Waktu Penelitian Analisa Data

penting dilakukan untuk memperoleh kondisi stater yang optimum, karena stok A. xylinum biasanya berada pada kondisi dorman sehingga perlu disegarkan kembali. Hal ini dilakukan agar bakteri A. xylinum tidak membutuhkan waktu yang lama untuk adaptasi ketika dipindahkan pada medium baru. Stater yang baik adalah stater yang berada pada fase pertumbuhan, karena pada fase ini mikroba sedang aktif berkembang sehingga tidak memerlukan waktu adaptasi yang lama ketika dipindahkan ke dalam medium yang baru, jumlah sel meningkat dengan pesat dan kepadatan populasi meningkat beberapa kali lipat. Bakteri A. xylinum memiliki fase pertumbuhan pada hari ke 6 - 7 Slusarska, dkk, 2008. Pada penelitian ini stater ditumbuhkan selama 7 hari. Umur kultur yang akan digunakan sebaiknya jangan lebih dari 10 hari, karena volume akan berkurang akibat makin menebalnya lapisan nata, nutrisi dalam cairan stater berkurang dan jumlah koloni makin berkurang. Pengkulturan dapat dilakukan beberapa kali jika kondisi stater belum siap untuk produksi pelikel hingga diperoleh kondisi yang optimum. Hal ini diduga bakteri masih memerlukan waktu untuk adaptasi karena beberapa waktu berada dalam kondisi dorman. Dengan penggantian ke dalam medium yang baru untuk beberapa kali diharapkan nutrisi tetap terjaga untuk bakteri melakukan pertumbuhan. Parameter stater yang baik adalah tidak ditumbuhi jamur, tebal nata sekitar 1 - 1,5 cm dan pertumbuhannya cepat nata sudah mulai terbentuk pada hari ke 3. Berikut adalah gambar perbedaan kondisi stater yang baik dan kurang baik. a b Gambar 11. Perbedaan kondisi starter Keterangan : a. Kondisi stater tidak optimum b. Kondisi stater optimum

