Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Paprika Hidroponik di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat

71

6.3. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis

Tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh petani paprika hidroponik di lokasi penelitian selain terkait dengan penggunaan input-input produksi juga sangat terkait dengan sumber-sumber inefisiensi teknis seperti umur petani, pendidikan formal, pengalaman usahatani paprika, umur bibit, keikutsertaan dalam kelompok tani, status usahatani, status kepemilikan lahan, dan perolehan kredit bank. Pendugaan efek inefisiensi teknis diuraikan pada Tabel 18. Tabel 18. Pendugaan Parameter Maximum-Likelihood Model Inefisiensi Teknis Usahatani Paprika Hidroponik Variabel Koefisien t-rasio Intersep 0,9481 0,9380 Umur petani 0,0268 1,6410 Pengalaman usahatani paprika -0,0511 -1,6396 Pendidikan formal 0,0020 0,0391 Umur bibit -0,0684 -1,7945 Keikutsertaan dalam kelompok tani dummy -0,0859 -0,4873 Status usahatani dummy 0,4175 0,7816 Status kepemilikan lahan dummy -0,4787 -0,8916 Kredit bank dummy -0,4602 -1,0158 Keterangan: nyata pada α = 20 Hasil pendugaan dengan metode MLE, diketahui terdapat lima variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis. Variabel yang berkorelasi negatif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis paprika hidroponik yaitu pengalaman usahatani, umur bibit, status kepemilikan lahan, dan kredit bank. Sementara variabel yang berkorelasi positif dan berpengaruh nyata adalah umur petani. Berikut merupakan interpretasi dari masing-masing koefien sumber inefisiensi teknis.

1. Umur Petani

Variabel umur petani dimasukkan ke dalam model efek inefisiensi teknis dengan dugaan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis paprika hidroponik. 72 Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur petani berkorelasi positif dan berpengaruh nyata pada taraf α = 20 persen terhadap efek inefisiensi teknis usahatani paprika hidroponik. Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin tua petani maka penggunaan input produksi juga semakin tidak efisien. Hal ini membuktikan bahwa petani yang berumur lebih muda akan menghasilkan usahatani yang lebih efisien. Kondisi di lapang menunjukan bahwa mayoritas petani responden 64,40 persen berumur kurang dari 45 tahun sehingga masih dikategorikan muda dan produktif sehingga berpotensi untuk meningkatkan efisiensi teknis. Dalam usahatani paprika hidroponik, petani dituntut untuk melakukan penanganan yang intensif dan detail mulai dari persiapan tanam hingga panen. Pertambahan umur petani akan mempengaruhi kondisi fisik sehingga kemampuan bekerja, daya juang dalam berusaha, keinginan untuk menanggung risiko, dan keinginan untuk menerapkan inovasi-inovasi baru akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap penurunan efisiensi. Petani yang lebih tua umumnya dianggap memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada petani yang muda, tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa petani yang berumur lebih tua tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petani yang lebih muda, begitupun sebaliknya. Dengan demikian, umur petani tidak selalu menjadi tolak ukur dari pengalaman sehingga pemisahan variabel umur petani dan pengalaman usahatani sebagai variabel yang berdiri sendiri dalam penelitian ini dianggap relevan.

2. Pengalaman Usahatani

Pengalaman usahatani diukur berdasarkan selang waktu petani responden dalam menjalankan usahatani paprika. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman yang dihitung sejak usahatani paprika masih bersifat konvensional non-hidroponik hingga menjadi usahatani paprika hidroponik. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengalaman usahatani paprika berkorelasi negatif dan nyata terhadap tingkat inefisiensi teknis pada taraf α = 20 persen. Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal, dimana semakin lama pengalaman responden dalam usahatani paprika maka akan semakin efisien secara teknis atau tingkat inefisiensi akan semakin rendah. 73 Lamanya pengalaman usahatani paprika petani responden beragam, yaitu sebanyak 32,20 persen memiliki pengalaman 6-10 tahun, sebanyak 28,81 persen memiliki pengalaman 11-15 tahun, dan sebanyak 27,12 persen yang memiliki pengalaman lebih dari 16 tahun. Seiring dengan semakin lamanya pengalaman yang dimiliki petani, maka akan semakin banyak pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan budidaya sebelumnya. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi di masa mendatang dapat lebih mudah diatasi dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

