Pengaruh Penggunaan Asam Asetat Dan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum L.) Terhadap Daya Awet Dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang Pada Penyimpanan Suhu Ruang

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN

SUHU RUANG

Oleh

MUTIARA UTAMI F24050112

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Mutiara Utami. F24050112. Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.

RINGKASAN

Berdasarkan proses pembuatannya, mie basah yang beredar di pasaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak dimasak terlebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mie basah matang mengalami perebusan terlebih dahulu sehingga mengandung kadar air sekitar 52%. Hal inilah yang menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu refrigerator. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mempertahankan keawetannya yaitu dengan mencampurkan bahan kimia pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin dan boraks. Formalin dan boraks berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi oleh manusia. Formalin dapat mengawetkan mie basah matang hingga 14 hari dengan biaya sekitar Rp12.43/kg sehingga banyak digunakan oleh produsen mie basah matang. Usaha untuk menemukan larutan pengawet yang mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang serta bersifat aman dan ekonomis perlu dilakukan untuk mengurangi maraknya penggunaan formalin dan boraks di pasaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan larutan pengawet mie basah matang yang efektif, murah, dan aman. Larutan pengawet diharapkan dapat mempertahankan mutu mie basah matang minimal 4 hari, tanpa mempengaruhi aspek penerimaan konsumen serta dapat diaplikasikan dengan biaya yang relatif murah, yaitu sekitar Rp20/kg. Larutan pengawet dibuat dari campuran cuka pasar yang mengandung asam asetat dan ekstrak bawang putih.

Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi bawang putih dengan cara perebusan bawang putih segar, perebusan bawang putih kering, maserasi pelarut bertingkat, dan maserasi pelarut air. Ekstrak bawang putih dicampurkan dengan cuka pasar untuk memperoleh larutan biang yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa tidak asam. Pada penelitian utama, larutan biang ditambahkan ke dalam mie basah matang dengan metode pencelupan (coating) untuk melihat keefektifannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Mie basah matang lalu disimpan di suhu ruang untuk mengetahui daya awet dan dilakukan analisis total mikroba, pH, total asam, warna, dan tekstur hingga mie basah matang mengalami kerusakan. Analisis dilakukan dengan dua kali ulangan. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap mie basah matang hasil pencelupan. Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui besar biaya yang diperlukan untuk membuat larutan pengawet dari ekstrak bawang putih dan cuka pasar untuk mie basah matang.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, larutan biang yang diperoleh yaitu campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih hasil maserasi pelarut air (larutan biang A) dan maserasi pelarut etanol (larutan biang E) dengan perbandingan cuka pasar:ekstrak bawang putih 7:3. Larutan pengawet yang


(3)

digunakan pada penelitian utama merupakan hasil pengenceran 5% (larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3) dari masing-masing larutan biang. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa larutan pengawet A dan E mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang hingga penyimpanan 4 hari. Larutan pengawet A2 yang memiliki kandungan asam asetat sebesar 1.75% merupakan larutan pengawet terbaik untuk mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan.

Berdasarkan analisis total mikroba, larutan A2 mampu mempertahankan mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4, yaitu sebesar 2.5 x 105 koloni/g. Jumlah total mikroba mie basah matang ini tidak melebihi syarat angka lempeng total berdasarkan SNI, yaitu sebesar 1.0 x 106 koloni/g. Mie basah matang dengan pencelupan larutan A2 memiliki pH sebesar 4.20 serta nilai total asam sebesar 4.79% pada penyimpanan hari ke-4. Tingkat kecerahan dan oHue mie basah matang tersebut pada penyimpanan hari ke-4 yaitu 62.54 dan 79.69, yang menunjukkan warna kuning khas mie basah matang. Gaya putus serta persen elongasi mie basah matang tersebut yaitu sebesar 6.75 gf dan 8.64%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa mie basah matang yang dicelup larutan A2 dapat diterima secara keseluruhan oleh panelis. Mie basah matang yang dicelup larutan A2 memiliki nilai sensori sebesar 3.13 dari 5 skala uji hedonik. Mie basah matang tersebut tidak berbeda nyata dengan mie kontrol. Biaya pengawetan mie basah matang menggunakan larutan A2 yaitu Rp18.9/kg mie basah matang, lebih mahal bila dibandingkan dengan biaya pengawetan mie menggunakan formalin 1.75%, sebesar Rp12.43/kg mie basah matang. Namun, biaya pengawetan menggunakan larutan A2 telah memenuhi tolak ukur keberhasilan penelitian, yaitu kurang dari Rp20/kg mie basah matang.

Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan dan mutu mie basah matang serta faktor biaya, dapat disimpulkan bahwa larutan pengawet terpilih dari penelitian ini yaitu larutan A2. Larutan ini dapat mempertahankan mutu mie basah matang hingga 4 hari penyimpanan serta mengandung asam asetat sebesar 1.75% dan ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut air. Biaya pengawetan menggunakan larutan pengawet A2 yaitu sebesar Rp18.9/kg mie basah matang.


(4)

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN

SUHU RUANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

MUTIARA UTAMI F24050112

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN

SUHU RUANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

MUTIARA UTAMI F24050112

Dilahirkan pada tanggal 7 Agustus 1987 di Bogor

Tanggal Lulus : 7 Agustus 2009

Menyetujui,

Bogor, 2009

Dr. Ir Joko Hermanianto Dosen Pembimbing


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan ridho-Nya skripsi berjudul “Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mama dan Ayah, atas segala kasih sayang, dukungan, dan rasa percaya yang

telah diberikan kepada penulis selama ini. Mochammad Jordanis Akbar dan Maudia Camalin, atas semua canda, tawa, dan kasih sayang yang membuat penulis terus bersemangat dan merasa berarti.

2. Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing, atas segala nasehat, arahan, bimbingan, motivasi, bantuan, dan kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik.

3. Elvira Syamsir, S.Tp, M. Si dan Dr. Ir. Sukarno, M. Sc selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji, masukan serta saran yang sangat berarti.

4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak.

5. Seluruh teknisi dan laboran Departemen ITP: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Pak Sidik, Bu Rubiah, Mas Edi, Mba Ida, Pak Yahya, dan Mba Darsih, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian.

6. Teman satu bimbingan : Nina N, Mujiono, Nanda H, Kak Cici, Kak Nene, dan Kak Dodi, atas segala bantuan dan kebersamaan.

7. Nur Annisa U, Priyanka, Fahmi N, atas persahabatan, kebersamaan, dan keceriaan yang sangat berharga.

8. Ferawati, Umam, Beki, Wahyu, Wiwi, dan Aji, terima kasih untuk semua pengalaman, perjalanan, kebersamaan, dan kepercayaan untuk terus berlari menggapai mimpi.


(7)

9. Seluruh penghuni Pondok Adinda : Amanda, Uli, Eno, Dewi, Upil, Mba Lina, Mba Winny, Ria, Madam, Mba Mufid, Mba Ulan, Fanny, Sulis, dan Mba Arta, atas segala keceriaan, persahabatan, kenyamanan, dan pengalaman yang mendewasakan penulis.

10.Semua anggota Gentra Kaheman, for being my second home, always.

11.Rekan-rekan lab : Tuti, Dewi, Haris, Adi Leo, Galih Ika, Galih Eka, Khrisia, Sisi, Ikhwan, Beli, Midun, Tjan, Olo, Ola, Arya, Dion, Shanty, Hesti, Cath, Dila, Ester, Dina, Yuni, Atus, Yusi, Reni, Riska, Septi, atas bantuan, kerjasama, semangat, dan kebersamaan yang menyenangkan.

12.Dita Adi, Rika N, Manik, dan Nadia, atas persahabatan dan kerjasama saat PKM 2008.

13.Kamalita, Twie, Venty, Difa, Reriel, Harist, Riza, Didot, Nina SR, Yupi, Cany, Sina, Mike, Wita, Marina, dan seluruh teman-teman ITP 42, terima kasih atas persahabatan, keceriaan, dan semangat yang selalu menjadi proses pendewasaan tersendiri bagi penulis.

14.Keluarga besar ITP angkatan 41, 43, 44 atas kebersamaannya selama ini. 15.Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah hingga

penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu, khususnya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB.

Bogor, Agustus 2009

Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 7 Agustus 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Kamaluddin dan Ibu Entin Hartini. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Aisyiyah Busthanul Athfal pada tahun 1992-1993, menempuh pendidikan dasar di SDN Cinangka 02 pada tahun 1993-1999, pendidikan lanjutan di SLTPN 2 Ciputat pada tahun 1999-2002, dan SMAN 1 Ciputat pada tahun 2002-2005.

Penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di bidang akademik dan non akademik. Di bidang akademik, penulis aktif dalam kegiatan penulisan karya ilmiah, diantaranya “Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Nangka Sebagai Alternatif Pembuatan Sirup Xylitol Berindeks Glisemik Rendah” dan “Minuman Serbuk Berenzim Untuk Peningkatan Penyerapan Nutrisi Pada Masa Pertumbuhan Anak Dengan In Vivo Pada Mencit” pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian pada tahun 2007-2008 serta “Emergency Food Product Innovation : The Role of Food and Technology Student in Social Based Research” pada National Food Conference: Lifestyle & Health Reconciled Unika Soegijapranata Semarang. Di bidang non akademik, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman IPB sebagai Koordinator Divisi Informasi Komunikasi (2006-2007) dan Bendahara Umum (2007-2008). Penulis juga merupakan salah satu finalis The 6th Edition of Trust By Danone-The Danone Way of Doing Business 2008. Beberapa kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis diantaranya HACCP V Seminar and Training, HIMITEPA-IPB (Bendahara, 2007), The Concert of Sundanese Art “Kisundamidang 4” and Indonesia’s Book of Record (MURI) on Rampak Suling, Gentra Kaheman (Humas, 2007), The Colaboration Concert of Art, IPB (Event Organizer, 2007), dan The 7th National Student’s Paper Competition – HIMITEPA, IPB (Sekretaris, 2008). Penulis merupakan Asisten Praktikum Fisika Dasar IPB periode 2007-2008 serta pernah menjalani magang di PT Madusari Nusaperdana (2008).

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya yang berupa penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum

L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang” di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN... 2

C. TOLAK UKUR KEBERHASILAN PENELITIAN... D. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. ASAM ASETAT... 4

B. BAWANG PUTIH 1. Botani Bawang Putih ... 7

2. Komponen Aktif Bawang Putih………. 7

3. Sifat Antimikroba Bawang Putih... 10

C. EKSTRAKSI... 11

1. Ekstraksi dengan Pelarut... 11

2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi... 14

3. Teknik Ekstraksi... 15

D. MIE BASAH MATANG ... 17

1. Definisi Mie... 19

2. Jenis Mie... 18

3. Pembuatan Mie Basah Matang... 20

4. Kerusakan Mie Basah Matang... 22

III.METODOLOGI PENELITIAN... 24

A. BAHAN DAN ALAT ... 24

B. METODE PENELITIAN... 24

1. Penelitian Pendahuluan ... 24

1.1. Tahapan pendahuluan pada bawang putih ... 24

1.2. Ekstraksi Metode Perebusan ... 26

1.3. Ekstraksi Metode Maserasi ... 29

2. Penelitian Utama ... 34

2.1. Cara Memperoleh Mie Basah Matang... 35

2.2. Pencelupan Mie Basah Matang... 36

C. PERLAKUAN... 37

1. Jenis Larutan Biang... 37

2. Konsentrasi Pengenceran Larutan Terpilih... 37


(10)

3. Total Asam Tertitrasi... . 39

4. Intensitas Warna... 39

5. Tekstur... 40

6. Uji Organoleptik... 41

7. Uji Statistik... 41

8. Analisis Biaya... 42

9. Penyimpanan... 42

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN... 43

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 43

1. Tahapan Pendahuluan pada Bawang Putih ... 43

2. Ekstraksi Bawang Putih Metode Perebusan... 46

3. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Bertingkat... 47

4. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Air... 48

5. Proses Pencampuran (Mixing) Cuka Pasar dengan Ekstrak Bawang Putih... 49

5.1. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Perebusan... 50

5.2. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Maserasi Pelarut Air dan Etanol... 53

B. PENELITIAN UTAMA... 57

1. Total Mikroba... 60

2. Derajat Keasaman (pH)... 66

3. Total Asam Tertitrasi ... 71

4. Warna ... 77

5. Tekstur ... 85

6. Uji Organoleptik... 92

6.1. Aroma... 93

6.2. Rasa... 94

6.3. Tekstur... .... 96

6.4.Overall... 97

7. Analisis Biaya ... ……… 98

V. KESIMPULAN DAN SARAN... .. 101

A. KESIMPULAN ... 101

B. SARAN ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Efektifitas antimikroba asam asetat ... 5

2 Nilai konstanta dielektrik pelarut organik pada 20 oC ... 13

3 Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992) ... 18

4 Komposisi nilai gizi mie basah ... 20

5 Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode perebusan... 29

6 Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode maserasi ... 33

7 Besar pengenceran larutan biang... 34

8 Besar optimasi pengenceran larutan biang... 35

9 Perhitungan nilai oHue ... 40

10 Skala pengukuran uji hedonik ... 41

11 Rendemen bawang putih segar... 44

12 Rendemen bawang putih kering... 45

13 Rendemen bawang putih ... 45

14 Ekstrak bawang putih metode perebusan... 46

15 Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih metode perebusan... 50

16 Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih maserasi air dan etanol ... 54

17 Kandungan asam asetat pada larutan biang A dan E yang diencerkan ... 57

18 Besar optimasi pengenceran larutan biang... 60

19 Asumsi harga etanol 70% berdasarkan penurunan konsentrasi ... 99

20 Harga bahan baku pengawetan mie basah matang... 99

21 Besar biaya pembuatan larutan pengawet A dan E... 99


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bawang putih ... 7

2 Degradasi enzimatik dan non enzimatik aliin ... 9

3 Struktur kimia alisin... 9

4 Tahapan persiapan bawang putih ekstraksi maserasi... 26

5 Tahapan ekstraksi bawang putih segar metode perebusan dengan pelarut air... 27

6 Tahapan ekstraksi bawang putih kering metode perebusan dengan pelarut air... 28

7 Ekstraksi maserasi bertingkat bawang putih ... 31

8 Tahapan ekstraksi bawang putih metode maserasi dengan pelarut air ... 32

9 Ekstrak bawang putih sebelum mengalami penyaringan ... 48

10 Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air ... 61

11 Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ... 64

12 Grafik nilai pH mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air... 67

13 Grafik nilai pH mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ... 70

14 Grafik total asam tertitrasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air ... 72

15 Grafik total asam tertitrasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol... 75

16 Grafik tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air... 78

17 Grafik tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ... 79

18 Grafik oHue mie basah matang dengan pencelupanlarutan pengawet hasil maserasi air... 82

19 Grafik oHue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ... 84

20 Grafik nilai gaya putus mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air... 86


(13)

21 Grafik nilai gaya putus mie basah matang dengan pencelupan

larutan pengawet hasil maserasi etanol... 88 22 Grafik nilai persen elongasi mie basah matang dengan

pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air ... 89 23 Grafik nilai persen elongasi mie basah matang dengan

pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol... 91 24 Skor masing-masing kesukaan panelis terhadap mie basah


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Fomulasi mie basah standar ... 112 2 Diagram alir pembuatan mie basah secara umum... 112 3 Perhitungan kandungan asam asetat tiap pengenceran ... 112 4 Hasil pengamatan visual mie basah matang larutan biang

maserasi etanol... 113 5 Hasil pengamatan visual mie basah matang larutan biang

maserasi air... 114 6 Hasil pengamatan total mikroba mie basah matang

perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air... 115 7 Hasil pengamatan total mikroba mie basah matang

perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol ... 115 8 Hasil pengukuran pH mie basah matang perlakuan

maserasi bawang putih dengan pelarut air ... 116 9 Hasil pengukuran pH mie basah matang perlakuan

maserasi bawang putih dengan pelarut etanol... 116 10 Hasil pengukuran total asam mie basah matang perlakuan

maserasi bawang putih dengan pelarut air... 116 11 Hasil pengukuran total asam mie basah matang perlakuan

maserasi bawang putih dengan pelarut etanol... 117 12 Hasil pengukuran tingkat kecerahan (Lightness) mie basah

matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air... 117 13 Hasil pengukuran tingkat kecerahan (Lightness) mie basah

matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut

etanol... 117 14 Hasil pengukuran nilai oHue mie basah matang perlakuan

maserasi bawang putih dengan pelarut air ... 118 15 Hasil pengukuran nilai oHue mie basah matang perlakuan

maserasi bawang putih dengan pelarut etanol... 118 16 Hasil pengukuran nilai gaya putus mie basah matang

perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air ... 118 17 Hasil pengukuran nilai gaya putus mie basah matang

perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol ... 119 18 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan


(15)

19 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan

terhadap atribut rasa... 121 20 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan

terhadap atribut tekstur... 122 21 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan

terhadap overall.... 123 22 Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie

basah matang hari ke-0... 124 23 Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie

basah matang hari ke-1... 125 24 Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie

basah matang hari ke-2... 126 25 Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie

basah matang hari ke-3... 127 26 Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie

basah matang hari ke-4... 128 27 Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah

matang hari ke-0... 129 28 Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah

matang hari ke-1... 130 29 Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah

matang hari ke-2………... 131 30 Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah

matang hari ke-3... 132 31 Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah

matang hari ke-4... 133 32 Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian

utama mie basah matang hari ke-0... 134 33 Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian

utama mie basah matang hari ke-1... 135 34 Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian

utama mie basah matang hari ke-2... 136 35 Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian

utama mie basah matang hari ke-3... 137 36 Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian

utama mie basah matang hari ke-4... 138 37 Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian


