48 Sementara itu, maserasi tingkat III yang menggunakan pelarut etanol
menghasilkan ekstrak sebesar 97.5 ml. Ekstrak ini berwujud cairan agak kental berwarna kuning pekat yang memiliki bau bawang putih yang
cukup kuat. Ekstrak ini terdiri dari komponen polar bawang putih seperti alisin dan senyawa turunannya, ajoene, dan dithiin Block 1985. Ekstrak
bawang putih dengan pelarut etanol memiliki pH sebesar 5.86. Kelarutan komponen aktif bawang putih dalam pelarut etanol terutama
dipengaruhi oleh persamaan kepolaran antara pelarut dengan komponen aktif tersebut. Supriadi 2002 menyatakan bahwa semakin dekat tingkat
kepolaran pelarut dengan tingkat kepolaran komponen penyusun bahan maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Ekstrak bawang putih
yang dihasilkan dari proses maserasi tingkat III digunakan untuk proses pencampuran dengan cuka pasar.
4. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Air
Metode ekstraksi maserasi air dilakukan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air.
Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar. Sebanyak 106 gr bawang putih kering
diekstrak ke dalam 424 ml pelarut air perbandingan 1:4 selama 24 jam menggunakan shaker. Ekstrak bawang putih setelah dishaker selama 24
jam dan belum mengalami penyaringan vakum ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9 Ekstrak bawang putih sebelum mengalami penyaringan.
49 Ekstrak kemudian disaring menggunakan penyaring vakum untuk
memisahkan ekstrak dengan padatan bawang putih yang masih ikut tercampur. Ekstrak yang telah disaring ini disebut filtrat. Filtrat yang
diperoleh yaitu sebanyak 340 ml dan merupakan campuran dari ekstrak dengan pelarut. Oleh sebab itu filtrat harus mengalami tahap penguapan
evaporasi untuk memisahkan ekstrak bawang putih dari pelarutnya. Evaporasi filtrat dilakukan menggunakan Rotary Vaccum Evaporator
hingga diperoleh larutan pekat dengan volume kira-kira seperempat dari volume awal filtrat. Larutan pekat ini merupakan ekstrak bawang putih,
yang diperoleh sebanyak 85 ml. Ekstrak bawang putih yang dihasilkan memiliki warna kuning pekat,
tekstur agak kental, dan berbau bawang. Ekstrak bawang putih ini mengandung komponen bawang putih yang larut air, seperti S-alilsistein,
S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen bawang putih larut air ini diharapkan dapat larut saat pencampuran dengan asam asetat yang
merupakan asam organik bersifat polar. pH ekstrak yang diperoleh yaitu sebesar 5.59.
5. Proses Pencampuran Mixing Cuka Pasar dengan Ekstrak Bawang
Putih
Proses pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih bertujuan untuk memperoleh larutan campuran dengan pH
≤ 3 serta rasa
yang tidak asam. Pemilihan pH di bawah 3 didasarkan bahwa bakteri tidak dapat tumbuh pada pH di bawah 3. Menurut Doores 2005, pada
umumnya bakteri masih toleran pada pH antara 4 - 9. Dalam hal rasa, larutan campuran yang terpilih yaitu yang memiliki rasa tidak asam sama
sekali atau sedikit asam tetapi masih bisa diterima secara organoleptik. Larutan campuran yang terpilih disebut larutan biang. Larutan biang inilah
yang selanjutnya digunakan sebagai larutan pengawet untuk mie basah matang pada penelitian utama.
50
5.1. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Perebusan
Ekstrak dari bawang putih yang direbus menggunakan air dicampurkan dengan cuka pasar. Kandungan asam asetat dalam cuka
pasar yaitu 25. Pengukuran pH dan pencicipan rasa larutan campuran secara subjektif menghasilkan data yang dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel 15 Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih metode perebusan
Proses Ekstraksi Bawang Putih
Cuka Pasar : Ekstrak
pH Rasa
0 : 100 6.15
Bawang ++++ 30 : 70
2.99 ≠
Asam, bawang +++ 50 : 50
2.88 Asam ++, bawang +
70 : 30 2.79
Asam +++ Perebusan
bawang putih segar
100 : 0 2.60
Asam ++++ 0 : 100
6.13 Bawang ++++
30 : 70 2.94
Asam +, bawang +++ 50 : 50
2.70 Asam ++, bawang +
70 : 30 2.63
Asam +++ Perebusan
bawang putih keringlayu
100 : 0 2.60
Asam ++++
Berdasarkan data dapat diketahui bahwa ekstraksi bawang putih segar metode perebusan menghasilkan ekstrak dengan pH sebesar
6.15 dengan rasa bawang yang sangat kuat. Penurunan pH terjadi saat ekstrak bawang putih dicampur dengan cuka pasar.