3. Pendidikan Formal

Pendidikan formal diukur dari jumlah waktu tahun yang ditempuh petani dalam menjalankan masa pendidikan formalnya. Variabel ini dianggap sebagai tolak ukur dari kemampuan manajerial petani. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pendidikan formal berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap inefisiensi teknis. Nilai koefisien parameter yang positif menunjukkan bahwa semakin lama pendidikan formal yang dijalani petani maka akan semakin meningkatkan inefisiensi teknis. Koefisien yang bernilai positif bertolak belakang dengan hipotesis awal. Akan tetapi lamanya waktu pendidikan formal yang ditempuh responden tidak berpengaruh terhadap efisiensi teknisnya. Hal ini diduga karena penerapan budidaya paprika hidroponik di lokasi penelitian tidak melalui pendidikan secara formal, namun dengan mempraktikan secara langsung di lapang. Adapun mayoritas petani responden adalah lulusan SD 37,29 persen dan lulusan SMP 28,81 persen yang termasuk dalam tingkat pendidikan yang rendah. Peningkatan keterampilan dan manajerial petani responden sebaiknya lebih diutamakan melalui pendidikan non-formal seperti pelatihan, penyuluhan, dan lokakarya.

4. Umur Bibit

Umur bibit menunjukkan hubungan negatif dan berpengaruh nyata terhadap ine fisiensi teknis pada taraf α = 20 persen. Hasil ini sesuai dengan dugaan awal bahwa semakin tua umur bibit maka akan semakin menurunkan inefisiensi dalam produksi paprika hidroponik atau dengan kata lain semakin tua bibit yang digunakan akan semakin efisien secara teknis. Rata-rata petani paprika menanam bibit yang berusia 30 hari setelah semai sedangkan umur bibit yang 74 direkomendasikan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran yaitu sekitar 6 minggu atau 42 hari setelah semai. Penggunaan bibit yang masih berusia muda akan berisiko tinggi terhadap kematian tanaman karena masih rentan terhadap serangan hama dan penyakit serta belum dapat melakukan penyesuaian terhadap suhu di dalam greenhouse penanaman. Sebaliknya bibit yang berusia lebih tua akan lebih mudah beradaptasi dengan kondisi di greenhouse penanaman sehingga terhindar dari risiko kematian dini.

5. Keikutsertaan dalam Kelompok Tani

Keikutsertaan dalam kelompok tani diukur dengan dummy, dimana petani anggota kelompok tani diberi nilai 1 dan petani bukan anggota kelompok tani diberi nilai 0. Variabel dummy keikutsertaan dalam kelompok tani dimasukkan dalam model efek inefisiensi teknis dengan dugaan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis usahatani paprika hidroponik. Hasil yang diperoleh sesuai dugaan awal dimana petani yang tergabung dalam kelompok tani akan lebih efisien secara teknis dibandingkan dengan petani yang tidak bergabung dengan kelompok tani, namun ditemukan tidak berpengaruh nyata. Hasil ini analisis berkaitan dengan data di lapang dimana jumlah petani yang tergabung dan tidak tergabung dalam kelompok tani proporsinya hampir seimbang, sehingga hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata. Data menunjukkan bahwa sebanyak 31 orang 52,54 persen adalah anggota kelompok tani dan sebanyak 28 orang 47,46 persen bukan anggota kelompok tani. Selain itu, berdasarkan pengamatan, peran kelompok-kelompok tani yang ada di lokasi penelitian tidak berjalan sebagaimana mestinya. Petani anggota kelompok tani cenderung bekerja sendiri-sendiri dan kurang ada koordinasi terkait dengan aspek teknis atau budidaya di lapang. Kegiatan penyuluhan juga tidak rutin dilakukan karena pelaksanaannya tergantung pada kesedian PPL dalam memberikan materi penyuluhan dan kesepakatan dari anggota.

