48 Sementara  itu,  maserasi  tingkat  III  yang  menggunakan  pelarut  etanol
menghasilkan  ekstrak  sebesar  97.5  ml.  Ekstrak  ini  berwujud  cairan  agak kental  berwarna  kuning  pekat  yang  memiliki  bau  bawang  putih  yang
cukup kuat.  Ekstrak ini terdiri dari komponen polar bawang putih seperti alisin dan senyawa turunannya, ajoene, dan dithiin Block 1985. Ekstrak
bawang putih dengan pelarut etanol memiliki pH sebesar 5.86. Kelarutan komponen aktif bawang putih dalam pelarut etanol terutama
dipengaruhi  oleh  persamaan  kepolaran  antara  pelarut  dengan  komponen aktif  tersebut.  Supriadi  2002  menyatakan  bahwa  semakin  dekat  tingkat
kepolaran  pelarut  dengan  tingkat  kepolaran  komponen  penyusun  bahan maka  semakin  tinggi  rendemen  yang  dihasilkan.  Ekstrak  bawang  putih
yang  dihasilkan  dari  proses  maserasi  tingkat  III  digunakan  untuk  proses pencampuran dengan cuka pasar.
4.  Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Air
Metode  ekstraksi  maserasi  air  dilakukan  untuk  mendapatkan  ekstrak bawang  putih  yang  mengandung  komponen  aktif  yang  bersifat  larut  air.
Pelarut  air  yang  bersifat  polar  akan  mengekstrak  komponen  aktif  pada bawang  putih  yang  bersifat  polar.  Sebanyak  106  gr  bawang  putih  kering
diekstrak  ke  dalam  424  ml  pelarut  air  perbandingan  1:4  selama  24  jam menggunakan  shaker.  Ekstrak  bawang  putih  setelah  dishaker  selama  24
jam dan belum mengalami penyaringan vakum ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9  Ekstrak bawang putih sebelum mengalami penyaringan.
49 Ekstrak  kemudian  disaring  menggunakan  penyaring  vakum  untuk
memisahkan  ekstrak  dengan  padatan  bawang  putih  yang  masih  ikut tercampur.  Ekstrak  yang  telah  disaring  ini  disebut  filtrat.  Filtrat  yang
diperoleh  yaitu  sebanyak  340  ml  dan  merupakan  campuran  dari  ekstrak dengan  pelarut.  Oleh  sebab  itu  filtrat  harus  mengalami  tahap  penguapan
evaporasi  untuk  memisahkan  ekstrak  bawang  putih  dari  pelarutnya. Evaporasi  filtrat  dilakukan  menggunakan  Rotary  Vaccum  Evaporator
hingga  diperoleh  larutan  pekat  dengan  volume  kira-kira  seperempat  dari volume  awal  filtrat.  Larutan  pekat  ini  merupakan  ekstrak  bawang  putih,
yang diperoleh sebanyak 85 ml. Ekstrak  bawang  putih  yang  dihasilkan  memiliki  warna  kuning  pekat,
tekstur  agak  kental,  dan  berbau  bawang.  Ekstrak  bawang  putih  ini mengandung  komponen  bawang  putih  yang  larut  air,  seperti  S-alilsistein,
S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen bawang putih larut air ini diharapkan dapat  larut saat pencampuran  dengan asam asetat  yang
merupakan  asam  organik  bersifat  polar.  pH  ekstrak  yang  diperoleh  yaitu sebesar 5.59.
5.    Proses  Pencampuran Mixing  Cuka  Pasar  dengan  Ekstrak  Bawang
Putih
Proses  pencampuran  cuka  pasar  dengan  ekstrak  bawang  putih bertujuan  untuk  memperoleh  larutan  campuran  dengan  pH
≤ 3  serta  rasa
yang tidak asam. Pemilihan pH di bawah 3 didasarkan bahwa bakteri tidak dapat  tumbuh  pada  pH  di  bawah  3.  Menurut  Doores  2005,  pada
umumnya  bakteri  masih  toleran  pada  pH  antara  4  -  9.  Dalam  hal  rasa, larutan campuran  yang terpilih yaitu yang memiliki rasa tidak asam sama
sekali  atau  sedikit  asam  tetapi  masih  bisa  diterima  secara  organoleptik. Larutan campuran yang terpilih disebut larutan biang. Larutan biang inilah
yang  selanjutnya  digunakan  sebagai  larutan  pengawet  untuk  mie  basah matang pada penelitian utama.
50
5.1.  Pencampuran  Cuka  Pasar  :  Ekstrak  Bawang  Putih  Metode Perebusan
Ekstrak  dari  bawang  putih  yang  direbus  menggunakan  air dicampurkan dengan cuka pasar. Kandungan asam asetat dalam cuka
pasar  yaitu  25.  Pengukuran  pH  dan  pencicipan  rasa  larutan campuran secara subjektif menghasilkan data yang dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel  15    Hasil  pengukuran  pH  dan  rasa  campuran  cuka  pasar  : ekstrak bawang  putih metode perebusan
Proses Ekstraksi Bawang Putih
Cuka Pasar : Ekstrak
pH Rasa
0 : 100 6.15
Bawang ++++ 30 : 70
2.99 ≠
Asam, bawang +++ 50 : 50
2.88 Asam ++, bawang +
70 : 30 2.79
Asam +++ Perebusan
bawang putih segar
100 : 0 2.60
Asam ++++ 0 : 100
6.13 Bawang ++++
30 : 70 2.94
Asam +, bawang +++ 50 : 50
2.70 Asam ++, bawang +
70 : 30 2.63
Asam +++ Perebusan
bawang putih keringlayu
100 : 0 2.60
Asam ++++
Berdasarkan  data  dapat  diketahui  bahwa  ekstraksi  bawang  putih segar  metode  perebusan  menghasilkan  ekstrak  dengan  pH  sebesar
6.15  dengan  rasa  bawang  yang  sangat  kuat.  Penurunan  pH  terjadi saat  ekstrak  bawang  putih  dicampur  dengan  cuka  pasar.
