penderita. Oleh karena itu diperlukan terapi bicara khusus bagi penderita yang mengalami efek stroke pada kemampuan berbahasa. Terapis bicara akan memberikan
saran-saran tentang bagaimana keluarga dan penderita mampu berkomunikasi malalui kemampuan bicara, gerak isyarat, menulis atau bentuk apapun supaya penderita tidak
merasa terkucilkan. Sebanyak 46,2 responden mengatakan bahwa fungsi terapi bicara adalah
untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi bagi penderita dan untuk mengurangi tingkat depresi penderita. Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa responden
mengetahui fungsi terapi bicara secara benar. Fungsi terapi bicara tidak hanya untuk memampukan penderita dalam menggunakan kata-kata, tetapi bagaimana penderita
mampu berkomunikasi dengan orang lain, sehingga penderita mampu mengutarakan apa yang diinginkan dan mampu mengkomunikasikan apa yang dia butuhkan.
Ketidakmampuan penderita dalam berkomunikasi dapat mengakibatkan penderita depresi. Kemampuan penderita dalam berkomunikasi akan membantu penderita
terlepas dari depresi dan frustasi.
5.3.6. Pengetahuan Responden Tentang Kenapa Penderita Pasca Stroke Memerlukan Psikoterapi
Dari tabel 4.14. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengetahui alasan untuk menjalani psikoterapi adalah karena penderita pasca stroke mengalami
depresi, marah, frustasi dan takut akan masa depan dan kehilangan harapan yaitu sebesar 57,7, sedangkan 42,3 mengetahui karena itu saran dari dokter.
Universitas Sumatera Utara
Sebanyak 57,7 responden mengetahui bahwa penderita menjalani psikoterapi karena penderita pasca stroke mengalami depresi, marah, frustasi dan takut akan masa
depan dan kehilangan harapan. Dalam hal ini responden mampu menjawab secara benar tentang alasan kenapa penderita pasca stroke memerlukan psikoterapi. Hal ini
sesuai dengan pendapat pendapat Lumban Tobing, SM. 1998 yang mengatakan bahwa penderita mengalami pukulan ketika mengalami stroke yang menimbulkan
krisisi sosial dan emosional. Penderita yang biasanya aktif, dapat bekerja , dapat berjalan, dapat memberikan nasehat, memberikan biaya tiba-tiba harus tergeletak di
tempat tidur dan bergantung pada orang lain. Hal ini mebuat penderita depresi, frustasi, marah dan takut akan masa depan.
Sebanyak 42,3 responden menyatakan bahwa penderita menjalani psikoterapi karena itu adalah saran dokter. Hal ini menunjukkan responden tidak
mengetahui secara tepat tentang alasan kenapa penderita menjalani psikoterapi. Setiap program rehabilitasi yang dijalankan oleh penderita adalah disusun oleh dokter
rehabilitasi secara khusus untuk setiap penderita. Responden mengikuti saran dari dokter tanpa tahu apa yang penyebab tindakan itu diperlukan. Dalam hal ini penulis
berasumsi bahwa keluarga penderita percaya pada dokter dn tidak menganalisa apa penyebab tindakan tersebut dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
5.3.7. Pengetahuan Responden Tentang Peran Keluarga Terhadap Penderita Pasca Dalam Upaya Rehabilitasi Stroke
Dari tabel 4.15. dapat dilihat bahwa semua responden mampu menjawab benar
4 jawaban tentang peranan keluarga terhadap penderita pasca stroke dalam upaya rehabilitasi pasca stroke.
Dalam kuesioner, untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang peranan keluarga terhadap penderita pasca stroke disusun pertanyaan dalam bentuk
pilihan sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sabarti 2001 yang menyatakan bahwa peranan keluarga terhadap penderita pasca stroke adalah sebagai pemberi
dukungan, sebagai perawat bagi penderita, penghubung antara penderita dan petugas rehabilitasi, sebagai pengubah lingkungan sebagai penyesuaian terhadap penderita,
sebagai pendidik bagi penderita dan sebagai penyedia biaya. Dalam penelitian ini semua responden yaitu 100 mampu menyatakan
peranan keluarga secara keseluruhan. Hal ini penulis berasumsi bahwa seluruh responden mengetahui secara benar tentang peran keluarga terhadap penderita pasca
stroke dalam upaya rehabilitasi pasca stroke. Sebagai keluarga sudah selayaknya anggota keluarga yang sehat berperan membantu penderita untuk mendapatkan
kesehatan, mulai dari merawat, mencari palayanan kesehatan dan berusaha mencapai tingkat kesehatan yang tertinggi untuk penderita pasca stroke.