(16)

38 Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian

utama mie basah matang hari ke-1... 140 39 Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian

utama mie basah matang hari ke-2... 141 40 Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian

utama mie basah matang hari ke-3... 142 41 Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian

utama mie basah matang hari ke-4... 143 42 Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah

matang hari ke-0... 144 43 Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah

matang hari ke-1... 145 44 Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah

matang hari ke-2... 146 45 Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah

matang hari ke-3... 147 46 Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah

matang hari ke-4... 148 47 Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie

basah matang hari ke-0... 149 48 Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie

basah matang hari ke-1... 150 49 Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie

basah matang hari ke-2... 151 50 Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie

basah matang hari ke-3... 152 51 Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie

basah matang hari ke-4... 153 52 Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama

mie basah matang hari ke-0... 154 53 Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama

mie basah matang hari ke-1... 155 54 Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama

mie basah matang hari ke-2... 156 55 Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama

mie basah matang hari ke-3... 157 56 Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama

mie basah matang hari ke-4 ... 158 57 Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut aroma ... 159


(17)

58 Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut rasa ... 160 59 Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut tekstur... 161 60 Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut overall... 161 61 Hasil pengukuran nilai persen elongasi mie basah

matang pencelupan larutan A... 162 62 Hasil pengukuran nilai persen elongasi mie basah

matang pencelupan larutan E ... 162 63 Daftar Harga Pengawet ... 162 64 Analisis Biaya Larutan Stock Asam Asetat 25% dan

Ekstrak Air Bawang Putih (7:3). ... 163 65 Analisis Biaya Larutan Stock Asam Asetat 25% dan

Ekstrak Etanol Bawang Putih (7:3)... 164 66 Biaya pengawetan mie basah matang dengan larutan hasil

ekstraksi air bawang putih per kilogram ... 165 67 Biaya pengawetan mie basah matang dengan larutan hasil

ekstraksi etanol bawang putih per kilogram... 166 68 Biaya pengawetan mie basah matang dengan formalin

per kilogram ... 167 69 Kuesioner uji hedonik mie basah matang ... 168


(18)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Badan Standardisasi Nasional (1992) mendefinisikan mie basah sebagai produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan.

Berdasarkan proses pembuatannya, mie basah yang beredar di pasaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak dimasak lebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mie basah matang mengalami perebusan terlebih dahulu serta penambahan minyak, sehingga kadar airnya sekitar 52% (Astawan 2005). Kadar air yang tinggi inilah yang menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu refrigerator, yaitu selama 24 jam (Yuniar 2004).

Banyak usaha dilakukan untuk mempertahankan keawetan mie basah matang, diantaranya dengan mencampurkan bahan kimia pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin dan boraks. National Toxicology Program menyebutkan bahwa formalin dapat bersifat karsinogen pada manusia. Formalin yang bersifat racun tersebut tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius maupun yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (Winarno et al. 1994). Food Standard Committee (FSC) pada tahun 1959 menyatakan bahwa boraks bersifat kumulatif (menimbulkan efek dengan penambahan berturut-turut) yang dapat membahayakan tubuh manusia. Menurut Astawan (2005), kandungan boraks yang mencapai 5 gram atau lebih pada anak kecil dan bayi dapat menyebabkan kematian. Kandungan boraks pada orang dewasa yang dapat menyebabkan kematian yaitu 10-20 gram atau lebih.

Formalin dapat mengawetkan mie basah matang hingga 14 hari dengan biaya sekitar Rp12.43/kg sehingga banyak digunakan oleh produsen maupun penjual mie basah matang. Pengawet yang dapat mempertahankan umur


(19)

simpan mie basah matang serta bersifat aman dan ekonomis diperlukan untuk mengurangi maraknya penggunaan formalin dan boraks di pasaran.

Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Ferdiani (2008), diketahui bahwa mie basah matang dapat awet hingga 4 hari melalui coating asam asetat 2%. Namun mie basah matang tersebut masih memiliki rasa dan bau asam yang berasal dari asam asetat, menyebabkan mie kurang bisa diterima secara sensori sehingga diperlukan bahan tambahan lain yang dapat menutupi rasa asam.

Penggunaan campuran asam asetat dari cuka pasar dan ekstrak bawang putih pada produk mie basah matang sebagai bahan pengawet diharapkan dapat menggantikan peran formalin dan boraks dan diterima secara organoleptik. Ekstrak bawang putih digunakan untuk menutupi rasa dan bau asam pada produk akibat penggunaan asam asetat yang dapat mempengaruhi penerimaan produk secara organoleptik. Pengawet alami ini diharapkan dapat menghilangkan kekhawatiran konsumen akan keamanan dalam mengkonsumsi produk mie basah matang.

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Menemukan pengawet mie basah matang yang efektif, murah, dan aman. 2. Hasil penelitian dapat diaplikasikan secara nyata di masyarakat.

3. Memperoleh larutan pengawet yang juga memiliki efek antioksidan dari bawang putih.

C. TOLAK UKUR KEBERHASILAN PENELITIAN

1. Penggunaan larutan pengawet mampu mempertahankan mutu produk mie basah matang pada penyimpanan suhu ruang minimal 4 hari.

2. Penggunaan larutan pengawet pada produk mie basah matang dapat diterima oleh konsumen secara organoleptik berdasarkan uji hedonik dengan skala 1 hingga 5.


(20)

D. MANFAAT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi produsen, pedagang mie basah matang, serta masyarakat sebagai konsumen. Produsen dan pedagang produk mie basah matang diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai pengawet pengganti formalin dan boraks dengan harga yang relatif murah. Kekhawatiran yang selama ini dirasakan masyarakat terkait penggunaan formalin dan boraks dalam produk mie basah matang pun diharapkan dapat hilang.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ASAM ASETAT

Asam asetat (CH3COOH) merupakan cairan tak berwarna yang

memiliki bau menyengat dan rasa yang asam (Marshall et al. 2000). Asam asetat memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air (Davidson dan Branen 1993). Asam asetat merupakan salah satu jenis asam yang paling banyak digunakan dalam bahan pangan. Asam organik ini dianggap aman atau

Generally Recognized as Safe (GRAS) dalam pemakaiannya untuk berbagai kebutuhan pangan. Asam asetat memiliki kemampuan dalam menurunkan pH makanan-makanan yang diasamkan dengan tetap menjaga kualitas, rasa, dan keamanan produk (Dalujati 2004).

Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Hal ini berhubungan dengan kemampuan asam lemah dalam menembus membran plasma mikroba lebih efektif dalam bentuk terprotonasi, dan akan sangat efektif dalam bentuk tak terdisosiasi (Davidson 2001). Oleh karena itu, pKa (pH dimana 50% asam berada dalam bentuk tak terdisosiasi) dari asam organik sangat penting untuk pemilihan bahan pengawet untuk aplikasi yang spesifik. pKa sangat berhubungan erat dengan konstanta asam (Ka) karena pKa = -log Ka. Dari persamaan ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar nilai Ka, maka semakin kecil nilai pKa, atau semakin kuat suatu asam. Sebaliknya, semakin besar nilai pKa maka semakin lemah sifat asamnya.

Menurut Andersen et al. (1977), penurunan jumlah mikroba terhitung sebesar 99.6% pada daging dengan menggunakan asam asetat berkonsentrasi 3%. Gould (1995) menyatakan bahwa dari 13 asam yang bertindak sebagai inhibitor terhadap Salmonella, direkomendasikan asam asetat sebagai asam yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan Salmonella dan S. enteritidis. Asam asetat lebih efektif dibandingkan dengan asam organik yang lain dalam memperoleh pH minimum untuk pertumbuhan Yersinia enterocolitica (Gould 1995). Asam asetat merupakan asam yang memiliki


(22)

terdapat pada bahan pangan. Aktivitas antimikroba asam asetat akan meningkat dengan menurunnya pH dan berbeda-beda terhadap berbagai mikroorganisme (Tabel 1).