Pencampuran  cuka  pasar  30  dengan  ekstrak  bawang  putih  70 menghasilkan  larutan  yang  memiliki  pH  yang  rendah,  yaitu  2.99.
Dari  segi  rasa,  campuran  30:70  ini  tidak  memiliki  rasa  asam dikarenakan  dominannya  rasa  dari  bawang  putih.  Hal  ini
menyebabkan  rasa  dan  aroma  dari  campuran  30:70  sangat  khas
51 bawang  putih.  Penurunan  pH  kembali  terjadi  saat  konsentrasi  cuka
pasar  dinaikkan  dan  konsentrasi  ekstrak  bawang  putih  diturunkan. Pada  pencampuran  cuka  pasar  :  ekstrak  bawang  putih  50:50,
diperoleh  pH  campuran  sebesar  2.88.  Kali  ini  larutan  campuran terasa cukup asam, dengan rasa dan aroma bawang putih yang tidak
terlalu  pekat.  Pada  pencampuran  cuka  pasar  :  ekstrak  bawang  putih 70:30,  pH  larutan  campuran  yaitu  sebesar  2.79  dengan  rasa  larutan
yang  asam  dan  flavor  bawang  putih  yang  tidak  lagi  terasa.  Cuka pasar 100 memiliki pH yang sangat rendah, yaitu 2.60.
Larutan  campuran  cuka  pasar  :  ekstrak  bawang  putih  segar dengan  perbandingan  30:70,  50:50,  70:30,  dan  cuka  pasar  100
masing-masing  memiliki  pH  di  bawah  3.  Keempat  larutan  ini memenuhi  target  penelitian  pendahuluan  berdasarkan  pH.  Namun,
tidak  ada  satu  larutan  pun  yang  memiliki  rasa  yang  tidak  asam netral.  Larutan  30:70,  meski  tidak  memiliki  rasa  asam  namun
memiliki  rasa  dan  aroma  bawang  putih  yang  dominan.  Rasa  dan aroma  bawang  putih  ini  terlalu  pekat  untuk  diterima  secara
organoleptik.  Sedangkan  larutan  50:50  memiliki  rasa  asam  yang cukup  menyengat  dan  bertahan  lama  di  lidah  indera  pengecap,
sehingga secara organoleptik larutan ini tidak dapat diterima. Pada  larutan  campuran  cuka  pasar  dan  ekstrak  bawang  putih
segar,  intensitas  rasa  asam  dari  cuka  lebih  besar  dibandingkan intensitas  rasa  bawang.  Perebusan  membuat  bawang  putih
kehilangan komponen citarasa  yang bersifat volatil yang diharapkan dapat  menyeimbangkan  intensitas  citarasa  asam  dari  asam  asetat.
Komponen  volatil  bawang  putih  yang  paling  banyak  hilang  saat perebusan  yaitu  dialil  monosulfida,  dialil  disulfida,  dan  dialil
trisulfida  Farrell  1985.  Lyman  1989  menyatakan  bahwa  ketika satu  rasa  dikombinasikan  dengan  rasa  yang  lain,  rasa-rasa  tersebut
tidak  akan  membentuk  suatu  rasa  baru.  Masing-masing  komponen rasa  akan  bereaksi,  yang  dapat  meningkatkan  atau  mengurangi
intensitas  salah  satu  rasa.  Senyawa  citarasa  dalam  ekstrak  bawang
52 putih  segar  sebagian  telah  volatil  akibat  proses  perebusan,  sehingga
hanya  sebagian  kecil  senyawa  yang  dapat  bereaksi  dengan  ion  H
+
pembentuk  rasa  asam  dari  asetat.  Ion  H
+
bebas  menjadi  lebih dominan dan rasa asamlah yang terasa di indera pengecap. Hal inilah
yang  menyebabkan  seluruh  larutan  campuran  ini  tidak  lolos screening sebagai larutan biang.
Ekstraksi  bawang  putih  kering  metode  perebusan  menghasilkan ekstrak  yang  memiliki  pH  sebesar  6.13.  Nilai  pH  ini  sedikit  lebih
rendah  bila  dibandingkan  dengan  pH  ekstrak  bawang  putih  segar dengan  perebusan  6.15.  Pencampuran  cuka  pasar  dengan  ekstrak
bawang  putih  perbandingan  30:70  menghasilkan  larutan  campuran yang  memiliki  pH  sebesar  2.94  serta  rasa  bawang  putih  yang  kuat
dengan  sedikit  rasa  asam.  Pencampuran  cuka  pasar  dan  ekstrak bawang  putih  50:50  menghasilkan  larutan  dengan  pH  2.70.