6. Status Usahatani

Status usahatani di lokasi penelitian diukur dengan dummy, dimana petani yang menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan utama diberi nilai 1 dan petani yang menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan sampingan diberi nilai 0. Nilai variabel dummy status usahatani 75 berkorelasi positif terhadap inefisiensi teknis namun tidak berpengaruh nyata. Nilai koefisien positif menunjukkan bahwa petani yang menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan sampingan lebih efisien dibandingkan dengan petani yang menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan utama. Berdasarkan data di lapang, mayoritas petani responden yaitu sebanyak 54 orang 91,53 persen menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan utama dan hanya 5 orang 8,47 persen yang menjadikan usahatani paprika hidroponik sebagai pekerjaan sampingan. Hasil analisis membuktikan bahwa status usahatani tidak mempengaruhi tingkat inefisiensi usahatani paprika hidroponik di lokasi penelitian. Hal ini diduga karena kemampuan antara petani yang menganggap usahatani paprika sebagai pekerjaan utama dengan petani yang menganggap usahatani paprika sebagai pekerjaan sampingan berada pada level yang setara, meskipun petani yang menganggap usahatani paprika sebagai pekerjaan sampingan memiliki curahan waktu yang lebih sedikit dibandingakn dengan petani yang menganggap usahatani paprika sebagai pekerjaan utama.

7. Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan responden diukur dengan dummy, dimana petani yang menggunakan lahan bagi hasil diberi nilai 1 dan petani yang menggunakan lahan milik sendiri diberi nilai 0. Status kepemilikan lahan bernilai negatif dan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani paprika pada taraf α = 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa status kepemilikan lahan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis usahatani paprika hidroponik di lokasi penelitian. Nilai koefisien positif yang sesuai dengan hipotesis awal menunjukkan bahwa petani yang mengusahakan paprika hidroponik pada lahan bagi hasil lebih efisien secara teknis dibandingkan dengan petani yang mengusahakan paprika hidroponik di lahan milik sendiri. Berdasarkan data terdapat 49 orang 83,05 persen petani yang mengusahakan paprika di lahan milik, sedangkan sisanya yaitu 10 orang 16,95 persen. Petani yang mengusahakan paprika hidroponik di lahan bagi hasil akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dan lebih termotivasi untuk menjalankan usahataninya dengan lebih baik. Semakin besar hasil produksi yang 76 dicapai maka nilai bagi hasil yang diperolehnya juga akan semakin besar, sebaliknya jika hasil produksi yang dicapai kecil maka nilai bagi hasil yang diperolehnya juga akan semakin kecil. Oleh karena itu, petani yang mengusahakan paprika hidroponik di lahan bagi hasil akan mempergunakan peluang yang ada dengan lebih baik.