4.3.4 Pembuatan membran selulosa bakteri

Stater yang diperoleh dalam kondisi optimum selanjutnya diperbanyak sesuai kebutuhan untuk produksi selulosa bakteri. Sintesis selulosa bakteri dilakukan dengan menumbuhkan stater bakteri Acetobacter xylinum pada medium pertumbuhan dengan air kelapa sebagai mikronutrien. Campuran media, air kelapa dan biakan bakteri dikembangkan dalam wadah steril dan kemudian diinkubasi selama 8 hari pada suhu 30±2 o C. Air kelapa diketahui memiliki mikronutrien yang cukup baik untuk pertumbuhan mikroba, Komponen yang terpenting yang terdapat di dalam air kelapa adalah karbohidrat gula. Air kelapa dari buah yang sudah tua mengandung sukrosa, vitamin dan mineral penting untuk pertumbuhan mikroba. Kelapa yang baik adalah kelapa yang telah berumur 6 bulan, karena pada umur ini kandungan nutrisinya paling maksimum Piluharto, dkk, 2003. Selain kelapa juga digunakan ammonium sulfat dan gula. Ammonium sulfat digunakan sebagai sumber nitrogen. Nitrogen merupakan senyawa penting karena merupakan komponen dasar penyusun protein. Sedangkan gula adalah sumber karbonkarbohidrat yang akan dimanfaatkan A. xylinum untuk sintesis selulosa ekstraseluler. Gambar 12. Pemeraman dalam inkubator Hasil fermentasi bakteri Acetobacter xylinum dalam media air kelapa sebagai mikronutrien akan dihasilkan pelikel atau yang disebut dengan nata de coco. Proses terbentuknya pelikel merupakan rangkaian aktifitas bakteri Acetobacter xylinum dengan nutrien yang ada pada media cair. Karena Acetobacter xylinum adalah bakteri yang memproduksi selulosa, maka nutrien yang berperan adalah nutrien yang mengandung glukosa. Dalam penelitian ini nutrien yang mengandung glukosa adalah air kelapa dan gula pasir. Gambar 13. Polimerisasi Glukosa yang berperan dalam pembentukan selulosa adalah glukosa dalam bentuk β sehingga semua glukosa yang ada dalam bentuk α akan diubah dalam bentuk β melalui enzim isomerase yang berada pada bakteri Acetobacter xylinum Piluharto, dkk, 2003. Tahap berikutnya glukosa berikatan dengan glukosa yang lain melalui ikatan 1,4 β-glikosida. Tahap terakhir adalah tahap polimerisasi yaitu pembentukan selulosa. Polimerisasi ini terjadi melalui enzim polimerisasi yang ada pada bakteri Acetobacter xylinum. Secara fisik pembentukan selulosa adalah terbentuknya pelikel. Produksi lempeng nata pelikel dikatakan berhasil jika ketebalan rata, pelikel tidak berlapis, warna putih kekuningan, tidak terdapat jamur dan ketebalan berkisar 1 - 1,5 cm pada masa inkubasi 8 hari. Pelikel yang terbentuk pada penelitian ini memiliki warna putih kekuningan, tidak berjamur dan memiliki ketebalan antara 0,8 - 1 cm pada masa inkubasi 8 hari sehingga dapat dikatakan berhasil. Pelikel yang terbentuk kemudian dicuci dengan air mengalir, larutan NaOH 4 dan H 2 O 2 0,25. Gambar 11 menunjukkan tahapan proses pencucian tersebut. Gambar 14. Proses pencucian pelikel yang dihasilkan Keterangan : A= pelikel setelah fermentasi 8 hari, B = pelikel dicuci dengan air mengalir, C = pelikel dicuci dengan NaOH pada suhu 90 o C-95 o C, D = Pelikel yang dicuci dengan H 2 O 2 pada suhu 40 o C-45 o C Pencucian dengan air mengalir bertujuan menghilangkan sisa asam dan gula. Selain itu untuk menghindari reaksi browning ketika dipanaskan dengan NaOH, karena reaksi browning akan menyebabkan warna membran yang dihasilkan berwarna coklat. Pencucian dengan larutan NaOH 4 bertujuan untuk menghilangkan sisa sel-sel bakteri yang terperangkap dalam jaringan pelikel selulosa serta sisa-sisa substrat Slusarska, 2008. Komponen-komponen non-selulosa ini diduga akan menghalangi ikatan yang terjadi antar rantai molekul selulosa yang mengakibatkan terhadap menurunnya kekuatan sifat mekanis selulosa Piluharto, 2003. Pelikel selanjutnya dicuci dan direndam dalam air suling untuk menghilangkan sisa NaOH hingga diperoleh pH netral. Proses C D A B kemudian dilanjutkan dengan pencucian menggunakan larutan H 2 O 2 0,25 untuk proses pemutihan sekaligus sebagai efek bakterisidal. Gambar 15. Reaksi browning Keterangan : A= pelikel setelah pencucian dengan NaOH, B = membran yang dihasilkan berwarna kecoklatan Pelikel yang telah dimurnikan kemudian dihilangkan kadar airnya dengan hand press selanjutnya dikeringkan pada suhu 27 o C - 29 o C hingga diperoleh ketebalan 0,02 mm. Membran yang dihasilkan kemudian diradiasi pada dosis dan laju dosis yang berbeda dan kemudian dilakukan karakterisasi membran. Berikut adalah gambar membran yang dihasilkan dari proses fermentasi dari A.xylinum dalam air kelapa sebagai mikronutrien. Gambar 16. Membran selulosa bakteri yang dihasilkan dari fermentasi A. xylinum dalam media yang mengandung air kelapa. Keterangan : A= pelikel setelah pemurnian, B = pengeringan, C = membran selulosa bakteri A B C A B

4.3.5 Pembuatan larutan PVA polivinil alkohol

Dibuat larutan PVA dengan konsentrasi 2. 4, dan 6. Untuk larutan PVA 2 ditimbang sebanyak 10 gr serbuk PVA dan dilarutkan dalam 500 ml aquadest, untuk larutan PVA 4 ditimbang sebanyak 20 gr serbuk PVA dan dilarutkan dalam 500 ml aquadest, untuk larutan PVA 6 ditimbang sebanyak 30 gr serbuk PVA dan dilarutkan dalam 500 ml aquadest. Larutan PVA tersebut di otoklaf pada suhu 121 C selama 20 menit kemudian diangkat dan didinginkan.