Meskipun  konsentrasi  cuka  pasar  dan  ekstrak  bawang  putih  sama besar, namun larutan campuran ini memiliki rasa dan aroma bawang
yang lemah, dengan rasa asam dari cuka pasar yang cukup kuat. Pada larutan  campuran  cuka  pasar  dengan  ekstrak  bawang  putih  70:30,
flavor bawang putih tertutupi oleh rasa asam dari cuka pasar. Larutan ini memiliki pH sebesar 2.63. Larutan cuka pasar 100 memiliki pH
yang rendah, yaitu 2.60. Berdasarkan segi pH, larutan 30:70, 50:50, 70:30, dan cuka pasar
100  memenuhi  syarat  larutan  biang  karena  memiliki  pH  dibawah 3.  Namun  berdasarkan  segi  rasa,  tidak  ada  satu  pun  dari  larutan
tersebut  yang  memiliki  rasa  tidak  asam.  Seperti  halnya  ekstrak bawang  putih  segar,  komponen  aktif  dari  ekstrak  bawang  putih
kering juga sebagian hilang akibat proses perebusan dan penjemuran. Menurut  Harborne  1987,  pengeringan  rempah  dengan  penjemuran
dapat  menyebabkan  terjadinya  perubahan  komposisi  senyawa penyusun  bahan.  Proses  oksidasi  juga  dapat  terjadi  akibat  kontak
langsung  udara  dengan  bahan  yang  menyebabkan  hilangnya  atom karbon  dari  gugus  metil  yang  teroksidasi  menjadi  gugus  karboksil
53 dan  kemudian  terlepas  menjadi  CO
2
.  Hilangnya  komponen  volatil dari bawang putih akibat penjemuran menyebabkan kadar komponen
aktif  pada  ekstrak  lebih  sedikit,  dan  membuat  pH  ekstrak  lebih rendah.  Hal  ini  juga  menyebabkan  jumlah  ion  H
+
bebas  dari  asam asetat menjadi lebih banyak saat ekstrak bawang putih dicampurkan
dengan cuka pasar. Hal ini menyebabkan rasa asam dari cuka pasar lebih dominan pada perbandingan 50:50, 70:30, bahkan sudah mulai
terasa pada perbandingan 30:70. Sehingga seluruh larutan campuran cuka  pasar  dengan  ekstrak  bawang  putih  kering  yang  direbus  tidak
lolos screening larutan biang.
5.2.  Pencampuran  Cuka  Pasar  :  Ekstrak  Bawang  Putih  Metode Maserasi Pelarut Air dan Etanol
Maserasi  bawang  putih  menggunakan  pelarut  air  maupun  etanol menghasilkan  ekstrak  bawang  putih  yang  mengandung  komponen
polar. Komponen tersebut bertindak sebagai komponen citarasa dari bawang  putih,  diantaranya  alisin,  senyawa  turunan  sistein  S-
alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein Nagpurkar et al. 2000, serta senyawa sulfida hasil dekomposisi dari alisin ajoene
dan dithiin Block 1985. Pada  pencampuran  cuka  pasar  dengan  ekstrak  bawang  putih
metode maserasi air maupun etanol digunakan  konsentrasi ekstrak bawang  putih  yang  lebih  rendah.  Hal  ini  dilakukan  berdasarkan
alasan  ekonomis.  Proses  ekstraksi  bawang  putih  metode  maserasi menggunakan  pelarut  dan  peralatan  laboratorium  yang  lebih  besar
dari  segi  biaya  jika  dibandingkan  dengan  ekstraksi  bawang  putih metode  perebusan.  Penggunaan  konsentrasi  ekstrak  bawang  putih
yang  lebih  rendah  ini  dilakukan  untuk  menekan  biaya  pengawetan, sehingga  larutan  pengawet  yang  dihasilkan  tetap  dapat  terjangkau
oleh produsan dan pedagang mie basah matang.
54 Hasil pengukuran pH dan pencicipan rasa dari larutan campuran
cuka  pasar  dengan  ekstrak  bawang  putih  maserasi  air  dapat  dilihat pada Tabel 16.
Tabel  16  Hasil  pengukuran  pH  dan  rasa  campuran  cuka  pasar: ekstrak bawang putih maserasi air dan etanol
Proses Ekstraksi Bawang Putih
Cuka Pasar: Ekstrak
pH Rasa
8 : 2 2.74
Asam ++++ 7 : 3
2.93 Asam +; rasa asam cepat
hilang 6 : 4
3.05 Asam +; bawang +; rasa
asam cepat hilang Maserasi air
5 : 5 3.22
Asam +; bawang +++; rasa asam cepat hilang
8 : 2 2.80
Asam ++++ 7 : 3
2.95 Asam +; rasa asam cepat
hilang 6 : 4
3.20 Asam +; bawang +; asam
cepat hilang Maserasi etanol
5 : 5 3.42
Asam +; bawang +++; rasa asam cepat hilang
Ekstrak  bawang  putih  yang  diperoleh  dari  maserasi  pelarut  air memiliki  pH  sebesar  5.59.  Nilai  pH  ini  berkurang  ketika  dilakukan
campuran  antara  cuka  pasar  dengan  ekstrak.  Pada  pencampuran dengan perbandingan konsentrasi cuka pasar : ekstrak 8:2, pH larutan
turun  menjadi  2.74.  Larutan  campuran  ini  memiliki  rasa  asam  yang sangat  menyengat  asam  ++++.  Pencampuran  cuka  pasar  dan
ekstrak  dengan  perbandingan  7:3  menghasilkan  larutan  yang memiliki  rasa  asam  yang  sedikit  terasa  di  lidah,  rasa  asam  tersebut
55 cepat hilang, dan tidak terasa flavor bawang putih. Larutan campuran
ini memiliki pH sebesar 2.93. Larutan hasil pencampuran cuka pasar dengan  ekstrak  perbandingan  6:4  memiliki  pH  sebesar  3.05  dengan
rasa asam dan bawang putih yang sedikit terasa di lidah. Rasa asam pada  larutan  ini  pun  terasa  cepat  hilang.  Larutan  campuran  cuka
pasar  dan  ekstrak  dengan  perbandingan  5:5  memiliki  pH  sebesar 3.22. Flavor bawang putih terasa kuat pada larutan ini. Namun, rasa
asam dari cuka pasar masih sedikit terasa di lidah dalam waktu yang singkat.
Ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut etanol memiliki  pH  awal  sebesar  5.86.  Ketika  dicampurkan  dengan  cuka
pasar  dengan  perbandingan  8:2,  pH  campuran  turun  menjadi  2.80 dan  memiliki  rasa  asam  yang  pekat.  Nilai  pH  turun  kembali  pada
perbandingan  campuran  7:3,  yaitu  2.95  dengan  sedikit  rasa  asam yang  terasa  singkat  di  indera  pengecap  dan  cepat  hilang.
Penambahan asam asetat dengan perbandingan 6:4 menghasilkan pH sebesar  3.20  dan  campuran  memiliki  rasa  bawang  serta  sedikit  rasa
asam yang cepat hilang. Larutan dengan perbandingan asam asetat : ekstrak 5:5 memiliki pH sebesar 3.42 dengan rasa bawang dominan
dan sedikit rasa asam yang terasa cepat hilang di lidah. Larutan campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih maserasi
air maupun etanol perbandingan 7:3, 6:4, dan 5:5 memiliki rasa asam yang  cepat  terasa  hilang  di  lidah.  Hal  ini  berkaitan  dengan
sensitivitas  rasa  asam  dan  flavor  bawang  pada  indera  pengecap. Woodworth  et  al.  1954  menyatakan  bahwa  konsentrasi  suatu  zat
yang  dibutuhkan  untuk  dapat  terdeteksi  oleh  indera  pengecap manusia  berbeda-beda,  tergantung  dari  rasa  dan  zat  yang
dikandungnya.  Rasa  dari  suatu  zat  baru  akan  terasa  sepenuhnya setelah  ¼  hingga  2  detik  setelah  zat  tersebut  kontak  dengan  lidah
Lyman  1989.  Waktu  setiap  zat  untuk  dapat  terasa  secara keseluruhan juga dipengaruhi oleh kandungan zat tersebut.
56 Pada  asam  asetat,  ion  hidrogen  H
+
merupakan  substansi  yang menjadi stimulus rasa asam yang dirasakan oleh indera pengecap. Di
dalam  mulut,  ion  hidrogen  ini  akan  dideteksi  oleh  ion  hydrogen channel.  Ion  hidrogen  mampu  menyebar  dan  berinteraksi  dengan
amiloride-sensitive channels di dalam mulut. Selain itu, ion hidrogen ini  juga  mampu  menghambat  potassium  channel  yang  memiliki
fungsi  secara  normal  untuk  melakukan  hiperpolarisasi  sel. Penghambatan  terjadi  karena  ion  hidrogen  mampu  menurunkan  pH
dalam  mulut  dan  membuat  tertutupnya  blocking  ion  channel  dari potassium.  Kombinasi  aksi  dari  ion  hidrogen  ini  menyebabkan  rasa
asam  dapat  terdeteksi  oleh  mulut  Bray  1992.  Ion  hidrogen  dari asam  asetat  ini  memberikan  rasa  asam  yang  cepat  terasa  dan
menusuk  di  lidah.  Oleh  sebab  itu,  asam  asetat  dikatakan  memiliki rasa asam yang menusuk Lyman 1989.
Komponen citarasa pada bawang putih yang mempengaruhi rasa larutan campuran berasal dari komponen volatil dan non volatil. Wati
2007 membagi sensasi citarasa dari rempah menjadi hot sensation dan  sharp  sensation.  Hot  sensation  merupakan  jenis  citarasa  yang
menyebar  di  seluruh  mulut,  sedangkan  sharp  sensation  dapat menstimulasi  membran  mukosa,  baik  pada  hidung  maupun  pada
rongga  mulut.  Sebagian  besar  komponen  aktif  pada  rempah  yang menghasilkan  sharp  sensation  biasanya  bersifat  volatil,  sedangkan
komponen  yang  menghasilkan  hot  sensation  biasanya  bersifat  non volatil.  Gugus  sulfida  pada  bawang  putih  cenderung  menghasilkan
sharp  sensation.  Menurut  Farrell  1985,  karakteristik  flavor  dari bawang  putih  yaitu  alliceous  dan  sulfurous.  Ekstrak  bawang  putih
yang  berasal  dari  maserasi  pelarut  polar  cenderung  memiliki komponen  volatil  dan  non  volatil,  karena  proses  maserasi  tidak
menggunakan  panas  suhu  tinggi,  sehingga  komponen  aktif  tidak terdegradasi selama ekstraksi.
Ketika  terjadi  pencampuran  cuka  pasar  dengan  ekstrak  bawang putih hasil maserasi air maupun etanol, ion hidrogen H
+
dari cuka
57 pasar  bereaksi  dengan  komponen  aktif  dari  ekstrak  bawang  putih.
Reaksi ini membuat kerja dari ion hidrogen dalam menghasilkan rasa dan  flavor  asam  di  lidah  menjadi  terhambat.  Sebaliknya,  hot  dan
sharp  sensation  yang  seharusnya  terasa  dalam  mulut  juga  dihambat oleh  ion-ion  hidrogen.  Sebagai  hasil  yang  dirasakan  oleh  indera
pengecap  yaitu  rasa  asam  yang  sedikit  terasa  di  lidah  dan  cepat hilang, tanpa sensasi dari flavor bawang putih. Rasa asam ini berasal
dari ion hidrogen bebas yang tidak bereaksi dengan komponen aktif bawang putih.
Larutan  campuran  asam  asetat  dan  ekstrak  bawang  putih  hasil maserasi  menggunakan  pelarut  air  maupun  etanol  yang  memenuhi
kriteria pH  3 serta rasa tidak asam yaitu larutan 7:3. Larutan inilah yang  selanjutnya  digunakan  sebagai  larutan  biang  pada  penelitian
utama. Larutan terpilih dari pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang  putih  maserasi  air  larutan  7:3  disebut  larutan  biang  A,
sedangkan  larutan  terpilih  dari  pencampuran  cuka  pasar  dengan ekstrak bawang putih maserasi etanol disebut larutan biang E.
