4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Kementerian Kehutanan dalam mengoptimalkan
partisipasi stakeholder pada penyusunan RTRW sektor kehutanan yang berbasis partisipatif sehingga dapat mengurangi konflik tata ruang di Kabupaten Bogor.
Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dibuat, maka hipotesis yang diajukan adalah adanya hubungan korelasi yang signifikan antara tingkat dan
bentuk partisipasi stakeholder dalam penyusunan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 untuk sektor kehutanan dengan faktor-faktor internal dan eksternal
stakeholder.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji partisipasi stakeholder dalam penyusunan RTRW yang berkaitan dengan sektor kehutanan. Stakeholder yang
menjadi responden adalah mereka yang pernah menghadiri konsultasi publik dalam rangka penyusunan RTRW Kabupaten Bogor untuk sektor kehutanan,
terdiri dari unsur Pemerintahan Pemda dan Pemerintah Pusat dan unsur masyarakat masyarakat, LSM dan akademisi.
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan RTRW sektor kehutanan, maka responden yang dipilih yaitu masyarakat di desa
yang berbatasan secara langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sehingga terkena
dampak kebijakan RTRW untuk sektor kehutanan.
.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Penataan Ruang
Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, laut, dan udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya yang disebut tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Perencanaan tata ruang mencakup
perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Pola ruang adalah distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah, yang meliputi fungsi lindung dan budidaya Rustiadi et al. 2011. Penataan ruang dilandasi oleh 4 empat prinsip pokok, yaitu : 1
holistik dan terpadu, 2 keseimbangan antar kawasan, 3 keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah administratif, dan 4 pelibatan
masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Rustiadi et al. 2011. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran utama
perencanaan tata ruang pada dasarnya adalah menghasilkan penggunaan lahan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Perencanaan tata
ruang harus dapat diterima oleh masyarakat dan berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial, sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara
berkelanjutan.
RTRW merupakan perangkat penataan ruang yang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif dan berfungsi sebagai panduan bagi seluruh
stakeholder dalam pemanfaatan lahan selama kurun waktu tertentu. Permen PU No. 16 Tahun 2009. Posisi kawasan hutan dalam RTRW yaitu mengisi pola
ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada kawasan lindung, hutan memberikan fungsi perlindungan dan konservasi. Dalam konteks kehutanan, pola
ruang kawasan lindung terdiri dari hutan lindung, hutan gambut, dan kawasan suaka alamkawasan pelestarian alam. Sedangkan pada kawasan budidaya, hutan
dikelola untuk mendukung produksi hasil hutan berupa kayu, non-kayu dan jasa lingkungan seperti yang dilakukan pada kawasan hutan produksi dengan tujuan
produksi komoditas kehutanan. Keterkaitan antara RTRW dengan sektor kehutanan dapat dilihat pada Gambar 1.
Penyusunan RTRW harus mengacu pada penetapan kawasan hutan, hal ini bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan ruang antara pola ruang
kehutanan dengan pola ruang untuk pembangunan di luar sektor kehutanan pertambangan, pertanian, perikanan, permukiman, dan industri. Untuk
mengakomodir kebutuhan pembangunan di luar sektor kehutanan dapat melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan, sedangkan untuk pembangunan
non-kehutanan yang permanen dan mengubah land use kawasan hutan misalnya untuk transmigrasi, pemukiman, perkebunan, dan pertanian maka dilakukan
melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan atau tukar menukar kawasan hutan. Jika terjadi tumpang tindih ruang untuk kepentingan pembangunan non-kehutanan
pada kawasan konservasi, maka pemanfaatan hutan dapat ditempuh melalui kolaborasi pengelolaan dengan pemangku kawasan konservasi Kemenhut 2011.
6
Gambar 1 Kedudukan hutan dalam RTRW
Konsep Stakeholder
Grimble dan Chan 1995 mendefinisikan stakeholder sebagai semua yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari
suatu sistem. Meyers 2001 mendefinisikan stakeholder sebagai sekelompok orang yang mempunyai hak dan kewajiban dalam suatu sistem. Menurut Asikin
2001 stakeholder adalah semua pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh dampak, baik positif maupun negatif dari suatu kebijakan.
Lindenberg dan Crosby 1981 dalam Reed et al. 2009 menyatakan nahwa analisis stakeholder merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi
stakeholder yang memiliki peran dalam pengambilan keputusan, mengetahui kepentingan dan pengaruh stakeholder, memetakan hubungan berdasarkan
besarnya pengaruh dan kepentingan masing-masing stakeholder serta pemahaman stakeholder dalam pengembangan organisasi.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa unsur terpenting dalam analisis stakeholder adalah penilaian terhadap kepentingan
interests, kedekatan kepentingan importance tersebut dengan kepentingan pengambil keputusan dan substansi kebijakan yang mau diputuskan, serta tingkat
pengaruhnya influence pada proses penyusunan kebijakan, yaitu besar kecilnya kemampuan stakeholder tertentu dalam membujuk atau memaksa pihak lain untuk
mengikuti kemauannya. Lebih lanjut Lindenberg dan Crosby 1981 dalam Reed et al. 2009 telah membagi stakeholder menjadi 4 empat kelompok berdasarkan
tingkat kepentingan dan pengaruhnya, yaitu : a.
Key Player yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar sehingga paling aktif dalam menetukan kebijakan.
Kawasan Lindung Kawasan Budidaya
1. Perlindungan kawasan bawahannya
a. Kawasan hutan lindung
b. Kawasan bergambut
c. Kawasan resapan air
2. Perlindungan setempat
3.