4.3.6 Optimasi waktu perendaman selulosa bakteri – PVA

Sebanyak 9 buah membran selulosa bakteri kering dengan ukuran 14 x 8 cm, ditimbang dan dicatat sebagai bobot awal W , lalu direndam dalam larutan polivinil alkohol PVA pada suhu 37 C. Pada saat waktu perendaman 1 jam, 2 jam, 4 jam, 24 jam, 30 jam membran selulosa bakteri diambil dan cairan yang terdapat pada bagian permukaan membran dihilangkan dengan cara diblotting dengan menggunakan tissue. Membran selulosa bakteri tersebut ditimbang kembali dan dicatat sebagai bobot akhit membran setelah perendaman W t . Dibuat kurva hubungan antara waktu perendaman dengan berat hasil perendaman. Daya absorpsi = W W Wt  x 100 Keterangan: W o = berat sebelum perendaman W t = berat setelah perendaman

4.3.7 Pembuatan selulosa bakteri – pva

Sebanyak 9 buah membran selulosa bakteri kering dengan ukuran 14 x 8 cm, ditimbang dan dicatat sebagai bobot awal W , lalu direndam dalam larutan polivinil alkohol PVA pada suhu 37 C selama 24 jam. Membran selulosa bakteri diambil dan cairan yang terdapat pada bagian permukaan membran dihilangkan dengan cara diblotting dengan menggunakan tissue. Membran selulosa bakteri tersebut ditimbang kembali dan dicatat sebagai bobot akhit membran setelah perendaman W t . Kemudian diiradiasi dengan mesin berkas elektron EBM dengan energi 1,5 MeV dan arus 2 mA miliampere pada dosis 25 kGy. Daya absorpsi = W W Wt  x 100 Keterangan: W o = berat sebelum perendaman W t = berat setelah perendaman 4.3.8 Pembuatan membran selulosa bakteri kering – pva + vitamin C Membran selulosa bakteri yang telah direndam dengan larutan polivinil alkohol selanjutnya di semprotkan dengan larutan vitamin C sebanyak 1 ml pada masing-masing membran selulosa bakteri. Kemudian diradiasi dengan mesin berkas elektron EBM dengan energi 1,5 MeV dan arus 2 mA miliamper pada dosis 25 kGy.

