sebanyak 9 orang 50 memberikan masukan melalui dialog dua arah dengan stakeholder lain, sedangkan sebanyak 6 orang 33,33 menerima informasi dan
memberikan masukansaranusulan tanpa melalui dialog dua arah dengan pemerintah. Selanjutnya masyarakat yang hanya hadir tanpa mmeberikan
masukansaranusulan sebanyak 3 orang 16,67.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perwakilan masyarakat dalam kawasan
penyangga TNGHS telah mampu memberikan masukansaranusulan melalui diskusidialog dua arah dengan pemerintah pada saat forum penjaringan aspirasi
dan seminar rancangan RTRW Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat desa penyangga kawasaan TNGHS telah memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh pemerintah, akan tetapi partisipasi masyarakat cenderung rendah karena belum
dilibatkan dalam proses penyusunan konsep RTRW
Mengacu pada tipologi partisipasi masyarakat Arnstein, maka tingkat partisipasi masyarakat desa penyangga TNGHS termasuk tingkat konsultasi
consultation. Pada level ini komunikasi telah bersifat dua arah melalui penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan oleh masyarakat dan telah
ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan sehingga masih bersifat semu. Tingkat
konsultasi merupakan bagian dari tokenismepenghargaan Degree of Tokenism, yaitu tingkat partisipasi dimana masyarakat telah didengar dan diperkenankan
untuk menyampaikan pendapatnya, akan tetapi masyarakat tidak mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan mempengaruhi pengambilan keputusan.
Perbandingan Tingkat Partisipasi Masyarakat Penyangga Taman Nasional
Hasil analisis menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat di desa penyangga TNGHS lebih tinggi dibandingkan TNGGP, hal ini karena adanya
kesadaran kritis akan hak masyarakat untuk terlibat dalam penyusunan RTRW sektor kehutanan. Kesadaran kritis ini merupakan dampak dari co-management
melalui pendampingan oleh LSM dalam rangka mengurangi konflik pemanfaatan ruang di TNGHS. Pratiwi 2008 menyebutkan ada enam LSM yang beraktivitas
di TNGHS, yaitu RMI, LATIN, PEKA, ABSOLUT, dan Yayasan Ekowisata Halimun. LSM yang terlibat di Kabupaten Bogor yaitu RMI dengan fokus
Tabel 25 Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan penyangga TNGHS dalam penyusunan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025
Variabel Tingkat Partisipasi
N 9.
Hanya hadir dan tidak memberikan masukansaranusulan Manipulation
3 16,67
10. Memberikan masukansaran berdasarkan arahan pihak lain
Therapy 33,33
11. Menerima informasi dan memberikan masukansaranusulan
tanpa melalui dialog dengan pemerintah Informing
6 -
12. Memberikan masukan melalui dialog dengan pemerintah
Consultation 9
50,00
13. aktif berdiskusi dan usulannya diakomodir dalam konsep
sesuai dengan kebutuhan Placation
- 14.
Aktif dalam diskusi dan penyusunan konsep serta mendapat pembagian tanggungjawab yang setara
Partnership -
15. Aktif dalam diskusi dan ikut menyusun konsep serta
berwenang memberikan persetujuan Delegated Power
- 16.
Aktif dalam diskusi, ikut menetapkan konsep dan berkuasa untuk memberikan keputusan
Citizen Kontrol -
Jumlah 18
100
kegiatan di Desa Malasari, Cisarua dan Curug Bitung, LSM berperan dalam membentuk kesadaran kritis bagi masyarakat melalui program pemberdayaan
masyarakat, sehingga mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam penataan ruang dan lebih aktif saat mengikuti penjaringan aspirasi dan seminar rancangan
RTRW. Masyarakat TNGHS cenderung lebih aktif dalam berdiskusi dibandingkan TNGGP, terlihat dari persentase masyarakat penyangga TNGHS
yang hadir tanpa menyampaikan pendapat hanya sebesar 16,67, sedangkan masyarakat penyangga TNGGP mencapai 26,32. Pengaruh LSM terhadap
partisipasi masyarakat ditegaskan oleh salah seorang penduduk Desa Malasari:
“...RMI mengajari kami cara berkomunikasi yang baik saat mengikuti rapat dengan pemda dan pihak TNGHS, dulu kami cenderung pasif karena
takut salah, tapi sekarang kami berani menyampaikan apa yang kami mau...