Universitas Sumatera Utara
5.3.8. Pengetahuan Responden Tentang Apakah Penderita Pasca Stroke Melakukan Rehabilitasi yang Sama
Dari tabel 4.16. dapat kita lihat bahwa sebagian besar responden tidak mengetahui tentang adanya perbedaan terapi yang dilakukan bagi setiap penderita
stroke yaitu sebanyak 59,6 dan 40,4 mengetahuinya. Hal ini menunjukkan sebanyak 59,6 responden mengetahui tentang adanya
perbedaan terapi yang diterima setiap penderita. Sebagian responden mampu menganalisa upaya-upaya rehabilitasi yang dilakukan pada setiap penderita di pusat
rehabilitasi sebagimana pendapat Shimberg 1998 bahwa setiap stroke berbeda dan mempengaruhi penderita secara unik. Terapi yang dilakukan penderita yang satu tidak
dapat disamakan dengan penderita lainya. Dokter rehabilitasi akan berperan dalam hal ini untuk menyusun program terapi yang akan dijalani penderita.
Sebanyak 40,4 responden menyatakan bahwa semua penderita mendapat rehabilitasi yang sama. Hal ini menunjukkan responden belum mengetahui tentang ada
tidaknya perbedaan rehabilitasi yang dilakukan oleh setiap penderita pasca stroke. Penulis berasumsi bahwa keluarga penderita kurang mengamati kegiatan
–kegiatan yang dilakukan oleh para peserta rehabilitasi stroke di pusat rehabilitasi stroke.
5.3.9. Pengetahuan Responden Tentang Alasan Penderita Pasca Stroke Tidak Mendapatkan Jenis Rehabilitasi yang Sama.
Dari tabel 4.17. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengetahui
tentang alasan penderita mendapat perbedaan proses rehabilitasi yaitu efek serangan stroke berbeda pada setiap orang sebanyak 83,9 dan 16,1 mengetahui karena jenis
stroke yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 83,9 responden mengetahui adanya perbedaan jenis rehabilitasi yang berbeda karena mampu menjelaskan alasan penderita
mendapat rehabilitasi yang berbeda yaitu karena efek serangan setiap stroke berbeda pada setiap orang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Harsono 1996 yang mengatakan bahwa letak kerusakan otak pada penderita berbeda dan mengakibatkan perbedaan letak
kelumpuhan juga, yaitu : Hemiparesis sinistramemperlihatkan ketidakmampuan
persepsi visiomotor, kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri, Hemiparesis Dextra Penderita ini biasanya mempunyai kekurangan dalam
kemampuan komunikasi verbal, Paraparesis Timbul gangguan pseudobulber biasanya hanya pada vaskuler dengan tanda-tanda hemiplegic dupleks, sukar
menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hiperaduksi.
Sebanyak 16,1 responden menyatakan bahwa perbedaan jenis rehabilitasi yang dijalankan penderita adalah karena jenis stroke yang berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa responden belum mampu menjelaskan secara jelas tentang alasan kenapa penderita stroke mendapat jenis rehabilitasi yang berbeda. Stroke yang berbeda
memang mengakibatkan perbedaan efek pada setiap penderita, tetapi pada jenis stroke yang sama bisa mengakibatkan efek yang berbeda pada masing-masing individu.
Universitas Sumatera Utara
5.3.10. Pengetahuan Responden Tentang Tenaga Medis Yang Berperan dalam Upaya Rehabilitasi Pasce Stroke
Dari tabel 4.18. dapat dilihat bahwa seluruh responden yaitu 100 bisa
menjawab benar 5 jawaban tentang tenaga medis yang berperan dalam upaya rehabilitasi pasca stroke. Penulis berasumsi bahwa seluruh responden sudah
mengetahui tenaga medis yang berperan dalan upaya rehabilitasi karena sudah mampu menyebutkan tenaga medis yang berperan dalam upaya rehabilitasi pasca stroke, yaitu
dokter rehabilitasi, perawat rehabilitasi, fisioterapis, okupasional terapis, terapis bicara, psikologi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Thomas 1995 yang menyatakan bahwa tenaga medis yang berperan dalam upaya rehabilitasi medis adalah dokter rehabilitasi
medik sebagai ketua tim yang menyusun program rehabilitasi, perawat rehabilitasi bertugas melakukan
positioning
yang benar, untuk mencegah komplikasi sarta memperpendek masa pemulihan juga membantu latihan buang air besarkecil, aktivitas
sehari-hari, transfer, mobilisasi bersama fisioterapis dan terapi okupasi dilakukan di bangsal, fisioterapist yang bertugas memeriksa dan mengevaluasi gangguan motorik
dan sensorik yang mempengaruhi fungsi dan menyesuaikan program fisioterapi secara individu sesuai keadaan pasien, okupasional terapis bertugas memeriksa,
mengevaluasi dan menyusun program yang berhubungan dengan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari AKS misalnya cara makan, menulis, berpakaian, membersihkan diri
sendiri, dll, terapi wicara bertugas mengevaluasi masalah-masalah komunikasi dan psikologi bertugas mengevaluasi keadaan psikologi penderita secara tuntas, termasuk
keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
5.3.11. Pengetahuan Responden Tentang Batas Waktu Upaya Rehabilitasi Stroke