Tabel 1 Efektifitas antimikroba asam asetat

Mikrorganisme pH Penghambatan pH Lethal

Salmonella aertrycke 4.9 4.5

Staphylococcus aureus 5.0 4.9

Phytomonas phaseoli 5.2 5.2

Bacillus cereus 4.9 4.9

Bacillus mesentericus 4.9 4.9

Saccharomyces cerevisiae 3.9 3.9

Aspergillus niger 4.1 3.9

*Sumber : Chichester et al. (1972)

Asam-asam organik dikenal akan kemampuannya sebagai bakterisidal dan bakteriostatik. Kemampuan antimikrobialnya tergantung kepada tiga faktor, antara lain : efek pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri (Smulders 1995). Menurut Marshall et al. (2000), keuntungan dalam menggunakan asam asetat adalah harga yang relatif murah, berstatus GRAS, dan relatif tidak beracun. Pada level molar yang sama, asam asetat yang merupakan asam organik memiliki aktifitas antimikrobial yang lebih kuat dibandingkan dengan asam-asam inorganik. Sifat antimikrobial asam asetat yang bersifat asam lemah akan meningkat dengan menurunnya pH. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas asam organik secara langsung terhubung dengan jumlah molekul yang tidak terdisosiasi yang akan meningkat jika pH menurun karena bertambahnya jumlah proton. Sewaktu asam asetat dilarutkan, asam ini akan berdisosiasi untuk melepaskan proton bebas, yang akan menurunkan pH. Jumlah proton yang meningkat di permukaan luar sel mikroorganisme dapat merusak fungsi membran dengan mendenaturasi enzim dan mengubah sifat permeabel membran menjadi tidak stabil.


(23)

Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi bakteri adalah sebagai berikut : asam lemah (R-COOH) dapat terurai menjadi RCOO- + H+. Asam yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H+ dalam jumlah banyak akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-COOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut dalam lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat membuat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO- dan H+. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel menjadi mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997).

Sinskey (1979) mengklasifikasikan mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh molekul organik menjadi tiga bagian, yaitu merusak keutuhan dan fungsi dari sel membran mikroorganisme, mempengaruhi gen mikroorganisme, dan menghambat enzim-enzim spesifik.

Kemampuan asam asetat sebagai anti mikroorganisme didasarkan pada dua hal yaitu pengaruhnya terhadap pH dan kemampuan asam-asam yang tidak berdisosiasi untuk meracuni mikroba (Buckle et al. 1987). Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat membunuh mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah.

Naidu (2000) menyebutkan bahwa keefektifan asam asetat semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dan suhu, serta menurunnya pH. Bakteri gram positif ternyata lebih tahan dibandingkan bakteri gram negatif, bakteri anaerob lebih tahan dibandingkan bakteri aerob, dan spora bakteri serta virus lebih tahan dibandingkan sel vegetatif.

Aplikasi asam asetat sebagai antimikroba dapat dengan car penyemprotan, pencelupan, dan perendaman. Asam organik seperti asam asetat dianggap efektif melawan keberadaan mikroorganisme dengan cara perendaman. Hal ini dilakukan agar asam dapat lebih mudah mencapai semua


(24)

B. BAWANG PUTIH

1. Botani Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum L.) termasuk ke dalam genus Allium

dan digolongkan ke dalam famili Liliaceae. Bawang putih merupakan tanaman herba, yaitu tumbuhan berbatang lunak yang digunakan sebagai rempah-rempah (Heath 1981). Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang berjumlah banyak dan setiap umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) dengan susunan yang berlapis-lapis. Bawang putih terdiri dari 8-20 siung, antara siung satu dengan yang lainnnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat yang membentuk satu kesatuan yang rapat. Setiap siung terdiri dari daging lembaga dan lembaga (Santosa 1988). SNI 01-3160-1992 tentang standar bawang putih menyebutkan bahwa bawang putih adalah umbi dari tanaman bawang putih (Allium sativum LINN) yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak, dan masih terbungkus oleh kulit luar, bersih, dan tidak berjamur. Gambar 1 menunjukkan bawang putih.

Gambar 1 Bawang putih.

2. Komponen Aktif Bawang Putih

Cita rasa dan aktivitas biologi bawang putih disebabkan oleh adanya komponen volatil aktif cita rasa (Block 1985). US. Society of Flavor Chemist mendefinisikan flavor atau citarasa sebagai sensori atau rangsangan yang disebabkan oleh sifat-sifat substansi yang masuk ke


(25)

dalam mulut yang merangsang indera pengecap dan atau pencium, serta adanya rangsangan atau rasa sakit pada umumnya, sentuhan dan temperatur pada mulut. Menurut Yu et al. (1989), cita rasa bawang putih disebabkan adanya komponen yang mengandung senyawa S (sulfur) dan O (oksigen). Block (1992) menyatakan bahwa komponen volatil aktif cita rasa pada bawang putih lebih ditentukan oleh S-2-propenil sistein sulfoksida atau aliin, yaitu suatu padatan yang tidak berwarna dan tidak berbau, sebagai prekursor pembentuk flavor. Dalam bawang putih utuh, prekursor ini terdapat dalam jumlah 0.24% (b/b) (Virginita 1997) atau sebesar 6-14 mg/g (Mazza et al. 2000). Cita rasa dan aktivitas biologi pada bawang putih dapat timbul akibat sistein, metionin, dan atom S yang terdapat pada aliin. Aliin terdapat pada semua bagian sitoplasma sel bawang putih. Menurut Mazza et al. (2000), kandungan alliin pada umbi bawang putih sebesar 85%, 12% di daun, dan 2% di akar. Adanya τ -glutamil peptida yang menyimpan atom nitrogen dan sulfur sebagai media transportasi asam amino dalam melewati membran-membran sel pada bawang putih juga turut berperan dalam membentuk cita rasa. Aliin dihidrolisis oleh enzim aliinase menjadi 2-propenil-2-propene tiosulfinat (dialil tiosulfinat, atau alisin). Alisin merupakan senyawa cita rasa bawang putih yang juga terbukti memiliki kemampuan untuk menghambat mikroba. Alisin terbentuk dengan cepat pada bawang putih apabila jaringan sel bawang putih terluka, yang menyebabkan aktifnya enzim aliinase yang terdapat pada vakuola sel bawang putih. Alisin akan segera terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa turunan disulfida pada suhu ruang (Eskin 1979). Degradasi enzimatik dan non enzimatik aliin dapat dilihat pada Gambar 2.


(26)

RSOCH2(NH2)COOH

(aliin)

+ H2O aliinase

2RSOH + NH3 + CH3COCOOH

(asam sulfenik) (amoniak) (asam piruvat)

- H2O

2RSSOR (tiosulfinat / alisin)

2RSSR + RSSO2R

(disulfida) (tiosulfonat)

RSR + RSSSR (monosulfida) (trisulfida)

Gambar 2 Degradasi enzimatik dan non enzimatik aliin (Eskin 1979).

Alisin merupakan cairan kuning berminyak, berbau tajam, sedikit larut air, larut dalam alkohol dan oksidator kuat (Harrison 2005). Menurut Nagpurkar et al. (2000), alisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar, namun kurang dapat larut dalam air. Struktur kimia alisin ditunjukkan oleh Gambar 3.

CH2= CHCH2S-SCH2CH-CH2

O


(27)

Senyawa-senyawa turunan alisin yang larut minyak antara lain senyawa sulfida, dialil sulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida, alil metil, trisulfida, dithiins, dan ajoene. Sementara senyawa turunan alisin yang larut air adalah senyawa dari turunan sistein, yaitu S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen larut air dari alisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya (Nagpurkar et al. 2000).

Alisin hanyalah sebuah senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Dekomposisi alisin dapat membentuk ajoene, dimana tiga molekul alisin membentuk dua molekul ajoene (Block 1985).

Komponen aktif dari bawang putih juga memegang peranan penting dalam memberikan efek kesehatan. Senyawa dialil sulfida seperti alisin merupakan golongan utama fitokimia yang memiliki aktivitas antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat menahan terjadinya oksidasi oleh senyawa radikal. Senyawa antioksidan dalam bahan pangan apabila terserap ke dalam tubuh dapat berfungsi memperkuat sistem antioksidan tubuh. Kelinci percobaan yang disuplementasi bubuk bawang putih (300 mg/2 hari) mengalami penurunan produksi malonaldehid dan aktivitas katalase pada jaringan aortanya selama 10 hari percobaan (Prasad et al.

2007). Uji klinis terhadap AGE (age garlic extract) rentang dosis 1-7,2 gram per hari mampu menurunkan kolesterol darah pada manusia dan rentang dosis 1,8-10 gram per hari dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh manusia (Ardiansyah 2007).

3. Sifat Antimikroba Bawang Putih

Rao et al. (1946) menyatakan bahwa rempah-rempah yang bersifat menghambat bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif adalah bawang putih. Aktivitas antibakteri pada bawang putih ini disebabkan oleh senyawa alisin yang mempunyai gugus asam para amino benzoat. Alisin menunjukkan aktivitas penghambatan bagi pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif (Hirasa et al. 1998).


(28)

Ajoene juga menunjukkan spektrum luas dari aktivitas antimikroba. Bakteri gram positif yang pertumbuhannya dapat dihambat oleh ajoene antara lain Bacillus cereus, Bacillus subtilis, Mycobacterium smegmatis,

dan Streptomyces griceus. Bakteri gram negatif yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh ajoene adalah E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan

Xanthomonas maltophilia (Yoshida et al. 1987).