Pencampuran cuka pasar 30 dengan ekstrak bawang putih 70 menghasilkan larutan yang memiliki pH yang rendah, yaitu 2.99.
Dari segi rasa, campuran 30:70 ini tidak memiliki rasa asam dikarenakan dominannya rasa dari bawang putih. Hal ini
menyebabkan rasa dan aroma dari campuran 30:70 sangat khas
51 bawang putih. Penurunan pH kembali terjadi saat konsentrasi cuka
pasar dinaikkan dan konsentrasi ekstrak bawang putih diturunkan. Pada pencampuran cuka pasar : ekstrak bawang putih 50:50,
diperoleh pH campuran sebesar 2.88. Kali ini larutan campuran terasa cukup asam, dengan rasa dan aroma bawang putih yang tidak
terlalu pekat. Pada pencampuran cuka pasar : ekstrak bawang putih 70:30, pH larutan campuran yaitu sebesar 2.79 dengan rasa larutan
yang asam dan flavor bawang putih yang tidak lagi terasa. Cuka pasar 100 memiliki pH yang sangat rendah, yaitu 2.60.
Larutan campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih segar dengan perbandingan 30:70, 50:50, 70:30, dan cuka pasar 100
masing-masing memiliki pH di bawah 3. Keempat larutan ini memenuhi target penelitian pendahuluan berdasarkan pH. Namun,
tidak ada satu larutan pun yang memiliki rasa yang tidak asam netral. Larutan 30:70, meski tidak memiliki rasa asam namun
memiliki rasa dan aroma bawang putih yang dominan. Rasa dan aroma bawang putih ini terlalu pekat untuk diterima secara
organoleptik. Sedangkan larutan 50:50 memiliki rasa asam yang cukup menyengat dan bertahan lama di lidah indera pengecap,
sehingga secara organoleptik larutan ini tidak dapat diterima. Pada larutan campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih
segar, intensitas rasa asam dari cuka lebih besar dibandingkan intensitas rasa bawang. Perebusan membuat bawang putih
kehilangan komponen citarasa yang bersifat volatil yang diharapkan dapat menyeimbangkan intensitas citarasa asam dari asam asetat.
Komponen volatil bawang putih yang paling banyak hilang saat perebusan yaitu dialil monosulfida, dialil disulfida, dan dialil
trisulfida Farrell 1985. Lyman 1989 menyatakan bahwa ketika satu rasa dikombinasikan dengan rasa yang lain, rasa-rasa tersebut
tidak akan membentuk suatu rasa baru. Masing-masing komponen rasa akan bereaksi, yang dapat meningkatkan atau mengurangi
intensitas salah satu rasa. Senyawa citarasa dalam ekstrak bawang
52 putih segar sebagian telah volatil akibat proses perebusan, sehingga
hanya sebagian kecil senyawa yang dapat bereaksi dengan ion H
+
pembentuk rasa asam dari asetat. Ion H
+
bebas menjadi lebih dominan dan rasa asamlah yang terasa di indera pengecap. Hal inilah
yang menyebabkan seluruh larutan campuran ini tidak lolos screening sebagai larutan biang.
Ekstraksi bawang putih kering metode perebusan menghasilkan ekstrak yang memiliki pH sebesar 6.13. Nilai pH ini sedikit lebih
rendah bila dibandingkan dengan pH ekstrak bawang putih segar dengan perebusan 6.15. Pencampuran cuka pasar dengan ekstrak
bawang putih perbandingan 30:70 menghasilkan larutan campuran yang memiliki pH sebesar 2.94 serta rasa bawang putih yang kuat
dengan sedikit rasa asam. Pencampuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih 50:50 menghasilkan larutan dengan pH 2.70.
