Kebijakan dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah dan Sektor

3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten Permen PU No. 16 tahun 2009 merupakan acuan dalam kegiatan penyusunan RTRW kabupaten, berdasarkan Permen PU No. 162009, masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan dalam penyusunan RTRW Kabupaten yaitu: a. Orang perorangan atau sekelompok orang; b. Organisasi masyarakat tingkat wilayah kabupaten atau yang memiliki cakupan wilayah layanan satu kabupaten atau lebih dari wilayah kabupaten yang sedang melakukan penyusunan RTRW Kabupaten; c. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat kabupaten dan kabupatenkota yang berdekatan secara sistemik memiliki hubungan interaksi langsung yang dapat terkena dampak dari penataan ruang d. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat kabupaten Permen PU No. 16 Tahun 2009 mengatur secara detail mengenai peran masyarakat dalam penyusunan RTRW kabupaten, yaitu : 1. Pada tahap persiapan, pemerintah melibatkan masyarakat secara pasif dengan pemberitaan mengenai informasi penataan ruang melalui: a media massa televisi, radio, surat kabar, dan majalah; b brosur, leaflet, flyers, surat edaran, buletin, jurnal, dan buku; c kegiatan pameran, poster, pamflet, papan pengumuman, billboard; d kegiatan kebudayaan; e multimedia dan website; f ruang pamer dan pusat informasi; serta g pertemuan terbuka dengan masyarakatkelompok masyarakat. 2. Pada tahap pengumpulan data dan informasi, masyarakatorganisasi masyarakat berperan lebih aktif dalam bentuk: a pemberian data informasi kewilayahan yang diketahuidimiliki datanya; b pendataan untuk kepentingan penatan ruang yang diperlukan; c pemberian masukan, aspirasi, dan opini awal usulan rencana tata ruang; d identifikasi potensi dan masalah penataan ruang. Media yang digunakan untuk mendapatkan infomasimasukan, yaitu: 1 kotak aduan; 2 pengisian kuesioner, wawancara; 3 website, surat elektronik, form aduan, polling, telepon, dan pesan singkatSMS; 4 pertemuan terbuka atau public hearings; 5 kegiatan workshop, focus group disscussion FGD; 6 konferensi; dan 7 ruang pamer atau pusat informasi. 3. Pada tahap perumusan konsep RTRW Kabupaten, masyarakat terlibat secara aktif dan bersifat dua arah. Dialog dilakukan melalui konsultasi publik, workshop, FGD, seminar, dan bentuk komunikasi dua arah lainnya. Agar masyarakat terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka penyusunan RTRW kabupaten dapat memanfaatkan lembaga yang telah ada seperti: a satuan kerja task forcetechnical advisory committee; b steering committee; c forum delegasi; dan d forum pertemuan antar stakeholder. 4. Pembahasan raperda tentang RTRW kabupaten oleh pemangku kepentingan di tingkat kabupaten. Pada tahap pembahasan raperda ini, masyarakat dapat berperan dalam bentuk pengajuan usulan, keberatan, atau sanggahan terhadap raperda tentang RTRW kabupaten melalui: 1 media massa televisi, radio, surat kabar, dan majalah; 2 website resmi lembaga pemerintah yang berkewenangan menyusun RTRW; 3 surat terbuka di media massa; 4 kelompok kerja; danatau 5 diskusi, konsultasi publik, workshop, FGD, seminar, konferensi, dan panel. 4 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU Nomor 41 Tahun 1999 mengatur partisipasi masyarakat dalam bidang kehutanan. Pembangunan kehutanan menekankan tentang prinsip partisipatif dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, hal ini terlihat pada pasal 3 d yang menyebutkan : “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal ”. Terkait perencanaan kehutanan maka pada Pasal 11 ayat 2 disebutkan: “Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah ”. Berdasarkan Pasal 11 dapat disimpulkan meskipun pengelolaan hutan menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, tetapi dalam perencanaan sektor kehutanan perlu adanya kerjasama antara pemerintah pusat Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Daerah Bappeda serta Dinas Pertanian dan Kehutanan, serta memperhatikan keinginan masyarakat sebagai pihak yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi strategis dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan, sehingga pengelolaannya diatur oleh negara Kementerian Kehutanan untuk kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun yang mendatang. Penataan ruang kehutanan bertujuan untuk mengatur pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan sehingga diperoleh manfaat ruang yang optimal secara nasional dan wilayah. Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, dilakukan proses pengukuhan kawasan hutan. Proses ini diawali dengan penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan untuk memperoleh suatu kawasan hutan yang legal dan legitimate . “legal” berarti secara hukum sudah mengikuti tata aturan yang sudah ditetapkan baik secara prosedural maupun substansinya dan “legitimate” berarti adanya pengakuan dan penerimaan dari pihak lain atas tata batas dan keberadaan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan yang legal dan legitimate ini memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi masyarakat sekitar hutan dan pemegang izin usaha. Proses tata batas kawasan di lapangan adalah tahap penting dalam proses pengukuhan kawasan hutan, akan tetapi proses penataan batas seringkali mengabaikan partisipasi aktif masyarakat adat dan lokal yang berkepentingan dengan hak ‐hak atas tanahnya sehingga menyebabkan tidak jelasnya mekanisme penyelesaian konflik ketika masyarakat keberatan