Golongan senyawa yang dinilai memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti alisin, ajoene, dialil sulfida, dan dialil disulfida termasuk ke dalam golongan senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa organik yang mengandung dua atom belerang yang saling berikatan, dimana salah satunya berikatan rangkap dengan atom oksigen, seperti alisin (Ganora 2006).

C. EKSTRAKSI

Ekstraksi adalah suatu istilah yang digunakan untuk suatu kegiatan, dimana komponen-komponen pembentuk bahan dipisahkan ke dalam cairan lain (pelarut) (Brown 1950). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen 2003).

1. Ekstraksi dengan Pelarut

Menurut Supriadi (2002), proses isolasi atau pemisahan komponen bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi dengan pelarut. Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe’s 1954). Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang


(29)

memiliki konsentrasi yang lebih tinggi menuju ke fase yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah (Danesi 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini dapat tercapai tergantung pada struktur zat padatnya (Supriadi 2002). Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses tersebut terjadi secara seri. Bila salah satu proses berlangsung relatif lebih cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut (Sediawan et al. 1997).

Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan larut dalam pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko 1982).

Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh nilai konstanta dielektriknya. Semakin besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar pelarut tersebut. Kepolaran senyawa organik meningkat dengan bertambahnya gugus fungsi dan menurun dengan bertambahnya atom karbon (Gritter et al. 1991). Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 2.


(30)

Tabel 2 Nilai konstanta dielektrik pelarut organik pada 20 oC Nama Pelarut Konstanta Dielektrik

Heptan 1.924

n-heksana 1.890

Sikloheksana 2.023

Benzen 2.284

Kloroform 4.806

Etil eter 4.340

Etil asetat 6.020

Piridin 12.300

Aseton 20.700

Etanol 24.300

Metanol 33.620

Asetonitril 38.000

Air 80.370

*Sumber : Adnan (1997)

Tahapan proses ekstraksi dengan pelarut meliputi tahap persiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut yang tepat sesuai keperluan ekstraksi, tahap ekstraksi, dan tahap pemekatan larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981). Selama ekstraksi berlangsung, pelarut akan berpenetrasi ka dalam bahan dan melarutkan komponen bioaktif bahan. Larutan ekstraksi kemudian dipisahkan melalui penyaringan sehingga didapatkan residu dan filtrat. Pelarut yang berada dalam filtrat kemudian diuapkan sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa aktif (Goldman 1949).

Harborne (1987) mengatakan bahwa pemekatan pelarut umumnya dilakukan dengan penguap putar yang akan memekatkan larutan menjadi volume kecil pada suhu antara 30-40 oC. Pemekatan larutan bertujuan untuk memurnikan ekstrak dan memperoleh kembali pelarut yang dapat digunakan pada ekstraksi lain.


(31)

2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi proses ekstraksi diantaranya ukuran partikel bahan, jenis pelarut, rasio antara volume pelarut dan bahan, suhu, lama ekstraksi, pergerakan pelarut di sekitar bahan, jumlah tahapan ekstraksi, serta pembilasan setelah proses ekstraksi (Purseglove et al. 1981). Bernardini (1983) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah rendemen hasil ekstraksi, yaitu perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang meliputi pengecilan ukuran bahan dan pengeringan bahan, pemilihan jenis pelarut, perbandingan jumlah pelarut dan bahan serta pengaturan kondisi ekstraksi seperti lama dan suhu ekstraksi.

Ukuran partikel bahan termasuk salah satu faktor penting dalam proses ekstraksi. Menurut Purseglove et al. (1981), bahan yang akan diekstraksi sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antar bahan dengan pelarut, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik. Partikel bahan setelah pengecilan sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah difusi pelarut ke dalam bahan. Bila ukurannya tidak seragam maka butir-butir yang lebih halus dapat masuk ke dalam celah butir-butir yang lebih kasar, sehingga kontak antara pelarut dengan bahan yang diekstrak menjadi berkurang dan rendemen yang dihasilkan akan semakin kecil. Selain itu, ukuran partikel yang seragam berpengaruh kepada pengeluaran senyawa aktif dari bahan pada tahap ekstraksi. Ukuran partikel yang baik untuk proses ekstraksi adalah serbuk dengan ukuran mendekati 0.5 mm (Bombardelli 1991).

Pengeringan bahan sampai kadar air tertentu bertujuan untuk mempermudah proses pengecilan ukuran dan meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari adanya air dalam ekstrak (Supriadi 2002). Saat pengeringan terjadi kerusakan dinding sel bahan yang akan mempermudah pengeluaran komponen bioaktif bahan sehingga waktu ekstraksi lebih singkat (Somaatmadja 1985). Pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terkontrol untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu


(32)

Supriadi (2002) menyatakan bahwa jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis senyawa bioaktif yang terekstrak. Hal ini karena masing-masing pelarut memiliki efisiensi dan selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen bioaktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut.

Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut akan meningkat dengan meningkatnya suhu karena peningkatan suhu akan mempermudah penetrasi pelarut dalam sel bahan. Akan tetapi, penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kehilangan (loss) pada senyawa tertentu yang tidak stabil pada kondisi tersebut (Houghton et al. 1998).

Semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin sempurna proses ekstraksi. Hal ini disebabkan kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar. Sehingga rendemen hasil ekstraksi juga akan bertambah sampai titik jenuh larutan (Bombardelli 1991).

Pergerakan pelarut di sekitar bahan dapat meningkatkan laju difusi bahan terlarut dan mempercepat perpindahan bahan dari permukaan partikel ke dalam larutan. Pergerakan pelarut menyebabkan kontak bahan dengan pelarut semakin cepat, dan pelarut yang telah jenuh dengan komponen pada sekitar bahan akan berganti dengan pelarut yang belum jenuh, sehingga akan lebih banyak senyawa yang terekstrak (Oktora 2002).

3. Teknik Ekstraksi

Beberapa metode ekstraksi untuk mendapatkan komponen bioaktif dari suatu bahan pangan diantaranya ekstraksi dengan pelarut, distilasi, super critical fluid extraction, pengepresan mekanik, dan sublimasi (Yohana 2007).

Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi bawang putih metode perebusan, ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat, dan maserasi dengan pelarut air. Prinsip ekstraksi metode perebusan yaitu bahan yang akan diekstrak direbus bersama dengan pelarut pada suhu dan waktu tertentu. Komponen bioaktif dari bahan


(33)

diharapkan dapat terekstrak dari dalam bahan dan larut di dalam pelarut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi metode perebusan ini yaitu air.

Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Prinsipnya yaitu bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak terlarut dalam pelarut kemudian diikuti dengan pemisahan pelarut dari bahan yang telah diekstrak. Teknik ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat yang digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi. Prinsip metode ini yaitu penghancuran dan perendaman bahan dalam pelarut. Pada maserasi dilakukan penghancuran sampel menggunakan pelarut, perendaman dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan sehingga diperoleh cairan. Menurut Larsen et al. (1990), maserasi merupakan metode ekstraksi pelarut yang paling mudah dan cepat. Melalui metode maserasi, dapat diperoleh komponen non volatil dan komponen volatil dari bahan. Hal ini karena maserasi tidak menggunakan panas, sehingga tidak terjadi kehilangan komponen volatil dari bahan.

Pelarut yang digunakan pada proses maserasi bertingkat yaitu heksan, etil asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa non polar, semi polar, dan polar. Heksan merupakan pelarut yang bersifat non polar dan berfungsi melarutkan lemak. Heksan terdiri dari hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan yang digunakan

sebagai pelarut berupa cairan tak berwarna dan memiliki titik didih 69 oC dan larut dalam air. Etil asetat merupakan komponen organik semi polar dengan rumus molekul C4H8O2. Titik didih etil asetat yaitu sebesar 77.1oC.

Etil asetat bersifat volatil, non toksik, dan tidak higroskopis. Etanol (C2H5OH) merupakan pelarut yang bersifat volatil dengan titik didih 78 oC

(Yohana 2007).

Ekstraksi maserasi menggunakan pelarut air juga bertujuan untuk mengekstrak komponen aktif bawang putih yang bersifat polar. Air yang merupakan senyawa polar akan mengekstrak senyawa polar dari bawang


(34)

putih. Ekstraksi maserasi dengan pelarut air bersifat lebih ekonomis bila dibandingkan dengan ekstraksi maserasi air menggunakan pelarut lain.

D. MIE BASAH MATANG

1. Definisi Mie

Mie basah merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa panambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional 1992). Syarat mutu mie basah dijelaskan dalam SNI 01-2987-1992, dapat dilihat pada Tabel 3.