” M. Rizky, wawancara 23 September 2013 Mayoritas masyarakat di Kecamatan Nanggung dan Sukajaya adalah petani
gurem dan buruh tani, masyarakat Desa Malasari di Kecamatan Nanggung telah berinisiatif mengembangkan konsep Kampung Dengan Tujuan Konservasi
KDTK dan Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat K2LPR seluas 395,795 hektar di dalam kawasan TNGHS. KDTK ini menjadi konsep tata ruang berbasis
masyarakat dengan slogan “Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo–Hutan Subur, Masyarakat Makmur
”. Desa Malasari dan Cisarua juga telah melakukan pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI, peta partisipatif tersebut dibuat oleh masyarakat
untuk menunjukkan batas wilayah antara hutan dan perkampungan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan. Masyarakat dalam kawasan TNGHS juga terlibat
dalam penyusunan zonasi kawasan taman nasional, terbukti dengan disahkannya Rencana Tata Ruang Kesepakatan RTRK yang disusun berdasarkan diskusi
antara TNGHS dengan seluruh stakeholder termasuk unsur masyarakat adat. Sedangkan rendahnya partisipasi masyarakat penyangga TNGGP disebabkan
tidak adanya LSM yang fokus mendampingi masyarakat sehingga masyarakat tidak memiliki kesadaran kritis untuk berpartisipasi dalam perencanaan ruang.
Secara umum tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan masih rendah yaitu pada derajad tokenisme atau partisipasi semu, masyarakat hanya diberi
informasi melalui sosialisasi tanpa dilibatkan dalam penyusunan konsep RTRW. Rendahnya pengakuan terhadap hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penyusunan kebijakan tata ruang, serta rendahnya akses terhadap informasi perencanaan tata ruang mengakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat
terhadap status dan batas kawasan hutan serta lahan. Masyarakat sekitar hutan berusaha
mendapatkan hak
pengelolaan melalui
klaim baik
secara individukomunaladat
yang terkadang
bertentangan dengan
kebijakan pemerintah, sehingga menyebabkan konflik vertical terkait pengelolaan dan
penguasaan lahan kehutanan.
Keterkaitan Tingkat Partisipasi Masyarakat dengan Inkosistensi RTRW di Kawasan Taman Nasional
Kawasan TNGGP dan TNGHS dalam pola ruang RTRW Kabupaten Bogor telah diperuntukkan sebagai hutan konservasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa
inkonsistensi antara RTRW Kabupaten Bogor dengan penggunaan lahan aktual di
kawasan TNGGP adalah seluas 2.105,52 ha atau 0,69 dari total luas Kabupaten Bogor, sedangkan pada kawasan TNGHS seluas 15.574,77 ha setara dengan
5,78 dari total luas Kabupaten Bogor.
Tingginya inkonsistensi RTRW di TNGHS disebabkan karena adanya Rencana Tata Ruang Kesepakatan RTRK antara TNGHS dengan masyarakat
adat, sehingga pemukiman dan lahan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS dimasukan dalam zona khusus. Melalui RTRK, masyarakat bisa
mengelola lahan garapan didalam kawasan hutan dengan mematuhi aturan yang disepakati. Berdasarkan RTRK terdapat 25 desa yang masuk dalam zona khusus,
hal ini menyebabkan adanya ketidaksesuaian antara RTRW Kabupaten Bogor dengan kondisi aktual sebagai dampak dari belum adanya keselarasan antara
RTRK dengan RTRW Kabupaten Bogor Hanafi et al. 2004.
Kemantapan kawasan hutan bisa terwujud jika ada pengakuanmasyarakat terhadap keberadaan hutan, karena itu tata ruang dalam kawasan hutan harus
disepakati semua stakeholder. Penyusunan RTRK pada dasarnya merupakan proses perencanaan tata ruang secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pihak
yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan di TNGHS. Melalui sinkronisasi antara zonasi taman nasional dengan pembagian hutan berdasarkan
kearifan lokal, diharapkan pengakuan masyarakat terhadap keberadaan hutan akan meningkat yang pada akhirnya dapat mendukung kelestarian hutan.
Keterkaitan Tingkat Partisipasi Masyarakat dengan Perubahan Tutupan Hutan di Kawasan Taman Nasional
Keterkaitan antara tingkat partisipasi dengan kelestarian hutan dianalisis melalui perubahan tutupan hutan di Taman Nasional, sebagaimana disajikan pada
Tabel 26 dan 27. Pada penelitian ini perubahan tutupan hutan yang diamati selama 22 tahun, yaitu tutupan lahan pada tahun 1990 dan tahun 2012. Hasil analisis
menunjukkan adanya kecenderungan penurunan luas hutan alam di TNGHS dan TNGGP. Selama periode 1990-2012, hutan alam di TNGHS berkurang seluas
425,99 ha 0,37 sedangkan di TNGGP berkurang seluas 28,13 ha 0,12.
Tabel 26 Perubahan tutupan lahan di TNGHS Tahun 1990-2012
Kelas Penutupan Lahan Tahun 1990
Tahun 2012 Perubahan
Luas ha Luas ha
Luas ha
Hutan Lahan Kering Primer 2.722,38
2,34 2.691,71
2,31 - 30,67
0,03 Hutan Lahan Kering Sekunder
50.188,80 43,12
49.793,48 42,78
- 395,32 0,34
Hutan Tanaman 23.582,63
20,26 22.183,53
19,06 - 1.399,10
1,20 Belukar
5.597,23 4,81
3.491,39 3,00
- 2.105,84 1,81
Perkebunan 2.507,56
2,15 2.528,97
2,17 21,41
0,02 Pemukiman
13,21 0,01
39,07 0,03
25,86 0,02
Tanah Terbuka 213,64
0,18 103,62
0,09 - 110,02
0,09 Badan air
46,00 0,04
45,64 0,04
- 0,36 0,00
Pertanian lahan Kering 1.260,33
1,08 4.799,38
4,12 3.539,05
3,04 Pertanian lahan Kering Campuran
16.226,43 13,94
17.884,10 15,37
1,657,66 1,42
Sawah 14.029,09
12,05 12.830,19
11,02 - 1.198,89
1,03 Awan
5,20 0,00
1,41 0,00
- 3,78 0,00
Jumlah 116,392,49
116,392,49 Sumber data : Ditjen Planologi Kehutanan 2013
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, diketahui bahwa tingkat partisipasi
masyarakat di kawasan penyangga TNGHS lebih tinggi dari pada masyarakat di kawasan penyangga TNGGP, akan tetapi justru TNGHS mengalami penurunan
luas hutan yang lebih besar daripada TNGGP. Hal ini menunjukkan meskipun masyarakat telah memiliki kesadaran kritis untuk berperan secara aktif dalam
perencanaan tata ruang baik wilayah maupun kehutanan, akan tetapi terdapat faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kelestarian hutan, yaitu :
1.
Masyarakat penyangga TNGHS masih menganut budaya tradisional yang seluruh kehidupannya bersandar pada hutan, akan tetapi tidak semua sistem
nilai yang berlaku pada masyarakat tradisional berpengaruh positif terhadap kelestarian sumber daya alam di kawasan TNGHS, salah satunya dengan
adanya budaya ladang berpindah yang berdasarkan “wangsit” dari leluhur
menyebabkan kelestarian hutan pun terancam. 2.
Degradasi hutan di kawasan TNGHS diduga terkait erat dengan rendahnya ekonomi masyarakat BTNGHS 2007. Hasil Sensus Daerah Kabupaten Bogor
pada tahun 2006 jumlah RT miskin di Kecamatan Sukajaya, Pamijahan dan Nanggung sebagai kawasan penyangga TNGHS berjumlah 25.794 RT,
sedangkan Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung sebagai penyangga TNGGP berjumlah 17.680 RT BPS Kabupaten Bogor 2012. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat penyangga TNGHS memiliki tingkat ekonomi lebih rendah daripada TNGGP.
Penelitian yang dilakukan oleh Yatap 2008 menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan tutupan
lahan di TNGHS. Yatap 2008 menyatakan bahwa mayoritas warga desa di sekitardalam kawasan TNGHS merupakan petani sehingga lahan garapan
menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat desa untuk pemenuhan kebutuhan hidup, karena luas kepemilikan lahan yang relatif rendah maka masyarakat
cenderung melakukan perluasan lahan kedalam kawasan hutan. Selain itu pertambahan jumlah penduduk dan ketersediaan lapangan pekerjaan merupakan
faktor yang mempengaruhi perubahan luas lahan garapan pada setiap wilayah desa. Berdasarkan pendataan TNGHS pada tahun 2005 terdapat 314 kampung
yang berada di dalam kawasan TNGHS dengan jumlah penduduk 99.782 jiwa. Dengan bertambahnya penduduk dan keterbatasan tingkat pendidikan, maka
pilihan pekerjaan yang paling memungkinkan bagi warga desa adalah menjadi petani sehingga terdapat kecendrungan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap
Tabel 27 Perubahan tutupan lahan di TNGGP Tahun 1990-2012
Kelas Penutupan Lahan Tahun 1990
Tahun 2012 Perubahan
Luas ha Luas ha
Luas ha
Hutan Lahan Kering Primer 4.904,54
20,77 4.904,54
20,77 -
- Hutan Lahan Kering Sekunder
12.099,28 51,23 12.071,15
51,11 - 28,13
0,12
Hutan Tanaman 3.946,39
16,71 3.623,86 15,34
- 322,53 1,37
Belukar 155,27
0,66 192,06
0,81 36,79
0,16 Perkebunan
650,87 2,76
7,13 0,03
- 643,75 2,73
Pemukiman 1,67
0,01 357,36
1,51 355,70
1,51 Tanah Terbuka
124,42 0,53
101,92 0,43
- 22,50 0,10
Badan air 0,00
0,00 0,00
0,00 -
- Pertanian lahan Kering
340,51 1,44 1.776,76
7,52 1.436,25
6,08 Pertanian lahan Kering Campuran
1.395,04 5,91
584,37 2,47
- 810,67 3,43
Sawah 1,16
0,00 -
- - 1,16
0,00 Total
23,619,16 100,00 23,619,16
100,00 Sumber data : Ditjen Planologi Kehutanan 2013