursani. Setelah mengobrol sekitar 20 menit, wawancara dilakukan. Dari hasil proses berbincang tersingkap bahwa tidak ada yang tersisa dari desanya, kecuali kenangan pahit lagi kerinduan manis yang masih sering mendatangi ingatannya.

Ada banyak kehilangan yag terjadi selama erupsi 2010. Kehilangan yang dia rasakan cenderung bersifat psikologis, misalnya saja kehilangan Mbah Maridjan sebagai sosok yang biasanya berada dan hidup bersama. Kemudian dia merasa kehilangan home (bukan house; yang dipahami sebagai sekadar bangunan). Rasa kehilangan home ini mengantar subyek untuk menciptakan nostalgia dengan tidur di Kinahrejo di waktu tertentu.

Subyek cukup gamblang dalam menceritakan pengalaman selama erupsi Merapi 2010. Nuansa penyampaian cerita berkaitan dengan hal-hal yang dirasanya belum terselesaikan (sirine) dan mengenai kerinduan terhadap masa lalu (tidur di Kinahrejo). Subyek sering menanyakan kalimat tanya yang sifatnya afirmatif seperti ―Iya to? ―, yang dirasakan interviewer sebagai sebuah kehendak untuk benar-benar bercerita secara utuh agar tidak terjadi salah tangkap informasi. Penyampaian yang gamblang dan suasana nostalgia yang muncul semakin membantu jalannya wawancara. Atau dengan kata lain, suasana bercerita yang nyaman semakin tercipta.

Meskipun demikian, penyusunan kalimat tanya oleh interviewer terkadang sukar dipahami artisipan. Namun hal ini tidak menjadi masalah berarti selama berlangsungnya wawancara. Dalam beberapa bagian subyek juga mengalami kesulitan bercerita. Misalnya saja ketika diminta tolong untuk


(64)

menguraikan rasa sakit ketika mendengar sirine. Dalam bagian sakit ini, subyek mengalami kesulitan mentransfer pengalaman rasa sakit secara emosional ke dalam bahasa yang lebih operasional. Meskipun demikian, sebisa mungkin interviewer tetap menghindari kalimat-kalimat yang cenderung memaksa subjek untuk melakukan operasionalisasi. Hal ini dilakukan guna membangun komunikasi yang didasari keterbukaan atau penyingkapan diri.

B.Analisis Data

Tipe penelitian ini adalah Personal Experience Story, di mana pengalaman yang diambil adalah pengalaman resiliensi wanita yang menjadi penyintas erupsi Merapi 2010. Guna menunjukkan pengalaman subyek berkaitan dnegan erupsi 2010, proses penceritaan kembali akan digunakan kerangka waktu yang secara kronologis akan dinarasikan lewat (1) sebelum erupsi (beginning), (2) ketika erupsi (middle), dan (3) setelah erupsi (end). Dari ketiga dimensi waktu tersebut akan diuraikan mengenai interaksi (personal-sosial) yang diharapkan dapat menggambarkan proses resiliensi subyek.

Setelah dilakukan sintesis antara pengalaman Ibu Pur dengan Ibu Mur maka diperoleh tema-tema yang secara kronologis dibagi dalam 3 dimensi waktu. Berikut adalah penguraian tema yang diperoleh:

1. Sebelum Erupsi (Beginning)

a. Manusia sebagai pembaca tanda

Tema manusia sebagai pembaca tanda tampak saat pra-erupsi. Kedua subjek merasakan bahwa Merapi akan erupsi. Ibu Pur menduga


(65)

namun tidak tahu jika erupsi akan besar. Sedangkan Ibu Mur yang lebih sering bersebtuhan dengan pengalaman erupsi telah menduga bahwa erupsi cukup besar sehingga memutuskan untuk mengungsi.

Itu tidak tahu, saya di rumah juga tidak. Nggak ada tanda,

nggak ada…Tapi kejadian yang besar yang Jumat. Yang

Jumat itu ada tanda-tanda. Rumah ini kan gempa. Itu dari siang itu udah gempa, terus langit gelap, terus ada abu sedikit. Tapi siangnya itu juga ngaji di masjid. Itu siangnya panas ya. (Ibu Pur)

Waktu itu kan saya mikirnya erupsi Merapi itu biasa-biasa aja. Soalnya tahun 2006 saya nggak pergi malahan, saya lihat di rumah. Di Masjid itu. Nggak pergi. Saya kira 2010 kemarin kan di atas sudah merah. Jadi saya harus pergi. (Ibu Mur)

b. Cara hidup berdasarkan kearifan lokal

Ada perbedaan antara kedua subjek dalam memandang Merapi. Cara hidup Ibu Pur berkaitan erat dengan agama dan masa kecilnya tidak akrab dengan Merapi, sedangkan Ibu Mur cenderung lebih akrab dengan Merapi sejak kecil sehingga nilai lokalitas masih menempel dalam diri Ibu Mur. Hal ini kemudian berimplikasi pada cara pandang yang berbeda terhadap gunung Merapi.