(35)

Tabel 3 Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan : o Bau o Rasa o Warna

- Normal

Normal Normal

2. Kadar air % b/b 20-35

3. Kadar abu (dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b Maks. 3 4. Kadar protein ((N x 6.25)

dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Min. 3

5. Bahan tambahan pangan o Boraks dan asam borat o Pewarna

o Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88

Tidak boleh ada 6. Cemaran logam :

o Timbal (Pb) o Tembaga (Cu) o Seng (Zn) o Raksa (Hg)

mg/kg

Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05

7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05

8. Cemaran mikroba : o Angka lempeng total o E. coli

o kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1.0 x 106 Maks. 10 Maks. 1.0 x 104


(36)

2. Jenis Mie

Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, mie dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie basah dengan kadar air 52%, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih dahulu, contohnya adalah mie kuning (2) mie mentah/segar dengan kadar air 35% yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan, contohnya adalah mie ayam (3) mie goreng, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan digoreng terlebih dahulu, (4) mie kering dengan kadar air 10%, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan, contohnya adalah mie telor dan (5) mie instan (mie siap hidang), yang di Jepang disebut sokusekimen, adalah mie mentah yang mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng (Winarno et al. 1994).

Menurut Pagani (1985), berdasarkan ukuran diameternya mie dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) spaghetti, dengan diameter 0.11-0.27 inci, (2) mie, dengan diameter 0.07-0.125 inci, dan (3) vermiselli, dengan diameter < 0.04 inci. Sedangkan berdasarkan bahan baku pembuatannya mie digolongkan menjadi dua macam, yaitu : (1) mie tepung, terutama tepung terigu, dan (2) mie transparan (transparence noodle) dari bahan pati, misalnya soun dan bihun.

Mie basah dengan bahan baku tepung terigu dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mie basah matang dan mie basah mentah. Mie basah mentah tidak mengalami proses perebusan dan penambahan minyak dengan kadar airnya berkisar 35%, sedangkan mie basah matang mengalami proses perebusan dan penambahan minyak sehingga kadar airnya menjadi 52% (Astawan 2005). Menurut Miskelly (1996), mie basah dapat dibagi menjadi dua berdasarkan warnanya yaitu

white salted noodles dan yellow alkaline noodles. Warna alami pada mie basah disebabkan oleh senyawa flavon yang terkandung dalam tepung dan pengaruh penambahan garam alkali. White salted noodles adalah mie yang tidak ditambahkan garam alkali sehingga warnanya menjadi putih cerah. Sedangkan yellow alkaline noodles adalah mie yang mengalami


(37)

penambahan alkali sehingga warnanya menjadi kekuningan (yellowness). Tabel 4 memperlihatkan komposisi nilai gizi mie basah matang.

Tabel 4 Komposisi nilai gizi mie basah

Zat Gizi Kandungan dalam Mie Basah

Energi 86 kkal

Protein 1 g

Lemak 3 g

Karbohidrat 14 g

Kalsium 14 g

Fosfor 13 g

Besi 1 g

Vitamin A 0 SI

Vitamin B1 0 mg

Vitamin C 0 mg

Air 80 g

*Sumber: Direktorat Gizi Depkes (1979)

Mie basah yang terdapat di Indonesia merupakan mie segar (fresh noodles) yang umum dikonsumsi dalam jangka waktu 24 jam. Setelah 24 jam mie tersebut mengalami diskolorasi yang cepat. Untuk memperpanjang umur simpannya hingga 3-5 hari dengan disimpan pada suhu 4 oC dalam refrigerator. Mie basah ini termasuk ke dalam jenis

chinese wet noodles dengan penambahan garam alkali sehingga warnanya kuning khas, flavor basa, pH tinggi, dan tekstur yang baik (Hou et al.

1998).

3. Pembuatan Mie Basah Matang

Bahan dasar umum untuk pembuatan mie basah ialah terigu, air, dan bahan tambahan lain seperti garam, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein, pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam


(38)

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Air abu adalah bahan alkali yang digunakan untuk meningkatkan tekstur mie. Air abu atau kansui dapat mengandung satu atau lebih bahan tambahan pangan, dan yang biasa digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3),

dan kalium polifosfat (KH2PO4) sebagai bahan alkali dalam pembuatan

mie. Bahan-bahan alkali tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Gabungan Na2CO3 dan K2CO3 berguna untuk meningkatkan warna kuning dan

memberikan flavor yang lebih baik. Na2CO3 berfungsi meningkatkan

kehalusan dan tekstur mie. K2CO3 berfungsi meningkatkan sifat

kekenyalan mie, sedangkan KH2PO4 meningkatkan elastisitas dan

fleksibilitas mie (Badrudin 1994).

Tahap pertama dalam pembuatan mie basah matang yaitu pencampuran, bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Terigu dimasukkan ke dalam mixer kering, kemudian ditambahkan garam dan air. Adonan pertama yang terbentuk akan berbentuk bulatan atau bongkahan. Tahap pencampuran ini memakan waktu 5-10 menit agar semua air dapat terdistribusi secara sempurna ke dalam terigu. Menurut Oh et al. (1985), hal-hal yang harus diperhatikan dalam tahap pencampuran yaitu jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Jumlah penambahan air yaitu sekitar 28-28% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28% maka adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan lengket. Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25-40 oC. Apabila suhu adonan kurang dari 25 oC, adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40 oC adonan menjadi lengket sehingga mie kuramg elastis. Semakin tinggi suhu menyebabkan kapasitas pengikatan air dari protein tepung


(39)

terigu semakin berkurang. Akibatnya, jika suhu terlalu rendah, air tidak tersebar secara merata ke seluruh adonan. Namun jika suhu terlalu tinggi, air kurang terikat dalam adonan. Adonan yang diharapkan bersifat lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal.

Tahap selanjutnya yaitu pembentukan lembaran (sheeting) yang bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonanmenjadi lembaran.hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-ulang diantara dua roll logam. Saat pengepresan, gluten ditarik ke satu arah sehingga seratnya menjadi sejajar dan lembar adonan menjadi lembut, elastis, dan dengan mudah dapat disisir menjadi untaian mie. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini diantaranya adalah kecepatan putar roll dan rasio lembaran adonan (rasio ketebalan lembaran setelah dan sebelum dilewatkan melalui roll). Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat searah sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin 1994).

Proses sheeting dilanjutkan dengan proses pemotongan yang bertujuan untuk membentuk untaian mie dengan ukuran lebar 1-3 mm. Untaian mie yang akan dibuat mie basah matang kemudian direbus untuk mematangkan mie. Perebusan untaian mie bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi protein gluten sehingga mie menjadi kenyal dan cukup lembut.

Tahap terakhir yaitu pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng yang bertujuan agar untaian mie tidak lengket satu sama lain, memberikan cita rasa, serta meningkatkan warna dan penampakan agar mie tampak mengkilat.

4. Kerusakan Mie Basah Matang

Mie basah matang merupakan pangan yang mudah mengalami kerusakan. Menurut Yuniar (2004), mie basah matang memiliki umur simpan selama 24 jam pada suhu kamar. Hasil analisis laboratorium menunjukkan mie basah matang yang dijual di pasar tradisional dan


(40)

pH yang relatif tinggi, yaitu 0.92 dan 9.22 (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan 2005). Kondisi inilah yang menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan akibat pertumbuhan mikrorganisme.

Menurut pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie, ciri-ciri kerusakan mie basah matang umumnya adalah lengket dan berlendir serta timbul bau asam (Gracecia 2005). Kerusakan pada mie yang direbus terlebih dahulu ini terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam. Kerusakan yang terjadi ialah tumbuhnya kapang pada mie, sedangkan perubahan warna tidak terjadi karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney 1998).

Menurut Yohana (2007), kerusakan yang umum terjadi pada mie basah matang adalah bau asam, bau tengik, timbulnya lendir dan perubahan warna. Bau asam terjadi pada mie basah mentah dan matang sebagai akibat aktivitas mikroba. Bau tengik hanya terjadi pada mie basah matang sebagai hasil degradasi minyak oleh mikroba. Bau asam dan bau tengik adalah indikator kerusakan mie pada tahap awal, sedangkan lendir umumnya merupakan indikator kerusakan lanjut.

Mie basah matang cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, sehingga banyak usaha dilakukan untuk mempertahankan keawetannya, diantaranya dengan mencampurkan bahan kimia pengawet. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2005) menyebutkan bahwa kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914.36 mg/kg (mie basah matang). Kandungan formalin rata-rata di dalam mie basah di pedagang produk olahan mie yaitu sebesar 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3423.51 mg/kg (mie basah matang). Kandungan formalin rata-rata pada mie basah di supermarket yaitu sebesar 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2941.82 mg/kg (mie basah matang). Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di wilayah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa 13 industri menggunakan formalin dan 16 industri menggunakan boraks.


(41)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum L.), asam asetat berupa cuka pasar dengan merek Dixie, dan mie basah matang. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer, dan alkohol 70%. Bahan–bahan yang digunakan untuk analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0.1 ml, asam potasium phtalate (KHP), dan indikator phenoftalein (PP). Aquades dan etanol 70% digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi bawang putih.

