9
Gambar 2 Tangga partisipasi masyarakat Arnstein Anak tangga 1 Manipulation dan 2 Therapy menjelaskan level non-
partisipasi. Tujuan utama dalam proses tersebut bukan untuk membuat masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan menjalankan program, tetapi
menggunakan pemegang kekuasaan untuk “mendidik” dan “mengobati” partisipan atau masyarakat. Anak tangga 3 Informing dan 4 Consultation pada level
partisipasi formalitas Tokenisme. Pada tahapan ini masyarakat diberi kesempatan untuk mendengar dan didengarkan. Namun pada kondisi ini,
masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk memastikan apakah suara mereka benar-benar diperhatikan oleh pemegang kekuasaan atau tidak. Anak tangga 5,
placation, memiliki level yang lebih tinggi karena memperbolehkan masyarakat memberi informasi tambahan, tetapi hak untuk memutuskan tetap ada di
pemegang kekuasaan. Selanjutnya anak tangga 6 partnership, memungkinkan masyarakat ikut bernegosiasi dan terlibat dalam proses tawar menawar dengan
pemangku kekuasaan. Terakhir, pada anak yang paling atas, 7 Delegated Power dan 8 Citizen Control, masyarakat sudah mendapatkan mayoritas kekuasaan
dalam pengambilan keputusan dan manajerial program atau kegiatan.
Sherry Arnstein merupakan tokoh yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat
komunitas dengan badan pemerintah. Arnstein 1969 menekankan adanya perbedaan yang mendasar antara bentuk partisipasi yang bersifat semu tokenism
dengan betuk partisipasi yang mempunyai kekuatan nyata real power dalam mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses. Delapan 8 tangga partisipasi
Arnstein memberikan pemahaman mengenai adanya potensi untuk memanipulasi keputusan sehingga mengurangi kemampuan masyarakat dalam mempengaruhi
proses pengambilan keputusan. Menurut Cornwall 2008, tangga partisipasi Arnstein secara umum telah normatif. Namun belum dijelaskan secara detail
mengenai mekanisme kontrol, masyarakat yang terlibat, serta batasan dalam kontrol masyarakat.
Bass et al. 1995 dalam Aligori 2004 membagi partisipasi masyarakat berdasarkan keikutsertaan dalam proses penetapan kebijakan, yaitu: 1
masyarakat diposisikan hanya sebatas pendengar; 2 masyarakat diposisikan sebagai pendengar dan pemberi informasi; 3 masyarakat diposisikan sebagai
8. Citizen Control 7. Delegated Power
6. Partnership 5. Placation
4. Consultation 3. Informing
2. Therapy 1. Manipulation
Citizen Power
Tokenism
Non Participation
10 stakeholder yang memiliki kekuatan dalam sebuah kelembagaan yang
bekerjasama dalam merancang peraturan kebijakan; 4 masyarakat dapat bekerjasama dengan berbagai stakeholder untuk menganalisis perencanaan
kebijakan; 5 masyarakat secara bersama-sama memutuskan kebijakan dan program-program aksi bersama; 6 partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan
evaluasi program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Slamet 1993 menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud bila didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang
disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi. 2.
Adanya kemauan, yaitu adanya sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa
manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut. 3.
Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran,
tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya
11
3. METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian dibangun berdasarkan pandangan bahwa partisipasi stakeholder, khususnya masyarakat dalam perencanaan tata ruang akan
menghasilkan RTRW yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu perencanaan yang tanggap pada preferensi dan kebutuhan masyarakat yang
potensial terkena dampak dari implementasi kebijakan publik McConnel 1981 dalam Suciati 2006. Untuk mencapai perencanaan yang responsif maka
masyarakat harus dilibatkan mulai dari tahap identifikasi permasalahan, penyampaian aspirasi sampai dengan tahap pelaksanaan RTRW. Perencanaan tata
ruang yang disusun secara komprehensif dan partisipatif akan menumbuhkan kesadaran awareness masyarakat untuk mematuhi RTRW tersebut, sehingga
pada akhirnya dapat mengurangi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang serta resiko terjadinya konflik.