Nek di dalam agama, Merapi itu juga termasuk ciptaan Allah.Terus Merapi itu kan juga berguna. Kalau nggak meletus kan juga nggak ada pasir, nggak bisa tumbuh tanaman-tanaman di sekitarnya nggak bisa tumbuh subur. Itu juga manfaat bagi manusia. Dan Merapi itu sebagai paku. Bumi kalau nggak ada pakunya, ya nggak tenang, ngombang-ambing. Dulu kan ceritanya, diciptakan pertama kali sebelum ada gunung-gunung kan seperti di atas air. Jadi, terombang-ambing gitu, tapi setelah ada gunung barulah bumi itu tenang. Bisa ditempati manusia. Gunung itu pokoke manfaat ya Mas. (Ibu Pur)


(66)

Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang harus ikut menjaga lingkungannya, penanaman-penanaman, penghijauan. (Ibu Mur)

Kedekatan dan keakrabannya dengan Merapi ini kemudian membuat Ibu Mur menjadi lebih maklum dengan guguran lava dan suara perut Merapi yang bagi orang lain, seperti misalnya Ibu Pur, sebagai suatu hal yang menakutkan. Selain itu keakraban dengan Merapi bisa juga mengantar Ibu Mur untuk naik justru ketika Merapi erupsi yang kemudian akan mengantar kita pada tema ketika erupsi terjadi.

2. Ketika Erupsi (Middle)

a. Rasa penasaran terhadap peristiwa

Ada hal yang begitu mencolok pada Ibu Mur ketika erupsi terjadi. Jika orang lain akan lari ketika erupsi dan guguran lava terjadi. Lain halnya dengan Ibu Mur yang justru ingin melihat keadaan di atas, karenanya dia memutuskan untuk menuju lereng Merapi untuk melihat peristiwa alam yang sudah ramah terhadap pengalamannya. Meskipun demikian, dia tidak diperbolehkan naik karena keadaan erupsi yang cukup parah dibandingkan biasanya.

Saya di pengungsian, saya larinya malah lucu, itu kan malam Jumat ya. Kamis pagi kan anak saya sekolah di Pakem itu, pengen sekolah, ya udahlah. Saya anterin terus saya titipkan anak saya di Wekas itu, malah Merapi malem itu kan meletus to itu saya malah naik. Sampai di Jetan itu sudah nggak boleh naik. (Ibu Pur)


(67)

b. Masa depan yang tak terjamah

Berbeda dengan pengalaman Ibu Mur, dalam pengalaman Ibu Pur muncul tema mengenai masa depan yang tak terjamah. Masa depan yang tak terjamah ini muncul sebagai wujud ketakutan akan kematian yang dia rasakan. Keadaan ketika bencana sangat mencekam dan ketika itu Ibu Pur tidak mengungsi sehingga kekuatan erupsi Merapi yang tidak seperti biasanya ini menciptakan keadaan yang benar-benar chaos pada dirinya.

Wong itu nggak tahu kok itu akan meletus besar itu nggak tahu. Tapi orang Utara sana udah pada ngungsi. Kan sini tempat ngungsi. Jadi saya nggak ngeh, nggak paham itu nanti akan meletus gitu. Nggak persiapan blas yang ngungsi itu. Mobil sini aja dibawa ke Kopeng. Dan hampir aja kena lahar panas itu. Itu lari, mobilnya lari. Paling let 30 meter itu. Kena itu lahar panas. (Ibu Pur)

c. Suami sebagai otoritas

Tema suami sebagai otoritas ini hanya muncul pada pengalaman Ibu Pur. Ketika erupsi terjadi, suami menjadi pengambil keputusan dalam hidup Ibu Pur. Ibu Pur mempercayakan segala sesuatu kepada suaminya yang dia percaya memiliki ―kelebihan‖ seperti orang suci.

Terus saya, itu di rumah, saya tidur. Malah saya tu ngantuk-ngantuknya jam 11 itu. Terus rumahnya goyang-goyang gini to, terus Pak Masrur itu “Ma, ini ada gempa, gempa beneran, kita di masjid aja. Nanti kalau mati di

masjid aja.” Terus anak saya tak bangunin semua. Ke masjid semua. (Ibu Pur)

Kalau saya ndherek Pak Masrur. Perkiraan Pak Masrur kan udah, ini udah selesai. Meletusnya yang paling besar ya cuma ini. Ini udah selesai kok ngungsi, apa gunanya. Ya di rumah aja. Daripada mengungsi wong di sini banyak orang gila. Kalau dibawa ke pengungsian kan malah merepotkan. Iya to? Alasannya apa ya, ya cuma itu. Sini


(1)

Kategorisasi/ Tema (Analytical Category) Ibu Mur

Label Analitis Tema

Pengalaman pahit yang membuat sakit. Pengalaman traumatis. Sirine merupakan wujud perintah secara

metaforis.

Pengalaman traumatis.

Keinginan untuk melihat keadaan. Rasa penasaran terhadap peristiwa.

Ada ingatan berkaitan kejadian. Pengalaman traumatis. Suara sirine mengancam diri. Pengalaman traumatis. Sosok simbah seakan-akan hanya hilang

secara fisik.