Meskipun konsentrasi cuka pasar dan ekstrak bawang putih sama besar, namun larutan campuran ini memiliki rasa dan aroma bawang
yang lemah, dengan rasa asam dari cuka pasar yang cukup kuat. Pada larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih 70:30,
flavor bawang putih tertutupi oleh rasa asam dari cuka pasar. Larutan ini memiliki pH sebesar 2.63. Larutan cuka pasar 100 memiliki pH
yang rendah, yaitu 2.60. Berdasarkan segi pH, larutan 30:70, 50:50, 70:30, dan cuka pasar
100 memenuhi syarat larutan biang karena memiliki pH dibawah 3. Namun berdasarkan segi rasa, tidak ada satu pun dari larutan
tersebut yang memiliki rasa tidak asam. Seperti halnya ekstrak bawang putih segar, komponen aktif dari ekstrak bawang putih
kering juga sebagian hilang akibat proses perebusan dan penjemuran. Menurut Harborne 1987, pengeringan rempah dengan penjemuran
dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi senyawa penyusun bahan. Proses oksidasi juga dapat terjadi akibat kontak
langsung udara dengan bahan yang menyebabkan hilangnya atom karbon dari gugus metil yang teroksidasi menjadi gugus karboksil
53 dan kemudian terlepas menjadi CO
2
. Hilangnya komponen volatil dari bawang putih akibat penjemuran menyebabkan kadar komponen
aktif pada ekstrak lebih sedikit, dan membuat pH ekstrak lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan jumlah ion H
+
bebas dari asam asetat menjadi lebih banyak saat ekstrak bawang putih dicampurkan
dengan cuka pasar. Hal ini menyebabkan rasa asam dari cuka pasar lebih dominan pada perbandingan 50:50, 70:30, bahkan sudah mulai
terasa pada perbandingan 30:70. Sehingga seluruh larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih kering yang direbus tidak
lolos screening larutan biang.
5.2. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Maserasi Pelarut Air dan Etanol
Maserasi bawang putih menggunakan pelarut air maupun etanol menghasilkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen
polar. Komponen tersebut bertindak sebagai komponen citarasa dari bawang putih, diantaranya alisin, senyawa turunan sistein S-
alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein Nagpurkar et al. 2000, serta senyawa sulfida hasil dekomposisi dari alisin ajoene
dan dithiin Block 1985. Pada pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih
metode maserasi air maupun etanol digunakan konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah. Hal ini dilakukan berdasarkan
alasan ekonomis. Proses ekstraksi bawang putih metode maserasi menggunakan pelarut dan peralatan laboratorium yang lebih besar
dari segi biaya jika dibandingkan dengan ekstraksi bawang putih metode perebusan. Penggunaan konsentrasi ekstrak bawang putih
yang lebih rendah ini dilakukan untuk menekan biaya pengawetan, sehingga larutan pengawet yang dihasilkan tetap dapat terjangkau
oleh produsan dan pedagang mie basah matang.
54 Hasil pengukuran pH dan pencicipan rasa dari larutan campuran
cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar: ekstrak bawang putih maserasi air dan etanol
Proses Ekstraksi Bawang Putih
Cuka Pasar: Ekstrak
pH Rasa
8 : 2 2.74
Asam ++++ 7 : 3
2.93 Asam +; rasa asam cepat
hilang 6 : 4
3.05 Asam +; bawang +; rasa
asam cepat hilang Maserasi air
5 : 5 3.22
Asam +; bawang +++; rasa asam cepat hilang
8 : 2 2.80
Asam ++++ 7 : 3
2.95 Asam +; rasa asam cepat
hilang 6 : 4
3.20 Asam +; bawang +; asam
cepat hilang Maserasi etanol
5 : 5 3.42
Asam +; bawang +++; rasa asam cepat hilang
Ekstrak bawang putih yang diperoleh dari maserasi pelarut air memiliki pH sebesar 5.59. Nilai pH ini berkurang ketika dilakukan
campuran antara cuka pasar dengan ekstrak. Pada pencampuran dengan perbandingan konsentrasi cuka pasar : ekstrak 8:2, pH larutan
turun menjadi 2.74. Larutan campuran ini memiliki rasa asam yang sangat menyengat asam ++++. Pencampuran cuka pasar dan
ekstrak dengan perbandingan 7:3 menghasilkan larutan yang memiliki rasa asam yang sedikit terasa di lidah, rasa asam tersebut
55 cepat hilang, dan tidak terasa flavor bawang putih. Larutan campuran
ini memiliki pH sebesar 2.93. Larutan hasil pencampuran cuka pasar dengan ekstrak perbandingan 6:4 memiliki pH sebesar 3.05 dengan
rasa asam dan bawang putih yang sedikit terasa di lidah. Rasa asam pada larutan ini pun terasa cepat hilang. Larutan campuran cuka
pasar dan ekstrak dengan perbandingan 5:5 memiliki pH sebesar 3.22. Flavor bawang putih terasa kuat pada larutan ini. Namun, rasa
asam dari cuka pasar masih sedikit terasa di lidah dalam waktu yang singkat.
Ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut etanol memiliki pH awal sebesar 5.86. Ketika dicampurkan dengan cuka
pasar dengan perbandingan 8:2, pH campuran turun menjadi 2.80 dan memiliki rasa asam yang pekat. Nilai pH turun kembali pada
perbandingan campuran 7:3, yaitu 2.95 dengan sedikit rasa asam yang terasa singkat di indera pengecap dan cepat hilang.
Penambahan asam asetat dengan perbandingan 6:4 menghasilkan pH sebesar 3.20 dan campuran memiliki rasa bawang serta sedikit rasa
asam yang cepat hilang. Larutan dengan perbandingan asam asetat : ekstrak 5:5 memiliki pH sebesar 3.42 dengan rasa bawang dominan
dan sedikit rasa asam yang terasa cepat hilang di lidah. Larutan campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih maserasi
air maupun etanol perbandingan 7:3, 6:4, dan 5:5 memiliki rasa asam yang cepat terasa hilang di lidah. Hal ini berkaitan dengan
sensitivitas rasa asam dan flavor bawang pada indera pengecap. Woodworth et al. 1954 menyatakan bahwa konsentrasi suatu zat
yang dibutuhkan untuk dapat terdeteksi oleh indera pengecap manusia berbeda-beda, tergantung dari rasa dan zat yang
dikandungnya. Rasa dari suatu zat baru akan terasa sepenuhnya setelah ¼ hingga 2 detik setelah zat tersebut kontak dengan lidah
Lyman 1989. Waktu setiap zat untuk dapat terasa secara keseluruhan juga dipengaruhi oleh kandungan zat tersebut.
56 Pada asam asetat, ion hidrogen H
+
merupakan substansi yang menjadi stimulus rasa asam yang dirasakan oleh indera pengecap. Di
dalam mulut, ion hidrogen ini akan dideteksi oleh ion hydrogen channel. Ion hidrogen mampu menyebar dan berinteraksi dengan
amiloride-sensitive channels di dalam mulut. Selain itu, ion hidrogen ini juga mampu menghambat potassium channel yang memiliki
fungsi secara normal untuk melakukan hiperpolarisasi sel. Penghambatan terjadi karena ion hidrogen mampu menurunkan pH
dalam mulut dan membuat tertutupnya blocking ion channel dari potassium. Kombinasi aksi dari ion hidrogen ini menyebabkan rasa
asam dapat terdeteksi oleh mulut Bray 1992. Ion hidrogen dari asam asetat ini memberikan rasa asam yang cepat terasa dan
menusuk di lidah. Oleh sebab itu, asam asetat dikatakan memiliki rasa asam yang menusuk Lyman 1989.
Komponen citarasa pada bawang putih yang mempengaruhi rasa larutan campuran berasal dari komponen volatil dan non volatil. Wati
2007 membagi sensasi citarasa dari rempah menjadi hot sensation dan sharp sensation. Hot sensation merupakan jenis citarasa yang
menyebar di seluruh mulut, sedangkan sharp sensation dapat menstimulasi membran mukosa, baik pada hidung maupun pada
rongga mulut. Sebagian besar komponen aktif pada rempah yang menghasilkan sharp sensation biasanya bersifat volatil, sedangkan
komponen yang menghasilkan hot sensation biasanya bersifat non volatil. Gugus sulfida pada bawang putih cenderung menghasilkan
sharp sensation. Menurut Farrell 1985, karakteristik flavor dari bawang putih yaitu alliceous dan sulfurous. Ekstrak bawang putih
yang berasal dari maserasi pelarut polar cenderung memiliki komponen volatil dan non volatil, karena proses maserasi tidak
menggunakan panas suhu tinggi, sehingga komponen aktif tidak terdegradasi selama ekstraksi.
Ketika terjadi pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih hasil maserasi air maupun etanol, ion hidrogen H
+
dari cuka
57 pasar bereaksi dengan komponen aktif dari ekstrak bawang putih.
Reaksi ini membuat kerja dari ion hidrogen dalam menghasilkan rasa dan flavor asam di lidah menjadi terhambat. Sebaliknya, hot dan
sharp sensation yang seharusnya terasa dalam mulut juga dihambat oleh ion-ion hidrogen. Sebagai hasil yang dirasakan oleh indera
pengecap yaitu rasa asam yang sedikit terasa di lidah dan cepat hilang, tanpa sensasi dari flavor bawang putih. Rasa asam ini berasal
dari ion hidrogen bebas yang tidak bereaksi dengan komponen aktif bawang putih.
