Masa Keemasan Kopi Robusta

yang mereka anggap bisa untuk dijual di onan. Akan tetapi ada juga toke yang sudah datang ke kampung untuk membeli hasil panen mereka pada saat musiman yaitu pada musim durian. Pada musim durian, toke datang dari berbagai daerah, ada yang dari Kota Sidikalang, Kabanjahe dan Medan. Mereka langsung menjemput durian ke kampung ini dan membeli durian langsung kepada petani yang sudah menumpukkan durian-duriannya didepan rumah masing-masing.Petani menjual biji kopi yang dibawanya ke toke di pasar Lae Parira dan sambil membeli kebutuhan keluarga di onan. Harga kopi pada masa ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja atau istilahnya cukup-cukup makan saja. Hal ini seperti dijelaskan Ibu Siagian; “Biasa kalau pergi maronankepajak di kampung ini ibu-ibunya, jadi kami pergi ke Lae Parira, kami bawa biji kopi yang sudah dijemur dan dikupas ke pasar. Pergi ke onan sambil menghutikopi diatas kepala, misalnya ada kopi kita 20Kg, kita bisa pulang dengan belanjaan untuk seminggu kedepan.Karena disini onan cuma 1 kali seminggu dan masih adalah sisa uang untuk biaya keperluan lainnya dalam seminggu ini. Begitulah dulu kami harus capek untuk menjual kopi biar bisa belanja. Kalau sekarang sudah enak, toke sudah banyak, tiap kampung ada dan ada juga toke dari kota yang datang-datang ke desa untuk membeli hasail panen petani langsung.”

3.2.2. Masa Keemasan Kopi Robusta

Masa keemasan kopi terjadi sekitar tahun 1983-1986. Pada masa ini, harga kopi melambung sangat tinggi hingga mencapai harga Rp.4.000Kg. padahal sebelum tahun 1983 harga kopi hanya mampu mencapai harga Rp.400Kg. kemudian sejak awal tahun 1983 harga kopi semakin naik hingga puncaknya pada tahun 1986 mencapai harga Rp.2.000-4.000Kg, hal tersebut menyebabkan ekonomi petani menjadi sangat makmur, seperti yang diungkapkan Bapak K. Panjaitan; UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BOX - I Munculnya Nilam di Desa Polling Anak- anak Menurut Bapak K. Panjaitan: sejak tahun 1980-an, sudah mulai banyak orang yang nanam nilam. Tidak tau pasti siapa yang pertama menanam nilam di desa ini, tapi mulai tahun 1980-an, harga nilam cukup tinggi, kalau tidak salah harga 1 botol nilam sudah sama dengan harga 5 kaleng beras 50Kg beras. Saya rasa memang harus mahal harga nilam, karma proses pengolahannya cukup sulit dan hasil pengolahan hingga jadi minyak nilam hanya sedikit. Misalnya, ladang nilam yang dipanen ada 1 rante, paling kalau sudah dikukus minyak nilamnya Cuma dapat 3-4 botol. Padahal waktu yang dihabiskan untuk mengukus daun nilam 1 rante itu ± 10 jam. Belum lagi untuk upah pekerjanya dan sewa alat kukusannya, karena di kampung ini cuma 2 orang yang punya alat kukusannya. Kalau sekarang ini orang udah malas nanam nilam ini, paling kalaupun ada paling sisa-sisa yang lama yang tidak dirawat lagi.Padahal harga nilam sekarang cukup mahal yaitu 1 botol bir, dihargai Rp. 800.000-Rp. 1.000.000 menurut Ibu Gultom.Tidak tau kenapa orang sudah jadi malas nanam nilam sekarang. “Kalau nilai kopi menurut saya pribadi sangat besar khususnya bagi keluarga kami.Karena dahulu pada tahun 1980-an ada ±5 Ha ladang kami dan seluruhnya adalah kopi robusta.Ya, ada juga durian di antara kopi kopi tersebut dan tanaman andor ubi jalar untuk makanan babi kami.Kopi dari ladang kami bisa tiap hari dipanen dan kukumpulkan untuk dijual ke onan sekali seminggu. Dalam sehari hasil panen biji kopi bisa 1-2 karung 30kg..Sehingga dalam seminggu hasil kopi kami bisa mencapai 12-16 karung tapi masih berkulit. Apabila diolah hingga menjadi biji kopi, hasilnya paling hanya 2½ -3 karung atau ± 50 litern tanpa kulit dan siap untuk dijual. Kalau tidak salah puncaknya adalah tahun 1985-1986 harga kopi pada waktu itu antar Rp. 2.000-Rp. 4.000 kg yang sudah dikupas.” Pada masa keemasan ini, tidak hanya harga kopi saja yang tinggi, harga minyak nilam juga meningkat.Petani pada masa itu umumnya lebih cenderung fokus mengurus kedua jenis tanaman tersebut sehingga ketika kedua jenis tanaman tersebut naik, petani menjadi sangat senang dan makmur. Harga kopi tertinggi pada kurun waktutahun 1980-1986 sekitar Rp.2.000 sd Rp.4.000kg. menurut warga desa pada masa itu, 1Kg kopi mampu membeli 20Kg beras 1 botol minyak nilam mampu membeli 50 kaleng beras.Naiknya harga kopi juga membawa sistem distribusi yang baru pada masyarakat desa ini.Petani mulai mengenal sistem agen dimana pada masa ini ada 3 orang agen yaitu; Pantun Panjaitan, Torang Butar-butar, Bistok Sitorus. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dengan adanya agen ini, petani tidak perlu berjalan jauh ke desa Lae Parira lagi dan langsung menjual pada agen, yang kemudian agen akan menjual pada toke yang datang dari Kota Sidikalang muapun dari Medan. Untuk masalah harga, yang menetapkan harga biji kopi biasanya adalah dari agen, bukan dari petani.Petani hanya menjual kopi menurut harga yang sudah ditetapkan para agen. Harga jual kopi pada agen sama antara satu agen dengan agen yang lain, sehingga tidak terjadi persaingan harga. Cara pendekatan dan hubungan baik antara agen dan petani yang menjadi ikatan agar si petani selalu menjual kopinya hanya pada agen yang sama. Sistem pengumpulan kopi yaitu, petani membawa kopi yang sudah kering kepada agen.Masing-masing petani biasanya sudah memiliki agennya masing- masing dan tidak berpindah-pindah agen kecuali ada sebab-sebab tertentu seperti konflik.Petani umumnya memilih agen disebabkan oleh adanya hubungan keluarga maupun juga karena agen tersebut bisa mendekatkan diri dengan baik pada petani. Salah satu cara yang biasa dilakukan agen adalah memberi pinjaman uang jika petani membutuhkan uang sewaktu-waktu seperti diungkapkan Ibu N.Gultom “mana agen yang enak sama awak kesitulah kita jual kopinya. Soalnya ada agen yang sok kadang-kadang tapi kalau agen yang baik enak jual kopinya dan kadang sama agen yang baik kita bisa ngutang uang dan nanti dibayar pakai biji kopi.” Dengan naiknya harga kopi, petani merasa sangat bangga dan makmur sehingga menjadi sedikit merasa sombong. Hal ini tercermin pada ungkapan yang dikatakan Bapak E. Tambun yaitu “bir di pakke manuci tangan” yang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA secara harfiah artinya bir dipakai mencuci tangan. Hal ini karena harga kopi yang sangat tinggi sehingga untuk menunjukkan kemakmurannya mereka mencuci tangan tidak menggunakan air tetapi bir.

3.2.3. Masa Kehancuran Kopi Robusta