Pendidikan Anak dalam Keluarga

g Sikap mengkritik prilaku dan pekerjaan anak. h Sikap yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap usaha untuk karya anak. Adapun Santrock, “seorang psikolog pendidikan Universitas Texas mengemukakan ada empat gaya pengasuhan orangtua yang bisa berdampak positif dan negatif terhadap anak. ” 39 Gaya pengasuhan tersebut adalah: a Gaya otoriter Outoritative Parenting b Gaya berwibawa Authoritarian Parenting c Gaya acuh-tak acuh Neglectful Parenting, dan d Gaya pemanja Indulguent Parenting. Orangtua dengan gaya otoriter Outoritative Parenting akan mendesak anak-anaknya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dan menghormati mereka. Untuk itu, mereka tidak segan-segan menghukum anak secara fisik. Orangtua memberi batasan-batasan pada anak-anaknya secara keras mengontrol mereka dengan ketat. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini mengalami banyak masalah psikologis yang dapat menghambat mereka untuk belajar. Di rumah mereka cenderung cemas dan merasa tidak aman. Di sekolah, mereka juga tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan demikian mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dengan teman- temannya. Mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang sangat rendah sehingga menimbulkan banyak hambatan psikologis. Orangtua dengan gaya berwibawa Authoritarian Parenting akan mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Ketika dibutuhkan mereka memberi pengarahan dan dukungan. Bila anak- anaknya membuat kesalahan, orangtua mungkin menaruh tangan di pundak anaknya dan dengan menghibur berkata “kamu tahu, harusnya kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu 39 Monty P, Satia darma, dan Fidelis F. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003, h. 123-125. bisa mengatasi situasi ini lain kali”. Dengan demikian, anak-anak sudah diajarkan bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Anak- anak mengembangkan kemampuan bersosialisasi, percaya diri, dan mampu bekerja sama dengan orang lain. Kesulitan-kesulitan yang mereka alami tidak menjadi beban psikologis yang menghambat mereka untuk belajar. Orangtua dengan gaya acuh-tak acuh Neglectful Parenting akan cenderung bersikap permisif, membolehkan anaknya melakukan apa saja. Biasanya, orangtua tidak terlalu terlibat dalam kehidupan anaknya. Anak-anaknya disini mengalami kekurangan kasih sayang dan kurang mendapat “perhatian” yang sangat mereka butuhkan. Anak-anak seperti ini tidak mampu bersosialisasi dan memiliki kontrol diri yang sangat rendah. Tidak ada kontrol diri ini mengakibatkan banyak masalah psikologis yang mereka hadapi dan mengganggu konsentrasi belajar mereka baik di rumah maupun di sekolah. Selain itu, anak-anak biasanya tidak memiliki motivasi untuk belajar apalagi berprestasi. Orangtua dengan gaya pemanja Indulguent Parenting, hampir setiap orangtua dengan gaya pemanja, akan terlalu terlibat dalam urusan anak-anaknya dengan memberikan semua yang diminta oleh anaknya. Orangtua juga sering memberikan anak-anaknya melakukan apa yang mereka inginkan dan mendapatkan dengan cara mereka apa yang mereka maui. Hasilnya, anak-anak dalam keluarga ini biasanya tidak belajar untuk mengontrol diri atas tingkah lakunya dan menemui banyak kesulitan psikologis karena ketidak mandirian mereka atau karena ketergantungan mereka pada orang lain. “Prof. Dr Singgih D Guna dan Dra. Singgih Gunarsa mengemukakan bahwa corak hubungan orangtua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu: ” 40 40 Singgih D Gunarsa dan Ny. Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung Mulia, 1995, Cet. VII, h. 82-84. a Pola Asuh Otoriter Pola ini menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Cirinya : orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan dan alasannya, apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum hukuman diterima, pada umumnya hukuman berbentuk hukuman fisik, orangtua tidak atau jarang memberi hadiah baik berupa kata-kata atau bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orang tua. b Pola Asuh Demokratis Pola ini memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orangtua. Cirinya: apabila anak harus melakukan aktifitas, orangtua memberikan penjelasan alasan perlunya hal tersebut dilaksanakan, anak diberi kesempatan untuk memberi alasan mengapa ketentuan dilanggar sebelum menerima hukuman, hukuman diberikan berkaitan dengan perbuatannya berat atau ringan tergantung pada pelanggarannya, serta hadiah atau pujian diberikan orangtua. c Pola Asuh Bebas Permisif Pola ini mengarahkan orangtua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Hanya pada hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orangtua baru bertindak. Cirinya: tidak ada aturan yang diberikan orangtua, tidak ada hukuman, dan ada anggapan bahwa anak akan belajar dari tindakannya yang salah.