Larutan campuran asam asetat dan ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut air maupun etanol yang memenuhi
kriteria pH 3 serta rasa tidak asam yaitu larutan 7:3. Larutan inilah yang selanjutnya digunakan sebagai larutan biang pada penelitian
utama. Larutan terpilih dari pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air larutan 7:3 disebut larutan biang A,
sedangkan larutan terpilih dari pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi etanol disebut larutan biang E.
B. PENELITIAN UTAMA
Pada penelitian utama, larutan biang A dan E diencerkan menjadi 10, 20, dan 30. Kandungan asam asetat yang terkandung pada masing-masing
konsentrasi pengenceran ditunjukkan pada Tabel 17. Perhitungan kandungan asam asetat tiap pengenceran tercantum pada Lampiran 3.
Tabel 17 Kandungan asam asetat pada larutan biang A dan E yang diencerkan Besar Pengenceran Larutan Biang 7:3
Kandungan asam asetat 10
1.75 20
3.5 30
5.25
Mie basah matang dicelup ke masing-masing larutan, kemudian dilakukan pengamatan umur simpan mie basah matang secara visual. Pengamatan
58 meliputi warna, bau, dan tekstur hingga mie basah matang mengalami
kerusakan. Pengamatan umur simpan mie basah matang secara visual ini dilakukan untuk memperkirakan umur simpan mie basah matang secara visual
yang berkaitan dengan kelayakannya secara organoleptik untuk dikonsumsi. Hasil pengamatan visual mie basah matang yang dicelup dengan larutan 10,
20, dan 30 dari larutan biang A dan E dapat dilihat pada Lampiran 4 serta Lampiran 5.
Mie basah matang tanpa pencelupan kontrol memiliki warna, bau, dan tekstur yang normal pada penyimpanan hari ke-0. Hal ini menunjukkan mie
basah matang berada dalam keadaan baik dan layak konsumsi. Perubahan terjadi pada penyimpanan hari ke 1 dan 2. Bau mie basah matang kontrol
berkurang intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang normal. Selain itu, tekstur mie basah matang yang normalnya licin menjadi
agak kesat. Pada penyimpanan hari ke 3 dan 4, bau mie basah matang kontrol menjadi lebih berkurang intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie
basah matang hari ke-2. Mie basah matang tersebut menjadi berbau agak tengik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi yang terjadi pada minyak
kelapa yang melapisi permukaan mie. Warna mie pun menjadi lebih pucat. Selain itu, timbul tanda-tanda kerusakan mie basah matang yang lain, yaitu
adanya lendir akibat aktivitas mikroba. Perkiraan umur simpan mie basah matang tanpa pencelupan yaitu selama 2 hari. Hal ini disebabkan memasuki
penyimpanan hari ke-3 dan ke-4 telah tampak tanda-tanda kerusakan pada mie basah matang, meliputi perubahan warna menjadi lebih pucat, adanya lendir,
dan bau tengik. Mie basah matang yang dicelup larutan biang A dan E yang diencerkan
10 memiliki bau, warna, dan tekstur yang normal selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Hal ini menunjukkan larutan 10 biang dapat
mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga 4 hari. Mie basah matang yang dicelup larutan hasil pengenceran biang A dan E
sebesar 20 memiliki warna yang normal selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4. Mie basah matang ini memiliki bau asam dari cuka yang telah
tercium sejak penyimpanan hari ke-0. Bau asam cuka tetap tertinggal pada mie
59 hingga penyimpanan hari ke-4. Tekstur mie basah matang tetap normal hingga
penyimpanan hari ke-2 dan menjadi agak kesat berkurang kelicinannya di hari ke-3 dan ke-4. Larutan 20 biang ini dapat menghambat pertumbuhan
mikroba penyebab timbulnya lendir pada mie, sehingga mie memiliki tekstur yang tidak berlendir. Larutan 20 biang dapat mempertahankan mutu mie
basah matang secara visual hingga hari ke-4. Namun, bau asam dari cuka yang tetap tertinggal membuat mie basah matang kurang disukai secara
organoleptik. Pencelupan mie basah matang dengan larutan 30 biang A maupun E
mampu mempertahankan warna mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-4. Pada penyimpanan hari ke-0, mie basah matang telah
memiliki bau asam dari cuka yang cukup menyengat. Pada penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, bau asam cuka bertambah kuat. Tekstur mie basah matang
yang normal dapat dipertahankan hingga penyimpanan hari ke-2. Pada hari ke- 3 dan ke-4, mie basah matang menjadi agak kesat. Seperti halnya larutan
biang 20, larutan biang 30 pun dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Bau asam dari cuka yang tercium lebih
kuat membuat mie basah matang ini tidak disukai secara organoleptik. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, diketahui bahwa larutan
biang A dan E yang diencerkan sebesar 10 mampu mempertahankan mutu mie basah matang dari segi warna, bau, dan tekstur selama 4 hari. Hal ini
menyebabkan pengenceran larutan biang A dan E dengan perbandingan 7:3 sebesar 10 menjadi batas tengah dari optimasi larutan biang. Optimasi
larutan biang yang dilakukan yaitu dengan mengencerkan larutan biang 7:3 menjadi 5, 10, dan 15. Tabel 18 menunjukkan besar optimasi
pengenceran larutan biang beserta jumlah asam asetat yang dikandungnya. Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke larutan biang yang
dioptimasi dan penyimpanan mie hingga mengalami kerusakan. Analisis fisik, kimia, dan mikrobiologi pada mie basah matang yang diawetkan dilakukan
setiap hari hingga terjadi kerusakan.