UNDP 1997 dalam Sumarto 2003 mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya, dimana partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara
serta secara konstruktif. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan tata ruang melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Brown et al 2001,
mendefinisikan pemangku kepentingan stakeholder sebagai seseorang, organisasi atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam
sehingga perlu terlibat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Stakeholder ini mempunyai posisi yang kuat dalam proses politik sehingga berpengaruh terhadap
kebijakan pemerintah.
Peranan stakeholder dalam penelitian ini diidentifikasi berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan. Stakeholder
tersebut dipetakan dalam matriks yang membagi stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, yaitu: 1 key players; 2 subject; 3 contex setter
dan 4 crowds Lindenberg dan Crosby 1981 dalam Reed et al. 2009.
Kerangka konseptual dalam penelitian ini mengacu pada teori tangga partisipasi masyarakat Arnstein 1969, yang menjabarkan partisipasi masyarakat
berdasarkan pada kekuatannya citizen participation is citizen power, dimana terjadi pembagian kekuatan power yang memungkinkan masyarakat untuk
menentukan suatu produk akhir. Secara umum, dalam teori ini terdapat 3 tiga derajat partisipasi masyarakat, yaitu: 1 tidak partisipatif nonparticipation; 2
derajad semu degree of tokenisme; dan 3 kekuatan masyarakat citizen control. Pertimbangan menggunakan konsep ini yaitu karena tipologi tangga
partisipasi masyarakat Arnstein 1969 memiliki konsep yang sederhana, sehingga relatif mudah untuk dipahami dan merupakan konsep tipologi partisipasi pertama
yang menggambarkan derajat partisipasi dalam proses perencanaan di lingkungan pemerintahan, yaitu berdasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat
komunitas dengan badan pemerintah agency. Arnstein 1969 telah merumuskan tingkat partisipasi masyarakat secara lebih operasional dan
terperinci, hal ini ditunjukkan dengan adanya pembagian kategori berdasarkan
12 peranan dan fungsi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, serta kontrol
pembangunan di wilayahnya. Adapun faktor-faktor yang diduga memberikan pengaruh terhadap
partisipasi stakeholder adalah: 1 faktor internal yaitu karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, terdiri
dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan, dan 2 faktor eksternal, yaitu hubungan antara pengelola proyek dengan sasaran, terdiri
dari peran pemerintah dan LSM. Sasaran dengan sukarela akan berpartisipasi dalam proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan menguntungkan mereka
dan didukung pelayanan yang positif dan tepat sasaran. Pangestu 1995.
Berkenaan dengan teori dan konsep yang dikemukakan diatas, penelitian ini dikonstruksikan dengan kerangka penelitian sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi mekanisme partisipasi stakeholder dalam penyusunan RTRW
Kabupaten Bogor untuk sektor kehutanan 2.
Mengidentifikasi peranan dan partisipasi stakeholder dalam penyusunan RTRW Kabupaten Bogor untuk sektor kehutanan
Merujuk pada kerangka penelitian yang pertama, dalam studi ini ditelaah secara lebih spesifik mengenai muatan partisipatif dalam kebijakan penataan
ruang baik wilayah maupun sektoral serta mekanisme partisipasi stakeholder dalam penyusunan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 untuk sektor
kehutanan. Berkenaan dengan kerangka penelitian yang kedua, ditelaah mengenai: 1 peranan stakeholder dalam penyusunan RTRW Kabupaten Bogor untuk sektor
kehutanan; 2 bentuk dan tingkat partisipasi stakeholder; 3 faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi stakeholder; 4 persepsi dan pengetahuan masyarakat
mengenai RTRW dan sumberdaya hutan; dan 5 peran aktif masyarakat sekitar hutan dalam penataan ruang yang mendukung kelestarian hutan serta
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, selanjutnya disintesakan hal-hal yang mendorong dan menghambat perencanaan tata ruang sektor kehutanan yang
berbasis partispatif, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan arahan strategis penyusunan RTRW sektor kehutanan yang berbasis partisipatif di Kabupaten
Bogor melalui harmonisasi penataan ruang dalam sektor kehutanan dalam rangka tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Kerangka pendekatan studi dalam
penelitian ini dapat dijelaskan pada Gambar 3.