3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga

Keluarga adalah kelompok manusia pertama yang ditemui setiap anak yang baru dilahirkan. Keluarga juga merupakan media pertama dan satu- satunya selama beberapa tahun yang mentransformasikan nilai-nilai, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan anak selanjutnya. “Hal ini akan tampak jelas ketika anak itu kemudian dewasa, anak-anak yang mendapat pengasuhan baik dan memperoleh pendidikan cukup dalam keluarga akan berbeda dengan anak- anak yang pengasuhannya dalam keluarga tidak baik dan tidak memperoleh dasar pendidikan yang cukup ”. 41 Ada beberapa hal penting yang perlu ditanamkan oleh keluarga muslim kepada anak-anaknya, diantaranya sebagai berikut: a. Adab kepada Allah Adab kepada Allah yang paling utama adalah mengesakan Allah Tauhidullah. Ini merupakan prinsip yang paling utama di dalam Islam karena semua nilai di dalam Islam dibangun atas prinsip ini. Ini pulalah yang menjadi misi utama para Nabi dan Rasul yang diutus Allah ke bumi. Meskipun Nabi dan Rasul diutus dengan syariat yang berbeda- berbeda, namun mereka disatukan oleh misi ini. Dalam mengajarkan tauhidullah ini, hal pertama yang perlu ditanamkann kepada anak adalah bahwa Allah itu ada, dan Dia tunggal. Hanya ada satu Tuhan, tidak ada Tuhan selain Allah. Ia mencipta, memelihara, dan memiliki segala sesuatu. Ia tidak punya dan tidak memerlukan apapun dalam mengerjakan semua ini. Semua makhluk bergantung kepada-Nya. Tidak pula ada yang serupa dengan-Nya. Ia mengetahui segala yang ada di langit dan bumi dengan serinci-rincinya, serta Ia tidak hanya mengetahui segala yang nampak, tetapi juga segala sesuatu yang tersembunyi. 41 Muchlis M. Hanafi, Tafsir Al- Qur’an Tematik; Pembangunan Generasi Muda,Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, 2011 , h. 129. Keberadaan Allah dapat dikenali melalui berbagai ciptaan-Nya, baik yang ada di langit dan di bumi. Itu merupakan salah satu hikmah Allah menciptakan alam semesta ini, yaitu sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal-Nya. “Untuk menanamkan keyakinan Allah itu ada, maka ajaklah anak-anak untuk memikirkan berbagai ciptaan Allah yang dikenalnya. Seperti dengan menyelami keindahan yang ada di alam semesta, seperti matahari, bintang, bulan, bumi, gunung, laut, daratan, pepohonan, hewan- hewan, dan termasuk dirinya sendiri.” 42

b. Adab kepada Rasulullah

Rasulullah adalah orang yang paling mulia dikalangan manusia. Ia dimuliakan oleh Allah dan seluruh malaikat, serta orang-orang yang beriman. Maka adab kepada Rasulullah adalah dengan cara memuliakan dan menghormati beliau. “Anak-anak hendaknya sejak awal diperkenalkan kepada kepribadian Rasulullah yang mulia sehingga menimbulkan rasa kagum bagi anak-anak. Pengenalan ini termasuk kebiasaan-kebiasaannya, tutur katanya, tingkahlakunya, nasehat- nasehatnya, para keluarganya, para sahabatnya, dan lain-lain. ” 43

c. Adab kepada Orangtua

Orangtua hendaknya mengajarkan tentang pentingnya untuk berbuat baik kepada orangtua, dengan bersikap hormat, patuh, berbakti dan selalu berkata dengan perkataan dan cara yang baik.

d. Adab kepada Diri Sendiri

Orangtua hendaknya mengajarkan anak tentang hakikat diri sang anak sebagai manusia. Anak perlu diarahkan dan dituntun untuk mengenali hal apa saja yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Hal ini agar cenderung kepada hal-hal yang baik dan menghindari yang buruk. Seperti kata semboyan “Jika kamu mengenal dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu”. 42 Wendi Zarman, Op.Cit., h. 85. 43 Wendi Zarman, Ibid., h. 89.