KSA Cagar Alam, Suaka Margasatwa, KPA Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman
Buru, Taman Hutan Raya dan Cagar Budaya
4. Rawan bencana alam
5. Kawasan lindung lainnya
1. Kawasan Hutan Produksi
2. Kawasan Hutan Rakyat
3. Kawasan Pertanian
4. Kawasan Perikanan
5. Kawasan Pertambangan
6. Kawasan Industri
7. Kawasan Pariwisata
8. Kawasan Pemukiman
1. Sistem perkotaan
2. Sistem transportasi
3. Sistem energi
4. Sistem telekomunikasi
5. Sistem sumberdaya air
RTRW
Pola Ruang Struktur Ruang
7 b.
Subjects yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan yang besar, tetapi pengaruhnya kecil. Stakeholder ini bersifat supportif, mempunyai kapasitas
yang kecil untuk mengubah situasi dan mudah dipengaruhi stakeholder lain. c.
Context Setter yaitu stakeholder yang memiliki pengaruh yang besar, tetapi memiliki kepentingan yang kecil. Stakeholder ini mungkin akan memberikan
bahaya yang nyata, sehingga harus dipantau dan dikelola. d.
Crowd yaitu stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang kecil. Stakeholder ini mempertimbangkan segala kegiatan yang mereka lakukan
Konsep Partisipasi
Konsep partisipasi sebagai pendekatan dalam program pembangunan masyarakat sebenarnya sudah muncul pada awal tahun 1980-an, akan tetapi dalam
pelaksanaannya terjadi penyimpangan makna. Partisipasi hanya digunakan sebagai label terhadap peranserta masyarakat tanpa menyentuh pada substansi
peranserta itu sendiri. Menurut Cohen dan Uphoff 1977, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan
tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi
atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan.
Korten 1988 dalam pembahasannya tentang berbagai paradigma pembangunan mengungkapkan bahwa dalam paradigma pembangunan yang
berpusat pada rakyat, partisipasi adalah proses pemberian peran kepada individu bukan hanya sebagai subyek melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan,
mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Midgley 1986 melihat partisipasi sebagai upaya memperkuat
kapasitas individu dan masyarakat untuk mendorong mereka dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Conyers 1994 menjelaskan bahwa pendekatan dalam partisipasi masyarakat adalah keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan.
Nasdian 2003 mendefinisikan perencanaan partisipatif sebuat suatu proses pengambilan keputusan yang sistematis menggunakan berbagai informasi yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu siklus manajemen, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Melibatkan semua unsur yang berperan dalam proses pengambilan keputusan 2.
Peran serta berbagai pihak yang terorganisis untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumberdaya dan kelembagaan kelompok dan organisasi sosial
3. Partisipasi stakeholder sebagai suatu proses pengawasan atas inisiatif lokal
Dalam perencanaan partisipatif semua kelompok masyarakat berhak berperan dalam proses perencanaan, khususnya dalam pengambilan keputusan dan
mendapat manfaat dari hasil pelaksanaan perencanaan. Perencanaan partisipatif merupakan perencanaaan yang disusun dari bawah sesuai dengan harapan
masyarakat bottom up dan bukan disusun dari atas top-down atau pemerintah.
8
Jenis Partisipasi
Berdasarkan sistem dan mekanisme partisipasi, Cohen dan Uphoff 1977 membagi partisipasi masyarakat menjadi 4 empat jenis, yaitu:
1. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan participation in decision
making, yaitu bentuk keikutsertaan publik dalam memberi saran dan kritik mengenai proses pembuatan kebijakan pemerintah melalui keikutsertaan
masyarakat dalam rapat. Tahap ini sangat penting karena masyarakat hanya akan terlibat dalam aktifitas selanjutnya bila mereka merasa terlibat dalam
perencanaan kegiatan.
2. Partisipasi dalam pelaksanaan participation in implementation, yaitu publik
terlibat dalam implementasi kebijakan. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi berupa sumbangan pemikiran,
sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek.
3. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan participation in benefit,
yaitu publik turut menikmati hasilmanfaat dari implementasi kebijakan pemerintah. Tahap ini merupakan indikator keberhasilan partisipasi
masyarakat, semakin besar manfaat proyek yang dirasakan oleh masyarakat artinya proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.
4. Partisipasi dalam evaluasi participation in evaluation, yaitu kontribusi
publik dalam mengevaluasi kebijakan pemerintah. Partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan
demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.
Fokus dalam penelitian ini adalah partisipasi stakeholder dalam proses pembuatan keputusan participation in decision making, yaitu dalam penyusunan
dan penetapan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 untuk sektor kehutanan.
Tipologi Partisipasi
Tipologi partisipasi menggambarkan derajat keterlibatan masyarakat dalam proses partisipasi yang didasarkan pada seberapa besar kekuasaan power yang
dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Manfaat tipologi partisipasi ini yaitu untuk: 1 membantu memahami praktek dari proses pelibatan
masyarakat; 2 mengetahui sejauh mana upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan 3 menilai dan mengevaluasi keberhasilan kinerja dari pihak-pihak yang
melakukan pelibatan masyarakat.
Arnstein 1969 menjabarkan partisipasi masyarakat berdasarkan pada kekuatan masyarakat citizen participation is citizen power, dimana terjadi
pembagian kekuatan power yang memungkinkan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir, sehingga makna partisipasi yaitu kekuatan yang dimiliki oleh
masyarakat untuk mengatasi masalahnya saat ini guna mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Melalui tipologinya yang dikenal dengan Delapan
Tangga Partisipasi Masyarakat Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation, Arnstein 1969 menyatakan ada 8 tingkatan dalam partisipasi
yang akan membantu menganalisis antara kedudukan partisipasi dengan pembagian kekuasaan redistribution of power sebagaimana disajikan pada
Gambar 2.