B.  PENELITIAN UTAMA
Pada  penelitian  utama,  larutan  biang  A  dan  E  diencerkan  menjadi  10, 20, dan 30. Kandungan asam asetat yang terkandung pada masing-masing
konsentrasi  pengenceran  ditunjukkan  pada  Tabel  17.  Perhitungan  kandungan asam asetat tiap pengenceran tercantum pada Lampiran 3.
Tabel 17  Kandungan asam asetat pada larutan biang A dan E yang diencerkan Besar Pengenceran Larutan Biang 7:3
Kandungan asam asetat 10
1.75 20
3.5 30
5.25
Mie basah matang dicelup ke masing-masing larutan, kemudian dilakukan pengamatan  umur  simpan  mie  basah  matang  secara  visual.  Pengamatan
58 meliputi  warna,  bau,  dan  tekstur  hingga  mie  basah  matang  mengalami
kerusakan.  Pengamatan  umur  simpan  mie  basah  matang  secara  visual  ini dilakukan untuk memperkirakan umur simpan mie basah matang secara visual
yang  berkaitan  dengan  kelayakannya  secara  organoleptik  untuk  dikonsumsi. Hasil pengamatan visual mie basah matang yang dicelup dengan larutan 10,
20, dan 30 dari larutan biang A dan E dapat dilihat pada Lampiran 4 serta Lampiran 5.
Mie  basah  matang  tanpa  pencelupan  kontrol  memiliki  warna,  bau,  dan tekstur  yang  normal  pada  penyimpanan  hari  ke-0.  Hal  ini  menunjukkan  mie
basah  matang  berada  dalam  keadaan  baik  dan  layak  konsumsi.  Perubahan terjadi  pada  penyimpanan  hari  ke  1  dan  2.  Bau  mie  basah  matang  kontrol
berkurang  intensitasnya  bila  dibandingkan  dengan  bau  mie  basah  matang normal.  Selain  itu,  tekstur  mie  basah  matang  yang  normalnya  licin  menjadi
agak kesat. Pada penyimpanan hari ke 3 dan 4, bau mie basah matang kontrol menjadi  lebih  berkurang  intensitasnya  bila  dibandingkan  dengan  bau  mie
basah  matang  hari  ke-2.  Mie  basah  matang  tersebut  menjadi  berbau  agak tengik.  Hal  ini  disebabkan  oleh  reaksi  oksidasi  yang  terjadi  pada  minyak
kelapa  yang  melapisi  permukaan  mie.  Warna  mie  pun  menjadi  lebih  pucat. Selain  itu,  timbul  tanda-tanda  kerusakan  mie  basah  matang  yang  lain,  yaitu
adanya  lendir  akibat  aktivitas  mikroba.  Perkiraan  umur  simpan  mie  basah matang  tanpa  pencelupan  yaitu  selama  2  hari.  Hal  ini  disebabkan  memasuki
penyimpanan hari ke-3 dan ke-4 telah tampak tanda-tanda kerusakan pada mie basah  matang,  meliputi perubahan  warna  menjadi  lebih  pucat,  adanya  lendir,
dan bau tengik. Mie  basah  matang  yang  dicelup  larutan  biang  A  dan  E  yang  diencerkan
10 memiliki bau, warna, dan tekstur yang normal selama penyimpanan hari ke-0,  1,  2,  3,  dan  4.  Hal  ini  menunjukkan  larutan  10  biang  dapat
mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga 4 hari. Mie basah matang  yang dicelup larutan hasil pengenceran biang A dan E
sebesar  20  memiliki  warna  yang  normal  selama  penyimpanan  hari  ke-0 hingga  ke-4.  Mie  basah  matang  ini  memiliki  bau  asam  dari  cuka  yang  telah
tercium sejak penyimpanan hari ke-0. Bau asam cuka tetap tertinggal pada mie
59 hingga penyimpanan hari ke-4. Tekstur mie basah matang tetap normal hingga
penyimpanan  hari  ke-2  dan  menjadi  agak  kesat  berkurang  kelicinannya  di hari  ke-3  dan  ke-4.  Larutan  20  biang  ini  dapat  menghambat  pertumbuhan
mikroba penyebab timbulnya lendir pada mie, sehingga mie memiliki tekstur yang  tidak  berlendir.  Larutan  20  biang  dapat  mempertahankan  mutu  mie
basah matang secara visual hingga hari ke-4. Namun, bau asam dari cuka yang tetap  tertinggal  membuat  mie  basah  matang  kurang  disukai  secara
organoleptik. Pencelupan  mie  basah  matang  dengan  larutan  30  biang  A  maupun  E
mampu  mempertahankan  warna  mie  basah  matang  tetap  normal  hingga penyimpanan hari ke-4. Pada penyimpanan hari ke-0, mie basah matang telah
memiliki bau asam dari cuka yang cukup menyengat. Pada penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, bau asam cuka bertambah kuat. Tekstur mie basah matang
yang normal dapat dipertahankan hingga penyimpanan hari ke-2. Pada hari ke- 3  dan  ke-4,  mie  basah  matang  menjadi  agak  kesat.  Seperti  halnya  larutan
biang  20,  larutan  biang  30  pun  dapat  mempertahankan  mutu  mie  basah matang secara visual hingga hari ke-4. Bau asam dari cuka yang tercium lebih
kuat membuat mie basah matang ini tidak disukai secara organoleptik. Berdasarkan  hasil  pengamatan  secara  visual,  diketahui  bahwa  larutan
biang  A  dan  E  yang  diencerkan  sebesar  10  mampu  mempertahankan  mutu mie  basah  matang  dari  segi  warna,  bau,  dan  tekstur  selama  4  hari.  Hal  ini
menyebabkan  pengenceran  larutan  biang  A  dan  E  dengan  perbandingan  7:3 sebesar  10  menjadi  batas  tengah  dari  optimasi  larutan  biang.  Optimasi
larutan  biang  yang  dilakukan  yaitu  dengan  mengencerkan  larutan  biang  7:3 menjadi  5,  10,  dan  15.  Tabel  18  menunjukkan  besar  optimasi
pengenceran larutan biang beserta jumlah asam asetat yang dikandungnya. Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke larutan biang yang
dioptimasi dan penyimpanan mie hingga mengalami kerusakan. Analisis fisik, kimia,  dan  mikrobiologi  pada  mie  basah  matang  yang  diawetkan  dilakukan
setiap hari hingga terjadi kerusakan.