60 Tabel 18 Besar optimasi pengenceran larutan biang
Rumus Besar Pengenceran terhadap
Larutan Biang Besar Pengenceran
terhadap Larutan Biang
Kandungan Asam asetat
x – 5 5
0.88 x
10 1.75
x + 5 15
2.63
1. Total Mikroba
Menurut Buckle et al. 1985, penyebab utama kerusakan bahan pangan yaitu mikroorganisme dan berbagai perubahan enzimatis maupun
non enzimatis. Fardiaz 1989 menyatakan bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme diantaranya berjamur, pembusukan rots,
berlendir, perubahan warna, kerusakan fermentatif serta pembusukan bahan-bahan berprotein. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor
utama penentu keawetan suatu bahan pangan yaitu aktivitas mikroorganisme pada bahan pangan tersebut.
Analisis total mikroba yang dilakukan selama penyimpanan mie basah matang yaitu analisis Total Plate Count TPC yang bertujuan untuk
menghitung jumlah mikroba total pada sampel, termasuk bakteri, kapang, dan khamir. SNI 01-2987-1992 tentang syarat mutu mie basah menyatakan
bahwa batas cemaran mikroba pada mie basah yaitu maksimal 1.0 x 10
6
kolonig pada angka lempeng total, maksimal 10 APMg E. coli, dan maksimal 1.0 x 10
4
kolonig kapang. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A1, A2, dan A3 dapat dilihat pada
Gambar 10.
61
1 2
3 4
5 6
7 8
H0 H1
H2 H3
H4
Lama Penyimpanan T
o ta
l M
ik ro
b a
L o
g
KONTROL A1
A2 A3
Gambar 10 Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.
Total mikroba mie basah matang kontrol mengalami kenaikan pada penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-4. Nilai total mikroba berturut-turut
dari hari 0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu 1.21x 10
4
kolonig; 2.95 x 10
4
kolonig; 1.9 x 10
6
kolonig; 2.5 x 10
6
kolonig; dan 6.35 x 10
6
kolonig. Garis merah menunjukkan batas total mikroba pada mie basah matang menurut SNI,
yaitu maksimal 1.0 x 10
6
kolonig. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa mie basah matang kontrol pada hari ke-0 dan ke-1 masih berada di
bawah garis batas SNI, yaitu pada angka 1.21x 10
4
kolonig dan 2.95 x 10
4
kolonig. Hal ini menandakan mie basah matang kontrol masih berada dalam keadaan baik dan layak untuk dikonsumsi. Tanda-tanda kerusakan
mie basah matang kontrol mulai terjadi pada penyimpanan di hari ke-2. Nilai total mikrobanya melebihi batas SNI, yaitu pada nilai 1.9 x 10
6
kolonig. Kerusakan awal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas mikroba pada mie basah matang, terutama karena kadar air mie
yang tinggi yaitu sekitar 52 Astawan, 2005. Kerusakan oleh mikroba terus berlanjut hingga penyimpanan hari ke-3 dan ke-4. Nilai total mikroba
dari mie basah matang terus melewati batas SNI. Selain itu, terjadi perubahan fisik dari mie basah matang secara visual. Mie basah matang
kontrol di hari ke-3 dan ke-4 memiliki tekstur yang lembek, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa dari segi
62 total mikroba, mie basah matang kontrol memiliki umur simpan hingga
hari ke-1. Setelah penyimpanan hari ke-1, mie basah matang kontrol sudah tidak layak konsumsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuniar 2004
bahwa mie basah yang disimpan pada suhu kamar hanya memiliki umur simpan selama 24 jam. Perubahan yang timbul akibat kerusakan mie basah
matang tersebut yaitu aroma mie menjadi asam dan diikuti dengan pembentukan
lendir. Pembentukan
lendir menandakan
adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam Hoseney,
1998. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 pengenceran 5
dari larutan biang hasil maserasi air memiliki nilai total mikroba pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut sebanyak 1.13 x 10
4
kolonig; 2.5 x 10
4
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 1.38 x 10
6
kolonig. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 ini memiliki mutu mikrobiologi yang tetap baik hingga penyimpanan hari
ke-3. Terbukti dari nilai total mikroba yang tidak melebihi batas SNI. Asam asetat sebanyak 0.88 yang terkandung dalam larutan pengawet A1
mampu menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah matang selama hari ke-3. Namun pada penyimpanan hari ke-4, pertumbuhan
