2. Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajibannya dalam
perencanaan tata ruang. 3.
Adanya persepsi negatif terhadap pemerintah, yaitu : a.
Kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat sehingga masyarakat hanya menjadi obyek pembangunan dan merasa tidak
perlu terlibat langsung dalam perencanaan tata ruang. b.
Adanya anggapan bahwa perencanaan tata ruang belum dilakukan secara transparan karena informasi mengenai RTRW belum disosialisasikan oleh
pemerintah secara optimal. 4.
Masyarakat belum memiliki suatu lembaga resmi yang independen dan berbadan hukum, dalam melakukan pemantauan dan evaluasi proses
penyusunan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan RTRW khususnya untuk sektor kehutanan di Kabupaten Bogor.
b. Hambatan dari sisi Pemerintah Key Players
Hambatan dari pemerintah yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang di Kabupaten Bogor, yaitu sebagai berikut:
1. Kurang optimalnya komunikasi dan sosialisasi tentang rencana penataan
ruang kepada masyarakat. 2.
Adanya resistensi birokrasi, karena menganggap masyarakat belum siap dilibatkan dalam penyusunan konsep RTRW. Kapasitas masyarakat dianggap
masih terbatas, baik secara teknis maupun psikis etika dan moral sehingga dikhawatirkan hanya akan fokus kepada pengembangan ekonomi tanpa
memperhatikan kelestarian hutan.
3. Pengumuman penyusunan RTRW Kabupaten Bogor maupun sosialisasi
rancangan RTRW Kabupaten Bogor dan sosialisasi Perda RTRW belum dilakukan melalui media cetak dan elektronik, sehingga belum menjangkau
seluruh masyarakat di wilayah perencanaan.
4. Belum ada kesepahaman mengenai konsep partisipasi antara pemerintah dan
masyarakat sehingga menimbulkan perbedaan persepsi mengenai makna pelibatan
masyarakat dalam
perencanaan tata
ruang. Pemerintah
berpandangan pelibatan masyarakat sudah dilaksanakan saat sosisalisasi dan konsultasi publik, sedangkan masyarakat menginginkan terlibat sampai
dengan tahap pengambilan keputusan dan pengawasan.
5. Rendahnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan masyarakat,
termasuk peranan pimpinan lokal local leader sebagai pimpinan informal masyarakat yang justru menjadi tokoh panutan masyarakat setempat..
6. Lemahnya koordinasi lintas sektoral dalam perencanaan tata ruang wilayah
yang berkaitan dengan kehutanan. Pemda cenderung pasif terhadap perencanaan tata ruang yang terkait sektor kehutanan, karena secara hukum
kawasan hutan berada dibawah pengelolaan Kementerian Kehutanan.
7. Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan erat dengan penataan ruang,
baik wilayah maupun sektor kehutanan belum mengatur mekanisme partisipasi masyarakat secara rinci dan tegas