60 Tabel 18  Besar optimasi pengenceran larutan biang
Rumus Besar Pengenceran terhadap
Larutan Biang Besar Pengenceran
terhadap Larutan Biang
Kandungan Asam asetat
x – 5 5
0.88 x
10 1.75
x + 5 15
2.63
1.  Total Mikroba
Menurut  Buckle  et  al.  1985,  penyebab  utama  kerusakan  bahan pangan  yaitu  mikroorganisme  dan  berbagai  perubahan  enzimatis  maupun
non enzimatis. Fardiaz 1989 menyatakan bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan  oleh  mikroorganisme  diantaranya  berjamur,  pembusukan  rots,
berlendir,  perubahan  warna,  kerusakan  fermentatif  serta  pembusukan bahan-bahan  berprotein.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  salah  satu  faktor
utama  penentu  keawetan  suatu  bahan  pangan  yaitu  aktivitas mikroorganisme pada bahan pangan tersebut.
Analisis total mikroba yang dilakukan selama penyimpanan mie basah matang  yaitu  analisis  Total  Plate  Count  TPC  yang  bertujuan  untuk
menghitung jumlah mikroba total pada sampel, termasuk bakteri, kapang, dan khamir. SNI 01-2987-1992 tentang syarat mutu mie basah menyatakan
bahwa  batas  cemaran  mikroba  pada  mie  basah  yaitu  maksimal  1.0  x  10
6
kolonig  pada  angka  lempeng  total,  maksimal  10  APMg  E.  coli,  dan maksimal  1.0  x  10
4
kolonig  kapang.  Hasil  analisis  total  mikroba  mie basah  matang  yang  dicelup  larutan  A1,  A2,  dan  A3  dapat  dilihat  pada
Gambar 10.
61
1 2
3 4
5 6
7 8
H0 H1
H2 H3
H4
Lama Penyimpanan T
o ta
l M
ik ro
b a
L o
g
KONTROL A1
A2 A3
Gambar  10    Grafik  total  mikroba  mie  basah  matang  dengan  pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.
Total  mikroba  mie  basah  matang  kontrol  mengalami  kenaikan  pada penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-4. Nilai total mikroba berturut-turut
dari hari 0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu 1.21x 10
4
kolonig; 2.95 x 10
4
kolonig; 1.9 x  10
6
kolonig;  2.5  x  10
6
kolonig;  dan  6.35  x  10
6
kolonig.  Garis  merah menunjukkan  batas  total  mikroba  pada  mie  basah  matang  menurut  SNI,
yaitu  maksimal  1.0  x  10
6
kolonig.  Berdasarkan  grafik  dapat  diketahui bahwa mie basah matang kontrol pada hari ke-0 dan ke-1 masih berada di
bawah garis batas SNI, yaitu pada angka 1.21x 10
4
kolonig dan 2.95 x 10
4
kolonig.  Hal  ini  menandakan  mie  basah  matang  kontrol  masih  berada dalam  keadaan  baik  dan  layak  untuk  dikonsumsi.  Tanda-tanda  kerusakan
mie  basah  matang  kontrol  mulai  terjadi  pada  penyimpanan  di  hari  ke-2. Nilai  total  mikrobanya  melebihi  batas  SNI,  yaitu  pada  nilai  1.9  x  10
6
kolonig.  Kerusakan  awal  ini  disebabkan  oleh  semakin  meningkatnya aktivitas  mikroba  pada  mie  basah  matang,  terutama  karena  kadar  air  mie
yang  tinggi  yaitu  sekitar  52  Astawan,  2005.  Kerusakan  oleh  mikroba terus berlanjut hingga penyimpanan hari ke-3 dan ke-4. Nilai total mikroba
dari  mie  basah  matang  terus  melewati  batas  SNI.  Selain  itu,  terjadi perubahan  fisik  dari  mie  basah  matang  secara  visual.  Mie  basah  matang
kontrol di hari ke-3 dan ke-4 memiliki tekstur yang lembek, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa dari segi
62 total  mikroba,  mie  basah  matang  kontrol  memiliki  umur  simpan  hingga
hari ke-1. Setelah penyimpanan hari ke-1, mie basah matang kontrol sudah tidak  layak  konsumsi.  Hal  ini  sesuai  dengan  pernyataan  Yuniar  2004
bahwa  mie  basah  yang  disimpan  pada  suhu  kamar  hanya  memiliki  umur simpan selama 24 jam. Perubahan yang timbul akibat kerusakan mie basah
matang  tersebut  yaitu  aroma  mie  menjadi  asam  dan  diikuti  dengan pembentukan
lendir. Pembentukan
lendir menandakan
adanya pertumbuhan  bakteri  dan  diikuti  dengan  timbulnya  bau  asam  Hoseney,
1998. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 pengenceran 5
dari  larutan  biang  hasil  maserasi  air  memiliki  nilai  total  mikroba  pada penyimpanan  hari  ke-0,  1,  2,  3,  dan  4  berturut-turut  sebanyak  1.13  x  10
4
kolonig;  2.5  x  10
4
kolonig;  2.5  x  10
5
kolonig;  2.5  x  10
5
kolonig;  dan 1.38 x 10
6
kolonig. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 ini memiliki mutu mikrobiologi yang tetap baik hingga penyimpanan hari
ke-3.  Terbukti  dari  nilai  total  mikroba  yang  tidak  melebihi  batas  SNI. Asam asetat sebanyak 0.88 yang terkandung dalam larutan pengawet A1
mampu  menghambat  pertumbuhan  mikroba  pada  mie  basah  matang selama  hari  ke-3.  Namun  pada  penyimpanan  hari  ke-4,  pertumbuhan