mikroba meningkat hingga melewati 1.0 x 10
6
kolonig. Jika dibandingkan dengan mie basah kontrol, larutan A1 dapat memperpanjang umur simpan
mie basah matang hingga hari ke-3. Larutan pengawet A2 memiliki daya hambat pada pertumbuhan
mikroba mie basah matang yang lebih baik dibandingkan larutan pengawet A1. Hal ini ditunjukkan dari nilai total mikroba mie basah matang yang
dicelup larutan A2 selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 berturut- turut sebesar 1.64 x 10
4
kolonig; 5.4 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
4
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 2.5 x 10
5
kolonig. Selama mie basah matang yang dicelup larutan A2 mengalami penyimpanan, tetap terjadi pertumbuhan
mikroba. Namun pertumbuhan mikroba terjadi dalam jumlah 1 log yang sama hingga hari penyimpanan ke-2. Pada penyimpanan hari ke-3 dan ke-
4 barulah terjadi kenaikan pertumbuhan mikroba sebanyak 1 log. Total
63 mikroba pada mie basah matang ini tidak melebihi batas SNI hingga hari
penyimpanan ke-4. Hal ini disebabkan kandungan asam asetat yang lebih tinggi pada larutan A2, yaitu sebanyak 1.75 yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba secara lebih efektif. Naidu 2000 menyebutkan bahwa keefektifan asam asetat semakin meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi dan suhu, serta menurunnya pH. Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat membunuh mikroba yang sebagian besar tidak tahan
terhadap pH rendah Buckle et al. 1987. Daya hambat larutan pengawet A3 terhadap pertumbuhan mikroba
pada mie basah matang tidak berbeda jauh dengan larutan A2. Nilai total mikroba mie basah matang penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu
1.28 x 10
4
kolonig; 4.3 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
4
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 2.5 x 10
5
kolonig. Jumlah mikroba mie basah matang tidak melewati batas SNI hingga penyimpanan hari ke-4. Kandungan asam
asetat pada larutan A3 sebanyak 2.63 lebih efektif menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan larutan A1 dan A2. Konsentrasi asam
asetat yang lebih tinggi pada larutan A3 membuat pH larutan dan pH mie basah matang menjadi lebih rendah, sehingga lebih banyak mikroba yang
tidak dapat bertahan hidup. Menurut Marshall et al. 2000, sifat antimikrobial asam asetat yang bersifat asam lemah akan meningkat
dengan menurunnya pH. Berdasarkan nilai total mikroba masing-masing pencelupan pada
larutan pengawet A, larutan A1 memiliki daya hambat mikroorganisme yang paling rendah bila dibandingkan dengan larutan A2 dan A3. Larutan
A3 memiliki daya hambat mikroba tertinggi karena kandungan asam asetat yang lebih tinggi dari ketiga larutan, yaitu 2.63.
Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan 5, 10, dan 15 dari larutan biang E dapat dilihat pada Gambar 11.
64
1 2
3 4
5 6
7 8
H0 H1
H2 H3
H4
Lama Penyimpanan T
o ta
l M
ik ro
b a
L o
g
KONTROL E1
E2 E3
Gambar 11 Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.
Mie basah matang yang dicelup larutan E1 pengenceran 5 dari larutan biang E memiliki nilai total mikroba berturut-turut sebesar 3.6 x
10
3
kolonig; 5.0 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 9.75 x 10
5
kolonig pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Larutan E1 ini mengandung asam asetat sebanyak 0.88, jumlah yang sama dengan
asam asetat yang dikandung larutan A1. Namun, larutan E1 ternyata dapat menjaga mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari
ke-4 tanpa melewati batas SNI. Hal ini disebabkan ekstrak bawang putih yang dihasilkan dari maserasi dengan pelarut etanol dapat mengekstrak
komponen aktif yang bersifat polar secara lebih efektif. Komponen aktif bawang putih yang terekstrak tersebut juga bertindak sebagai komponen
antimikroba. Salah satu komponen aktif bawang putih yang bersifat larut dalam pelarut polar yaitu alisin Nagpurkar et al., 2000. Alisin terbukti
memiliki kemampuan menghambat mikroba Eskin, 1979. Hal ini juga menyebabkan terbantunya daya kerja antimikroba dari asam asetat pada
larutan pengawet E1. Sehingga daya hambat larutan E1 terhadap pertumbuhan mikroba mie basah matang pun lebih baik.
Larutan E2 dan E3 memiliki daya hambat yang hampir sama kuat terhadap pertumbuhan mikroba pada mie basah matang. Mie basah matang
yang dicelup larutan E2 memiliki nilai total mikroba selama penyimpanan
65 hari ke-0 hingga ke-4, yaitu 2.5 x 10
3
kolonig; 1.1 x 10
4
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 6.2 x 10
5
kolonig. Sementara total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan E3 selama 4 hari
penyimpanan yaitu 2.5 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
3
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; 2.5 x 10
5
kolonig; dan 2.5 x 10
5
kolonig. Penghambatan mikroba oleh larutan E3 sedikit lebih kuat dibandingkan dengan larutan
E2. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mikroba di hari ke-4 pada larutan E2. Kandungan asam asetat yang lebih tinggi pada larutan E3 sebesar 2.63
membuat kemampuan larutan pengawet E3 dalam menurunkan jumlah mikroba mie basah matang lebih baik dibandingkan kemampuan
antimikroba larutan pengawet E1 dan E2. Berdasarkan hasil analisis total mikroba, larutan E1, E2, dan E3 mampu mempertahankan mutu mie basah
matang hingga penyimpanan hari ke-4 secara mikrobiologi. Hasil analisis ragam menunjukkan total mikroba mie basah matang
yang dicelup larutan A1, A2, A3, E1, E2, dan E3 tidak berbeda nyata dengan kontrol pada penyimpanan hari ke-0. Hari ke-0 yaitu hari saat mie
basah matang mengalami pencelupan larutan pengawet. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi mikrobiologis mie dalam keadaan yang
relatif sama saat pencelupan. Total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A dan E berbeda nyata dengan kontrol pada penyimpanan
hari ke-1, 2, dan 3. Hal ini menunjukkan perlakuan pencelupan mie ke larutan A dan E membuat mie tersebut memiliki perbedaan dalam
parameter total mikroba dengan mie kontrol. Mikroorganisme penyebab kerusakan mie basah matang dapat timbul
akibat kondisi sanitasi yang tidak baik di tempat pembuatan mie maupun kontaminasi di tempat penjualan. Tepung terigu sebagai bahan utama
dalam pembuatan mie basah matang juga dapat berkontribusi sebagai penyebab adanya mikroba pada mie. Bulla et al. 1978 menyebutkan
bahwa sebagian besar mikroba yang hidup di tepung yaitu bakteri dari famili
Pseudomonadaceae, Bacillaceae,
Micrococcaceae, Lactobacillaceae, dan Enterobacteriaceae. Bacillus sterothermophilus
66 merupakan salah satu mikroba yang menyebabkan kerusakan pada tepung
terigu sebagai bahan baku mie basah matang Fardiaz 1999. Asam asetat yang terkandung dalam larutan pengawet A maupun E
akan terdisosiasi di dalam sel mikroba karena pH dalam sel yang netral R- COOH terurai menjadi RCOO
-
+ H
+
. Asam asetat yang terurai membuat ion H
+
yang terbentuk dalam sel menjadi semakin banyak. Banyaknya ion H
+
yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH dapat menyebabkan sel menjadi mati karena aktivitas enzim dan asam
nukleatnya terganggu Garbutt 1997. Hal ini menyebabkan semakin tinggi kandungan asam asetat dalam larutan pengawet maka semakin
banyak asam asetat yang terpapar dengan mie basah matang, sehingga kemampuan asam asetat untuk terdisosiasi menjadi ion H+ pun semakin
besar. Hal ini membuat daya hambat asam asetat terhadap mikroba yang tumbuh di mie basah matang selama penyimpanan semakin tinggi.
Berdasarkan hasil analisis total mikroba, dapat disimpulkan bahwa larutan terbaik yang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara
mikrobiologis hingga penyimpanan hari ke-4 yaitu larutan A2, A3, dan E3. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet tersebut memiliki
total mikroba sebesar 2.5 x 10
5
kolonig hingga penyimpanan hari ke-4. Data hasil perhitungan total mikroba pada mie basah matang yang dicelup
larutan A dan E dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.
2. Derajat Keasaman pH