4.3.9 Karakterisasi membran selulosa bakteri – pva sebelum dan sesudah radiasi

1. Uji Tebal Membran Membran selulosa bakteri dalam keadaan basah dan kering yang telah disterilkan diukur ketebalannya pada beberapa bagian yang berbeda dengan menggunakan alat mikrometer. Pengukuran dilakukan disetiap tempat atau sisi secara acak sebanyak 10 kali. Membran tersebut lalu dihitung ketebalan rata-ratanya. 2. Uji Sifat Mekanik kekuatan tarik dan perpanjangan putus membran selulosa bakteri - pva Alat tensiometer dinyalakan selama 15 menit sebelum digunakan, diatur beban dan kecepatan alat yang diinginkan untuk memutuskan sampel. Beban yang digunakan sebesar 100 kg, chart speed diatur pada kecepatan 100 mmmenit, dan cross head speed diatur pada kecepatan 25 cmmenit. Setelah alat dipanaskan selama 15 menit membran kemudian diuji kekuatan tariknya. Kekuatan tarik tensile strength didefinisikan sebagai kemampuan atau ketahanan suatu materi terhadap gaya yang akan merobeknya. Sebelum di uji kekuatan tarik membran dipotong dengan pisau khusus sehingga berbentuk seperti dummbel, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Membran yang telah dipotong kemudian diuji kekuatan tarik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Tebal area pengukuran diukur dengan menggunakan alat micrometer pada lima daerah yang berbeda, lalu dihitung rata-rata tebal membran. Gambar 17. Membran dalam bentuk dummbel Gambar 18. Cara pengujian kekuatan tarik Kekuatan tarik merupakan sifat yang penting untuk polimer yang akan mengalami perlakuan fisik dalam aplikasinya. Seperti halnya membran selulosa bakteri, parameter ini perlu di uji untuk mengetahui ukuran kekuatan membran selulosa bakteri. Berikut adalah gambar diagram karakteristik kekuatan tarik dan perpanjangan putus dari beberapa jenis material. Gambar 19. Diagram karakteristik kekuatan tarik dan perpanjangan putus beberapa jenis material. Perpanjangan putus elongation adalah persentasi peningkatan panjang materi sebelum mengalami putus. Perpanjangan putus dihitung pada sampel yang mengalami perputusan pada bagian tengah sampel yang telah diberi tanda sepanjang 1 cm, seperti yang ditunjukkan pada ilustrasi Pegangan untuk menahan sampel berikut. Persentasi perpanjangan putus merupakan hasil pengurangan panjang akhir dengan panjang awal dibagi dengan panjang awal dan dikalikan 100 persen. Gambar 20. Ilustrasi penetapan perpanjangn putus Rumus Kekuatan Tarik : r = A F = txl F x 100 Keterangan: r = kekuatan tarik kgcm 2 F = beban untuk memutuskan sampel kg A = luas sampel yang mengalami tarikan cm 2 t = tebal sampel cm l = lebar sampel cm Rumus Perpanjangan Putus : E = Lo Lo - La x 100 Keterangan : E = perpanjangan putus L a = panjang sampel pada saat putus cm L o = Panjang sampel awal cm 3. Fraksi gel Selulosa bakteri – pva hasil iradiasi hidrogel dipotong dengan ukuran 4 x 5 cm 2 kemudian ditimbang W O . Hidrogel dimasukkan kedalam stainless steel net. Untuk menghilangkan fraksi yang larut, hidrogel di ekstraksi di waterbath pada suhu 80 – 90 C selama 8 jam. Setelah itu hidrogel di otoklaf pada suhu 121 C selama 15 menit dikeringkan pada suhu 60 C, 80 C, 100 C sampai bobot konstan. Fraksi gel dihitung dengan persamaan : Fraksi gel = Wo Wt x 100 Keterangan : W o = bobot hidrogel sebelum fraksi gel W t = bobot hidrogel keringsetelah diekstraksi 4. Uji keasaman dan kebasaanpH Cara : pH masker ditentukan dengan menggunakan pH meter, yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan dapar standar pH 4 dan pH 7. 5. Uji pelepasan vitamin C 1 Pembuatan membran difusi Membran yang digunakan adalah kertas Whatman no. 1 yang diimpregnasikan dengan cairan Spangler yang dimodifikasi. Komposisi cairan Spangler adalah sebagai berikut : Asam Palmitat 10 Asam Oleat 15 Asam Stearat 5 Minyak Kelapa 15 Paraffin 10 Kolesterol 5 Lilin Putih 15 Bahan untuk Spangler dilebur dan diaduk homogen. Dimasukkan ke dalamnya kertas Whatman no.1 dengan diameter 2,5 cm selama 15 menit. Segera diangkat dan dikeringkan selama 3 hari, kemudian tentukan jumlah cairan yang diserap oleh kertas saring. Bobot kertas Whatman sebelum dan sesudah impregnasi ditimbang untuk mendapatkan kondisi yang sama pada setiap kertas Whatman. Persentase impregnasi membran dihitung berdasarkan rumus : Persentase impregnasi : Bo Bo - Bt X 100 Keterangan : Bt = berat kertas Whatman sesudah impregnasi Bo = berat kertas Whatman sebelum impregnasi Kertas Whatman yang digunakan untuk percobaan difusi adalah yang memiliki bobot yang hampir sama. 2 Pengukuran difusi masker Siapkan seperangkat alat difusi yang telah dihubungkan dengan pompa peristaltik. Kompartemen reseptor dikondisikan pada suhu 37 C ±1 C dengan cara mengalirkan air yang bersuhu 37 C ±1 C pada water jacket yang menyelimuti kompartemen reseptor. Kompartemen donor diisi dengan 100 ml air suling. Secara perlahan letakkan kertas Whatman yang telah diimpregnasi di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Sediaan membran selulosa bakteri - pva ukuran lingkaran pada pelat sel difusi kemudian kertas Whatman di letakkan diatasnya sambil dihindarkan masuknya udara antara kertas Whatman dan membran selulosa bakteri - pva. Cincin penjepit diletakkan dan kemudian ditutup. Alat disimpan dalam bak air bersuhu 37 C dan pompa peristaltik dijalankan. Pengambilan cuplikan sebanyak 5 ml dilakukan selama 1 jam pada menit 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 60. Setiap kali pengambilan 5 ml cuplikan, volume medium diganti dengan 5 ml larutan medium yang baru dengan volume yang sama. Sampel disaring dengan kertas Whatman. Setiap cuplikan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum vitamin c yang telah diperoleh Kumar, et al, 2009; Jaimini, et al, 2007. 6. Pembuatan kurva kalibrasi vitamin C Larutan induk vitamin C dibuat dengan konsentrasi 10 ppm, dengan melarutkan 1 mg vitamin C dalam 100 ml aquadest. Dari larutan induk dibuat deret standar dengan konsentrasi 1 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm. Setiap konsentrasi larutan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum vitamin c. Kemudian dibuat persamaan kurva kalibrasi y = a + bx USP 30 – NF 25, 2007.

