7. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN
RTRW SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN BOGOR
Penataan ruang umumnya cenderung tidak mempertimbangkan pola tata
guna lahan yang berkembang secara tradisional di masyarakat. Penguasaan lahan secara tradisional belum diakui dalam kebijakan perencanaan pembangunan. Hal
ini menyebabkan terjadinya konflik antara kepentingan pemerintah dan swasta dengan masyarakat lokal yang kurang diakui hak-haknya. Untuk mengetahui
faktor pendukung dan penghambat partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang maka dilakukan analisis terhadap persepsi, sikap dan pengetahuan
masyarakat tentang sumberdaya hutan dan RTRW Kabupaten Bogor sektor kehutanan serta alasan kepatuhan masyarakat dan upaya-upaya partisipatif yang
telah dilakukan masyarakat dalam rangka menjaga kelestarian hutan sehingga dapat dirumuskan strategi yang tepat bagi perencanaan tata ruang sektor
kehutanan yang partisipatif.
Perencanaan Tata Ruang Wilayah dalam Kawasan Hutan
Terdapat perbedaan pandangan antara perencanaan tata ruang wilayah dan perencanaan tata ruang kehutanan. Perencanaan tata ruang wilayah berorientasi
pada perkiraan keadaan ruang yang diharapkan terbentuk pada masa yang akan datang, sedangkan perencanaan tata ruang kehutanan yang dilakukan melalui
pengukuhan kawasan hutan merupakan penetapan kondisi aktual kehutanan secara legal. Perbedaan cara pandang inilah yang menyebabkan munculnya konflik
antara penataan ruang wilayah dengan kehutanan.
Ada 2 dua pihak yang berwenangan merumuskan dan mengeluarkan kebijakan penataan ruang yang bersinggungan dengan kawasan hutan, yakni
Kementerian Kehutanan dan Pemda Kabupaten Bogor. Kementerian Kehutanan bertugas memberikan arahan kebijakan penataan ruang sektor kehutanan,
sedangkan Pemda Kabupaten Bogor bertugas menentukan arah pembangunan wilayah. Secara yuridis Pemkab Bogor telah mengakui keberadaan kawasan
hutan, baik hutan konservasi maupun hutan tanaman. Kawasan hutan telah dimasukkan dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 yang telah
disahkan dalam Peraturan Daerah No 19 Tahun 2008. Tata ruang kawasan hutan tertuang dalam :
1.
Pasal 22 ayat 2 tentang pengalokasian kawasan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
2. Pasal 26 tentang pengalokasian kawasan Cagar Alam sebagai kawasan lindung
3 kecamatan. 3.
Pasal 27 ayat 2 tentang pengalokasian kawasan TNGGP 5 kecamatan dan TNGHS 8 kecamatan serta TWA Gunung Pancar dan TWA Telaga Warna
sebagai kawasan lindung. Bahkan 8 Kecamatan yang sebagian wilayahnya berada dalam kawasan TNGHS ditetapkan sebagai kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya, dengan fungsi lindung dan resapan air Pasal 24.
4. Pasal 32 tentang pengalokasian kawasan budidaya dalam kawasan hutan yaitu
hutan produksi terbatas 10 kecamatan dan hutan produksi tetap 18 kecamatan
Arahan kebijakan Pemkab Bogor bagi kawasan lindung yaitu: a pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan b
pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Dampak implementasi kebijakan perlindungan ini belum dirasa
optimal bagi upaya pengelolaan kawasan hutan karena masih bersifat pasif dan belum memiliki program nyata.
Strategi penyelarasan antara RTRW Kabupaten Bogor dengan RTRK TNGHS merupakan langkah awal starting point dalam upaya mensinergikan
penataan ruang sektor kehutanan. Kedua dokumen negara tersebut merupakan implementasi kebijakan yang berdampak luas pada masyarakat dan pengelolaan
kewilayahan. Untuk itu, evaluasi terhadap kedua dokumen tersebut sebaiknya dilakukan secara simultan melalui koordinasi antar sektor dengan mengkaji pola
peruntukan ruang wilayahzonasi yang telah disusun dalam dokumen perencanaan masing-masing. Penyelarasan RTRW dan RTRK bertujuan untuk : 1 menjamin
kemantapan dan keamanan kawasan TNGHS secara legal dan aktual, 2 mendorong pembangunan Kabupaten Bogor yang mendukung upaya konservasi,
3 meminimalisir konflik penataan ruang yang cenderung menjadi pemicu ketidakjelasan sistem tenurial dan kewenangan pengelolaan.
Sosialisasi RTRW maupun zonasi kawasan merupakan prakondisi untuk mencapai kesepakatan antara stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan
kehutanan sehingga diperoleh dukungan untuk pencapaian tujuan pengelolaan kawasan tersebut. Sosialisasi terkait arahan kebijakan kawasan lindung termasuk
di dalamnya adalah kawasan konservasi perlu dilakukan secara kolaboratif oleh Kementerian Kehutanan dan Pemkab Bogor.
Carolyn 2013 menyatakan bahwa dalam RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, sebagian besar daerah penyangga TNGHS ditetapkan untuk tanaman
tahunan, namun ada beberapa wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian lahan kering dan basah, hal ini kurang menguntungkan bagi kawasan konservasi
karena adanya kecenderungan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi lahan non pertanian atau bahkan perluasan fungsi atau areal sehingga dapat menimbulkan
tekanan bagi kawasan hutan. Hal serupa terjadi pula pada daerah penyangga TNGGP yang sebagian besar ditetapkan sebagai kawasan pertanian lahan kering
dan kawasan pemukiman pedesaan dengan hunian rendah. Peruntukan kawasan ini mengacam kelestarian kawasan TNGGP karena rawan terjadi konversi lahan
menjadi sawah atau pemukiman. Oleh karena itu, RTRW perlu diselaraskan dengan perencanaan tata ruang kawasan hutan melalui penyelarasan terhadap
rencana zonasi kawasan konservasi dan penentuan fungsi pemanfaatan kawasan dalam pola ruang Kabupaten Bogor, diharapkan melalui penataan ruang yang
selaras dengan penataan hutan mampu menjaga kelestarian kawasan konservasi.
Perencanaan tata ruang di Kabupaten Bogor juga perlu melibatkan wilayah lain yang terkena dampak RTRW Kabupaten Bogor. Keberadaan hutan konservasi
di kawasan Puncak sebagai bagian dari TNGGP memiliki peranan penting bagi lingkungan sekitar yaitu sebagai perlindungan biodiversity, daerah tangkapan air
yang penting bagi Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor dan Propinsi DKI Jakarta, penyerap dan penyimpan karbon, penyeimbang iklim mikro, pengatur tata