Harga Awal Menuju KejayaanKopi Robusta

3.2. Dinamika Kejayaan Kopi Robusta di Desa Polling Anak-anak

3.2.1. Harga Awal Menuju KejayaanKopi Robusta

Peran kopi robusta pada tahun 1970-an cukup besar bagi warga Desa Polling Anak-anak. Harga kopi robusta meningkat dan semakin dibudidayakan petani di Desa Polling Anak-anak pada tahun 1970-an. Pada saat itu harga kopi masih cukup stabil seperti dikatakan bapak V. Tambunan “Harga kopi waktu tahun 1970-an kira-kira mulai harga Rp.200kg. tapi pada saat itu harga 1 kg kopi sudah bisa beli beras 5 Kg. terus lama kelamaan naik dan semakin naik hingga pada tahun 1985-1986 menjadi puncaknya harga kopi disini. Tapi kalau dari awal tahun 1970-an sampai akhir tahun 1970-an harganya naiknya sikit-sikit, paling bisa sampai Rp. 450Kg, tapi mau juga turun jadi Rp.300Kg dan naik lagi jadi Rp. 400 kg, ya begitu-begitulah harga kopi pada tahun1970-an. Ya, kalau untuk kebutuhan sehari-hari dari kopi cukuplah, untungnya ada penghasilan lain dari hasil panen durian.” Tidak ada lonjakan harga yang cukup drastis pada tahun 1978-1982, hanya saja petani kopi di daerah ini merasa cukup dengan harga kopi pada masa-masa itu karena selain dari kopi mereka juga bisa mendapat hasil dari hasil panen lainnya seperti durian, padi, kacan-kacangan dan hasil panen lainnya. Hal itu terlihat dari haga kopi 1 Kg bisa membeli beras 5 Kg seperti yang dikatakan Bapak V. Tambunan diatas. Distribusi kopi pada masa ini masih mengharuskan petani membawa biji kopi yang sudah kering ke onanpekan mingguan yang ada di Desa Lae Parira saat ini sudah menjadi Kecamatan Lae Parira yang berjarak sekitar 15km dan memerlukan waktu ± 2jam berjalan kaki karena belum ada angkutan umum pada saat itu dari Desa Polling Anak-anak menuju Lae Parira. Petani-petani kopi biasanya bersama-sama pergi menuju onan di Lae Parira Sambil manghuti hasil panen mereka berupa; kopi, kemiri,kacang tanah, jagung dan lain sebagainya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang mereka anggap bisa untuk dijual di onan. Akan tetapi ada juga toke yang sudah datang ke kampung untuk membeli hasil panen mereka pada saat musiman yaitu pada musim durian. Pada musim durian, toke datang dari berbagai daerah, ada yang dari Kota Sidikalang, Kabanjahe dan Medan. Mereka langsung menjemput durian ke kampung ini dan membeli durian langsung kepada petani yang sudah menumpukkan durian-duriannya didepan rumah masing-masing.Petani menjual biji kopi yang dibawanya ke toke di pasar Lae Parira dan sambil membeli kebutuhan keluarga di onan. Harga kopi pada masa ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja atau istilahnya cukup-cukup makan saja. Hal ini seperti dijelaskan Ibu Siagian; “Biasa kalau pergi maronankepajak di kampung ini ibu-ibunya, jadi kami pergi ke Lae Parira, kami bawa biji kopi yang sudah dijemur dan dikupas ke pasar. Pergi ke onan sambil menghutikopi diatas kepala, misalnya ada kopi kita 20Kg, kita bisa pulang dengan belanjaan untuk seminggu kedepan.Karena disini onan cuma 1 kali seminggu dan masih adalah sisa uang untuk biaya keperluan lainnya dalam seminggu ini. Begitulah dulu kami harus capek untuk menjual kopi biar bisa belanja. Kalau sekarang sudah enak, toke sudah banyak, tiap kampung ada dan ada juga toke dari kota yang datang-datang ke desa untuk membeli hasail panen petani langsung.”

3.2.2. Masa Keemasan Kopi Robusta