e. Adab kepada Orang Lain

Dalam kehidupan, manusia merupakan makhluk sosial yang pasti dan akan selalu berinterkasi satu sama lain. Karenanya manusia akan membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dalam interaksi ini, anak-anak harus diajarkan mengenai kedudukan dirinya terhadap orang lain. Setiap orang yang berintraksi dengan sang anak memiliki kedukukan yang berbeda-beda sehingga adab kepada masing-masing orang pun berbeda. Perbedaan ini dapat timbul misalnya, ketakwaan, keilmuan, dan usia, serta dapat juga timbul dari peran seseorang di masyarakat. Pengetahuan terhadap kedudukan ini memberikan pemahaman kepada anak mengenai adab-adab bergaul dengan orang lain. Ada beberapa adab yang perlu diajarkan kepada anak dalam bersikap kepada orang lain. Orang lain yang dimaksud dibatasi pada orang-orang yang paling sering berinteraksi dengan anak, yaitu orangtua, saudara, guru, dan teman. Secara umum, seorang anak harus diajarkan untuk selalu bersikap ramah kepada siapapun. Anak juga perlu menunjukkan sifat sederhana, rendah hati, dan tidak semena-semena terhadap siapapun.

f. Adab kepada Alam

Alam ini adalah amanah Allah, dan setiap amanah harus dijaga sebagaimana keinginan Pemberi Amanah. Manusia tidak bisa bertindak semaunya dalam memperlakukan alam. Oleh karena inu anak-anak harus dididik untuk senantiasa menjaga kelestarian alam dengan cara tidak merusaknya, memperlakukan semena-mena, tidak digunakan secara berlebihan, tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

g. Adab kepada Ilmu

Anak-anak harus ditanamkan mengenai keutamaan ilmu, sehingga tumbuh kecintaannya terhadap ilmu dan keinginan untuk mendalaminya. Menuntut ilmu hendaknya menjadi prioritas anak yang harus diupayakan semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ini merupakan adab pertama terhadap ilmu.

4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan

a. Pengertian Kekerasan

Menunurut Heddy Shri Ahimsa Putra dalam buku Endang Sumiarni, secara umum kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. 44 Dengan demikian kekerasan dapat dikelompokkan dalam kategori kekerasan fisik, mental, dan seksual. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UUPKDRT secara lebih rinci menjelaskan pengertian-pengertian tentang kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Menurut ketentuan pasal 6 Undang-Undang tersebut, “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.” Kemudian mengenai kekerasan psikis, di dalam pasal 7 Undang- Undang Tersebut dikatakan bahwa “Kekerasan psikis adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, danatau penderitaan psikis ber at pada seseorang”. Selanjutrnya, mengenai kekerasan seksual, pasal 8 ayat a dan b UUPKDRT menggariskan bahwa kekerasan seksual meliputi: pemaksaan hubungan seksual seseorang untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu. Melihat pengertian-pengertian di atas maka kekerasan dapat diartikan bukan semata-mata kekerasan fisik tetapi juga kekerasan mental dan sosial. 44 Endang Sumiarni, Pendekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan Penelantaran Anak, Yogyakarta: UGM Dr Sardjito, 2002

b. Bentuk-bentuk kekerasan

Berdasarkan data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan kekerasan dalam keluarga rumah tangga dan kasus yang ditangani kepolisian, bentuk kekerasan yang terjadi adalah: 1 Kekerasan fisik, merupakan bentuk kekerasan dimana korban mengalami penderitaan yang secara fisik baik dalam bentuk ringan maupun berat. Kekerasan fisik dalam bentuk ringan misalnya mencubit, menjambak, memukul dengan pukulan yang tidak menyebabkan cidera, dan sejenisnya. Sebagaimana disebutkan pada pasal 6 bahwa kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah “perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh saki, atau luka berat. ” 45 Kekerasan fisik kategori berat misalnya memukul hingga cidera, menganiaya, melukai, membunuh, dan sejenisnya. Kekerasan fisik dengan bekas yang dapat dilihat dengan kasat mata biasanya mudah diproses melalui hukum, karena terdapat bukti materiil yang digunakan sebagai alasan. 2 Kekerasan seksual, adalah kekerasan yang dapat berbentuk pelecehan seksual seperti ucapan simbol, dan sikap yang mengarah pada porno, perbuatan cabul, perkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: 1 “pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut; 2 pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. ” 46 3 Kekerasan psikis, adalah bentuk kekerasan yang tidak tampak bukti yang dapat dilihat secara kasat mata. Kekerasan psikis sering menimbulkan dampak yang lebih lama, lebih dalam, dan memerlukan rehabilitasi secara intensif. Bentuk kekerasan psikis antara lain 45 UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004 46 UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004