13
Gambar 3 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Oktober 2013 di 7 kecamatan dan 23 desa yang mewakili peruntukan ruang kawasan hutan dalam RTRW
Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025, sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Lokasi penelitian
No. Kecamatan
Desa Pola ruang
1. Cisarua
Citeko, Tugu Utara, Tugu Selatan, Cibeureum, Batu
Layang, Jogjogan Kawasan resapan air, TN. Gunung Gede
Pangrango, Taman Wisata Alam Telaga Warna, Hutan Produksi Tetap
2. Megamendung Megamendung, Sukagalih
Kawasan resapan air, TN. Gunung Gede Pangrango, Hutan Produksi Tetap
3. Ciawi
Cileungsi, Citapen, Cibedug, Bojong Murni,
Kawasan resapan air, TN. Gunung Gede Pangrango
Analisis penyusunan RTRW tahun 2005-2025 untuk sektor kehutanan di Kab. Bogor Analisis
Permasalahan
Faktor yang mempengaruhi partisipasi stakeholder dalam
penyusunan RTRW Kepatuhan dalam
implementasi RTRW Peranan, pengaruh
kepentingan stakeholder dalam penyusunan RTRW
Kebijakan perencanaan tata ruang wilayah dan kehutanan
Permasalahan : 1.
Inkonsistensi antara RTRW dengan kondisi aktual 2.
Terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang kehutanan 3.
Adanya konflik tata batas antara pemerintah dengan masyarakat disekitardalam kawasan hutan Penataan ruang sektor kehutanan di Kabupaten Bogor
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW tahun 2005-2025 untuk sektor kehutanan di Kabupaten Bogor
Hambatan dan dukungan dalam perencanaan tata ruang partisipatif
Harmonisasi penataan ruang di sektor kehutanan Strategi perencanaan tata ruang wilayah untuk sektor kehutanan partisipatif
Pembangunan Berkelanjutan Sustainable Development
Penyelenggaraan penataan ruang sektor kehutanan di Kabupaten Bogor masih lemah
Hasil
14
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh
melalui studi pustaka dan data-data dari instansi terkait, meliputi keadaan umum lokasi penelitian, tutupan hutan di TNGHS dan TNGGP, peta penutupan lahan
Tahun 2010, peta RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, Perda No. 19 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, regulasi terkait
penataan ruang dan data mekanisme penyusunan RTRW Kabupaten Bogor. Alat yang digunakan yaitu laptop yang dilengkapi perangkat lunak ArcGIS 10,
Microsoft Word, Microsoft Excell dan SPSS, serta alat perekam.
Teknik Pengambilan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat dalam wilayah perencanaan tata ruang Kabupaten Bogor. Jumlah responden sebanyak 100 orang,
mewakili Pemerintah Pusat Kementerian Kehutanan, Pemda Kabupaten Bogor, LSM, Akademisi, sektor swasta, pemerintahan desa dan masyarakat sekitar hutan
konservasi sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rincian unsur-unsur dan jumlah responden dalam penelitian
No. Asal Responden
Jumlah 1.
Pemerintah : a.
Ditjen Planologi Kehutanan b.
Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango c.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak d.
Balai Konservasi Sumberdaya Hutan e.
Bappeda Kab. Bogor f.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor g.
Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kab. Bogor h.
Pemerintah Kecamatan 1
1 1
1 1
1 1
7
Total Pemerintah Pusat Daerah 14
2. Unsur Masyarakat :
a. Pemerintah Desa
b. Masyarakat sekitar hutan
c. LSM
d. Akademisi
e. Swasta
23 54
3 2
4 Total Masyarakat
86 Total Jumlah Responden
100
Tabel 1 Lanjutan
No. Kecamatan
Desa Pola ruang
5. Pamijahan
Gunung Sari, Gunung Bunder II, Gunung
Picung Kawasan hutan yang berfungsi lindung,
kawasan resapan air, TN. Gunung Halimun Salak
6. Nanggung
Malasari, Cisarua, Bantar Karet
Kawasan hutan yang berfungsi lindung, kawasan resapan air, TN. Gunung Halimun
Salak, Hutan Produksi Terbatas 7.
Sukajaya Kiarasari, Cisarua,
Cileuksa Kawasan hutan yang berfungsi lindung, TN.
Gunung Halimun Salak, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap