Latar Belakang Design based on the model of sustainable management of reservoir fisheries floating cage (reservoir case Cirata West Java)

1.3 Tujuan Penelitian

1 Menghitung daya dukung lingkungan perairan Waduk Cirata Jawa Barat. 2 Membuat model kelembagaan untuk pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA. 3 Merancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA. 4 Menilai keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung .

1.4 Manfaat Penelitian

1 Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jarring apung, sehingga kebijakan yang dibuat menjadi cepat, tepat, dan akurat. 2 Manfaat teoritis akademis: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan waduk dengan pendekatan kesisteman.

1.5 Kebaruan Novelty

Kebaruan dari penelitian ini adalah model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya dengan menggabungkan aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosekbud. Penelitian terdahulu hanya melakukan kajian bersifat pemantauan terhadap kualitas perairan saja. Metoda yang digunakan pada penelitian ini dengan menggabungkan hard system methodology daya dukung perairan dengan soft system methodology ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dengan sistem dinamik. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Waduk

Kebutuhan manusia akan pasokan sumber air sebagai sumber energi yang meningkat dari waktu ke waktu telah mendorong manusia untuk membendung sungai untuk menciptakan waduk. Keberadaan waduk di suatu wilayah diperlukan mengingat waduk mempunyai banyak fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Yuningsih dan Soewarno 1995 menyatakan bahwa waduk sebagai tempat menampung air dengan cara membendung alur sungai. Menurut Ryding dan Rast 1989 waduk umumnya dibentuk oleh pembuatan suatu dam melintang sungai atau suatu aliran yang menghasilkan suatu perairan yang terkurung oleh adanya bangunan dam tersebut. UNEP-IETCILEC 2000 mendefinisikan waduk sebagai badan air buatan yang dibangun oleh manusia dengan membendung sungai atau mengalihkan air dari sungai dan mengurungnya ke lembah buatan. Waduk dibuat manusia untuk dapat berfungsi sebagai sumber daya alam untuk kegunaan irigasi pertanian, pengendalian banjir, transportasi air, wisata air, penggelontoran limbah domestik, pembangkit listrik tenaga air, air baku untuk keperluan domestik dan industri serta sebagai sumber daya untuk perikanan penangkapan atau perikanan budidaya. Keberadaan waduk ternyata memberikan dampak positif dan dampak negatif terhadap lingkungannya. Dampak positif utama yang dapat diberikan oleh adanya waduk adalah tersedianya energi listrik dari pembangkit listrik tenaga air. Banjir yang biasanya datang pada musim penghujan dapat dikendalikan dan ditampung ke dalam waduk. Waduk sebagai penampung air dapat dimanfaatkan untuk pengairan dari aktivitas pertanian, sebagai bahan baku air minum masyarakat perkotaan di sekitar wilayah waduk. Selanjutnya keberadaan waduk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perikanan, olahraga air, dan pariwisata. Selain dampak positif, timbul dampak negatif baik secara ekologis, teknis, kebijakan dan sosial. Saat ini di Indonesia tercatat ada 232 bendungan atau waduk dengan ketinggian lebih besar dari 10 m. Jumlah waduk tersebut masih belum mencukupi kebutuhan air, terutama untuk daerah-daerah rawan air seperti di kawasan Indonesia Timur. Sejumlah besar dari waduk tersebut sudah mengalami kondisi kelayakan di bawah normal yaitu: Waduk Djuanda, Waduk Cirata, Waduk Saguling, Waduk Darma, Waduk Kedung Ombo, Waduk Wonogiri, Waduk Wadas Lintang, Waduk PB Soedirman, Waduk Sermo, Waduk Selorejo, Waduk Sutami, Waduk Wonorejo, dan Waduk Bening. Beberapa waduk menghentikan operasi PLTA yaitu Waduk Djuanda, Waduk Saguling, Waduk Kedung Ombo, Waduk Sempor, dan Waduk Wadaslintang Syarief 2003. Menurut Solichin 2005, permasalahan yang dihadapi dalam pendayagunaan sumber daya air seperti waduk adalah mencari cara pengelolaan yang tepat sehingga didapat hasil yang optimum dari sumber daya yang ada. Oleh sebab itu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka telah digunakan program dinamik stokastik untuk mengkaji operasi suatu sistem waduk pembangkit listrik, telah diperoleh hasil optimasi yang berupa tabel pola operasi pembangkit listrik yang memberikan kemungkinan pemakaian pola operasi tersebut untuk operasi nyata. Setiawan 2004, telah membuat suatu model pengelolaan waduk dengan memperkirakan debit air untuk mengantisipasi operasi pembangkit listrik pada debit minimum.

2.2 Sedimentasi di Waduk

Salah satu permasalahan waduk di Indonesia adalah tingginya sedimentasi, dimana sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Menurut Manan 1979 sedimentasi adalah agregat-agregat partikel yang berkumpul di beberapa tempat yang telah dipindahkan pada jarak tertentu baik lateral maupun vertikal. Selanjutnya dikatakan sedimentasi adalah proses pengendapan dari bahan organik dan anorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air. Peningkatan beban sedimentasi ini terutama disebabkan oleh peningkatan laju erosi yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas di daratan, buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan sistem pompa. Menurut BPWC 2003, sedimentasi di Waduk Cirata sejak tahun 1987 sampai tahun 2001 seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun 1987-2001 Tahun Pengukuran 1987 1991 1993 1997 2000 2001 Volume Sedimen 10 6 m 3 10,11 11,27 25,52 15,33 5,87 Kumulatif Sedimen 10 6 m 3 10,67 21,98 47,45 62,78 68,69 Total Kapasitas 10 6 m 1.973,00 3 1.962,29 1.951,02 1.925,50 1.910,17 1.904,31 Kap. Efektifitas Waduk 10 6 m 796,00 3 790,10 789,20 782,89 781,00 778,69 Sumber: BPWC 2003 Secara fisik sedimentasi waduk akan menyebabkan penurunan elevasi air yang berakibat mengurangi manfaat waduk dan mengancam kelestarian waduk termasuk mengurangi luas lahan untuk KJA. Pendangkalan di waduk dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas perairan serta merusak habitat organisme yang ada di dalamnya Syarief 2003. Menurut UNEP-IETCILEC 2000 salah satu masalah lingkungan yang terjadi di danau dan waduk di seluruh dunia yaitu penurunan elevasi air. Selanjutnya dikemukakan bahwa penurunan elevasi air dapat disebabkan oleh penggunaan air yang berlebihan di danau atau waduk atau adanya sedimentasi. Sedimentasi yang terjadi bersumber terutama dari aktivitas di daerah aliran sungainya, yang disebabkan adanya penggundulan hutan atau pengolahan tanah yang mengabaikan aspek konservasi air dan tanah sehingga menyebabkan erosi tanah. Erosi tanah dalam jumlah besar yang masuk ke waduk atau badan air penerimanya, akan mengakibatkan terjadinya pendangkalan. Berbagai kegiatan yang menyebabkan erosi tanah seperti penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, pembukaan jalan baru, menyebabkan kandungan sedimen pada aliran permukaan meningkat yang akhirnya akan bermuara di waduk. Sedimen yang tersuspensi dalam bentuk partikel halus dan kasar akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota dalam ekosistem waduk. Biota akan sulit bernafas dan akhirnya akan mati lemas. Selanjutnya sedimen akan meningkatkan kekeruhan air yang akan menghalangi penetrasi cahaya dan mengganggu organisme dalam fotosintesa. Sedimen yang berasal dari lahan pertanian dapat menimbulkan eutrofikasi. Menurut Dahuri 2003, eutrofikasi dapat mengakibatkan perairan pada kondisi annoxia kekurangan oksigen di dalam kolom air yang disebabkan kelebihan organisme pemakai oksigen yang sering dikombinasikan dengan stratifikasi oksigen. Sebagian komunitas fitoplankton akan musnah dan digantikan oleh jenis yang tidak diinginkan dengan jumlah individu yang sangat banyak sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan.

2.3 Pencemaran Waduk

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan, pencemaran merupakan faktor yang paling dominan. Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik perairan tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Pencemaran ekosistem perairan didefinisikan sebagai perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan akibat masuk atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem perairan seperti sungai, danau, waduk, pesisir, serta tambak, pencemaran dapat terjadi karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan manusia seperti: rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian, dan perikanan. Limbah yang masuk ke ekosistem perairan dikategorikan dalam 2 jenis; yakni limbah anorganik yang sulit atau tidak-dapat terurai oleh mikroorganisme dan limbah organik yang mudah terurai oleh mikroorganisme Garno 2002 Waduk sebagai penampung air, adanya pencemaran di DAS nya akan menumpuk ke dalam perairan, sehingga kualitas lingkungan perairan waduk tersebut menjadi terdegradasi. Secara langsung maupun tidak langsung pencemaran perairan akan mempengaruhi komunitas di waduk karena akan mengurangi produktivitas perairan, menimbulkan perusakan habitat, dan menurunkan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup organisme perairan. Bahan pencemar seperti pestisida dari aktivitas pertanian dan logam berat limbah dari industri dapat terakumulasi dan melalui proses pemangsaan akan mengalami magnifikasi biologis. Melalui sistem rantai makanan, semakin tinggi tingkatan tropiksi pemangsa maka semakin besar pula tingkat akumulasi bahan pencemar dalam tubuh organisme Dahuri 2003. Terjadinya peningkatan logam berat di lingkungan perairan telah menyebabkan efek toksik pada biota-biota yang berada di perairan tersebut. Logam berat bersifat akumulatif, maka logam berat cenderung untuk terpartisi pada lemaklipid pada biota air atau karbon organik yang menyelubungi partikel