dengan proses penataan batas. Atas dasar itu maka perbaikan kebijakan mengenai pengukuhan kawasan hutan serta percepatan proses penetapan kawasan hutan penting untuk dilakukan. Perencanaan tata ruang kehutanan tidak dapat dilepaskan dari perencanaan ruang dan lahan karena merupakan salah satu dasar dalam perencanaan tata ruang wilayah. Dalam rangka meminimalisasi konflik tata ruang khususnya pada sector kehutanan, maka perencanaan tata ruang kehutanan harus berbasis partisipatif dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses penunjukan, penataan batas dan penetapan kawasan hutan 5 PP No. 4 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan PP No. 4 Tahun 2007 menyebutkan bahwa perencanaan kehutanan bertujuan untuk memberikan pedoman dan arah bagi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenkota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi, yang memuat strategi dan kebijakan kehutanan untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Berdasarkan analisis muatan kebijakan pada PP No. 4 Tahun 2007, perencanaan kehutanan menekankan tentang prinsip partisipatif dalam perencanaan hutan, hal ini terlihat pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa Perencanaan kehutanan dilaksanakan : a. secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab. b. secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat serta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan berwawasan global. c. dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan tradisional. Berdasarkan Pasal 3 maka perencanaan kehutanan harus dilakukan secara partisipatif dan menghormati hak yang dimiliki masyarakat, serta menghargai hukum adatkearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya. 6 Permenhut No. P.32Menhut-II2013 tentang Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan Dalam Permenhut No. P. 32Menhut-II2013 disebutkan bahwa kawasan hutan dikukuhkan melalui proses yang legal dan partisipatif, untuk menjamin kepastian status dan fungsi serta bebas kepemilikan pihak ketiga, partisipasi para pihak dapat berupa penyampaian informasi sebagai bentuk partisipasi paling rendah sampai dengan keterlibatan dalam setiap tahap proses penyusunan rencana pengelolaan hutan. Berdasarkan analisis muatan kebijakan pada Permenhut No. P.32Menhut- II2013, partisipasi masyarakat terangkum dalam kebijakan dan strategi umum pemantapan Kawasan Hutan, yaitu kebijakan terkait pengukuhan dan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan melalui strategi : a. Memperkuat sistem pengukuhan KH yang berkeadilan dan partisipatif b. Mengintegrasikan wilayah hutan adat dan ruang kelola masyarakat dalam kawasan hutan c. Meningkatkan kepastian hak hutan adat dan ruang kelola masyarakat adat dalam kawasan hutan Dalam rangka harmonisasi dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka Permenhut No. P.32Menhut-II2013 telah mengenai penunjukkan kawasan hutan yang harus dilakukan melalui pengintegrasian dengan review RTRWP agar tidak terjadi tumpang tindih status kawasan hutan. 7 Perda Kabupaten Bogor No. 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 Perda Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 merupakan contoh pengejawanahan kebijakan penataan ruang di Indonesia. Berdasarkan analisis muatan kebijakan pada Perda Kab. Bogor No. 19 Tahun 2008, partisipasi atau peran serta masyarakat terangkum dalam hak, kewajiban dan peranserta masyarakat, yaitu : a. Hak Masyarakat Pasal 96 Dalam kegiatan Penataan Ruang masyarakat berhak: : 1 Berperan serta dalam proses penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang 2 Mengetahui secara terbuka Rencana Tata Ruang yang ditetapkan; 3 Menikmati rnanfaat dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari adanya rencana tata ruang; 4 Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. b. Kewajiban masyarakat Pasal 100 1 Berperanserta didalam memelihara ketentuan penggunaan dan ketentuan teknis yang berlaku pada bangunanlahan yang dikuasainya 2 Berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. c. Bentuk Peran Serta Masyarakat Pasal 102 Dalam kegiatan aturan pola pemanfaatan ruang, bentuk peran serta masyarakat mulai dari penyusunan hingga pengendalian yaitu sebagai berikut : 1 Penyusunan Rencana Tata Ruang : penyediaan data informasi dan pemberian masukansaranpendapat dalam perumusan Rencana Tata Ruang. 2 Pemanfaatan Ruang : penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan Rencana Tata Ruang yang ditetapkan, serta kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas lingkungan sesuai dengan arahan didalam Rencana Tata Ruang yang berlaku. 3 Pengendalian Ruang : partisipasi pengawasan kegiatan pembangunan agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Berdasarkan uraian diatas, secara substantif Perda Kab. Bogor No. 19 tahun 2008 telah mengadopsi amanat UU No. 26 Tahun 2007 dengan melibatkan partisipasi masyarakat dari mulai penyusunan perencanaan, pemanfaatan sampai pada pengendalian tata ruang. Kelemahan Perda Kab. Bogor No. 19 Tahun 2008 yaitu ruang lingkup dan bentuk peran masyarakat yang relatif sama untuk tiap jenjang perencanaan, mekanisme penyelenggaraan yang belum jelas, dan tidak jelasnya kelompok masyarakat yang terlibat serta waktu pelibatannya. Hal ini disebabkan karena penyusunan Perda RTRW Kabupaten Bogor masih mengacu pada PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah yang belum menjabarkan secara rinci tentang mekanisme penyelenggaraan perencanaan tata ruang.