mikroba meningkat hingga melewati 1.0 x 10
6
kolonig. Jika dibandingkan dengan mie basah kontrol, larutan A1 dapat memperpanjang umur simpan
mie basah matang hingga hari ke-3. Larutan  pengawet  A2  memiliki  daya  hambat  pada  pertumbuhan
mikroba mie basah matang yang lebih baik dibandingkan larutan pengawet A1.  Hal  ini  ditunjukkan  dari  nilai  total  mikroba  mie  basah  matang  yang
dicelup larutan A2 selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 berturut- turut sebesar 1.64 x 10
4
kolonig; 5.4 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
4
kolonig; 2.5 x  10
5
kolonig;  dan  2.5  x  10
5
kolonig.  Selama  mie  basah  matang  yang dicelup  larutan  A2  mengalami  penyimpanan,  tetap  terjadi  pertumbuhan
mikroba.  Namun  pertumbuhan  mikroba  terjadi  dalam  jumlah  1  log  yang sama hingga hari penyimpanan ke-2. Pada penyimpanan hari ke-3 dan ke-
4  barulah  terjadi  kenaikan  pertumbuhan  mikroba  sebanyak  1  log.  Total
63 mikroba pada mie basah matang ini tidak melebihi batas SNI hingga hari
penyimpanan ke-4. Hal ini disebabkan kandungan asam asetat  yang lebih tinggi  pada  larutan  A2,  yaitu  sebanyak  1.75  yang  dapat  menghambat
pertumbuhan  mikroba  secara  lebih  efektif.  Naidu  2000  menyebutkan bahwa  keefektifan  asam  asetat  semakin  meningkat  dengan  meningkatnya
konsentrasi  dan  suhu,  serta  menurunnya  pH.  Asam  asetat  yang  memiliki pH  rendah  dapat  membunuh  mikroba  yang  sebagian  besar  tidak  tahan
terhadap pH rendah Buckle et al. 1987. Daya  hambat  larutan  pengawet  A3  terhadap  pertumbuhan  mikroba
pada mie basah matang tidak berbeda jauh dengan larutan A2. Nilai total mikroba  mie  basah  matang  penyimpanan  hari  ke-0,  1,  2,  3,  dan  4  yaitu
1.28  x  10
4
kolonig;  4.3  x  10
3
kolonig;  2.5  x  10
4
kolonig;  2.5  x  10
5
kolonig; dan 2.5 x 10
5
kolonig. Jumlah mikroba mie basah matang tidak melewati  batas  SNI  hingga  penyimpanan  hari  ke-4.  Kandungan  asam
asetat  pada  larutan  A3  sebanyak  2.63  lebih  efektif  menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan larutan A1 dan A2. Konsentrasi asam
asetat yang lebih tinggi pada larutan A3 membuat pH larutan dan pH mie basah matang menjadi lebih rendah, sehingga lebih banyak mikroba  yang
tidak  dapat  bertahan  hidup.  Menurut  Marshall  et  al.  2000,  sifat antimikrobial  asam  asetat  yang  bersifat  asam  lemah  akan  meningkat
dengan menurunnya pH. Berdasarkan  nilai  total  mikroba  masing-masing  pencelupan  pada
larutan  pengawet  A,  larutan  A1  memiliki  daya  hambat  mikroorganisme yang paling rendah bila dibandingkan dengan larutan A2 dan A3. Larutan
A3 memiliki daya hambat mikroba tertinggi karena kandungan asam asetat yang lebih tinggi dari ketiga larutan, yaitu 2.63.
Hasil  analisis  total  mikroba  mie  basah  matang  yang  dicelup  larutan 5, 10, dan 15 dari larutan biang E dapat dilihat pada Gambar 11.
64
1 2
3 4
5 6
7 8
H0 H1
H2 H3
H4
Lama Penyimpanan T
o ta
l M
ik ro
b a
L o
g
KONTROL E1
E2 E3
Gambar  11    Grafik  total  mikroba  mie  basah  matang  dengan  pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.
Mie  basah  matang  yang  dicelup  larutan  E1  pengenceran  5  dari larutan  biang  E  memiliki  nilai  total  mikroba  berturut-turut  sebesar  3.6  x
10
3
kolonig; 5.0 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 9.75 x 10
5
kolonig pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Larutan E1 ini  mengandung  asam  asetat  sebanyak  0.88,  jumlah  yang  sama  dengan
asam asetat yang dikandung larutan A1. Namun, larutan E1 ternyata dapat menjaga  mutu  mikrobiologi  mie  basah  matang  hingga  penyimpanan  hari
ke-4  tanpa  melewati  batas  SNI.  Hal  ini  disebabkan  ekstrak  bawang  putih yang  dihasilkan  dari  maserasi  dengan  pelarut  etanol  dapat  mengekstrak
komponen  aktif  yang  bersifat  polar  secara  lebih  efektif.  Komponen  aktif bawang  putih  yang  terekstrak  tersebut  juga  bertindak  sebagai  komponen
antimikroba.  Salah  satu  komponen  aktif  bawang  putih  yang  bersifat  larut dalam  pelarut  polar  yaitu  alisin  Nagpurkar  et  al.,  2000.  Alisin  terbukti
memiliki  kemampuan  menghambat  mikroba  Eskin,  1979.  Hal  ini  juga menyebabkan  terbantunya  daya  kerja  antimikroba  dari  asam  asetat  pada
larutan  pengawet  E1.  Sehingga  daya  hambat  larutan  E1  terhadap pertumbuhan mikroba mie basah matang pun lebih baik.