8. Kredit Bank

Variabel kredit bank diukur dengan dummy, dimana petani yang memperoleh kredit bank diberi nilai 1 dan petani yang tidak memperoleh kredit bank diberi nilai 0. Dugaan awal hubungan kredit bank terhadap efisiensi teknis usahatani yaitu petani yang memperoleh kredit akan memiliki efisiensi yang lebih besar karena petani akan memiliki kemampuan menggali modal lebih banyak untuk membiayai dan mengembangkan usahataninya. Selain itu petani yang memperoleh kredit bank akan lebih berusaha untuk mengelola usahataninya dengan penggunaan input produksi yang lebih efisien untuk dapat mengembalikan kredit yang dipinjamnya. Hasil analisis pada Tabel 18 sesuai dengan dugaan awal bahwa kredit bank berkorelasi negatif terhadap inefisiensi teknis usahatani paprika hidroponik dan berpengaruh nyata pada taraf α = 20 persen. Ini menunjukkan bahwa bank sebagai lembaga keuangan formal dapat berperan dalam meningkatkan efisiensi teknis paprika hidroponik. Akan tetapi, dari total 59 petani responden, hanya sebagian kecil 18,64 persen petani responden yang memperoleh kredit bank untuk tambahan modal usahataninya. VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PAPRIKA HIDROPONIK Analisis pendapatan usahatani paprika hidroponik meliputi analisis penerimaan, analisis biaya, analisis pendapatan, dan analisis RC. Perhitungan usahatani paprika hidroponik dalam penelitian ini dilakukan untuk satu periode tanam, mulai dari persiapan tanam hingga panen. Untuk memudahkan perhitungan dan analisis, luasan lahan greenhouse dalam penelitian ini telah dikonversi menjadi 1.000 m 2 . Alasan lainnya dalam pengambilan luasan tersebut yaitu karena luasan lahan greenhouse yang dimiliki sebagian besar petani responden adalah sebesar 1.000 m 2 . 7.1. Penerimaan Usahatani Paprika Hidroponik Analisis terhadap penerimaan usahatani paprika hidroponik di Desa Pasirlangu merupakan analisis atas penerimaan tunai. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang langsung diperoleh dalam bentuk uang tunai dari hasil penjualan paprika hidroponik. Penerimaan tidak tunai tidak dimasukkan ke dalam analisis dengan pertimbangan bahwa seluruh hasil panen paprika hidroponik yang dihasilkan oleh responden langsung dijual dan tidak ada yang disimpan untuk konsumsi rumah tangga ataupun digunakan untuk bibit. Tabel 19. Penerimaan Usahatani Paprika Hidroponik per 1.000 m 2 di Desa Pasirlangu Periode Tanam 2011-2012 Penerimaan Jumlah kg Harga Rpkg Nilai Rp Paprika hijau 3.384,74 9.475,00 32.070.411,50 Paprika merah 2.030.84 13.500,00 27.416.340,00 Paprika kuning 1.353.89 16.000,00 21.662.240.00 Penerimaan tunai 81.148.991,50 Penerimaan non tunai Total penerimaan 81.148.991,50 Penerimaan usahatani paprika hidroponik dihitung dari hasil perkalian antara jumlah produksi paprika hidroponik yang dihasilkan selama satu periode tanam dengan harga jual rata-rata yang diterima petani. Jumlah rata-rata produksi 78 paprika hidroponik di lokasi penelitian pada musim tanam terakhir adalah 6.769,47 kg per 1.000 m 2 untuk ketiga jenis paprika yang dihasilkan. Jenis paprika yang paling banyak dipanen adalah paprika hijau karena kebutuhan pasar akan paprika jenis ini sangat tinggi, khususnya untuk pasar dalam negeri. Jumlah produksi paprika hijau adalah sebesar 3.384.74 kg dengan harga jual rata-rata Rp 9.475,00. Sementara produksi paprika merah sebesar 2.030,84 dengan harga jual rata-rata Rp 13.500,00 dan produksi paprika kuning sebesar 1.353,89 dengan harga jual rata-rata Rp 16.000,00. Penerimaan tunai sekaligus penerimaan total yang diperoleh petani responden dari hasil penjualan semua jenis paprika hidroponik adalah sebesar Rp 81.148.991,50.

7.2. Biaya Usahatani Paprika Hidroponik

Dokumen yang terkait

Analisis Usahatani dan Keunggulan Komparatif-Kompetitif Pengusahaan Paprika Hidroponik di Desa Pasir Langu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

0 8 148

Analisis Saluran Pemasaran Paprika Hidroponik di Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

2 18 134

Analisis Usahatani dan Analisis Kelayakan Usahatani pada Budidaya Paprika (Capsicum annum var. grosumm) dengan Sistem Hidroponik (Studi Kasus di PT Cipta Citra Persada, Desa Naringgul Bawah, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

2 15 106

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani paprika hidroponik di Kecamatan Parangpong Kabupaten Bandung

3 19 95

Analisis gender dalam pengembangan agribisnis paprika (Kasus komunitas petani Kampung Pasirlangu, Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat)

0 16 113

Analisis risiko produksi cabai paprika di kelompok tani dewa family Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat

2 26 88

Analisis risiko produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi paprika hidroponik (Studi kasus kelompok tani paprika “Dewa Family” Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat)

7 59 145

Analisis Pendapatan Usahatani Sayuran di Desa Panundaan, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

10 42 80

Analisis pendapatan dan efisiensi teknis usahatani ubi kayu desa galuga kecamatan cibungbulang kabupaten Bogor

2 11 70

ANALISIS PENGETAHUAN GIZI IBU BALITA DI DESA PASIRLANGU CISARUA BANDUNG BARAT.

0 3 24