b. Analisis Substantif Kebijakan dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah

dan Kehutanan Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan penataan ruang, baik wilayah maupun sektoral telah memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan tata ruang dengan cara mengakomodir hak, kewajiban dan peranserta masyarakat dalam penataan ruang. Hal ini menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam penataan ruang merupakan hak konstitusional yang dilindungi oleh undang-undang. Akan tetapi apabila dicermati lebih lanjut, yang dimaksud partisipatif dalam UUPR dan Perda RTRW Kabupaten Bogor hanya dibatasi pada bantuan pemberian informasidata serta pertimbangansaran terhadap konsep RTRW yang telah disusun oleh tim teknis sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 PP Nomor 68 Tahun 2010. Bila mengacu pada tangga partisipasi masyarakat Arnstein 1969, level partisipasi masyarakat pada kebijakan tata ruang, termasuk dalam Perda Kab. Bogor No. 19 Tahun 2008 masih pada level informing informasi dan consultation konsultasi karena masyarakat melalui komunitasnya bisa mendapatkan informasi dan menyampaikan aspirasinya tetapi tidak ada jaminan kalau pendapatnya akan dimasukkan dalam rancangan RTRW. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan tata ruang yang ada saat ini masih membatasi partisipasi aktif masyarakat dalam keseluruhan proses penyusunan RTRW di Kabupaten Bogor. Secara substantif UU No. 411999 telah memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan tata ruang kehutanan, akan tetapi hal ini belum dijabarkan dalam PP No. 442004 dan Permenhut turunannya sehingga cenderung bias dalam implementasinya. PP No. 442004 tentang Perencanaan Kehutanan tidak tercantum secara tegas mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam perencanaan kehutanan, pemerintah hanya mengakui keberadaan hutan negara dan hutan hak, sehingga berdampak pada hak-hak masyarakat yang tinggal di dalamsekitar kawasan hutan. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar hutan maka perlu dilakukan revisi terhadap regulasi di bidang kehutanan berupa penjabaran secara teknis mengenai mekanisme partisipasi masyarakat khususnya dalam penataan ruang yang berkaitan dengan kawasan hutan, sehingga masyarakat memiliki ruang untuk berpartisipasi secara nyata dalam perencanaan tata ruang sektor kehutanan. Selain itu diperlukan keterbukaan informasi terhadap publik, sebagaimana yang telah diatur dalam Permenhut No. P.7Menhut ‐II2011, diantaranya yaitu membuka akses masyarakat pada dokumen berita acara penataan batas beserta lampiran petanya, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan, diharapkan masyarakat dapat turut berpartisipasi tidak hanya dalam perencanaan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan tetapi juga mengawasi pengelolaan kawasan hutan yang diatur oleh pemerintah secara nyata. Mekanisme Penyusunan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 Dengan berkembangnya otonomi daerah, Pemda Kabupaten Bogor diberi kewenangan untuk mengatur rencana tata ruang di wilayahnya, hal ini sejalan dengan paradigma pembangunan partisipatif yang telah menjadi isu nasional. Penyusunan peraturan daerah harus berdasarkan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi dan juga partisipatif dengan melibatkan peran serta masyarakat. Tujuan utama partisipasi masyarakat adalah memberikan masukan dan persepsi dari masyarakat yang berkepentingan sehingga dapat meningkatkan kualitas kebijakan yang ditetapkan. Dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak kebijakan tata ruang dan kelompok kepentingan, maka para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pendapat dari seluruh stakeholder untuk kemudian dituangkan dalam konsep RTRW. Isbandi 2001 menyatakan bahwa kebijakan yang dirumuskan akan lebih tepat sasaran jika keikutsertaan masyarakat dimulai dari proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada pada masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi suatu masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan dalam mengevaluasi perubahan yang terjadi. Penataan ruang harus mengacu pada prinsip pembangunan partisipatif dengan melibatkan semua pihak yang akan terkena dampak dari kebijakan penataan ruang khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RTRW Kabupaten Bogor dilakukan dalam 2 dua tahap, yaitu tahap penjaringan aspirasi masyarakat dan seminar rancangan RTRW. Forum pertemuan tersebut merupakan wadah pertemuan antara pemerintah dan masyarakat guna menjaring masukan dan pendapat dari masyarakat dengan menggunakan metode FGD Focus Group Discussion, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Subdit. Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten Bogor. “...kami memilih bentuk FGD untuk mewadahi partisipasi masyarakat dalam pembahasan pengajuan rancangan RTRW Kabupaten Bogor ini agar pembahasan bisa berjalan lebih fokus sesuai agenda sehingga tidak melenceng kemana-mana. Selain itu interaksi timbal balik dari masyarakat dan narasumber bisa lebih di kendalikan dan efektif...” Proses penyusunan RTRW Kabupaten Bogor dan peranan masyarakat pada setiap tahapan dapat dilihat pada Gambar 8. Penyusunan RTRW meliputi serangkaian tahapan, mulai dari persiapan sampai tahap sosialisasi yaitu : 1. Tahap I : Persiapan a. Peninjauan kembali RTRW Kabupaten Bogor yang masa berlakunya berakhir pada tahun 2005 Perda 172000. b. Mengevaluasi pelaksanaan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000-2005. c. Pengumpulan data primer dan sekunder 1 Penyiapkan peta dasar yang bersumber dari Badan Informasi Geospasial dan Badan Pertanahan Negara 2 Pengumpulan data perijinan pemanfaatan ruang, ijin lokasi dll. 3 Pemetaan sarana prasarana 4 Melakukan kajian tata guna lahan 5 Melakukan kajian kesesuaian lahan pertanian 6 Melakukan kajian kawasan lindung lahan hutan 7 Melakukan kajian kondisi fisik dan lingkungan 8 Melakukan kajian potensi sumber daya alam 9 Melakukan kajian kependudukan, sosial, ekonomi dan budaya d. Penyebaran peta pola dan struktur ruang RTRW Perda 172000 ke Kecamatan untuk memperoleh masukan. e. Pembentukan Tim Penyusun RTRW melalui Surat Keputusan Bupati. 2. Tahap II : Tahap Penyusunan Konsep Rencana Tata Ruang a. Menganalisis data-data dan kebijakan terkait. b. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait perihal isi Dokumen Teknis. c. Penjaringan aspirasi stakeholder d. Penyusunan konsep alternatif pengembangan wilayah. e. Melakukan penyampaian konsep kepada stakeholder melalui seminar rancangan RTR dengan tujuan mendapatkan masukansaranusul terkait konsep rencana tata ruang yang telah disusun oleh tim teknis. f. Penetapan konsep pengembangan wilayah. g. Melakukan sinkronisasi dengan wilayah-wilayah perbatasan. 3. Tahap III : Penyusunan RTRW Kab. Bogor : a. Penyusunan Naskah AkademisDokumen Teknis 1 Koordinasi dengan Bappeda Provinsi dan kementerian PUBKTRN 2 Melakukan rapat-rapat koordinasi b. Penyusunan Raperda RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. 4. Tahap IV : Penetapan RTRW Kab. Bogor : a. Penyampaian Raperda ke Gubernur untuk memperoleh rekomendasi b. Pembahasan dengan Bappeda Propinsi dan BKPRD Propinsi. c. Penyampaian Raperda kepada Kementerian PU Wilayah II untuk memperoleh persetujuan substansi d. Pembahasan dengan Ditjen Penataan Ruang dan BKTRN. 5. Tahap V : Pengesahan Perda RTRW Kab. Bogor : a. Penyampaian hasil rekomendasi dan persetujuan substansi kepada Pansus b. Pembahasan dengan Pansus RTRW c. Sidang Paripurna untuk proses penetapan Perda rencana tata ruang d. Penyampaian kepada Kementrian Dalam Negeri Evaluasi e. Penetapan ke dalam Lembar Daerah. 6. Tahap VI : Sosialisasi Perda RTRW Kab. Bogor : a. Penyerahan Perda dan Peta Ke masing-masing Kecamatan b. Menginformasikan ke Media Cetak dan Elektronik c. Penyampaian ke SKPD, Pemda yang berbatasan, sektor swasta, LSM, Akademisi dan masyarakat umum. Gambar 8 Proses penyusunan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor 2008 44