Alat-alat yang digunakan diantaranya gelas piala, labu takar, gelas ukur, pipet, sudip, baskom, penyaring, pisau, pengaduk, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah pH meter, bunsen, buret, erlenmeyer,

Chromameter, Rheoner, cawan petri, mikro pipet, dan tabung pengencer.

B. METODE PENELITIAN

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk memperoleh formulasi campuran cuka pasar yang mengandung asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Pada penelitian pendahuluan dilakukan tahapan pendahuluan pada bawang putih, ekstraksi bawang putih menggunakan metode perebusan dan maserasi, pencampuran (mixing) ekstrak bawang putih dengan asam asetat, pengukuran pH larutan, pencicipan rasa larutan, dan pemilihan larutan terbaik.

1.1. Tahapan pendahuluan pada bawang putih

Bawang putih yang digunakan pada penelitian ini berumur 4 bulan dan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat Aromatik (Balittro), Bogor. Bawang putih yang akan diekstraksi sebelumnya


(42)

proses ekstraksi yang efisien. Perlakuan pendahuluan ini juga dapat mempermudah pengeluaran senyawa aktif dari bawang putih selama proses ekstraksi. Terdapat beberapa perbedaan perlakuan pendahuluan antara bawang putih yang diekstraksi dengan perebusan dan bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi.

Ekstraksi bawang putih dengan perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Tahapan pendahuluan pada bawang putih segar yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, dan pememaran. Bawang putih dikupas dari kulit tipis berwarna putih yang menjadi pemisah antar siungnya. Bawang putih lalu diiris dengan ketebalan sekitar 0.5 cm. Kemudian dilakukan pememaran bawang putih dengan tujuan mempermudah pengeluaran senyawa aktif dari dalam daging bawang putih selama proses perebusan.

Tahapan pendahuluan pada bawang putih kering tidak berbeda jauh dengan bawang putih segar. Pengeringan bawang putih dilakukan dengan menjemur bawang putih di bawah sinar matahari selama ± 20 menit, disebut juga proses pelayuan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penetrasi pelarut ke dalam bawang putih Bawang putih yang dijemur akan mengalami kerusakan pada jaringannya, sehingga pelarut yang dikontakkan ke bawang putih akan lebih mudah berpenetrasi dan mengekstrak komponen aktif.. Proses penjemuran dilakukan setelah bawang putih mengalami pengupasan dan pengirisan. Bawang putih yang telah dijemur lalu dimemarkan, kemudian dilakukan perebusan.

Bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air diberi perlakuan pendahuluan yang sama. Bawang putih dikupas, diiris hingga ketebalan 0.5 cm, kemudian dikeringkan dengan oven vakum selama 3 jam dengan suhu 60oC. Bawang putih yang telah mengalami pengupasan dan pengirisan dikeringkan selama 3 jam. Proses pengeringan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari adanya air dalam


(43)

ekstrak (Houghton et al. 1998). Oven vakum digunakan sebagai alat pengering untuk mencegah terjadinya perubahan dan kehilangan komponen kimia dari bawang putih yang terlalu banyak (Oktora 2002). Tahapannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Bawang putih

Dikupas

Diiris

Dikeringkan di oven vakum (kadar air < 50%, T=600C, t=3 jam)

Bawang putih kering

Gambar 4 Tahapan persiapan bawang putih ekstraksi maserasi.

1.2. Ekstraksi Metode Perebusan

Proses ekstraksi bawang putih metode perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan pendahuluan bawang putih yang dapat menghasilkan ekstrak terbaik. Pengekstrakan dilakukan dengan perebusan agar diperoleh ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif larut air dan bisa dicampurkan dengan asam asetat yang merupakan asam organik dan bersifat larut air. Metode perebusan bawang putih diperoleh berdasarkan penelitian Yohana (2007) yang melakukan ekstraksi pada bawang putih menggunakan metode perebusan dengan perlakuan perbandingan konsentrasi bawang putih : pelarut dan waktu perebusan. Hasilnya yaitu bawang putih yang direbus selama


(44)

menggunakan suhu 100 oC menghasilkan rendemen sebesar 45.44%. Ekstrak ini memiliki kemampuan antimikroba terbaik dibandingkan perlakuan lainnya.

Tahapan persiapan terhadap bawang putih yang diekstrak yaitu pengupasan bawang putih dan pememaran. Ekstraksi perebusan bawang putih dilakukan menggunakan pelarut air dengan perbandingan bawang putih dan pelarut yaitu 1:5. Ekstraksi dilakukan selama 5 menit pada suhu 100 oC. Sebanyak 100 gr bawang putih segar yang telah mengalami perlakuan pendahuluan direbus dalam 500 ml air mendidih (100 oC). Waktu perebusan selama 5 menit dihitung sejak air mencapai suhu 100 oC. Tahapan ekstraksi bawang putih segar metode perebusan dapat dilihat pada Gambar 5.

Bawang putih

Dikupas

↓ Diiris

↓ Dimemarkan

Ditimbang

(bawang putih : air = 1 :5)

Direbus

(T air = 100 0C, t= 5’)

Ekstrak bawang putih

Gambar 5 Tahapan ekstraksi bawang putih segar metode perebusan dengan pelarut air (Yohana 2007).


(45)

Tahapan ekstraksi bawang putih kering metode perebusan dapat dilihat pada Gambar 6.

Bawang putih

Dikupas

Diiris

Dijemur (t = 20 menit)

Dimemarkan

Ditimbang

(bawang putih : air = 1 :5)

Direbus (T air = 100 0C, t= 5’)

Ekstrak bawang putih

Gambar 6 Tahapan ekstraksi bawang putih kering metode perebusan dengan pelarut air (Yohana, 2007).

Ekstrak bawang putih yang diperoleh selanjutnya dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan asam asetat : ekstrak yang ditunjukkan pada Tabel 5.


(46)

Tabel 5 Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode perebusan

Asam asetat 25% : ekstrak 0 : 10

3 : 7 5 : 5 7 : 3 10 : 0

Larutan yang terpilih untuk penelitian utama yaitu larutan yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Untuk selanjutnya larutan terpilih ini disebut sebagai larutan biang.

1.3. Ekstraksi Metode Maserasi

Proses ekstraksi bawang putih metode maserasi dilakukan dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker (Nuraini 2007).

Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol. Heksan digunakan pada ekstraksi tingkat I, etil asetat pada ekstraksi tingkat II, dan etanol pada ekstraksi tingkat III. Ekstraksi bertingkat ini bertujuan untuk memperoleh komponen bawang putih sebagai hasil akhir yang bersifat polar, tanpa komponen lain yang bersifat non polar maupun semi polar sebagai pengotor. Komponen aktif yang bersifat polar dapat bercampur dengan asam asetat (cuka pasar) yang juga bersifat polar pada proses pencampuran.

Tahapan ekstraksi maserasi bertingkat bawang putih dengan pelarut heksan, etil asetat, dan etanol dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada maserasi tingkat I, bawang putih yang telah dikeringkan melalui tahapan pendahuluan dihancurkan dengan blender kering. Pengecilan ukuran bawang putih bertujuan untuk meningkatkan


(47)

efektifitas proses ekstraksi. Supriadi (2002) menyatakan bahwa semakin kecil ukuran bahan maka luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Kelarutan bahan dalam pelarut juga meningkat, sehingga kadar ekstrak komponen bioaktif dari bahan juga meningkat.

Bawang putih halus diekstraksi menggunakan pelarut heksan dengan perbandingan bawang putih : heksan yaitu 1:4. Ekstraksi berlangsung selama 24 jam dengan kecepatan rotasi shaker 30-35 rpm. Hasil reaksi disaring vakum hingga terbentuk padatan dan filtrat. Selanjutnya, filtrat dievaporasi dengan suhu 75 oC untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut heksan. Filtrat yang diperoleh kemudian didiamkan selama 24 jam dalam ruang asam. Hal ini dilakukan untuk menguapkan kembali sisa heksan yang masih tertinggal dalam filtrat. Hasil filtrat yang telah didiamkan inilah yang disebut ekstrak heksan.

Sementara itu, padatan yang terpisah dari filtrat heksan diekstraksi dengan pelarut etil asetat selama 24 jam menggunakan

shaker yang berkecepatan 30-35 rpm. Ekstraksi ini merupakan maserasi tingkat II. Hasil ekstraksi tersebut kemudian di saring menggunakan penyaring vakum hingga terpisah padatan dengan filtratnya. Filtrat lalu dievaporasi menggunakan Rotary Vaccuum Evaporator dengan suhu 75 oC. Hasil evaporasi berupa filtrat yang telah diuapkan dari pelarut etil asetat. Pendiaman filtrat tersebut selama 24 jam dalam ruang asam kembali dilakukan untuk menguapkan etil asetat yang tertinggal. Filtrat yang telah didiamkan inilah yang menjadi ekstrak bawang putih menggunakan pelarut etil asetat.