Pengalaman kehilangan.

Menerima kenyataan bahwa simbah telah tiada.

Mengatasi keadaan diri.

Berdoa membantu proses menerima kenyataan.

Mengatasi keadaan diri.

Perasaan kehilangan terhadap simbah. Pengalaman kehilangan. Keinginan untuk mengatasi pengalaman

yang tidak mengenakkan.

Mengatasi keadaan diri.

Kemudahan dalam membuat keputusan berkaitan dengan keadaan Merapi.

Memandang sekitar sebagai sesuatu yang mutualistis. Personifikasi Merapi sebagai sahabat. Memandang sekitar sebagai

sesuatu yang mutualistis. Keimanan akan membantu manusia. Allah sebagai segala sumber. Merelakan apa yang dikehendaki Allah. Allah sebagai segala sumber. Allah-lah yang menghendaki sesuatu terjadi. Allah sebagai segala sumber. Bangkit untuk mengatasi keadaan. Mengatasi keadaan diri. Perasaan sepenanggungan. Mengatasi keadaan diri.


(2)

100

Merasa lebih beruntung. Mengatasi keadaan diri. Mengatasi keadaan aktual. Mengatasi keadaan diri. Mendukung kehidupan sekitar. Memandang sekitar sebagai

sesuatu yang mutualistis. Berarti bagi orang lain. Memandang sekitar sebagai

sesuatu yang mutualistis. Membutuhkan orang lain. Memandang sekitar sebagai

sesuatu yang mutualistis.

Membaca tanda-tanda. Manusia sebagai pembaca tanda. Ada ingatan berkaitan kejadian. Pengalaman traumatis.

Rasa ingin kembali pada keadaan terdahulu. Kerinduan pada masa lalu. Sudah mendapat bagian sendiri. Memandang sekitar sebagai

sesuatu yang mutualistis. Nyaman pada keadaan terdahulu. Kerinduan pada masa lalu Keinginan untuk pulang ke rumah. Kerinduan pada masa lalu Rasa rindu dengan rumah tetap ada. Kerinduan pada masa lalu Kepercayaan terhadap mitos. Cara hidup berdasarkan kearifan

lokal. Ada hal tabu yang tidak boleh disebutkan

berkaitan dengan Merapi.

Cara hidup berdasarkan kearifan lokal.

Tidak percaya dengan kejadian. Mengatasi keadaan diri. Mengatasi keadaan ekonomi. Mengatasi keadaan diri. Kebangkitan adalah sesuatu yang baik. Mengatasi keadaan diri. Wanita mengerjakan pekerjaan yang tidak

biasa.

Mengatasi keadaan diri.

Rasa bangga terhadap diri. Mengatasi keadaan diri.


(3)

101

LAMPIRAN 5

Persamaan dan Perbedaan Pengalaman

antara Ibu Pur dengan Ibu Mur


(4)

Persamaan dan Perbedaan Pengalaman antara Ibu Pur dengan Ibu Mur

Persamaan antara Ibu Pur dengan Ibu Mur Perbedaan antara Ibu Pur dengan Ibu Mur

1. Rasa takut akan ketiadaan akibat bencana.

2. Mengatasi rasa takut atau tidak nyaman dengan berdoa. 3. Pemahaman bahwa Tuhan adalah penyebab segala.

1. Ibu Pur tidak mengungsi karena percaya pada suami. 2. Rumah dan desa Ibu Mur habis terkena awan panas,

sedangkan rumah Ibu Pur relatif aman dari awan panas. 3. Ibu Pur mengembalikan segala pengalaman erupsi

kepada keyakinan agama lewat kitab suci.

4. Ibu Pur cenderung memandang Merapi sebagai ciptaan Allah dan memiliki utilitas, sedangkan Ibu Mur

memandang Merapi sebagai sahabat.

5. Ibu Mur mengalami kehilangan sosok yang berarti. 6. Ibu Mur kehilangan kampung halamannya.

7. Ibu Mur mengalami pengalaman traumatis.

8. Ibu Mur berdagang dan menjadi tukang ojek untuk mengembalikan perekonomian keluarga.

9. Ibu Mur menjadi koordinator dalam suatu Kelompok Usaha Bersama di dusunnya.


(5)

103

LAMPIRAN 6


(6)

104

Pembagian Tema secara Kronologis

Sebelum Erupsi (Beginning) Ketika Erupsi (Middle) Setelah Erupsi (End)

4. Manusia sebagai pembaca tanda. 5. Cara hidup

berdasarkan kearifan lokal.

6. Memandang sekitar sebagai sesuatu yang mutualistis.

1. Rasa penasaran terhadap peristiwa. 2. Masa depan yang

tak terjamah. 3. Suami sebagai

otoritas.

1. Mengatasi keadaan diri.

2. Kerinduan pada masa lalu.

3. Allah sebagai segala sumber.

4. Pengalaman kehilangan. 5. Pengalaman

traumatis. 6. Keyakinan akan

nasib.

7. Memandang sekitar sebagai sesuatu yang mutualistis.