Larutan  E2  dan  E3  memiliki  daya  hambat  yang  hampir  sama  kuat terhadap pertumbuhan mikroba pada mie basah matang. Mie basah matang
yang dicelup larutan E2 memiliki nilai total mikroba selama penyimpanan
65 hari  ke-0  hingga  ke-4,  yaitu  2.5  x  10
3
kolonig;  1.1  x  10
4
kolonig;  2.5  x 10
5
kolonig;  2.5  x  10
5
kolonig;  dan  6.2  x  10
5
kolonig.  Sementara  total mikroba  mie  basah  matang  yang  dicelup  larutan  E3  selama  4  hari
penyimpanan  yaitu  2.5  x  10
3
kolonig;  2.5  x  10
3
kolonig;  2.5  x  10
5
kolonig;  2.5  x  10
5
kolonig;  dan  2.5  x  10
5
kolonig.  Penghambatan mikroba  oleh  larutan  E3  sedikit  lebih  kuat  dibandingkan  dengan  larutan
E2. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mikroba di hari ke-4 pada larutan E2. Kandungan asam asetat yang lebih tinggi pada larutan E3 sebesar 2.63
membuat  kemampuan  larutan  pengawet  E3  dalam  menurunkan  jumlah mikroba  mie  basah  matang  lebih  baik  dibandingkan  kemampuan
antimikroba larutan pengawet E1 dan E2.  Berdasarkan hasil analisis total mikroba, larutan E1, E2, dan E3 mampu mempertahankan mutu mie basah
matang hingga penyimpanan hari ke-4 secara mikrobiologi. Hasil  analisis  ragam  menunjukkan  total  mikroba  mie  basah  matang
yang  dicelup  larutan  A1,  A2,  A3,  E1,  E2,  dan  E3  tidak  berbeda  nyata dengan kontrol pada penyimpanan hari ke-0. Hari ke-0 yaitu hari saat mie
basah  matang  mengalami  pencelupan  larutan  pengawet.  Hal  ini menunjukkan  bahwa  kondisi  mikrobiologis  mie  dalam  keadaan  yang
relatif  sama  saat  pencelupan.  Total  mikroba  mie  basah  matang  yang dicelup larutan A dan E berbeda nyata dengan kontrol pada penyimpanan
hari  ke-1,  2,  dan  3.  Hal  ini  menunjukkan  perlakuan  pencelupan  mie  ke larutan  A  dan  E  membuat  mie  tersebut  memiliki  perbedaan  dalam
parameter total mikroba dengan mie kontrol. Mikroorganisme  penyebab  kerusakan  mie  basah  matang  dapat  timbul
akibat kondisi sanitasi  yang tidak baik di tempat pembuatan mie maupun kontaminasi  di  tempat  penjualan.  Tepung  terigu  sebagai  bahan  utama
dalam  pembuatan  mie  basah  matang  juga  dapat  berkontribusi  sebagai penyebab  adanya  mikroba  pada  mie.  Bulla  et  al.  1978  menyebutkan
bahwa  sebagian  besar  mikroba  yang  hidup  di  tepung  yaitu  bakteri  dari famili
Pseudomonadaceae, Bacillaceae,
Micrococcaceae, Lactobacillaceae,  dan  Enterobacteriaceae.  Bacillus  sterothermophilus
66 merupakan salah satu mikroba yang menyebabkan kerusakan pada tepung
terigu sebagai bahan baku mie basah matang Fardiaz 1999. Asam  asetat  yang  terkandung  dalam  larutan  pengawet  A  maupun  E
akan terdisosiasi di dalam sel mikroba karena pH dalam sel yang netral R- COOH terurai menjadi RCOO
-
+ H
+
. Asam asetat yang terurai membuat ion H
+
yang terbentuk dalam sel menjadi semakin banyak. Banyaknya ion H
+
yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH dapat  menyebabkan  sel  menjadi  mati  karena  aktivitas  enzim  dan  asam
nukleatnya  terganggu  Garbutt  1997.  Hal  ini  menyebabkan  semakin tinggi  kandungan  asam  asetat  dalam  larutan  pengawet  maka  semakin
banyak  asam  asetat  yang  terpapar  dengan  mie  basah  matang,  sehingga kemampuan  asam  asetat  untuk  terdisosiasi  menjadi  ion  H+  pun  semakin
besar.  Hal  ini  membuat  daya  hambat  asam  asetat  terhadap  mikroba  yang tumbuh di mie basah matang selama penyimpanan semakin tinggi.
Berdasarkan  hasil  analisis  total  mikroba,  dapat  disimpulkan  bahwa larutan terbaik yang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara
mikrobiologis  hingga  penyimpanan  hari  ke-4  yaitu  larutan  A2,  A3,  dan E3.  Mie  basah  matang  yang  dicelup  larutan  pengawet  tersebut  memiliki
total  mikroba  sebesar  2.5  x  10
5
kolonig  hingga  penyimpanan  hari  ke-4. Data hasil perhitungan total mikroba pada mie basah matang yang dicelup
larutan A dan E dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.
2.  Derajat Keasaman pH