Maserasi tingkat III dilakukan terhadap padatan yang terpisah dari filtrat etil asetat. Tahapan ekstraksi tingkat III sama dengan ekstraksi tingkat I dan II. Perbedaan hanya terletak pada pelarut yang digunakan, yaitu etanol.


(48)

Bawang putih kering

Diblender kering

Diekstrak dengan heksan, 24 jam

Disaring vakum

↓ ↓ Padatan Filtrat

↓ ↓ Diekstrak dengan etil asetat, 24 jam Dievaporasi ↓ ↓

Disaring vakum Didiamkan 24 jam ↓ ↓ ↓

Padatan Filtrat Ekstrak heksan

↓ ↓

Diekstrak dengan etanol, 24 jam Dievaporasi ↓ ↓

Disaring vakum Didiamkan 24 jam

↓ ↓ Ekstrak etil asetat Padatan Filtrat

↓ Dievaporasi

Didiamkan 24 jam

Ekstrak etanol

Gambar 7 Ekstraksi maserasi bertingkat bawang putih (modifikasi metode Harborne, 1987).


(1)

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN

SUHU RUANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

MUTIARA UTAMI F24050112

Dilahirkan pada tanggal 7 Agustus 1987 di Bogor

Tanggal Lulus : 7 Agustus 2009

Menyetujui,

Bogor, 2009

Dr. Ir Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan ridho-Nya skripsi berjudul “Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mama dan Ayah, atas segala kasih sayang, dukungan, dan rasa percaya yang

telah diberikan kepada penulis selama ini. Mochammad Jordanis Akbar dan Maudia Camalin, atas semua canda, tawa, dan kasih sayang yang membuat penulis terus bersemangat dan merasa berarti.

2. Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing, atas segala nasehat, arahan, bimbingan, motivasi, bantuan, dan kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik.

3. Elvira Syamsir, S.Tp, M. Si dan Dr. Ir. Sukarno, M. Sc selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji, masukan serta saran yang sangat berarti.

4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak.

5. Seluruh teknisi dan laboran Departemen ITP: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Pak Sidik, Bu Rubiah, Mas Edi, Mba Ida, Pak Yahya, dan Mba Darsih, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian.

6. Teman satu bimbingan : Nina N, Mujiono, Nanda H, Kak Cici, Kak Nene, dan Kak Dodi, atas segala bantuan dan kebersamaan.

7. Nur Annisa U, Priyanka, Fahmi N, atas persahabatan, kebersamaan, dan keceriaan yang sangat berharga.

8. Ferawati, Umam, Beki, Wahyu, Wiwi, dan Aji, terima kasih untuk semua pengalaman, perjalanan, kebersamaan, dan kepercayaan untuk terus berlari menggapai mimpi.


(3)

9. Seluruh penghuni Pondok Adinda : Amanda, Uli, Eno, Dewi, Upil, Mba Lina, Mba Winny, Ria, Madam, Mba Mufid, Mba Ulan, Fanny, Sulis, dan Mba Arta, atas segala keceriaan, persahabatan, kenyamanan, dan pengalaman yang mendewasakan penulis.

10. Semua anggota Gentra Kaheman, for being my second home, always.

11. Rekan-rekan lab : Tuti, Dewi, Haris, Adi Leo, Galih Ika, Galih Eka, Khrisia, Sisi, Ikhwan, Beli, Midun, Tjan, Olo, Ola, Arya, Dion, Shanty, Hesti, Cath, Dila, Ester, Dina, Yuni, Atus, Yusi, Reni, Riska, Septi, atas bantuan, kerjasama, semangat, dan kebersamaan yang menyenangkan.

12. Dita Adi, Rika N, Manik, dan Nadia, atas persahabatan dan kerjasama saat PKM 2008.

13. Kamalita, Twie, Venty, Difa, Reriel, Harist, Riza, Didot, Nina SR, Yupi, Cany, Sina, Mike, Wita, Marina, dan seluruh teman-teman ITP 42, terima kasih atas persahabatan, keceriaan, dan semangat yang selalu menjadi proses pendewasaan tersendiri bagi penulis.

14. Keluarga besar ITP angkatan 41, 43, 44 atas kebersamaannya selama ini. 15. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah hingga

penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu, khususnya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB.

Bogor, Agustus 2009

Penulis


(4)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 7 Agustus 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Kamaluddin dan Ibu Entin Hartini. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Aisyiyah Busthanul Athfal pada tahun 1992-1993, menempuh pendidikan dasar di SDN Cinangka 02 pada tahun 1993-1999, pendidikan lanjutan di SLTPN 2 Ciputat pada tahun 1999-2002, dan SMAN 1 Ciputat pada tahun 2002-2005.

Penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di bidang akademik dan non akademik. Di bidang akademik, penulis aktif dalam kegiatan penulisan karya ilmiah, diantaranya “Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Nangka Sebagai Alternatif Pembuatan Sirup Xylitol Berindeks Glisemik Rendah” dan “Minuman Serbuk Berenzim Untuk Peningkatan Penyerapan Nutrisi Pada Masa Pertumbuhan Anak Dengan In Vivo Pada Mencit” pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian pada tahun 2007-2008 serta “Emergency Food Product Innovation : The Role of Food and Technology Student in Social Based Research” pada National Food Conference: Lifestyle & Health Reconciled Unika Soegijapranata Semarang. Di bidang non akademik, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman IPB sebagai Koordinator Divisi Informasi Komunikasi (2006-2007) dan Bendahara Umum (2007-2008). Penulis juga merupakan salah satu finalis The 6th Edition of Trust By Danone-The Danone Way of Doing Business 2008. Beberapa kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis diantaranya HACCP V Seminar and Training, HIMITEPA-IPB (Bendahara, 2007), The Concert of Sundanese Art “Kisundamidang 4” and Indonesia’s Book of Record (MURI) on Rampak Suling, Gentra Kaheman (Humas, 2007), The Colaboration Concert of Art, IPB (Event Organizer, 2007), dan The 7th National Student’s Paper Competition – HIMITEPA, IPB (Sekretaris, 2008). Penulis merupakan Asisten Praktikum Fisika Dasar IPB periode 2007-2008 serta pernah menjalani magang di PT Madusari Nusaperdana (2008).

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya yang berupa penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang” di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN... 2

C. TOLAK UKUR KEBERHASILAN PENELITIAN... D. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. ASAM ASETAT... 4

B. BAWANG PUTIH 1. Botani Bawang Putih ... 7

2. Komponen Aktif Bawang Putih………. 7

3. Sifat Antimikroba Bawang Putih... 10

C. EKSTRAKSI... 11

1. Ekstraksi dengan Pelarut... 11

2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi... 14

3. Teknik Ekstraksi... 15

D. MIE BASAH MATANG ... 17

1. Definisi Mie... 19

2. Jenis Mie... 18

3. Pembuatan Mie Basah Matang... 20

4. Kerusakan Mie Basah Matang... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN... 24

A. BAHAN DAN ALAT ... 24

B. METODE PENELITIAN... 24

1. Penelitian Pendahuluan ... 24

1.1. Tahapan pendahuluan pada bawang putih ... 24

1.2. Ekstraksi Metode Perebusan ... 26

1.3. Ekstraksi Metode Maserasi ... 29

2. Penelitian Utama ... 34

2.1. Cara Memperoleh Mie Basah Matang... 35

2.2. Pencelupan Mie Basah Matang... 36

C. PERLAKUAN... 37

1. Jenis Larutan Biang... 37

2. Konsentrasi Pengenceran Larutan Terpilih... 37

D. PENGAMATAN... 38

1. Total Mikroba... 38


(6)

ix

3. Total Asam Tertitrasi... . 39

4. Intensitas Warna... 39

5. Tekstur... 40

6. Uji Organoleptik... 41

7. Uji Statistik... 41

8. Analisis Biaya... 42

9. Penyimpanan... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 43

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 43

1. Tahapan Pendahuluan pada Bawang Putih ... 43

2. Ekstraksi Bawang Putih Metode Perebusan... 46

3. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Bertingkat... 47

4. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Air... 48

5. Proses Pencampuran (Mixing) Cuka Pasar dengan Ekstrak Bawang Putih... 49

5.1. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Perebusan... 50

5.2. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Maserasi Pelarut Air dan Etanol... 53

B. PENELITIAN UTAMA... 57

1. Total Mikroba... 60

2. Derajat Keasaman (pH)... 66

3. Total Asam Tertitrasi ... 71

4. Warna ... 77

5. Tekstur ... 85

6. Uji Organoleptik... 92

6.1. Aroma... 93

6.2. Rasa... 94

6.3. Tekstur... .... 96

6.4.Overall... 97

7. Analisis Biaya ... ……… 98

V. KESIMPULAN DAN SARAN... .. 101

A. KESIMPULAN ... 101

B. SARAN ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103