4.4 Analisa Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis menggunakan uji analisa varian ANOVA satu arah terhadap konsentrasi variasi PVA 2 , 4 , 6 . 84

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Sifat dan karakteristik dari selulosa bakteri – PVA hasil iradiasi hidrogel yang digunakan sebagai matriks topeng masker wajah yaitu uji tebal membran, uji absorpsi, uji sifat mekanik kekuatan tarik dan elongasi, uji fraksi gel. 2. Konsentrasi PVA yang optimal untuk memperbaiki karakteristik dan sifat mekanik selulosa bakteri – PVA hasil iradiasi hidrogel sebagai matriks topeng masker wajah yaitu pva konsentrasi 6 karena memberikan absorpsi 238,773 , kekuatan tarik 1137 kgcm 2 , elongasi 86,666 , 89,655 . 3. Selulosa bakteri – PVA hasil iradiasi hidrogel dapat digunakan sebagai matriks topeng masker wajah karena selulosa bakteri mempunyai daya absorpsi yang tinggi dan menahan air dalam jumlah besar. 4. Data statistik dari kekuatan tarik, elongasi, dan gel fraksi PVA dan PVA+vit C tiap konsentrasi sebelum dan sesudah radiasi berbeda.

6.2 Saran

Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut membran selulosa bakteri – pva sebagai matriks topeng masker wajah secara mikrobiologi dan kemampuan membran selulosa bakteri – pva sebagai matriks topeng masker wajah secara klinis.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Pengumpulan

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah air kelapa yang diperoleh dari pasar di daerah Pasar Jumat, Jakarta Selatan . Dan biakan bakteri Acetobacter xylinum diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Kelompok Bahan Kesehatan Bidang Proses Radiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional BATAN Pasar Jumat, Jakarta Selatan 5.1.2 Hasil uji tebal membran selulosa bakteri kering dan basah sebelum diradiasi Hasil pengujian terhadap ketebalan membran selulosa bakteri dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Sedangkan hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2. Tabel 4: Hasil uji pengukuran tebal membran selulosa bakteri kering dan basah sebelum diradiasi

5.1.3 Hasil optimasi waktu perendaman membran selulosa bakteri – pva

Hasil uji optimasi waktu perendaman membran selulosa bakteri – pva yang dihasilkan dari penelitian dapat dilihat pada tabel dan grafik dibawah ini. Sedangkan data hasil uji optimasi waktu perendaman dan contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 3. Sampel Kering Basah Membran selulosa bakteri Tebal Rata-rata Standar deviasi 0,028 0,006 0,094 0,008 Tabel 5 : Tabel hasil optimasi waktu perendaman membran selulosa bakteri dengan PVA 2 , 4 , 6 100 200 300 400 500 600 700 1 2 4 24 30 54 A b so rp si W akt u pere ndam an jam pva 6 pva 4 pva 2 Gambar 21.Hasil uji optimasi waktu perendaman membran selulosa bakteri dengan larutan pva 2 , 4 , 6

5.1.4 Hasil uji sifat mekanik membran selulosa bakteri – pva sebelum dan sesudah diradiasi

Hasil pengujian sifat mekanik membran selulosa bakteri – pva yang meliputi pengujian kekuatan tarik dan perpanjangan putus membran dapat dilihat pada tabel 3 – tabel 6 dan grafik 4 – grafik 7 dibawah ini. Sedangkan contoh hasil dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4 – 27. Waktu perendaman Berat membran selulosa bakteri Selulosa bakteri – pva 2 Selulosa bakteri – pva 4 Selulosa bakteri – pva 6 1 jam 2 jam 4 jam 24 jam 30 jam 54 jam 113,396 106,464 135,552 144,981 179,877 158,721 112,437 124,432 165,014 195,149 217,068 192,205 121,563 117,268 145,806 201,882 238,773 220,053